Malamnya Jayden dan Felicia sudah berada di dalam kamar. Mereka pun hanya bersandar di ranjang sembari menonton TV. Mereka sama-sama berada di dalam selimut demi mencari kehangatan.
Jayden menoleh ke Felicia yang tampak mengantuk. Rasanya ia tidak ingin pergi lagi dari gadis ini. Tapi mereka malah harus menjalani hubungan jarak jauh yang sebenarnya, karena hubungan mereka sudah membaik. Kesalah pahaman yang memisahkan mereka telah terselesaikan meski jarak masih tetap ada. "Nanti lo bakal kangen sama gue gak?" tanyanya membuat Felicia menoleh ke arahnya.
"Iyalah! Menurut lo aja. Masa gue gak kangen?" Felicia memicingkan matanya. "Atau lo yang gak kangen ya sama gue? Lo kan udah terbiasa tanpa gue."
"Lo yang harus terbiasa tanpa gue. Kita kan nanti bakal jauh," ucap Jayden dengan senyum kecilnya.
"Diem aja lo kayak ayam tiren," ledek Ansel yang melihat Jayden menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong. Berbeda sekali dengan saat pertama pria itu menuju Yogyakarta, senyumnya yang tidak pernah lepas karena ingin segera bertemu Felicia."Gue kok ngerasa jauh banget sama Felicia ya," ucap Jayden tanpa menatap ke arah Ansel."Lebay lo kayak ABG labil," cibir Ansel lagi tapi tidak Jayden tanggapi. Pria yang duduk tepat di depan Ansel itu terlihat seperti memiliki dunianya sendiri."Jayden kenapa?" bisik Kayla yang duduk di samping Ansel. Karena biasanya Jayden banyak bicara. Tapi kali ini pria itu lebih banyak diam."Galau dia baru LDR-an lagi," ucap Ansel yang tidak terlalu ambil pusing.
Sampai jam tiga dini hari, keadaan Jayden tidak menunjukkan peningkatan. Melisa dan Jordan tampak frustasi melihat keadaan anak mereka yang begitu memilukan. Bahkan Gladys yang juga menemani Om dan Tantenya itu terus menangis di samping Jayden. Mereka merasa sangat kehilangan."Kita harus segera membawanya ke Singapore. Di sana Jayden bisa mendapat penanganan yang lebih baik lagi," ucap Glen yang lebih bisa mengontrol emosinya. Karena ia memang sudah sering mengalami hal seperti ini, melihat keluarga pasien yang menangis pilu
Karena Felicia tidak mengambil cuti lama, ia pun harus kembali ke Jogjakarta. Apalagi Jayden sudah dibawa ke Singapore. Sehingga tak ada lagi alasannya untuk berada disini, Yang ada ia hanya akan terus teringat Jayden dan mengkhawatirkan keadaan pria itu. Meski ia sendiri tidak akan tenang, mengingat keadaan Jayden yang begitu mengkhawatirkan. Bahkan pria itu tidak juga sadarkan diri sampai ia datang semalam. Padahal Felicia berharap jika ia bisa mengajak Jayden mengobrol seperti biasa. Bukan hanya menatap sosok pria itu yang tidak berdaya.
Pemakaman sore itu disertai langit yang mendung, seakan mendukung perasaan yang terjadi dari orang-orang yang datang dan berdiri di sekeliling pemakaman yang masih basah dan bertabur bunga itu.Terutama Felicia.Sejak kedatangan gadis itu kem
Luka akibat kehilangan memang menyakitkan.Kenangan yang tertinggal akan semakin menyesakkan.Tapi hidup harus terus berjalan, meski hati seperti mati rasa. Meski tubuh seakan tak memiliki jiwa.
Hari terus berganti. Tetapi hati Felicia masih merasakan luka yang begitu dalam bahkan masih terasa nyeri ketika bayangan kenangan dengan Jayden melintas di kepalanya. Yang bisa gadis itu lakukan hanya menghela nafas panjang demi meredakan nyeri yang menjalar di rongga dadanya.Felicia masih terus bekerja seperti biasa. Jika dulu ia bekerja dengan normal, kali ini ia bekerja lebih keras lagi. Bahkan ia sering lembur hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya yang sebenarnya tidak terlalu banyak. Tapi gadis itu banyak mengerj
Glen menatap rumah sederhana di depannya. Ia sudah beberapa kali ke sini semenjak kepindahannya ke Jakarta satu tahun yang lalu. Ya, tentu saja karena Felicia sudah memulai kuliah apotekernya lagi dan gadis itu baru saja pelantikan sumpah Apoteker hari ini. Meski hanya berdiam diri di depannya, Glen hanya memastikan jika gadis itu selalu pulang dengan selamat ke rumahnya. Ia memang belum pernah masuk ke dalam rumah sederhana itu. Lebih tepatnya, belum saatnya.Tapi saat ini, Glen merasa waktunya sudah tepat. Felicia sudah lulu
Felicia menatap gedung pencakar langit di depannya. Ia pun menghela nafas pasrah dan berusaha untuk optimis soal email undangan interview yang di dapatkannya dua hari yang lalu. Sebelumnya ia juga mendapat kabar dari beberapa teman kelas apoteker yang seangkatan dengannya jika kampus mereka merekomendasikan beberapa mahasiswa ke perusahaan dan rumah sakit. Sehingga sangat besar kemungkinannya jika mendapat panggilan interview. Dan soal rumah sakit milik kakeknya Jayden, mungkin hanya kebetulan saja.Karena katanya perusahaan b