Tubuh Nay terasa lebih segar setelah mandi dan menghabiskan satu cangkir teh jahe hangat. Dia menggeser gorden jendela, membiarkan sinar matahari mengenai wajahnya. Menghirup aroma pagi yang masih segar. Samar terdengar suara Ki Brojo memanggil namanya. Nay menutup kembali gorden jendela. Ia tahu Ki Brojo tidak nyaman dengan sinar matahari. "Salam, Ki." Nay menundukkan kepalanya. "Pasti Ki Brojo sudah tahu kejadian semalam bukan? Alasan itulah Anda datang bahkan sebelum aku memberi tahu.""Ya, ini soal kekasihmu itu. Jiwanya berada di kawah dasar dunia bawah. Kami menyebutnya Astramaya. Api di kawah itu bernyawa. Tidak sembarang orang dunia bawah bisa ke sana.""Kakek buyutku anggota persekutuan. Beliau berasal dari dunia bawah. Itu artinya ada darah kakek mengalir di tubuhku ini, walaupun aku tidak tinggal di sana.""Kau betul Nay, kakek buyutmu salah satu dari kami. Namun, tetap kau memerlukan seseorang berunsur api untuk mengantarmu.""Agnimaya mungkin bisa," sahut Nay cepat. "Ka
Hamparan tanah tandus berpasir yang panas terlihat sepi seperti tak berpenghuni. Batu-batu besar berserak di antara ceruk yang sesekali menyemburkan api. Hewan-hewan berbentuk aneh muncul dari bawah bebatuan. Mereka seperti menyambut kedatangan Nay. Agnimaya terus bergerak maju. Hawa semakin panas. Jauh lebih panas dari tempat yang mereka lewati sebelumnya. Di tempat itu tidak terlihat dataran. Sejauh mata memandang hanya api terbentang. Agnimaya menghentikan laju tubuhnya. "Kita sudah sampai Nay. Lihat di depan sana, empat poros api yang menjulang. Mereka penjaga kawah Astramaya. Manendra pernah mengalahkan mereka. Itulah kenapa mereka mematuhi ayahmu. Kalau kau tidak bisa mengalahkan mereka, selamanya kau akan terkurung di sini. Aku tidak bisa membawamu kembali."Ada keraguan di hati Nay. Ternyata kawah Astramaya lebih seram dari bayangannya. Dia tidak pernah menghadapi makhluk murni berunsur api. Yang dihadapinya sekarang bukan satu tapi empat sekaligus. "Bagaimana, Nayara? Masi
Sebuah tendangan lurus Nay mengenai tepat di dada makhluk itu. Dia terjengkang. Pedang di tangannya terlontar ke udara. Dengan sigap Nay menangkapnya. Tidak menyiakan kesempatan Nay mengayunkan pedang itu ke arah kepala penjaga Astramaya. Sekali tebas makhluk itu tewas. Bahkan erangan pun tak sempat terdengar. Gemuruh angin seketika berputar di sekeliling mereka. Sebuah pusaran udara menarik tubuh dan kepala makhluk itu. Kobaran api semakin menyala besar. Nay tidak gentar. Tidak ada ketakutan sedikitpun di hatinya. Masih dengan api yang menyala-nyala di tubuh, Nay mengangkat dirinya yang sudah kembali ke ukuran semula ke udara. Jiwa Rey diletakkan mengambang dengan bantalan api di bawahnya. Dia harus cepat membawa jiwa tersebut. Pusaran angin di Astramaya semakin menjadi-jadi. "Bagaimana aku membawa jiwa ini?" Nay bertanya pada Gantari. "Tarik jiwanya ke dalam tanganmu. Cepat!" Nay menarik jiwa Rey dengan cepat. Dia harus membawa Wira bersamanya juga. Tubuhnya belum terlihat. Pus
“Lupa?” tanyanya melihat Nay seperti bingung. “Aku teman, Rey. Kita pernah bertemu dua kali. Di apartemen Rey dan di pesta dua malam lalu. Memang kita tidak berkenalan secara langsung. Tetapi Rey pernah beberapa kali menceritakan dirimu."“Oh, pantas aku tidak mengenali.” Nay menjawab tak acuh. Dia tidak suka laki-laki yang sok akrab seperti itu.“Oh iya, aku Dion, kami di kesatuan yang sama.”“Oh.” Nay menjawab pendek. Lalu mengeluarkan ponselnya. “Maaf ya, aku mau menelpon seseorang, kami sudah berjanji bertemu di sini. Permisi.” Nay berpindah tempat duduk. Tak lama Palguna mendekati Nay. Setengah berbisik dia meminta Nay mengikutinya. Mata Dion mengawasi mereka. Nay bisa merasakan itu. Tatapan menyelidik yang tidak bisa disembunyikan. Palguna dan Nay memasuki kamar tidur yang cukup besar. Nuansa abad sembilan belas sangat kental terasa. Ukiran klasik menghiasi tempat tidur berukuran besar dengan bed cover berwarna marun. “Di sini Mahesa dibunuh. Lihatlah siapa yang melakukan ini
“Ambil saja, Nay. Sudah lama kertas itu ada di sana. Catatan-catatan kecil Mahesa. Aku rasa bukan catatan penting. Dia menyimpannya begitu saja tanpa pelindung.” Palguna lalu mengambil tiga gulungan kertas tersebut dan memberikannya pada Nay. “Baiklah. Aku akan memeriksanya nanti. Aku harus pergi sekarang. Bila sudah tidak ada lagi yang ingin disampaikan, aku mohon diri.”“Iya, Nay, semua sudah kusampaikan. Mari aku antar.”Nay keluar dari ruang bawah tanah disusul Palguna di belakangnya. Sesampainya di ruang tempat jenazah disemayamkan, Palguna mengambil posisi berjalan di samping Nay. “Semoga kita bertemu lagi, Nay. Maafkan kami telah melibatkanmu dalam urusan ini.”Nay merasa tidak enak hati karena tadi dia berbicara ketus. “Maafkan aku juga karena mungkin berbicara tidak sepatutnya.”“Kami sangat mengerti posisimu, Nay. Jaga dirimu baik-baik. Mungkin setelah ini kita tidak akan bertemu lagi.” Palguna menepuk-nepuk pundak Nay. Mata Nay terasa panas. Dia hanya menundukkan kepal
“Nay, dengarkan suaraku. Aku tahu kau masih di sini. Aku dan Wira sudah berusaha mencabut panah ini, tapi tidak bisa. Tolong bicaralah padaku, Nay.”Jari-jari Nay bergerak pelan. Dia memberikan isyarat bahwa dia mendengarkan ucapan Gantari. “Sakit sekali, Gan," ucap Nay lirih. “Bertahanlah, aku akan mencari cara mencabut panah ini.”Nay tidak menjawab. Sebuah energi berbentuk cahaya putih berkilauan menghampiri tubuhnya. Energi itu menarik jiwa Nay. Jiwa Nay dibawa ke sebuah padang luas ditumbuhi rumput yang menghijau. Tidak ada pepohonan tumbuh di sana. Jiwa Nay mengambang tepat di atas sebuah kolam kecil yang airnya begitu jernih. Energi yang membawanya masih berada di sampingnya. Tidak lama, muncul wanita dengan rambut dan wajah bersinar putih. Mahkota bunga melingkari kepalanya. Baju putih yang dikenakannya menjuntai melambai tertiup angin. Sosok itu beraroma bunga. Dia berdiri mengambang di depan Nay. “Nayara ... aku Lalika. Ketahuilah, kau berada di sini karena satu alasan.
"Kunci rumahnya sudah diserahkan ke saya. Sebentar." Pak Oey mengambil kunci dari dalam laci meja kerjanya. "Ini kuncinya. Tetap hati-hati, Nay," pesan Pak Oey. "Siap, Pak." Nay memasukkan kunci ke dalam tasnya. "Berangkat ya, Pak. Saya kabari kalau sudah selesai. Boleh langsung pulang kan?" "Bebas." Pak Oey membolehkan. Nay segera meluncur dengan motor hitam kesayangan. Dia memilih lewat jalan tikus. Menghindari macet di jalan kota. Hampir semua jalan tikus di kota ini pernah Nay masuki. Dia lebih suka mengandalkan insting ketimbang mengikuti suara perempuan asisten Google. Bertanya langsung pada warga lebih akurat dan pasti.Nay sampai di halaman rumah bercat putih yang disebutkan Pak Oey tadi. Ilalang tumbuh rimbun di sana. Tumbuhan spora menghijau tersebar di bagian atas rumah itu. Kelembaban membuat mereka tumbuh subur. Nay mengaktifkan mata batinnya. Melihat makhluk apa saja yang ada di sekitar rumah itu. Hanya makhluk-makhluk astral biasa sekelas Sri dan kawan-kawannya. Ia
"Duduk saja dekatku." Rey memegang tangan Nay dan mencoba bangun. Reflek Nay membantu mengangkat bahu Rey. "Kau tidak tahu rasanya menunggu, Nay.""Jangan ajari aku rasanya. Malam saat kau operasi, sendiri di tengah malam, aku menunggu di depan pintu itu Rey. Waktu seakan tidak berjalan. Lama kau tidak keluar. Tiap sebentar aku melirik jam di tanganku hanya untuk menenangkan perasaanku sendiri." Suara Nay bergetar. "Nay ...." Rey mendekap tubuh Nay. Ia membiarkan Nay menangis di bahunya. "Menangislah, Sayang." Mata Rey pun mulai berembun, saling berpelukan, melepaskan semua kerinduan. Di sudut ruangan berdiri Gantari dan Wira. Nay tahu mereka sengaja mendengarkan pembicaraan pribadinya dengan Rey. "Kau harus terbiasa, Gan! Belajarlah padaku," kata Wira yang sengaja diperdengarkan pada Nayara. Nay tahu, mereka sedang cemburu. ***Nay memeriksa gulungan kertas yang didapatnya dari ruang bawah tanah Mahesa. Mengusap pelan dengan kain lembut pada kertas tersebut. Berdebu dan sedikit