"Non, jalannya pelan-pelan atuh. Ntar jatoh."
Sekarang gilirannya Bibik yang teriak-teriak histeris dari arah dapur menghampiri Kim yang hendak menuju kamar di lantai atas dengan sedikit berlari.
"Bik ... Jangan ikut-ikutan jadi cerewet deh," komentarnya.
"Abisnya Bibik takut ntar Non jatoh, kepeleset atau gimana gitu,'' terang wanita paruh baya itu menghampiri sang majikan yang sudah berada di anak tangga ke lima.
"Nggak lah, Bik."
Di saat yang bersamaan, ponsel yang berada di genggamannya, berdering. Ia segera menggeser tombol hijau ke arah kanan melihat nama mamanyalah yang tertera.
"Ya, Mam?" Sahut Kim sambil melanjutkan langkahnya menuju kamar.
"Hallo, Sayang. Gimana kabarnya Alvin?" tanya Jessica yang membuat Kim memberengut.
"Dia baik, kok. Sekarang lagi di kantor. Mama tega amat sih. Malah nanyain kabar Kak Alvin, anak sendiri dilupain,"<
"Kak, setelan kantornya kan udah aku siapin tadi di sofa,'' ujar Kim pada Alvin yang menghampirinya menyiapkan sarapan di meja makan. Karena saat itu Alvin malah mengenakan celana jeans dan kaos doang."Sayang ... Kan semalam aku udah bilang kalau hari ini aku free alias libur. Makanya, kalau aku lagi ngomong itu didengerin. Bukannya malah bengong memandangi tubuhku. Ya, aku juga tahu kalau tubuhku ini begitu menggodamu," ungkapnya penuh percaya diri. Tapi memang kenyataan, sih."Ya ampun, Kakak ngomong apaan sih. Ada bibik tuh, malu-maluin banget tahu nggak," oceh Kim.Alvin memperlihatkan tampang kagetnya. Ia langsung balik badan, ternyata benar, Bibik sudah senyum-senyum nggak jelas sambil membawa air minum."Bibik denger barusan?"Omongan sejelas itu ya pasti dengarlah, kecuali telinga nya Bibik lagi bermasalah."Ah, enggak, Den," elak Bibik"Syukurlah," leganya."Ini apa? " tanya Alvin mengarahkan pandangannya pada tumpuka
Ia mengganti hels dengan sepatu kets, dan kembali pada Alvin."Oke kan?" tanya Kim sambil menunjukkan penampilannya pada suaminya yang duduk di sofa.Alvin berlagak sok mikir sambil memperhatikan penampilan istrinya dari atas sampai bawah. Memang, sih, tak ada manusia yang sempurna. Tapi menurutnya, Kim adalah tipe wanita yang sempurna di matanya. Fisiknya sempurna, dan ia juga seorang wanita yang mau berubah jadi lebih baik."Ada yang lain nggak sepatunya?""Yang kayak gini ya cuman ini doang. Ngapain aku beli sepatu dengan mode dan corak yang sama," balasnya."Maksud aku ....""Makanya, beliin dong sepatu buat istrinya. Udah jadi guru, punya perusahaan, punya pusat perbelanjaan, dan sekarang pemilik kampus, masa iya nggak kuat beliin sepatu buat istrinya," ledek Kim sambil menahan tawanya."Ntar aku beliin sama toko-tokonya sekalian.""Ngomong doang bisanya. Pulang sepasang aja aku udah seneng.Kalau beneran sih," guma
Setiap kali Alvin mengomel dan bicara panjang tanpa jeda, itu sangatlah lucu baginya."Hmm ...." Berpikir sambil mengetuk-ngetuk kepala dengan telunjuknya. Berharap otaknya yang sedang tidur siang, terbangun dan merekomendasikan sebuah ide."Jangan sok mikir. Jadi, kita mau kemana?""Temenin aku shooping," jawabnya penuh semangat.Alvin menarik nafas panjang saat memikirkan dirinya akan mengekori istrinya belanja. Itu bukanlah dirinya."Masa iya aku ngekorin kamu belanja-belanja gitu," komentarnya ingin menolak, tapi secara halus."Iyalah. Mau kan, Kak?" rengek Kim dengan tampang memelas. "Istri lagi hamil loh ini, masa nggak mau nemenin. Mau anakmu ngeces?""Ya ampun, pake bawa-bawa anakku segala," gumam Alvin."Ayolah ...."Setelah memikirkan 1001 kali, akhirnya ia mengambil keputusan terberat dalam hidupnya."Ya udah, tapi dengan satu syarat," ujarnya."Kok pake syarat-syarat segala?" tanya Kim tak terim
"Hmm ... Ke situ," tunjuknya mengarah pada sebuah toko pakaian dalam khusus wanita.Tentu saja Alvin langsung menunjukkan ekspresi tak setujunya."Aku nggak mau. Kamu saja yang masuk, aku tunggu di sini aja," tolaknya."Ayolah, Kak, kalau Kakak ikut masuk kan aku bisa tanya-tanya dan konsultasi mana yang bagus buat aku."Kim kembali merengek agar suaminya itu mau menemaninya. Tapi jujur, sebenarnya ia mau membuktikan, Alvin tipe seperti apa, dia mau atau tidak diajak ke tempat yang semacam itu."Apaan coba yang mesti di tanyain sama aku, kan yang make kamu bukan aku, Kim," jelas Alvin"Iya, sih, yang make aku, tapi yang ngeliat dan menikmatinya kan Kakak," balasnya sambil menaikturunkan kedua alisnya dengan senyuman jahil."Heh ...," keluhnya."Bener kan? Jadi, ayo masuk." Langsung aja ia menarik Alvin untuk masuk ke dalam toko."Omaigattt!!! Tempat apaan, sih, ini," gumamnya sambil mengenakan kaca mata hitam yang tadiny
Saat lagi istirahat, ponsel milik Alvin yang berada di meja berdering. Ia langsung menyambar dan menjawab panggilan tanpa melihat siapa yang menghubunginya."Hallo ....""Lo dimana, Vin?""Di rumah lah.""Ke kantor bentar dong, gue butuh tanda tangan lo Pak Bos.""Bukannya kemaren gue udah tanda tangani semua?""Sorry, gue lupa ngasihin satu lembar lagi ke elo.""Lo benar-benar cari masalah ya sama gue," oceh Alvin langsung."Ntar aja marah-marahnya, gue tunggu di kantor."Dengan penuh kekesalan akhirnya Alvin pun menuju ke kantor. Meskipun saat ini ia merasa kondisi badannya sedikit tak enak. Tapi ini bukan demam.Ia menuju kantor hanya mengenakan pakaian rumahan, celana jeans dan kemeja kotak."Akhirn
"Kalian bertiga nggak kangen sama gue?" Pertanyaannya tertuju pada ketiga wanita itu."Kita kangen banget sama lo, Dylan.Tapi situasi di sini lebih membingungkan banget buat kita,terutama gue," ungkap Hani.Nah, tahu kan, siapa dia? Yap, Dylan. Dylan yang secara tiba-tiba pergi dari kehidupan mereka tanpa permisi dan pamit. Dan sekarang, secara tiba-tiba juga dia nongol lagi."Gue setuju sama ucapan Hani barusan. Ini membingungkan," tambah Kim."Kim, ada baiknya kita pergi dulu dari sini. Kayaknya ini masalah keluarga deh," saran Jeje berbisik pada Kim yang ada di sampingnya."Hmm ... Oke," balasnya menyetujui."Han, mending gue sama Kim balik dulu aja ya," ujar Jeje pada Hani."Kalian kan baru nyampe, gue nggak enak kali," balas Hani."Nggak apa-apa. Ya udah, kita balik dulu, Han. Tante kita pamit," pamit keduanya pada Hani begitupun Mamanya."Dylan ... Good luck, ya," ujar Jeje pada D
"Gimana keadaan kamu, Kim?" tanya William pada putri semata wayangnya itu."Baik-baik aja kok, Pa," jawabnya"Nggak mual-mual atau sejenisnya gitu?" Giliran Jessica yang bertanya."Hmm ... Sebelum ketahuan hamil sih, mual-mual. Tapi habis itu nggak lagi. Eh, anehnya, akhir-akhir ini malah Kak Alvin yang mual-mual nggak jelas. Nggak mau makan inilah, itulah," jelasnya."Duh, kasihan menantu kita, Pa. Pantes aja Mama lihat dia agak kurusan."Tuh kan, denger sendiri kan betapa lebaynya mamanya kalau sudah membahas Alvin. Seperti biasa, dirinya akan tereleminasi."Mama sama Papa nginep di sini, kan?" tanya Alvin yang balik usai menelepon dan duduk di sebelah Kim."Kapan-kapan kami nginep di sini ya, Vin," jawab Jessica."Sebenarnya kami kesini mau ngeliat keadaan kalian dan juga sekalian mau kasih tahu kalau kami besok akan berangkat ke Paris," jelas William."Wahh ... Ikut dong," histeris Kim langsung membayangkan lib
Di saat ia danAlvin masih berada di alam mimpi, tiba-tiba ponsel yang berada di nakas, berdering. Benar-benar nggak sopan menelepon di saat jam masih menunjukkan pukul 02:00 dinihari.Kim tak berniat untuk menjawab panggilan itu, tapi ia tahu betul dari deringannya kalau itu adalah ponsel miliknya."Kak, angkat telepnnya," suruhnya pada Alvin yang masih dengan mata terpejam.Tanpa berkomentar Alvin pun menyambar ponsel yang berada di meja sampingnya.''Hallo.''"Kim mana, Pak?""Astaga ... Kamu nggak sadar ini jam berapa?" ocehnya."Dari siapa?" tanya Kim bingung melihat ekspresi kesal suaminya itu."Hani," jawab Alvin sambil nyodorin ponsel padanya dan kembali ke posisi tidurnya."Apa, Han?""Kim, lo bisa ke rumah gue, nggak?""Ke rumah lo, sekara