Rey berjanji menjemput Nay sore ini. Namun, setelah satu jam menunggu. Rey belum juga muncul. Selalu tidak tepat waktu. Menelepon pun tidak. "Mbak, melihat kakak saya gak, ya?" Seorang anak kecil sekitar delapan tahun bertanya pada Nay yang sedang berjalan menuju halte. "Seperti apa kakakmu?""Dia setinggi, Mbak. Rambutnya keriting pakai baju biru.""Mbak baru lewat sini. Tidak bertemu dengan orang dengan ciri-ciri yang Adik sebutkan. Coba tanya dengan yang lain.""Sudah saya tanya, Mbak, tapi mereka tidak peduli. Ayolah, Mbak! Tolong saya cari Kakak." Anak itu mulai menangis. "Kamu tenang, ya. Mbak akan bantu. Ayo kita cari, kakakmu," ajak Nay seraya mengulurkan tangannya pada gadis kecil tersebut. "Ibu bilang tidak boleh bersentuhan dengan orang asing," tolaknya. "Baiklah, berjalan di samping Mbak, ya," pinta Nay. Gadis kecil itu mengangguk. Sepanjang jalan Nay bertanya pada orang-orang yang mereka temui. Tidak satu orang pun mengenali atau pernah bertemu dengan kakak gadis ke
"Persekutuan seperti apa? Lalu kenapa Nyi tidak ikut menemani ibu sampai ke Sendang Awu?""Aku tidak tahu persis persekutuan seperti apa. Yang kudengar itu sebuah perkumpulan tetua dunia bawah penjaga keseimbangan antara alam bawah dan atas. Aku sendiri tidak bisa mengikuti ibumu sampai ke Sendang Awu. Di sana dia sedang digembleng. Aku kembali ke Alas Wagra dan ibumu ke Sendang Awu. Ratri datang ke Alas Wagra menemuiku setelah dia melahirkanmu. Memintaku untuk mengajarimu, Nay.""Seandainya aku tidak terlahir sebagai Nayara, Nyi," ucap Nay lirih. Membuang pandang ke arah jendela. "Inilah takdir yang harus kau jalani, Nay. Kuatkan hatimu. Kau tidak akan sendiri menghadapi semua ini. Sekarang, duduklah dalam posisi teratai penuh. Lepaskan semua beban. Rasakan bahwa hanya ada dirimu di ruangan ini. Aku akan mengajarkan sesuatu yang besar padamu. Aku pikir inilah saat yang tepat. Bersiap-siaplah, Nay."Nay duduk bersila dengan kedua telapak kaki menghadap ke atas. Kedua tangannya disatu
Tubuh Nay perlahan terangkat. Wirabadra kembali ke dalam tangan Nay. Dia tahu bila energi itu dilontarkan dia pun akan terluka. Sinar dari tubuh Nay menghentikan serangan ketiganya. Sinar tersebut sangat mengganggu dan menyilaukan.Nay mengentak tangannya. Dorongan energi merambat cepat ke segala penjuru. Ketiga orang tersebut tidak punya kesempatan untuk menghindar. Tubuh mereka tercerai berai. Terbakar dalam sekedipan mata. Beberapa pohon di sekitar jalan pun nyaris tumbang karenanya. Nay mengatupkan tangan. Menyeimbangkan lagi energinya. Perlahan cahaya di tubuh Nay menghilang. Nay terduduk di tanah. Tubuhnya sangat kelelahan. Napasnya pun tersengal-sengal. Dengan sigap Gantari memberikan energi tambahan ke tubuh Nay. Kalau tidak, bisa dipastikan berdiri pun Nay akan sulit. "Kau terlalu memaksakan diri, Nay," kata Gantari keluar dari tangan Nay. "Kau belum bisa menggunakannya dengan baik. Energi yang masuk ke tubuhmu terlalu besar. Salah-salah tubuhmu yang hancur tadi, Nay. Kau
"Kami perpaduan dari semuanya. Rumit menjelaskannya. Kami hidup abadi sampai dunia ini berakhir. Di dunia bawah kami hidup berdampingan dengan makhluk-makhluk astral. Banyak dari mereka dipaksa untuk menjadi budak Anggaraksa yang pemimpinnya telah dibunuh Manendra. Kini dialah yang memimpin. Dari kabar yang beredar ayahmu sedang berada di dunia atas mencarimu." Giliran Mahesa memberikan keterangan. "Ya, aku sudah tahu. Biarkan saja dia mencariku. Aku tidak ke mana-mana. Pekerjaan dan keluargaku semua di kota ini," kata Nayara tenang. "Satu hal yang tidak bisa Manendra lakukan. Mengubah diri seperti kami. Dia bukan keturunan dari dunia bawah. Ajian kawastrawam hanya bisa dikuasi oleh keturunan langsung. Seperti kami ini," kata Mahesa lalu berdiri. Ia meletakkan sebuah belati di atas meja. Nay merasakan ada energi yang tak biasa. Satu persatu wajah para tetua dunia bawah berubah. Wajah-wajah itu tidak asing bagi Nay. Pimpinan perusahaan, pemilik usaha kuliner, pengusaha biro perjalan
Dengan percaya diri Rey menggandeng tangan Nay. Sebuah hall di hotel mewah dengan nuansa putih dipilih pasangan pengantin sebagai tempat resepsi pernikahan mereka. Bunga mawar putih segar menghiasi hampir setiap sudut ruangan. What a beautiful wedding. Rey mengenalkan Nay kepada beberapa kolega yang ditemuinya. Nay tampak sedikit canggung. Lebih banyak tetsenyum tipis atau sekadar bersalaman dan bicara seperlunya. Tentu topik pembicaraan mereka berbeda dengan keseharian Nay. Untunglah Rey cukup mengerti. Bukan hanya teman-teman Rey saja yang datang. Banyak wajah-wajah yang Nay kenal berada di sana. Termasuk Pak Bram. Mereka saling menyapa sebentar, bertanya kabar. Beberapa klien dari tempatnya bekerja juga ada. Dengan ramah Nay tersenyum dan menyapa mereka. "Kau kenal mereka, Nay?" selidik Rey melihat Nay tersenyum pada beberapa orang."Mereka klien, Rey. Nayara ini juga tidak kalah terkenal dengan pak polisi," ledek Nay."Awas jangan banyak-banyak senyumnya. Pak polisi tidak suka.
Tubuh Nay terasa lebih segar setelah mandi dan menghabiskan satu cangkir teh jahe hangat. Dia menggeser gorden jendela, membiarkan sinar matahari mengenai wajahnya. Menghirup aroma pagi yang masih segar. Samar terdengar suara Ki Brojo memanggil namanya. Nay menutup kembali gorden jendela. Ia tahu Ki Brojo tidak nyaman dengan sinar matahari. "Salam, Ki." Nay menundukkan kepalanya. "Pasti Ki Brojo sudah tahu kejadian semalam bukan? Alasan itulah Anda datang bahkan sebelum aku memberi tahu.""Ya, ini soal kekasihmu itu. Jiwanya berada di kawah dasar dunia bawah. Kami menyebutnya Astramaya. Api di kawah itu bernyawa. Tidak sembarang orang dunia bawah bisa ke sana.""Kakek buyutku anggota persekutuan. Beliau berasal dari dunia bawah. Itu artinya ada darah kakek mengalir di tubuhku ini, walaupun aku tidak tinggal di sana.""Kau betul Nay, kakek buyutmu salah satu dari kami. Namun, tetap kau memerlukan seseorang berunsur api untuk mengantarmu.""Agnimaya mungkin bisa," sahut Nay cepat. "Ka
Hamparan tanah tandus berpasir yang panas terlihat sepi seperti tak berpenghuni. Batu-batu besar berserak di antara ceruk yang sesekali menyemburkan api. Hewan-hewan berbentuk aneh muncul dari bawah bebatuan. Mereka seperti menyambut kedatangan Nay. Agnimaya terus bergerak maju. Hawa semakin panas. Jauh lebih panas dari tempat yang mereka lewati sebelumnya. Di tempat itu tidak terlihat dataran. Sejauh mata memandang hanya api terbentang. Agnimaya menghentikan laju tubuhnya. "Kita sudah sampai Nay. Lihat di depan sana, empat poros api yang menjulang. Mereka penjaga kawah Astramaya. Manendra pernah mengalahkan mereka. Itulah kenapa mereka mematuhi ayahmu. Kalau kau tidak bisa mengalahkan mereka, selamanya kau akan terkurung di sini. Aku tidak bisa membawamu kembali."Ada keraguan di hati Nay. Ternyata kawah Astramaya lebih seram dari bayangannya. Dia tidak pernah menghadapi makhluk murni berunsur api. Yang dihadapinya sekarang bukan satu tapi empat sekaligus. "Bagaimana, Nayara? Masi
Sebuah tendangan lurus Nay mengenai tepat di dada makhluk itu. Dia terjengkang. Pedang di tangannya terlontar ke udara. Dengan sigap Nay menangkapnya. Tidak menyiakan kesempatan Nay mengayunkan pedang itu ke arah kepala penjaga Astramaya. Sekali tebas makhluk itu tewas. Bahkan erangan pun tak sempat terdengar. Gemuruh angin seketika berputar di sekeliling mereka. Sebuah pusaran udara menarik tubuh dan kepala makhluk itu. Kobaran api semakin menyala besar. Nay tidak gentar. Tidak ada ketakutan sedikitpun di hatinya. Masih dengan api yang menyala-nyala di tubuh, Nay mengangkat dirinya yang sudah kembali ke ukuran semula ke udara. Jiwa Rey diletakkan mengambang dengan bantalan api di bawahnya. Dia harus cepat membawa jiwa tersebut. Pusaran angin di Astramaya semakin menjadi-jadi. "Bagaimana aku membawa jiwa ini?" Nay bertanya pada Gantari. "Tarik jiwanya ke dalam tanganmu. Cepat!" Nay menarik jiwa Rey dengan cepat. Dia harus membawa Wira bersamanya juga. Tubuhnya belum terlihat. Pus
Nay mengangguk. "Aku yakin orang-orang seperti kita sudah merasakan energi gelap yang semakin menyebar. Kalau dibiarkan dunia kita akan dikuasai kegelapan.""Kita tidak bisa hanya diam saja. Jujur, aku sangat kecewa dengan pilihan kakakku. Memalukan dan pasti merugikan dunia bawah.""Mungkin dengan bekerja sama dengan mereka, kakakmu bisa mewujudkan mimpinya menjadi satu-satunya penguasa dunia bawah.""Aku sekarang mengerti kenapa bejana itu diberikan padaku. Ayah dan ibu sepertinya sudah tahu tabiat anak laki-lakinya." Wajah Suri berubah muram. "Aku berharap kakakku bisa kembali pada tanggung jawabnya pada Banyuputih sebelum terlambat."Perlahan Nay menepuk pundak Suri. "Aku lapar. Kau mau mi instan?"Suri tersenyum kecil. "Seandainya makanan yang kau sebut mi instan itu bisa kumakan pasti tidak kutolak. Boleh aku di sini saja?""Mau menginap di sini pun boleh, Suri."Nay berjalan ke dapur mengambil mi instan cup yang cukup diseduh dengan air panas dari dispenser. Sambil menunggu mi
"Ada apa Nona ingin bicara dengan saya?" tanya istri Tuan Hansen. "Sebelumnya terima kasih Nyonya sudah bersedia menemui saya. Benar saya bicara dengan Nyonya Adhisti?""Iya, betul. Saya Adhisti.""Ini soal Bastian, Nyonya.""Bastian malang. Dia masih menunggu di rumah itu, bukan?"Kening Nay sedikit berkerut. Ia tidak menduga Nyonya Adhisti tahu tentang keberadaan putranya. "Iya, Nyonya. Saya bertemu dengan Bastian dan saya berjanji untuk mempertemukan Nyonya dengan dia.""Hansen membawa saya ke sini karena menganggap jiwa saya terganggu. Berhalusinasi tentang Bastian secara berlebihan. Hansen mengira saya gila. Dia sama sekali tidak percaya. Tapi saya punya cara lain. Memintanya merenovasi rumah itu.""Semesta merangkum doa. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya Bastian akan bertemu Nyonya. Selama ini dia mengira, Nyonya marah dan membencinya. "Saya tahu Bastian masih ada di rumah itu. Saya ingin dia pergi dengan tenang. Saya juga sudah belajar ikhlas melepasnya." Manik mata Nyo
Nay tidak tahu mengapa pikiran tentang dark force membuatnya merasa panas dan tidak nyaman. Cukup lama ia berdiri di depan jendela apartemennya dengan mata memperhatikan langit yang terlihat suram. Seharusnya ia lebih peka bukan malah abai seperti yang dilakukannya belakangan ini. Berhenti menjadi seorang Nayara rasanya memang tidak mungkin. Ia dibutuhkan untuk berkontribusi pada bumi tempatnya berdiri. Dark force tidak main-main. Sebarannya cepat tetapi tidak terlihat. Mempengaruhi atmosfer kehidupan manusia sampai ke hal-hal yang paling kecil. Semakin banyak di media sosial jari-jari manusia menuliskan kata-kata kasar, makian dan hinaan yang ditujukan kepada manusia lain hanya karena ketidaksukaan. Kasus perundungan yang berujung kematian pun semakin banyak terjadi. Korupsi, perampasan hak, intoleransi dan masih seabrek persoalan lain yang semakin memprihatinkan. Disadari atau tidak semua itu bisa mengakibatkan ketidakseimbangan berskala besar. "Selama masih ada doa manusia yang
Setelah menyelesaikan tugasnya, Nay berpamitan pulang. Ekspresi wajah Tuan Hansen berubah muram. Sangat berbeda dengan raut wajahnya saat Nay datang. Hampir bisa dipastikan penyebabnya adalah pertanyaan Nay tentang anak lelakinya. "Pak Bos sudah kenal lama dengan Tuan Hansen?" tanya Nay begitu ia sampai di ruangan Pak Oey. "Lumayan lama. Kenapa, Nay?""Istrinya apa masih ada, Pak?""Setahu saya masih. Sejak kematian anak laki-lakinya, dia mengalami guncangan mental. Menurut desas-desus sampai sekarang masih seperti itu.""Jiwa anak lelaki Tuan Hansen masih menunggu mamanya di rumah itu. Saya tidak mungkin mengabaikannya, Pak.""Mungkin beberapa kenalan bisa membantu memberikan informasi. Nanti saya infokan ke kamu, Nay. Saya ada urusan di luar. Kau periksa berkas ini, kalau sudah selesai kau bebas." Pak Oey mengambil tumpukan berkas dari atas meja kemudian memberikannya pada Nay. "Baik, Bos." Nay menerima berkas tersebut lalu masuk ke ruangannya. Nay memeriksa berkas yang diberika
"Maaf kalau pertanyaan saya membuat Tuan Hansen teringat tentang masa lalu," ujar Nay. Matanya bergerak ke arah jendela. Ia melihat bocah lelaki yang belum ia ketahui namanya itu sedang berdiri memandangi papanya dari balik kaca jendela. "Silakan Nona mengecek area ini. Saya kedalam dulu." Tuan Hansen berbicara tanpa menoleh ke arah Nay. Ia kemudian melangkah masuk dari pintu yang sama. Nay melambaikan tangan dan membuka komunikasi dengan putra Tuan Hansen. Ia meminta bocah itu keluar. Ia ingin mendengar langsung apa yang sebenarnya terjadi sebelum mencari tahu sendiri. "Kita belum kenalan. Siapa namamu?" tanya Nay mengusap bangku besi yang menempel di dinding pagar beton sekadar untuk menyingkirkan debu dan kotoran. "Bastian. Mama biasa memanggilku Tian," jawab bocah itu sambil melongok ke dalam kolam renang. Ia berhenti beberapa saat lalu berjalan menghampiri Nay yang sudah duduk di bangku sambil memeriksa ponselnya. "Duduklah di samping Kakak. Kita ngobrol-ngobrol sebentar." N
Nay dan Rey memutuskan untuk menunda pernikahan sampai hati satu sama lain sudah merasa benar-benar yakin. Setidaknya dibutuhkan waktu beberapa bulan untuk saling melihat ke diri masing-masing. Mereka menyibukkan diri dengan aktivitas keseharian seperti biasa. Nay tetap dengan profesinya begitu pula Rey. Mereka sengaja membuat intensitas pertemuan menjadi sedikit. Cukup satu minggu sekali. "Apa kau yakin cara ini ampuh, Nay? Bukankah semakin jarang bertemu akan semakin jauh," tanya Sri yang sedang bersandar di lemari memperhatikan Nay. "Antara yakin dan tidak," jawab Nay sambil mengundurkan rambutnya di depan kaca wastafel. "Menurutku terlalu beresiko kalau kalian saling menjauh seperti sekarang. Yang ada ikatan batin kalian jadi longgar.""Kalau akhirnya semakin longgar artinya kami tidak berjodoh.""Enteng bener ngomong begitu. Kau harus ingat Nay, perjuangan kalian itu berat. Sudah sampai sejauh ini malah pisah.""Kalau memang itu takdirnya, kami bisa apa, Sri."Sri mendesah pe
"Sekarang kau sudah tahu, Nay. Jadi, bagaimana selanjutnya?" Akhirnya Rey membuka pembicaraan setelah beberapa menit mereka tidak mengatakan apa-apa. Nay mendesah pelan lalu meletakkan cangkirnya di atas nakas. "Aku tidak bisa menjawabnya sekarang. Aku perlu berpikir dengan tenang agar keputusan yang kuambil tidak kusesali nantinya.""Aku tidak akan memaksamu menjawabnya sekarang. Yang kau butuhkan saat ini adalah Istirahat. Kalau perlu apa-apa, telepon saja," kata Rey. Ia lalu berdiri tetapi ketika hendak melangkah, Nay memegang pergelangan tangannya. Pria itu menoleh. "Di sini saja. Banyak hal yang ingin aku tanyakan." Nay mendongak, melihat ke arah mata Rey. Tanpa berkata apa pun, Rey kembali duduk. Ia sejujurnya senang Nay menahannya. "Bertanyalah, aku akan menjawabnya dengan jujur." Suara Rey datar dan tenang. "Kenapa kau melakukan ini?" tanya Nay dengan intonasi suara yang sama dengan Rey. "Mungkin bagimu terdengar klise, tapi aku melakukan ini semua karena cinta. Walaupun
Sudwika tidak mengelak untuk tidak mengiakan pertanyaan Nay. Karena memang kenyataannya seperti itu. "Begitu pentingkah kekuasaan bagi kalian para penguasa dunia bawah? Apa kalian terbiasa memanfaatkan orang lain untuk mencapai tujuan?" tanya Nay tidak suka. "Ini bukan tentang kekuasaan tapi keseimbangan dunia bawah, Nay.""Keseimbangan seperti apa lagi? Alasan yang sudah pernah kudengar dan terkesan kalian buat-buat saja." Nay mendesah kasar. "Kembalikan aku ke duniaku. Masih ada urusanku dengan Rasendriya yang tidak perlu orang lain ikut campur.""Aku mengatakan yang sebenarnya, Nay. Naga sasra harusnya dibenamkan di dalam bejana emas milik ayahku agar energinya tetap. Tidak besar juga tidak kecil. Seimbang." Sudwika berusaha meyakinkan Nay. "Entahlah, aku sudah sulit mempercayai para penguasa. Di mulut berucap manis, tapi kenyataan terkecap pahit.""Sekarang kita pergi ke tempat di mana kau menancapkan naga sasra. Kau lihat dan rasakan apakah energi kerusi itu masih ada atau sud
Sebuah anak panah terlihat melesat dan tepat mendarat di samping Nay. Berpendar membawa untaian cahaya yang seketika berpendar menerangi sekitar. Ujung runcingnya menyentuh lapisan air yang membeku hingga menimbulkan suara retakan yang merambat cepat. Dari bentuk dan energinya, anak panah itu bulan milik Wirabadra. Bersamaan dengan retaknya lapisan es, jiwa Nay mulai bisa bergerak. Walaupun belum leluasa ia sudah bisa menggunakan jemarinya untuk mengumpulkan energi. Ia tetap harus waspada. Terlebih berada di tempat yang asing dengan sedikit cahaya yang membuat jarak pandangnya terbatas. "Akhirnya kau berada di Banyuputih, Nayara." Suara seorang laki-laki terdengar begitu dekat. Nay, berusaha bangkit dengan susah payah. Energinya belum cukup untuk melenturkan tubuhnya. Ya, pada dimensi lain jiwa terlihat tak ubahnya seperti tubuh kasar yang sebenarnya. "Apakah Anda raja Sudwika?" tanya Nayara setelah melihat dengan jelas sosok yang berdiri hanya beberapa jengkal darinya. "Kau menge