Felicia langsung menarik tangan Jayden agar segera masuk ke kereta yang pintunya terbuka. Juga tampak padatnya bagian dalam kereta yang membuat mereka harus mendorong tubuh mereka sekuat tenaga agar bisa masuk. Apalagi Felicia dan Jayden masuk ke gerbong umum.
Jarak antara Jayden dan Felicia benar-benar terhapuskan. Jayden menahan tubuhnya agar posisi Felicia bisa lebih nyaman di antara para penumpang lain. Tubuh Felicia berada di antara lengan Jayden yang ditopang pria itu. Membuat Felicia menjadi lebih aman di posisinya kini
"Ansel?" Kening Felicia berkerut ketika melihat pria berkacamata itu berjalan mendekat ke arahnya. Ansel mengenakan jas laboratorium lengkap dengan nametag dan ID card pengunjung seperti miliknya.Senyum pria itu mengembang seketika saat menyadari jika gadis yang ia panggil benar-benar Felicia. "Kok ke sini?"
"Kamera lo nih. Thanks ya. Paling nanti gue minta datanya. Pas di kampus aja deh," ucap Felicia yang mengembalikan kameranya pada Ansel."Iya santai. Nanti gue pindahin ke flashdisk aja biar gampang."Felicia mengangguk.
Felicia duduk di kantin yang cukup ramai siang itu. Ia meletakkan tas laptopnya di samping kanannya lalu memainkan ponselnya. Beberapa menit yang lalu Ansel baru mengabari jika dia akan segera ke kantin. Jadilah Felicia menunggunya sekarang.Tak lama Ansel datang, dia terlihat berjalan ke arah Felicia dan sesekali menyapa balik mahasiswa-mahasiswi yang berpapasan dengannya. Akhirnya Ansel duduk di depan Felicia, membuat tatapan-tatapan mahasiswi banyak yang ke arah mereka berdua. Banyak bisikan-bisikan tak jelas tapi yang Feli
Akhirnya malam itu Jayden bergabung dengan Felicia dan Ansel untuk belajar bersama. Tapi Jayden seakan terabaikan karena Felicia dan Ansel tampak mengobrol yang tidak Jayden mengerti. Tentu saja tentang teman-teman dan kisah mereka saat masih pacaran dulu."Ini belajar apa nostalgila sih," gumam Jayden sambil menatap layar laptopnya yang menampilkan slide-slide PPT untuk sidang seminar proposalnya nanti.
Lama, Jayden dan Ansel hanya saling diam. Lalu menit kemudian pesanan mereka datang, membunuh keheningan di antara mereka.Ansel menikmati secangkir Americanonya dan mulai memakan sandwichnya perlahan. Tapi ia merasa terganggu saat merasakan tatapan Jayden yang terus menusuk ke arahnya. Ia pun menghela nafas dan meletakkan sandwich yang baru ia makan satu gigitan. Rasanya rasa sandwich ini mendadak hambar karena tatapan Jayden itu." Oke oke. Bagian mana yang lo pengen tau soal gue dan Felicia?" tanyanya akhirnya membuat senyum
"Fel!" sahut Jayden saat melihat Felicia baru memasuki kelas dan hampir duduk di kursi terdepan. Gadis itu pun menoleh padanya. Jayden mengayunkan tangannya agar Felicia ke tempatnya. Gadis itu tampak mendengus tapi tetap menghampiri Jayden. Membuat senyum di wajah pria itu mengembang.Felicia meletakkan tasnya di samping Jayden dan duduk di kursinya.
Jayden menutup diktat praktikumnya dan menghela nafasnya dengan gusar. Ia sama sekali tak niat belajar. Toh materi praktikum yang akan diujikan besok sudah di luar kepalanya. Jadi tanpa belajar pun ia merasa bisa melalui ujian praktikumnya besok. Ya, karena setiap praktikum ia selalu serius mengerjakannya dan yang terpenting ia mengerjakannya sendiri. Tidak seperti teman sekelompoknya yang lain yang terkadang mengandalkan salah satu orang di kelompok mereka untuk mengerjakannya sementara sisanya hanya bertugas mencatat, atau bahkan hanya bersih-bersih peralatannya saja.
Sekitar dua jam perjalanan Felicia dan Ansel baru sampai di lembaga penelitian. Seperti pesan dari Jayden, Felicia sangat menjaga jaraknya dari Ansel. Entah kenapa Felicia malah menuruti keinginan pria absurd itu. Meski ia sendiri tak berniat untuk dekat-dekat dengan Ansel. Toh ini hanya sebuah kebetulan mereka bisa pergi bersama. Dan Felicia jelas tidak pernah berharap lebih.Setelah menukar kartu mahasiswa mereka dengan Id card pengunjung, Ansel dan Felicia pun masuk ke dalam. Felicia dan Ansel berpisah karena Ansel harus ke
Perjalanan hidup memang terkadang tak sesuai ekspektasimu. Banyak rencana yang telah dibuat meski saat merealisasikannya akan sangat berbeda. Namun bukan berarti rencanamu buruk sehingga Tuhan mengubah perjalanan yang sudah kamu rencanakan, Tuhan hanya mengarahkanmu pada tujuan yang sesuai dengan apa yang sudah kamu lakukan selama ini.Tidak ada tujuan hidup yang menyakitkan. Semuanya pasti akan berakhir bahagia meski pada awalnya harus berurai air mata. Meski terkadang mungkin kamu menyesali jika ternyata semua itu tak
Hari itu pun tiba...Hari dimana Martha tak lagi bertahan. Hanya berselang tiga hari pasca operasi pengangkatan ginjalnya. Penurunan kesadaran serta meningkatnya tekanan darah wanita itu mengakibatkan pecahnya saraf di bagian kepalanya sehingga menyebabkan nyawanya tak lagi dapat diselamatkan setelah dua hari berada di masa kritis.
Malam harinya, Glen kembali secepatnya ke rumah demi Felicia. Ia pun sudah sampai di rumah mertuanya, Emily. Saat itu Ibu mertuanya masih sibuk dengan mesin jahitnya. Padahal Felicia dan Glen sudah menyarankan Emily untuk berhenti bekerja karena mereka sudah memenuhi semua kebutuhan Emily. Namun Emily memilih untuk tetap menjahit untuk menghabiskan waktunya. Waktu Emily diajak ke rumah Felicia pun, dia menolak. Katanya rumah ini penuh kenangan dengan suaminya jadi dia tidak bisa meninggalkannya. Bagi Emily, di rumah ini lah dia masih bisa merasakan kehadiran suaminya.
"Mulai sekarang, kamu harus lebih berhati-hati lagi. Karena sekarang ada anak kita di dalam sini," ucap Glen sembari mengusap perut Felicia yang masih rata. Mereka baru sampai di rumah beberapa menit yang lalu. Istrinya sempat mual-mual lagi tapi sudah reda setelah meminum obat anti mual yang diresepkan oleh Brenda. Glen juga sudah menyiapkan teh hangat untuk istrinya demi mereda rasa mualnya.Felicia mengangguk lemah dari atas ranjangnya. Dari matanya terpancar kebahagiaan atas kehadiran calon
Saat operasi telah selesai dan Martha dibawa ke ruang perawatan selagi menunggu wanita itu sadarkan diri, Glen masih berdiri di samping brankar tempat wanita itu berbaring kini. Entah apa yang ia lakukan disini, seakan setia menunggu wanita itu terbangun. Padahal jam sudah menunjukkan pukul satu pagi. Ia seharusnya segera pulang karena Felicia sendirian di rumah. Bukan malah memandangi mantan kekasihnya begini.Farel, salah satu teman kampus Glen saat menempuh kuliah kedokteran dulu jelas memahami kegelisahan pria itu. Ia tahu
Bulan madu, meski terasa singkat tapi sangat membekas dalam benak Felicia. Wanita itu semakin terlihat ceria dan sering tersenyum. Membuat rekan-rekannya di apotek jadi ikut tertular kebahagiaannya."Yang abis bulan madu, bahagia bener. Cieeee," ledek Sani yang sedang menyiapkan obat-obat untuk pasien rawat jalan siang itu.
Setelah lelah dengan perjalanan di hari pertama mereka, Felicia dan Glen memutuskan untuk makan siang di dalam cottage sekaligus beristirahat. Siang telah menjelang tapi cuaca di Dieng selalu terasa sejuk. Bahkan meski kelelahan sekalipun, Felicia sama sekali tidak berkeringat. Membuat wanita itu ingin bergelut di dalam selimut tebal dan rebahan."Wajahmu pucat," ucap Felicia yang khawatir saat melihat Glen yang berbaring di sampingnya tampak melenguh seperti menahan rasa sakit. Ia pun mengulurkan tangannya dan menyentuh
Keesokan harinya, Felicia sudah sibuk memastikan jika bawaannya tidak ada yang lupa. Sally pun sibuk menyiapkan bekal untuk perjalanan Felicia dan Glen nanti."Udah kayak anak TK yang mau jalan-jalan aja sampai dibuatkan bekal segala, Mah," cibir Gladys sembari mencicipi bitterballen buatan Sally.
Keesokan harinya, beberapa rekan dokter di rumah sakit tempat Glen dan Felicia bekerja tampak senyam senyum saat melihat Glen masuk ke ruangan tempat para dokter berkumpul saat pagi hari. Beberapa dokter yang seumuran Glen atau lebih tua hanya beberapa tahun darinya bahkan terang-terangan menarik kerah baju Glen dengan gaya bercanda."Nikah udah tiga bulan tapi tandanya baru kelihatan sekarang. Kemaren-kemaren ditandain dimana?" ledek Abbas, salah satu dokter spesialis bedah dengan wajah khas timur tengah itu.