Seiring menghilangnya lintah-lintah itu suasana hutan semakin terang. Wira sudah tidak lagi menggunakan bola energinya. Apa yang dilihat Nay adalah apa yang dipikirkannya. Di samping kanan-kiri jalan Nay membayangkan tumbuhan mawar berwarna-warni, kicau burung yang bersahutan dan kupu-kupu terbang bebas mengikuti mereka. Hutan itu terlihat indah dan tidak suram lagi. Nay berteriak. Kakinya seperti mengenai sebuah batu besar. “Ada anergi pelapis, Nay.”“Iya, Wira. Mata air di bawah sana terlindungi energi besar. Kita sudah tidak jauh lagi. Kau bisa melihatnya bukan?”“Iya, ceruk air di bawah itu sangat jernih dan tenang.”“Selubungnya sangat luas dan menjulang. Seperti kubah yang menaunginya.”“Aku akan memeriksanya dari atas.” Wira langsung melesat ke udara. “Setinggi ini, Nay.” Wira memberitahu Nay yang masih mendongak memperhatikannya. Dengan aba-aba tangan, Nay meminta Wira turun. “Kau dengar itu, Wira?” “Ada sesuatu yang datang, Nay,” jawab Wira. “Sepertinya tidak hanya satu
“Iya, Agni. Energiku sudah kembali. Tidak ada lagi rasa sakitnya.” Nay bangkit lalu berdiri sejajar dengan Agnimaya. “Minum airnya, Nay.”“Tidak perlu Agni, aku sudah menghisapnya dari punggungku. Airnya telah mengalir ke semua bagian tubuhku.”“Sekarang kau sudah kebal terhadap racun makhluk-makhluk Rimba Arana. Sebaiknya kita langsung pergi meninggalkan tempat ini, sebelum penguasa rimba tahu kau yang menghancurkan kubahnya.” Wira dan Nay naik ke tubuh Agnimaya. Mereka meninggalkan Rimba Arana. Nay sempat menoleh ke belakang, dilihatnya sepasang makhluk yang digambarkan Agnimaya memandangi mereka dengan tatapan penuh amarah. "Kita akan bertemu nanti," gumam Nay membalas tatapan mereka. ***Pesan WA sudah dikirimkan ke Rey, memintanya untuk memberikan informasi pada polisi perihal kematian Amir dan adiknya. Nay berharap polisi akan meluncur ke TKP pagi ini juga. Pintu apartemen Rey masih tertutup. Belum terdengar suara dari dalam. Dia berdiri di depan pintunya sambil menimbang-n
"Gak diapa-apain. Cuma aku plester saja mulutnya. Gak usah bingung kalau plesternya gak kelihatan." Nay terkekeh. "Aku ingin menanyakan beberapa hal padanya, tapi sebaiknya tidak di sini. Nanti, setelah selesai urusanku, aku serahkan dia padamu. Tapi tolong nanti jangan menyela.""Oke. Siap!"Wira melepaskan kunci energi di kaki paman Amir. Sedangkan di tangannya tetap dibiarkan. Dion menggiring pria itu ke tembok pembatas kebun pisang dan kompleks perumahan di sebelahnya. Jaraknya hanya beberapa meter dari garis polisi tempatnya berdiri tadi. Di situ tidak ada orang berkerumun. Dion mengintruksikan beberapa polisi untuk menyingkir sementara. Entah apa yang dia bisikkan pada rekan-rekannya itu. Nay menempelkan tubuh laki-laki itu pada dinding. Dia mengunci tubuhnya. Kunci di mulutnya Nay buka. Napasnya terengah-engah. Kuncian energi Nay membuatnya hanya mampu bernapas sedikit dari hidung. "Bagaimana rasanya tidak bisa bicara? Enak?" "Kenapa Neng perlakukan saya seperti ini?" "Masi
"Katanya jam tujuh, sekarang sudah hampir jam setengah delapan," ucap Rey ketika Nay membukakan pintu. "Gak sabar amat." Nay mencebik. "Ya, iyalah, lapar tau," sahut Rey mencubit pipi Nay. "Itu sudah siap semua. Kau bawa saja, Rey. Nanti aku menyusul." Nay memberikan box yang sudah disiapkannya pada Rey. Kemudian masuk lagi ke apartemennya. Ia hendak berganti baju.Nay menata makanan di meja makan yang tidak seberapa besar dengan empat kursi mengelilinginya. Rey duduk di kursi paling ujung di sisi kiri. Memandangi Nay sambil sesekali menggodanya."Sudah cocok jadi istri Pak Polisi ya, Bu," kata Rey menopang dagunya memandangi Nay."Tapi Pak Polisi belum bilang apa-apa. Entah kapan dia mau melamar saya." Nay menjawab dengan mimik muka serius. "Ibu mau kalau Pak Polisi lamar sekarang juga?""Tergantung, Pak Polisi yang mana? Yang ini atau yang itu.""Kalau Pak Polisi yang ini, diterima gak, Bu lamarannya?" "Enggak!" Nay terkekeh. "Udahan bercandanya. Katanya lapar. Makan dulu kita.
"Memanggilmu dalam keadaan seperti tadi? Aku tidak bisa, Nay." Wira menatap Nay tajam. "Please, jangan menatapku dengan pandangan menghakimi seperti itu. Seolah-oleh aku telah melakukan kesalahan besar pada kalian." Nay menghempaskan tubuhnya ke sofa dekat jendela. "Dunia bawah sedang membutuhkanmu dan kau malah berdua-duaan dengan laki-laki itu!" Gantari terlihat emosi. Nay beranjak kesal. Dia masuk ke kamarnya dan membanting pintu dengan keras. "Arghhh!" Nay berteriak. "Kalian tidak punya hak mengatur hidupku! Tidak punya hak melarangku jatuh cinta! Apalagi melarangku bahagia!"Nay duduk menyandarkan tubuhnya di samping tempat tidur. Menarik satu bantal dan memeluknya. Dia tidak ingin menangis, tapi air mata tidak bisa ditahannya. Wira dan Gantari masuk ke kamar Nay. Mereka belum mengatakan maksud mereka menungunya tadi. Rasa cemburu membuat suasana jadi tidak enak seperti ini. "Maafkan kami, Nay. Tolong jangan salah mengerti." Gantari duduk di sebelah Nay. "Aku hanya tidak su
"Mereka tidak main-main, Nay.""Iya, Wira. Energi yang bermunculan semakin banyak. Mereka datang dari segala penjuru hutan ini." Nay masih menempelkan tangannya di tanah. "Mereka semakin dekat. Bersiaplah, Nay.""Kau, juga, Wira. Kita harus bergerak cepat. Jangan sampai mereka terlalu banyak mendekat. Aku bisa melakukan serangan langsung dari sini. Menyerang mereka yang berenergi besar terlebih dulu," kata Nay "Lakukan dengan satu serangan mematikan, Nay.""Pasti!" Nay menjawab tegas. " Kau, Wira, bisa melihat rambatan energiku bukan? Kau arahkan langsung anak panahmu mengikuti rambatannya. Aku akan menaikkan ke permukaan supaya kau masih tetap bisa mengikutinya walau dengan sedikit cahaya."Wira mendorong tubuhnya ke udara. Dari atas dapat terlihat jelas aliran energi Nay yang serupa akar menyerabut hampir ke semua penjuru. Semakin tipis rambatannya semakin mudah mengalahkannya. Wira hanya perlu berkonsentrasi dengan itu. Rambatan energi besar adalah bagian Nay. Busur energi telah
Tiga makhluk di belakang Palaka semua memakai jubah dengan penutup kepala. Sama dengan jubah yang dipakai para tetua dunia bawah. Berwarna coklat tua dengan tali ulir yang melilit di pinggang. "Nayara, putri Manendra. Akhirnya kau datang lagi ke rimba ini. Nyalimu besar juga. Apalagi untuk ukuran manusia dari atas. Tapi aku tidak mau mengotori tanganku dengan membunuhmu. Mereka bertiga saja aku rasa cukup untuk menjadi lawan tanding kalian." Palaka membalikkan badannya. Memberikan instruksi kepada ketiga prajuritnya. Tidak terdengar apa yang mereka bicarakan. Ketiga makhluk itu menarik tali di pinggang mereka. Melepaskan jubah dan melemparkannya ke tanah. Wajah-wajah itu tidak lagi bersembunyi di balik penutup kepala. Tubuh mereka dipenuhi sisik. Tersusun rapi seperti lapisan luar tubuh pangolin. Masing-masing berwarna kehijauan, keemasan dan kemerahan. Nay yakin tubuh mereka tidak mudah ditembus. Sisik di tubuh mereka terlihat keras dan kokoh. Rambut panjang mereka diikat ke bela
"Kau ambil alih selubung ini Wira. Gabungkan energimu dengan Agnimaya. Pertahankan selubung ini sampai aku selesai.""Apa yang akan kau lakukan, Nay?" tanya Agni. "Lihat saja nanti." Nay menyentuhkan telapak tangannya pada punggung Wira. Meneruskan selubung energi padanya. Sejurus kemudian telapak tangan Wira dan Agnimaya telah bersatu. Nay bersimpuh. Tangannya meraba tanah. Dia sedang membaca banyak energi pohon-pohon di Rimba Arana. Dia ingin mengunci mereka ke dasar bumi agar Palaka tidak bisa membuat mereka tercerabut dari tanah. Tangan kiri Nay mengirimkan energi ke dalam tanah. Menyebarkannya ke seluruh rimba. Saling bertalian mengikat akar-akar pohon di sana. Dengan satu mantra pengunci mereka akan tetap tertancap di tanah. Palaka yang sedang sibuk melakukan serangan tidak lagi sempat memperhatikan gerak-gerik Nay. "Kalian berdua bersiaplah melepaskan selubung ini. Aku akan melepaskan energi penuh untuk menghancurkan batang-batang pohon ini. Melesatlah ke udara secepat yang
Nay mengangguk. "Aku yakin orang-orang seperti kita sudah merasakan energi gelap yang semakin menyebar. Kalau dibiarkan dunia kita akan dikuasai kegelapan.""Kita tidak bisa hanya diam saja. Jujur, aku sangat kecewa dengan pilihan kakakku. Memalukan dan pasti merugikan dunia bawah.""Mungkin dengan bekerja sama dengan mereka, kakakmu bisa mewujudkan mimpinya menjadi satu-satunya penguasa dunia bawah.""Aku sekarang mengerti kenapa bejana itu diberikan padaku. Ayah dan ibu sepertinya sudah tahu tabiat anak laki-lakinya." Wajah Suri berubah muram. "Aku berharap kakakku bisa kembali pada tanggung jawabnya pada Banyuputih sebelum terlambat."Perlahan Nay menepuk pundak Suri. "Aku lapar. Kau mau mi instan?"Suri tersenyum kecil. "Seandainya makanan yang kau sebut mi instan itu bisa kumakan pasti tidak kutolak. Boleh aku di sini saja?""Mau menginap di sini pun boleh, Suri."Nay berjalan ke dapur mengambil mi instan cup yang cukup diseduh dengan air panas dari dispenser. Sambil menunggu mi
"Ada apa Nona ingin bicara dengan saya?" tanya istri Tuan Hansen. "Sebelumnya terima kasih Nyonya sudah bersedia menemui saya. Benar saya bicara dengan Nyonya Adhisti?""Iya, betul. Saya Adhisti.""Ini soal Bastian, Nyonya.""Bastian malang. Dia masih menunggu di rumah itu, bukan?"Kening Nay sedikit berkerut. Ia tidak menduga Nyonya Adhisti tahu tentang keberadaan putranya. "Iya, Nyonya. Saya bertemu dengan Bastian dan saya berjanji untuk mempertemukan Nyonya dengan dia.""Hansen membawa saya ke sini karena menganggap jiwa saya terganggu. Berhalusinasi tentang Bastian secara berlebihan. Hansen mengira saya gila. Dia sama sekali tidak percaya. Tapi saya punya cara lain. Memintanya merenovasi rumah itu.""Semesta merangkum doa. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya Bastian akan bertemu Nyonya. Selama ini dia mengira, Nyonya marah dan membencinya. "Saya tahu Bastian masih ada di rumah itu. Saya ingin dia pergi dengan tenang. Saya juga sudah belajar ikhlas melepasnya." Manik mata Nyo
Nay tidak tahu mengapa pikiran tentang dark force membuatnya merasa panas dan tidak nyaman. Cukup lama ia berdiri di depan jendela apartemennya dengan mata memperhatikan langit yang terlihat suram. Seharusnya ia lebih peka bukan malah abai seperti yang dilakukannya belakangan ini. Berhenti menjadi seorang Nayara rasanya memang tidak mungkin. Ia dibutuhkan untuk berkontribusi pada bumi tempatnya berdiri. Dark force tidak main-main. Sebarannya cepat tetapi tidak terlihat. Mempengaruhi atmosfer kehidupan manusia sampai ke hal-hal yang paling kecil. Semakin banyak di media sosial jari-jari manusia menuliskan kata-kata kasar, makian dan hinaan yang ditujukan kepada manusia lain hanya karena ketidaksukaan. Kasus perundungan yang berujung kematian pun semakin banyak terjadi. Korupsi, perampasan hak, intoleransi dan masih seabrek persoalan lain yang semakin memprihatinkan. Disadari atau tidak semua itu bisa mengakibatkan ketidakseimbangan berskala besar. "Selama masih ada doa manusia yang
Setelah menyelesaikan tugasnya, Nay berpamitan pulang. Ekspresi wajah Tuan Hansen berubah muram. Sangat berbeda dengan raut wajahnya saat Nay datang. Hampir bisa dipastikan penyebabnya adalah pertanyaan Nay tentang anak lelakinya. "Pak Bos sudah kenal lama dengan Tuan Hansen?" tanya Nay begitu ia sampai di ruangan Pak Oey. "Lumayan lama. Kenapa, Nay?""Istrinya apa masih ada, Pak?""Setahu saya masih. Sejak kematian anak laki-lakinya, dia mengalami guncangan mental. Menurut desas-desus sampai sekarang masih seperti itu.""Jiwa anak lelaki Tuan Hansen masih menunggu mamanya di rumah itu. Saya tidak mungkin mengabaikannya, Pak.""Mungkin beberapa kenalan bisa membantu memberikan informasi. Nanti saya infokan ke kamu, Nay. Saya ada urusan di luar. Kau periksa berkas ini, kalau sudah selesai kau bebas." Pak Oey mengambil tumpukan berkas dari atas meja kemudian memberikannya pada Nay. "Baik, Bos." Nay menerima berkas tersebut lalu masuk ke ruangannya. Nay memeriksa berkas yang diberika
"Maaf kalau pertanyaan saya membuat Tuan Hansen teringat tentang masa lalu," ujar Nay. Matanya bergerak ke arah jendela. Ia melihat bocah lelaki yang belum ia ketahui namanya itu sedang berdiri memandangi papanya dari balik kaca jendela. "Silakan Nona mengecek area ini. Saya kedalam dulu." Tuan Hansen berbicara tanpa menoleh ke arah Nay. Ia kemudian melangkah masuk dari pintu yang sama. Nay melambaikan tangan dan membuka komunikasi dengan putra Tuan Hansen. Ia meminta bocah itu keluar. Ia ingin mendengar langsung apa yang sebenarnya terjadi sebelum mencari tahu sendiri. "Kita belum kenalan. Siapa namamu?" tanya Nay mengusap bangku besi yang menempel di dinding pagar beton sekadar untuk menyingkirkan debu dan kotoran. "Bastian. Mama biasa memanggilku Tian," jawab bocah itu sambil melongok ke dalam kolam renang. Ia berhenti beberapa saat lalu berjalan menghampiri Nay yang sudah duduk di bangku sambil memeriksa ponselnya. "Duduklah di samping Kakak. Kita ngobrol-ngobrol sebentar." N
Nay dan Rey memutuskan untuk menunda pernikahan sampai hati satu sama lain sudah merasa benar-benar yakin. Setidaknya dibutuhkan waktu beberapa bulan untuk saling melihat ke diri masing-masing. Mereka menyibukkan diri dengan aktivitas keseharian seperti biasa. Nay tetap dengan profesinya begitu pula Rey. Mereka sengaja membuat intensitas pertemuan menjadi sedikit. Cukup satu minggu sekali. "Apa kau yakin cara ini ampuh, Nay? Bukankah semakin jarang bertemu akan semakin jauh," tanya Sri yang sedang bersandar di lemari memperhatikan Nay. "Antara yakin dan tidak," jawab Nay sambil mengundurkan rambutnya di depan kaca wastafel. "Menurutku terlalu beresiko kalau kalian saling menjauh seperti sekarang. Yang ada ikatan batin kalian jadi longgar.""Kalau akhirnya semakin longgar artinya kami tidak berjodoh.""Enteng bener ngomong begitu. Kau harus ingat Nay, perjuangan kalian itu berat. Sudah sampai sejauh ini malah pisah.""Kalau memang itu takdirnya, kami bisa apa, Sri."Sri mendesah pe
"Sekarang kau sudah tahu, Nay. Jadi, bagaimana selanjutnya?" Akhirnya Rey membuka pembicaraan setelah beberapa menit mereka tidak mengatakan apa-apa. Nay mendesah pelan lalu meletakkan cangkirnya di atas nakas. "Aku tidak bisa menjawabnya sekarang. Aku perlu berpikir dengan tenang agar keputusan yang kuambil tidak kusesali nantinya.""Aku tidak akan memaksamu menjawabnya sekarang. Yang kau butuhkan saat ini adalah Istirahat. Kalau perlu apa-apa, telepon saja," kata Rey. Ia lalu berdiri tetapi ketika hendak melangkah, Nay memegang pergelangan tangannya. Pria itu menoleh. "Di sini saja. Banyak hal yang ingin aku tanyakan." Nay mendongak, melihat ke arah mata Rey. Tanpa berkata apa pun, Rey kembali duduk. Ia sejujurnya senang Nay menahannya. "Bertanyalah, aku akan menjawabnya dengan jujur." Suara Rey datar dan tenang. "Kenapa kau melakukan ini?" tanya Nay dengan intonasi suara yang sama dengan Rey. "Mungkin bagimu terdengar klise, tapi aku melakukan ini semua karena cinta. Walaupun
Sudwika tidak mengelak untuk tidak mengiakan pertanyaan Nay. Karena memang kenyataannya seperti itu. "Begitu pentingkah kekuasaan bagi kalian para penguasa dunia bawah? Apa kalian terbiasa memanfaatkan orang lain untuk mencapai tujuan?" tanya Nay tidak suka. "Ini bukan tentang kekuasaan tapi keseimbangan dunia bawah, Nay.""Keseimbangan seperti apa lagi? Alasan yang sudah pernah kudengar dan terkesan kalian buat-buat saja." Nay mendesah kasar. "Kembalikan aku ke duniaku. Masih ada urusanku dengan Rasendriya yang tidak perlu orang lain ikut campur.""Aku mengatakan yang sebenarnya, Nay. Naga sasra harusnya dibenamkan di dalam bejana emas milik ayahku agar energinya tetap. Tidak besar juga tidak kecil. Seimbang." Sudwika berusaha meyakinkan Nay. "Entahlah, aku sudah sulit mempercayai para penguasa. Di mulut berucap manis, tapi kenyataan terkecap pahit.""Sekarang kita pergi ke tempat di mana kau menancapkan naga sasra. Kau lihat dan rasakan apakah energi kerusi itu masih ada atau sud
Sebuah anak panah terlihat melesat dan tepat mendarat di samping Nay. Berpendar membawa untaian cahaya yang seketika berpendar menerangi sekitar. Ujung runcingnya menyentuh lapisan air yang membeku hingga menimbulkan suara retakan yang merambat cepat. Dari bentuk dan energinya, anak panah itu bulan milik Wirabadra. Bersamaan dengan retaknya lapisan es, jiwa Nay mulai bisa bergerak. Walaupun belum leluasa ia sudah bisa menggunakan jemarinya untuk mengumpulkan energi. Ia tetap harus waspada. Terlebih berada di tempat yang asing dengan sedikit cahaya yang membuat jarak pandangnya terbatas. "Akhirnya kau berada di Banyuputih, Nayara." Suara seorang laki-laki terdengar begitu dekat. Nay, berusaha bangkit dengan susah payah. Energinya belum cukup untuk melenturkan tubuhnya. Ya, pada dimensi lain jiwa terlihat tak ubahnya seperti tubuh kasar yang sebenarnya. "Apakah Anda raja Sudwika?" tanya Nayara setelah melihat dengan jelas sosok yang berdiri hanya beberapa jengkal darinya. "Kau menge