Sebuah tendangan lurus Nay mengenai tepat di dada makhluk itu. Dia terjengkang. Pedang di tangannya terlontar ke udara. Dengan sigap Nay menangkapnya. Tidak menyiakan kesempatan Nay mengayunkan pedang itu ke arah kepala penjaga Astramaya. Sekali tebas makhluk itu tewas. Bahkan erangan pun tak sempat terdengar. Gemuruh angin seketika berputar di sekeliling mereka. Sebuah pusaran udara menarik tubuh dan kepala makhluk itu. Kobaran api semakin menyala besar. Nay tidak gentar. Tidak ada ketakutan sedikitpun di hatinya. Masih dengan api yang menyala-nyala di tubuh, Nay mengangkat dirinya yang sudah kembali ke ukuran semula ke udara. Jiwa Rey diletakkan mengambang dengan bantalan api di bawahnya. Dia harus cepat membawa jiwa tersebut. Pusaran angin di Astramaya semakin menjadi-jadi. "Bagaimana aku membawa jiwa ini?" Nay bertanya pada Gantari. "Tarik jiwanya ke dalam tanganmu. Cepat!" Nay menarik jiwa Rey dengan cepat. Dia harus membawa Wira bersamanya juga. Tubuhnya belum terlihat. Pus
“Lupa?” tanyanya melihat Nay seperti bingung. “Aku teman, Rey. Kita pernah bertemu dua kali. Di apartemen Rey dan di pesta dua malam lalu. Memang kita tidak berkenalan secara langsung. Tetapi Rey pernah beberapa kali menceritakan dirimu."“Oh, pantas aku tidak mengenali.” Nay menjawab tak acuh. Dia tidak suka laki-laki yang sok akrab seperti itu.“Oh iya, aku Dion, kami di kesatuan yang sama.”“Oh.” Nay menjawab pendek. Lalu mengeluarkan ponselnya. “Maaf ya, aku mau menelpon seseorang, kami sudah berjanji bertemu di sini. Permisi.” Nay berpindah tempat duduk. Tak lama Palguna mendekati Nay. Setengah berbisik dia meminta Nay mengikutinya. Mata Dion mengawasi mereka. Nay bisa merasakan itu. Tatapan menyelidik yang tidak bisa disembunyikan. Palguna dan Nay memasuki kamar tidur yang cukup besar. Nuansa abad sembilan belas sangat kental terasa. Ukiran klasik menghiasi tempat tidur berukuran besar dengan bed cover berwarna marun. “Di sini Mahesa dibunuh. Lihatlah siapa yang melakukan ini
“Ambil saja, Nay. Sudah lama kertas itu ada di sana. Catatan-catatan kecil Mahesa. Aku rasa bukan catatan penting. Dia menyimpannya begitu saja tanpa pelindung.” Palguna lalu mengambil tiga gulungan kertas tersebut dan memberikannya pada Nay. “Baiklah. Aku akan memeriksanya nanti. Aku harus pergi sekarang. Bila sudah tidak ada lagi yang ingin disampaikan, aku mohon diri.”“Iya, Nay, semua sudah kusampaikan. Mari aku antar.”Nay keluar dari ruang bawah tanah disusul Palguna di belakangnya. Sesampainya di ruang tempat jenazah disemayamkan, Palguna mengambil posisi berjalan di samping Nay. “Semoga kita bertemu lagi, Nay. Maafkan kami telah melibatkanmu dalam urusan ini.”Nay merasa tidak enak hati karena tadi dia berbicara ketus. “Maafkan aku juga karena mungkin berbicara tidak sepatutnya.”“Kami sangat mengerti posisimu, Nay. Jaga dirimu baik-baik. Mungkin setelah ini kita tidak akan bertemu lagi.” Palguna menepuk-nepuk pundak Nay. Mata Nay terasa panas. Dia hanya menundukkan kepal
“Nay, dengarkan suaraku. Aku tahu kau masih di sini. Aku dan Wira sudah berusaha mencabut panah ini, tapi tidak bisa. Tolong bicaralah padaku, Nay.”Jari-jari Nay bergerak pelan. Dia memberikan isyarat bahwa dia mendengarkan ucapan Gantari. “Sakit sekali, Gan," ucap Nay lirih. “Bertahanlah, aku akan mencari cara mencabut panah ini.”Nay tidak menjawab. Sebuah energi berbentuk cahaya putih berkilauan menghampiri tubuhnya. Energi itu menarik jiwa Nay. Jiwa Nay dibawa ke sebuah padang luas ditumbuhi rumput yang menghijau. Tidak ada pepohonan tumbuh di sana. Jiwa Nay mengambang tepat di atas sebuah kolam kecil yang airnya begitu jernih. Energi yang membawanya masih berada di sampingnya. Tidak lama, muncul wanita dengan rambut dan wajah bersinar putih. Mahkota bunga melingkari kepalanya. Baju putih yang dikenakannya menjuntai melambai tertiup angin. Sosok itu beraroma bunga. Dia berdiri mengambang di depan Nay. “Nayara ... aku Lalika. Ketahuilah, kau berada di sini karena satu alasan.
"Kunci rumahnya sudah diserahkan ke saya. Sebentar." Pak Oey mengambil kunci dari dalam laci meja kerjanya. "Ini kuncinya. Tetap hati-hati, Nay," pesan Pak Oey. "Siap, Pak." Nay memasukkan kunci ke dalam tasnya. "Berangkat ya, Pak. Saya kabari kalau sudah selesai. Boleh langsung pulang kan?" "Bebas." Pak Oey membolehkan. Nay segera meluncur dengan motor hitam kesayangan. Dia memilih lewat jalan tikus. Menghindari macet di jalan kota. Hampir semua jalan tikus di kota ini pernah Nay masuki. Dia lebih suka mengandalkan insting ketimbang mengikuti suara perempuan asisten Google. Bertanya langsung pada warga lebih akurat dan pasti.Nay sampai di halaman rumah bercat putih yang disebutkan Pak Oey tadi. Ilalang tumbuh rimbun di sana. Tumbuhan spora menghijau tersebar di bagian atas rumah itu. Kelembaban membuat mereka tumbuh subur. Nay mengaktifkan mata batinnya. Melihat makhluk apa saja yang ada di sekitar rumah itu. Hanya makhluk-makhluk astral biasa sekelas Sri dan kawan-kawannya. Ia
"Duduk saja dekatku." Rey memegang tangan Nay dan mencoba bangun. Reflek Nay membantu mengangkat bahu Rey. "Kau tidak tahu rasanya menunggu, Nay.""Jangan ajari aku rasanya. Malam saat kau operasi, sendiri di tengah malam, aku menunggu di depan pintu itu Rey. Waktu seakan tidak berjalan. Lama kau tidak keluar. Tiap sebentar aku melirik jam di tanganku hanya untuk menenangkan perasaanku sendiri." Suara Nay bergetar. "Nay ...." Rey mendekap tubuh Nay. Ia membiarkan Nay menangis di bahunya. "Menangislah, Sayang." Mata Rey pun mulai berembun, saling berpelukan, melepaskan semua kerinduan. Di sudut ruangan berdiri Gantari dan Wira. Nay tahu mereka sengaja mendengarkan pembicaraan pribadinya dengan Rey. "Kau harus terbiasa, Gan! Belajarlah padaku," kata Wira yang sengaja diperdengarkan pada Nayara. Nay tahu, mereka sedang cemburu. ***Nay memeriksa gulungan kertas yang didapatnya dari ruang bawah tanah Mahesa. Mengusap pelan dengan kain lembut pada kertas tersebut. Berdebu dan sedikit
"Ajian kawastrawam hanya dimiliki oleh trah keluarga Mardika. Keturunannya semua bisa menguasai ajian tersebut bila mereka mempelajarinya. Di luar trah mereka walaupun belajar tidak akan bisa menguasai. Ada keistimewaan dari trah ini. Satu mata mereka berwarna kehijauan. Biasanya di mata sebelah kanan. Ketika menyaru warna mata ini tidak kelihatan. Kecuali mereka yang masih memiliki keturunan keluarga Mardika. Itupun tidak bisa langsung terlihat. Ada satu mantra untuk membukanya. Sayangnya itu tidak tertulis di sini.""Buntu lagi kan?" Nay beranjak dari duduknya. Meraih cangkir untuk membuat kopi. "Aku harus minum kopi dulu, supaya gak butek."Wira dan Gantari terlihat sedang berdiskusi. Mencoba menarik benang merah dari semua kejadian. Menerka kemungkinan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi memang ini tidak mudah. Nay selesai membuat secangkir kopi. Dia kembali duduk di lantai tempatnya tadi. Menaruh cangkirnya di dekat lembaran kertas di atas meja laptopnya. Memperhatikan Gantari dan
Nay membuka aliran energi di punggungnya dan menyatukan dengan energi di tangannya. Sebuah bola energi terbentuk mengambang di atas telapak tangan Nay di depan tubuhnya. Bola energi itu perlahan melayang mendekati dinding energi penyegel pintu. Energi dinding tersebut terlihat bergelombang. Tertarik menuju bola energi Nay. Tarikannya sangat kuat membuat lantai bergetar. Krakkk! Dinding energi itu retak. Kepingan-kepingan energinya terserap habis ke bola energi Nay. Tangan Nay cepat menarik bola energi kembali ke tangannya. "Jangan sentuh apapun, biar aku yang membuka." Gantari memperingatkan Nay. Dengan energinya Gantari menarik pintu di lantai kamar itu. "Kau di sini saja, Wira. Berjagalah di mulut pintu ini."Nay masuk menuruni tangga ke bawah membelakangi ruangan. Begitu sampai Nay membalik tubuhnya. Ia kaget. Tubuh Palguna tergeletak di lantai dengan posisi tertelungkup tanpa kepala. Buru-buru Nay mendekat ke lemari buku mantra. Merasakan energi segelnya masih ada. Rasendriya be
Nay mengangguk. "Aku yakin orang-orang seperti kita sudah merasakan energi gelap yang semakin menyebar. Kalau dibiarkan dunia kita akan dikuasai kegelapan.""Kita tidak bisa hanya diam saja. Jujur, aku sangat kecewa dengan pilihan kakakku. Memalukan dan pasti merugikan dunia bawah.""Mungkin dengan bekerja sama dengan mereka, kakakmu bisa mewujudkan mimpinya menjadi satu-satunya penguasa dunia bawah.""Aku sekarang mengerti kenapa bejana itu diberikan padaku. Ayah dan ibu sepertinya sudah tahu tabiat anak laki-lakinya." Wajah Suri berubah muram. "Aku berharap kakakku bisa kembali pada tanggung jawabnya pada Banyuputih sebelum terlambat."Perlahan Nay menepuk pundak Suri. "Aku lapar. Kau mau mi instan?"Suri tersenyum kecil. "Seandainya makanan yang kau sebut mi instan itu bisa kumakan pasti tidak kutolak. Boleh aku di sini saja?""Mau menginap di sini pun boleh, Suri."Nay berjalan ke dapur mengambil mi instan cup yang cukup diseduh dengan air panas dari dispenser. Sambil menunggu mi
"Ada apa Nona ingin bicara dengan saya?" tanya istri Tuan Hansen. "Sebelumnya terima kasih Nyonya sudah bersedia menemui saya. Benar saya bicara dengan Nyonya Adhisti?""Iya, betul. Saya Adhisti.""Ini soal Bastian, Nyonya.""Bastian malang. Dia masih menunggu di rumah itu, bukan?"Kening Nay sedikit berkerut. Ia tidak menduga Nyonya Adhisti tahu tentang keberadaan putranya. "Iya, Nyonya. Saya bertemu dengan Bastian dan saya berjanji untuk mempertemukan Nyonya dengan dia.""Hansen membawa saya ke sini karena menganggap jiwa saya terganggu. Berhalusinasi tentang Bastian secara berlebihan. Hansen mengira saya gila. Dia sama sekali tidak percaya. Tapi saya punya cara lain. Memintanya merenovasi rumah itu.""Semesta merangkum doa. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya Bastian akan bertemu Nyonya. Selama ini dia mengira, Nyonya marah dan membencinya. "Saya tahu Bastian masih ada di rumah itu. Saya ingin dia pergi dengan tenang. Saya juga sudah belajar ikhlas melepasnya." Manik mata Nyo
Nay tidak tahu mengapa pikiran tentang dark force membuatnya merasa panas dan tidak nyaman. Cukup lama ia berdiri di depan jendela apartemennya dengan mata memperhatikan langit yang terlihat suram. Seharusnya ia lebih peka bukan malah abai seperti yang dilakukannya belakangan ini. Berhenti menjadi seorang Nayara rasanya memang tidak mungkin. Ia dibutuhkan untuk berkontribusi pada bumi tempatnya berdiri. Dark force tidak main-main. Sebarannya cepat tetapi tidak terlihat. Mempengaruhi atmosfer kehidupan manusia sampai ke hal-hal yang paling kecil. Semakin banyak di media sosial jari-jari manusia menuliskan kata-kata kasar, makian dan hinaan yang ditujukan kepada manusia lain hanya karena ketidaksukaan. Kasus perundungan yang berujung kematian pun semakin banyak terjadi. Korupsi, perampasan hak, intoleransi dan masih seabrek persoalan lain yang semakin memprihatinkan. Disadari atau tidak semua itu bisa mengakibatkan ketidakseimbangan berskala besar. "Selama masih ada doa manusia yang
Setelah menyelesaikan tugasnya, Nay berpamitan pulang. Ekspresi wajah Tuan Hansen berubah muram. Sangat berbeda dengan raut wajahnya saat Nay datang. Hampir bisa dipastikan penyebabnya adalah pertanyaan Nay tentang anak lelakinya. "Pak Bos sudah kenal lama dengan Tuan Hansen?" tanya Nay begitu ia sampai di ruangan Pak Oey. "Lumayan lama. Kenapa, Nay?""Istrinya apa masih ada, Pak?""Setahu saya masih. Sejak kematian anak laki-lakinya, dia mengalami guncangan mental. Menurut desas-desus sampai sekarang masih seperti itu.""Jiwa anak lelaki Tuan Hansen masih menunggu mamanya di rumah itu. Saya tidak mungkin mengabaikannya, Pak.""Mungkin beberapa kenalan bisa membantu memberikan informasi. Nanti saya infokan ke kamu, Nay. Saya ada urusan di luar. Kau periksa berkas ini, kalau sudah selesai kau bebas." Pak Oey mengambil tumpukan berkas dari atas meja kemudian memberikannya pada Nay. "Baik, Bos." Nay menerima berkas tersebut lalu masuk ke ruangannya. Nay memeriksa berkas yang diberika
"Maaf kalau pertanyaan saya membuat Tuan Hansen teringat tentang masa lalu," ujar Nay. Matanya bergerak ke arah jendela. Ia melihat bocah lelaki yang belum ia ketahui namanya itu sedang berdiri memandangi papanya dari balik kaca jendela. "Silakan Nona mengecek area ini. Saya kedalam dulu." Tuan Hansen berbicara tanpa menoleh ke arah Nay. Ia kemudian melangkah masuk dari pintu yang sama. Nay melambaikan tangan dan membuka komunikasi dengan putra Tuan Hansen. Ia meminta bocah itu keluar. Ia ingin mendengar langsung apa yang sebenarnya terjadi sebelum mencari tahu sendiri. "Kita belum kenalan. Siapa namamu?" tanya Nay mengusap bangku besi yang menempel di dinding pagar beton sekadar untuk menyingkirkan debu dan kotoran. "Bastian. Mama biasa memanggilku Tian," jawab bocah itu sambil melongok ke dalam kolam renang. Ia berhenti beberapa saat lalu berjalan menghampiri Nay yang sudah duduk di bangku sambil memeriksa ponselnya. "Duduklah di samping Kakak. Kita ngobrol-ngobrol sebentar." N
Nay dan Rey memutuskan untuk menunda pernikahan sampai hati satu sama lain sudah merasa benar-benar yakin. Setidaknya dibutuhkan waktu beberapa bulan untuk saling melihat ke diri masing-masing. Mereka menyibukkan diri dengan aktivitas keseharian seperti biasa. Nay tetap dengan profesinya begitu pula Rey. Mereka sengaja membuat intensitas pertemuan menjadi sedikit. Cukup satu minggu sekali. "Apa kau yakin cara ini ampuh, Nay? Bukankah semakin jarang bertemu akan semakin jauh," tanya Sri yang sedang bersandar di lemari memperhatikan Nay. "Antara yakin dan tidak," jawab Nay sambil mengundurkan rambutnya di depan kaca wastafel. "Menurutku terlalu beresiko kalau kalian saling menjauh seperti sekarang. Yang ada ikatan batin kalian jadi longgar.""Kalau akhirnya semakin longgar artinya kami tidak berjodoh.""Enteng bener ngomong begitu. Kau harus ingat Nay, perjuangan kalian itu berat. Sudah sampai sejauh ini malah pisah.""Kalau memang itu takdirnya, kami bisa apa, Sri."Sri mendesah pe
"Sekarang kau sudah tahu, Nay. Jadi, bagaimana selanjutnya?" Akhirnya Rey membuka pembicaraan setelah beberapa menit mereka tidak mengatakan apa-apa. Nay mendesah pelan lalu meletakkan cangkirnya di atas nakas. "Aku tidak bisa menjawabnya sekarang. Aku perlu berpikir dengan tenang agar keputusan yang kuambil tidak kusesali nantinya.""Aku tidak akan memaksamu menjawabnya sekarang. Yang kau butuhkan saat ini adalah Istirahat. Kalau perlu apa-apa, telepon saja," kata Rey. Ia lalu berdiri tetapi ketika hendak melangkah, Nay memegang pergelangan tangannya. Pria itu menoleh. "Di sini saja. Banyak hal yang ingin aku tanyakan." Nay mendongak, melihat ke arah mata Rey. Tanpa berkata apa pun, Rey kembali duduk. Ia sejujurnya senang Nay menahannya. "Bertanyalah, aku akan menjawabnya dengan jujur." Suara Rey datar dan tenang. "Kenapa kau melakukan ini?" tanya Nay dengan intonasi suara yang sama dengan Rey. "Mungkin bagimu terdengar klise, tapi aku melakukan ini semua karena cinta. Walaupun
Sudwika tidak mengelak untuk tidak mengiakan pertanyaan Nay. Karena memang kenyataannya seperti itu. "Begitu pentingkah kekuasaan bagi kalian para penguasa dunia bawah? Apa kalian terbiasa memanfaatkan orang lain untuk mencapai tujuan?" tanya Nay tidak suka. "Ini bukan tentang kekuasaan tapi keseimbangan dunia bawah, Nay.""Keseimbangan seperti apa lagi? Alasan yang sudah pernah kudengar dan terkesan kalian buat-buat saja." Nay mendesah kasar. "Kembalikan aku ke duniaku. Masih ada urusanku dengan Rasendriya yang tidak perlu orang lain ikut campur.""Aku mengatakan yang sebenarnya, Nay. Naga sasra harusnya dibenamkan di dalam bejana emas milik ayahku agar energinya tetap. Tidak besar juga tidak kecil. Seimbang." Sudwika berusaha meyakinkan Nay. "Entahlah, aku sudah sulit mempercayai para penguasa. Di mulut berucap manis, tapi kenyataan terkecap pahit.""Sekarang kita pergi ke tempat di mana kau menancapkan naga sasra. Kau lihat dan rasakan apakah energi kerusi itu masih ada atau sud
Sebuah anak panah terlihat melesat dan tepat mendarat di samping Nay. Berpendar membawa untaian cahaya yang seketika berpendar menerangi sekitar. Ujung runcingnya menyentuh lapisan air yang membeku hingga menimbulkan suara retakan yang merambat cepat. Dari bentuk dan energinya, anak panah itu bulan milik Wirabadra. Bersamaan dengan retaknya lapisan es, jiwa Nay mulai bisa bergerak. Walaupun belum leluasa ia sudah bisa menggunakan jemarinya untuk mengumpulkan energi. Ia tetap harus waspada. Terlebih berada di tempat yang asing dengan sedikit cahaya yang membuat jarak pandangnya terbatas. "Akhirnya kau berada di Banyuputih, Nayara." Suara seorang laki-laki terdengar begitu dekat. Nay, berusaha bangkit dengan susah payah. Energinya belum cukup untuk melenturkan tubuhnya. Ya, pada dimensi lain jiwa terlihat tak ubahnya seperti tubuh kasar yang sebenarnya. "Apakah Anda raja Sudwika?" tanya Nayara setelah melihat dengan jelas sosok yang berdiri hanya beberapa jengkal darinya. "Kau menge