Pertengkaran mulai terjadi. Dan semua berasal dari Stephen yang mencari gara-gara itu. Ia bahkan dengan berani mengambil potongan sayuran itu dan membuangnya ke tempat sampah."Apa-apaan ini, potongan sayurannya tidak bagus! Cocoknya di tempat sampah!"Theo yang melihat hal itu pun membuatnya geram. Ia memanggil Stephen dengan kasar dan amarah yang memuncak di kepala. Ia mengangkat tangannya dengan sebilah pisau yang seolah siap menancap."Stephen!"Stephen menoleh ke arah Theo dengan santainya. Matanya langsung terbelalak, ia terlihat ketakutan begitu melihat pisau tajam yang siap menancap itu.Amilie yang berada di sana dan melihat hal itu pun membuatnya ikut takut. Ia tidak ingin sesuatu hal yang buruk terjadi pada keduanya."Mas!" seru Amilie.Mata Theo memerah, seolah menyala bagai dipenuhi bara api penuh amarah. Ia pun menancapkan pisau itu ke atas talenan. Amilie mengelus dada tenang. "Syukurlah Mas Theo masih sadar."Sebelumnya, Amilie takut Theo melayangkan pisau itu ke kepa
Theo yang melihat hal itu pun membuatnya panik. Segera saja ia menghentikan dirinya saat sedang memasak demi membantu Alissia agar tidak mual-mual secara terus menerus."Aku akan mengambilkanmu kayu putih!" ucap Theo sembari bersiap untuk pergi.Namun, Amilie menghentikannya. "Tidak usah, Mas. Sebentar lagi ini pasti akan membaik.""Mungkin ini karena jabang yang ada di dalam kandungannya, Mas," jawab Alissia sembari memegang perut.Tanpa sengaja, Sanjaya datang dan mendengar percakapan anak dan menantunya itu. Ia mendatangi mereka ke dapur!"Ada apa ini? Siapa yang tengah hamil?"Amilie yang mendengar Sanjaya ada di sana pun membuatnya terhenyak seketika. Ia menatap gugup ke arah Sanjaya dengan mulut mengatup rapat.Sontak, Theo memeluk Amilie dari samping. Seakan tengah memperlihatkan keharmonisan keduanya kepada Sanjaya."Istriku. Dia sedang hamil!" Tatapan Sanjaya pun turun ke bawah dada menantunya. Ia melihat ke arah perut Amilie lekat-lekat."Bagaimana mungkin wanita yang baru
Malam itu menjadi malam sendu bagi Amilie. Ketika dirinya sudah ingin melupakan Stephen dan mengikhlaskan semua yang telah terjadi. Tetapi, Sanjaya mengingatkannya pada kejadian hari itu."Ayo, lebih baik kita lanjutkan masak! Jangan dengarkan Papa!" ajak Theo sembari memeluk Amilie dari samping.Theo melepaskan tangannya itu dari bahu Amilie, lalu ia pun melanjutkan kembali memasak.Hingga, tak lama kemudian masakan itu jadi. Perut Amilie yang sudah bersuara itu pun akhirnya akan terisi dengan makanan lezat."Aku merasa lapar, tapi aku jadi tidak berselera makan," batin Amilie.Setelah makanan itu tersaji dengan baik, Theo membawanya ke meja makan. Saat itu, hanya menyediakan dua piring saja. "Untuk Papa mana? Kenapa hanya ada dua piring saja?" tanya Sanjaya sembari melihat ke meja makan.Theo melepaskan apron itu, lalu dengan santainya ia pun menjawab pertanyaan Sanjaya."Kalau Papa mau 'kan masih bisa minta buatkan kepada pembantu yang ada di sini.""Dasar anak kurang ajar!" ump
Amilie memegang lehernya, ia merasa ada sesuatu yang membuat kerongkongannya seolah ingin memuntahkan semua isi perutnya."Aku merasa tidak nyaman," ucap Amilie.Ia beranjak pergi ke toilet terdekat dari ruang makan itu dan mencoba memuntahkan sesuatu itu. Tetapi, ia hanya memuntahkan air liur.Namun, rasa mualnya tak kunjung hilang.Theo yang melihat hal itu pun, ia segera mengambil kayu putih untuk kemudian ia berikan pada Amilie."Amilie sayang~!" seru Theo sembari membawa kayu putih di tangan kanannya.Seketika Amilie menoleh, ia bertanya-tanya dengan cara Theo memanggil dirinya."Tumben sekali, tapi baguslah. Supaya tidak ada yang meragukan pernikahan ini," ucapnya pelan.Dirinya mengambil tisu untuk menyeka air di sekitar mulutnya. Hingga, akhirnya Theo datang dan memapahnya untuk kembali ke ruang makan."Apa perutmu merasa tidak nyaman lagi?" tanya Theo.Amilie mengangguk. Saat itu, mereka sudah berada di ruang makan."Kalau begitu, ayo kita ke kamar saja! Jangan-jangan kamu k
"Tolong buka pintunya!" kata Theo kepada Amilie."Kalau begitu, turunkan saja aku. Biar aku yang membukanya," jawab Amilie.Namun, Theo enggan menurunkan Amilie dari pangkuannya. Ia terus membawa dalam pelukannya."Mas!" seru Amilie ketika melihat suaminya yang tampak sedang melamun. Ia sendiri tidak tahu apa penyebabnya, tetapi Amilie tahu bahwa Theo tengah mengalami masalah yang menghantam dengan begitu dahsyat.Amilie membuka pintu kamar itu perlahan, hingga terbuka.Namun, saat itu tatapan mata Theo masih terlihat kosong. Ia masih melamun, bahkan seolah tidak melihat bahwa pintu itu telah terbuka."Mas, pintunya sudah dibuka!" seru Amilie.Seruan yang lebih keras itu membuat ia bangun dari lamunannya tersebut. Segera saja ia memasuki kamar dan menurunkan Amilie di sofa.Untuk beberapa saat Amilie menatap Theo, ia ingin bertanya. Tetapi, perasaan ragu itu malah muncul. Namun, walau bagaimanapun ia merasa perlu mengetahui masalah suaminya. Jika tahu, sebisa mungkin ia akan membantun
Ketakutan itu kian bertambah dan membuat Amilie tidak tenang. Ia mencari ponsel, tetapi rupanya ponsel itu malah jauh dari jangkauannya. Sehingga, membuat dirinya kesulitan untuk mengambilnya."Haahhh!" Amilie menghela nafas. "Bagaimana ini? Aku tidak mau dia datang ke sini dan mengganggu kenyamananku," batinnya.Stephen yang berada di luar kamar itu terus memaksa Amilie untuk membuka. "Bukalah pintunya, Amilie! Sebelum aku mendobrak pintu ini!" pintanya."Dobrak saja kalau bisa, sampai aku melaporkan kelakuanmu ini pada orang tuamu!" kecamnya.Amilie tidak mau kalau begitu saja dari Stephen. Ia pun membalas ancaman itu dengan sebuah ancaman yang membuat Stephen ketakutan.Sementara itu, di tempat lain. Theo yang menemui Fajar yang merupakan Ajudan pribadinya itu. Ia berusaha agar tidak sampai ketahuan orang Sanjaya.Theo memasuki pavilliun yang ditempati oleh Fajar. "Cepat masuklah, Tuan!" bisiknya.Sebelum memasuki pavilliun tersebut, ia celingak-celinguk melihat ke sana kemari.
Ketakutan Amilie memuncak. Tetapi, Stephen semakin nekat untuk mendapatkan Amilie kembali. "Sekarang mungkin kamu akan menolakku, tapi ... Aku tidak akan pernah membiarkan dirimu tidur dengan tenang sebelum berjumpa dengan diriku."Stephen menyeringai, lalu pergi dari sana untuk kembali ke tempat tidur.Di sofa, Amilie yang masih dalam pelukan Theo pun dirinya berusaha melepaskan diri. Ia mendorong Theo ke samping."Ehemm!" Rasa gugup menyelimuti Amilie, ia menoleh ke arah Theo. Tetapi, wajah Theo begitu datar namun tatapannya terus mengarah pada Amilie."Bantu aku!" ucapnya sembari menjulurkan tangan.Ketika itu, dorongan Amilie sangat kuat hingga membuat tubuh Theo berada di sofa.Amilie menoleh dan mencoba untuk membantunya. Tetapi, Theo malah menarik tangan Amilie hingga membuat tubuhnya menindih Theo.Keduanya saling memandang satu sama lain, bahkan hidungnya sampai menyentuh hidung Theo."Ah, maaf," ucap Amilie saat hendak bangkit kembali.Tetapi, Theo seakan tidak membi
Theo kembali dari kamar mandi. Ia menghampiri Amilie sebentar. Tetapi, Amilie salah paham dan terus mundur seraya menatap mata Theo dengan muka datar sekaligus bingung dengan suaminya tersebut."Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Amilie.Lalu, ia mendekatkan wajahnya ke wajah Amilie. "Hari ini aku mau kamu ikut bersamaku!""Ke mana?" tanya Amilie lagi.Ketika itu, Amilie masih tidak tahu entah akan mengajak ke mana suaminya itu."Ke suatu tempat."Jawaban tidak pasti itu membuat Amilie semakin bingung dibuatnya. Segenap pertanyaan terus bermunculan, tetapi saat itu juga ia memendamnya. Ia yakin, nanti pun akan terjawab.Theo kembali berdiri tegak dan berjalan mundur, kemudian pergi ke ruang ganti untuk memakai baju. Karena, saat itu ia masih menggunakan baju handuk."Ke mana dia akan mengajakku?" batinnya.Amilie bangkit dari duduknya, ia berjalan menuju kamar mandi karena dirinya merasa bahwa tubuh ini terasa lengket dan agak bau keringat.Theo yang setelah mengenakan pakaian pun kem
Drap Drap Drap!Theo berjalan menuju mobil itu dengan Santoso. Santoso mendekat dan tampaknya ia ingin menanyakan sesuatu. Tetapi, entah angin apa yang membuatnya mengurungkan niat tersebut.Pada akhirnya, ia hanya bicara mengenai sesuatu yang mendasar saja."Nak, biar Papa saja yang mengemudi! Papa lihat, kondisi kamu sedang kurang baik!" ujar Santoso meminta kunci mobil yang ada di tangan menantunya tersebut.Dengan wajah tampak kusut, Theo menoleh lalu memberikan kunci mobil. "Terima kasih, Pa," ucapnya dengan singkat. "Apa yang terjadi? Sepertinya dia tengah memikirkan sesuatu dengan serius? Apa ada masalah yang begitu memberatkan pikirannya?" batin Santoso sembari menatap wajah Theo."Terima kasih buat apa?" tanya Santoso sembari memasuki mobil. Begitu juga dengan Theo yang masuk ke dalam mobil tersebut. Tetapi, kali ini mereka pindah posisi, karena yang mengemudikan mobil itu saat ini adalah Santoso."Terima kasih karena Papa sudah mengerti keadaan saya," sahutnya, singkat.San
"Papa habiskan dulu sarapannya!" ujar Dania kepada Santoso yang langsung bangkit. Padahal, saat itu ia hanya baru makan dua sendok saja.Santoso pun menoleh ke arah Dania. "Papa harus pergi ke suatu tempat dulu!" Ia pun kemudian berjalan keluar dari sana. "Ayo, Nak! Kita harus pergi sekarang!"Awalnya, Theo terdiam. Ia bingung dengan maksud Santoso. Sebelumnya ia bahkan tidak diberitahu kemana dirinya akan diajak pergi. Tetapi, kemudian ia ikut dengan ajakan tersebut."Mas, kamu mau pergi ke mana?" tanya Amilie yang juga penasaran dengan itu. Sedangkan Amanda, ia hanya terdiam.Setelah sekian lama dirinya sendiri, ia pun akhirnya sadar dan tak lagi mengganggu rumah tangga adiknya. Dirinya tidak mau jika di masa depan, ada seorang pengganggu dalam rumah tangga yang nanti akan dibangunnya tersebut."Aku harus pergi dulu. Kamu jaga diri baik-baik ya, sayang~"Theo mengecup dahi Amilie, lalu melangkah pergi dari ruangan itu.Tanpa tahu menahu apa yang akan dilakukan oleh Santoso dengan
"AWAAAASS!!!" Teriak Rosalina kepada sopir yang terlihat tidak berkendara dengan baik.Namun, Rosalina tidak tahu jika sopir itu ternyata mengantuk hingga kehilangan fokus saat mengemudikan mobil.BRAAKK! DUAAAARRR!Mobil taksi menghantam keras mobil lainnya yang sedang berkendara dengan kecepatan yang tinggi. Hingga membuat kedua mobil tersebut penyok dan parahnya. Para pengendara termasuk penumpang di sana mobil itu harus mengalami luka yang begitu hebat."Aaarghhh!" Rosalina meringis kesakitan. Ia memegang kepalanya dan dirinya langsung syok begitu melihat banyaknya darah dalam kepalanya tersebut.Rosalina melihat ke sana kemari sembari memegang sebuah tas yang berisi uang.Orang-orang, termasuk para polisi yang ada di sana pun langsung menghampiri ke arah mobil yang mengalami tabrakan hebat tersebut.Tidak mau keberadaannya diketahui oleh para polisi, ia pun bermaksud kabur sebelum para polisi itu sampai pada mobil tersebut."Aku harus melarikan diri dari sini!" gumamnya sembari
Pagi ini, cuaca tampak cerah dengan kicauan burung yang semakin melengkapi pagi mereka. Dengan senyum bahagia, mereka mempersiapkan segalanya untuk kepulangan mereka hari ini. Namun ...Tok Tok Tok!Suara ketukan pintu membuat keduanya menoleh secara bersamaan ke arah suara itu berasal. Ada rasa penasaran dalam benaknya."Siapa, Mas?" tanya Amilie ke arah Theo.Theo mengangkat kedua bahunya. "Tidak tahu, sayang. Mungkin itu Papa," jawab Theo, ngasal. Karena yang ada di pikiran Theo saat itu hanya Ayah mertuanya yang kemarin banyak bertanya kepada dirinya."Masuk saja!" sahut Theo sembari menoleh ke arah pintu. Klek! Pintu terbuka.Seorang pria datang ke ruangan itu dengan sopan. Lalu, ia berdiri di hadapan Amilie dan Theo. Theo yang melihat pria yang ia pikir membeli restoran itu ada di hadapannya membuat dirinya langsung tercengang kaget "Bukannya kamu yang waktu itu ...!" Theo mengingatnya, bahwa orang itu merupakan orang yang membeli restorannya kala itu."Benar. Kita pernah ber
Di dalam sebuah ruangan rumah sakit tersebut, Amilie duduk sembari melihat ke arah jendela. Ia menunggu kedatangan suaminya yang sampai kini pun belum kembali."Mas, kamu dimana? Kamu baik-baik saja, 'kan?" ucap Amilie. Ia terus berbicara sendiri.Klek! Pintu pun terbuka.Theo datang ke rumah sakit itu dengan bayi yang ada di dalam pelukannya. Suara tangisan bayi itu semakin terdengar nyaring. Hal ini membuat Amilie langsung berlari menuju Theo. "Mas, berikan dia padaku, aku yakin dia merasa lapar ...!" pinta Amilie kepada suaminya yang masih memeluk erat bayi itu.Perlahan, Theo pun memberikan bayi itu kepada Amilie. Ia memeluknya dengan penuh cinta, lalu berjalan menuju ranjang sana. Dirinya duduk, lalu memberikan asi kepada bayinya."Mas, tidak terjadi sesuatu sama kamu, 'kan?" tanya Amilie sembari menyusui."Tidak ada, sayang. Aku baik-baik saja," jawabnya.Tetapi, wajahnya seolah menahan rasa sakit. Sayangnya, saat itu Amilie tidak menyadari keadaan suaminya. Yang ia paling ped
"Cepat lemparkan tas itu sekarang!" teriak seseorang yang datang terakhir itu. Lantas, Theo pun kemudian melemparkan tas itu ke wajahnya. Pada saat yang bersamaan, seorang pria datang ke tempat itu dan mendahului mengambil has tersebut.Theo pun dibuat heran dengan sosok tak dikenalnya itu. Lalu, secara beruntun yang lainnya datang ke tempat itu dan melawan ketiga penjahat tersebut.Rosalina dalam balutan topeng di wajahnya itu dibuat syok. "Hah! Siapa mereka?" gumamnya dengan melirik ke setiap orang yang datang dan seolah hendak membantu Theo.Tetapi, di sisi lain Theo merasa senang karena sepertinya mereka akan membantunya dari orang-orang jahat tersebut.Di sana mereka bersiap melawan para penjahat. Begitu pun, para penjahat yang seolah tidak takut dengan mereka.Namun, tak berselang lama setelah itu, kini para polisi datang ke tempat itu bersama para bodyguard Santoso. Hingga, tempat itu terkepung. "Serahkan bayi itu sekarang!"Alih-alih menyerah, Rosalina malah menggunakan bay
Theo terus mengemudi dan mengemudikan mobilnya ke tempat yang telah disebutkan itu. Tetapi, dirinya tak menemukan tempat yang disebutkan tersebut. Hingga, pada akhirnya ia turun dari mobil untuk menanyakan alamat itu kepada orang sekitar.Dengan membawa sebuah tas yang berisi uang, ia pun kemudian berjalan kepada seorang penjaga kios yang ada di sana."Permisi, apa boleh saya tanya?" ucap Theo.Penjaga kios itu menghentikan pekerjaannya sejenak, lalu menoleh ke arah Theo. "Boleh. Mau tanya apa?" sahutnya dengan nada datar."Apa kamu tahu dimana letak sebuah rumah tua yang ada di dekat kontrakan sekitar sini?" tanya Theo lagi."Oh, kalau itu ... Dari sini kamu berjalan lurus. Sekitar lima langkah dari sini ada sebuah gang kecil, kamu jalan yang itu terus saja ikuti gangnya. Nah, setelah itu kamu sampai!" jelasnya."Kalau begitu, terima kasih," ucap Theo kepada orang itu.Sembari tersenyum, penjaga kios itu pun menyahutnya. "Iya, sama-sama. Mau minum kopi dulu, Pak?" tanyanya basa-basi
"Mas, kita bahkan tidak punya uang sebanyak itu? Dari mana kita mendapatkannya?" lirih Amilie sembari menangis.Lalu, kemudian ia mengingat sesuatu yang membuat dirinya menyeka air matanya segera dan langsung mengambil ponsel."Kamu mau apa, sayang?" "Mau harus minta tolong sama Papa, Mas. Untuk uang sebanyak itu, aku yakin tidak sulit untuk Papa memberikannya!" sahut Amilie dengan serius.Theo pun kemudian terdiam, ia tak lagi menyahut apa yang Amilie katakan. Lantas, Theo pun kemudian mencoba untuk menghubungi beberapa rekannya dengan menawarkan restoran miliknya. Tetapi, tak satupun dari mereka yang tertarik dengan itu."Sepertinya aku masih memiliki foto itu!" batin Theo.Amilie yang mencoba menghubungi Santoso pun terus melakukannya sampai sang Ayah menjawab telepon darinya."Kenapa Papa tak menjawab telepon dariku?" umpat Amilie kesal.Ia mencobanya lagi dan tau menyerah sebelum dirinya mendapatkan kepastian akan hal itu."Sayang, lebih baik kamu urungkan niat kamu untuk meng
"Berhenti di sini saja, Pak!" pinta Rosalina kepada taksi itu.Rosalina pun membayar ongkosnya, lalu bergegas pergi memasuki gang kecil menuju rumahnya. Di gang kecil itu, ia langsung melepas kacamata dan masker yang sempat menutupi serta menyamarkan wajahnya.Sesekali ia melihat ke belakang, memastikan bahwa tidak ada orang lain yang mengikutinya."Aku harus segera masuk ke dalam rumah! Tak seorang pun yang boleh tahu kalau akulah pembunuh itu!"Meskipun, saat ini dirinya selamat dan belum ada yang mengetahui akan apa yang dilakukan sebelumnya terhadap seorang perawat wanita. Tetap saja, hatinya tidak bisa dibohongi.Brakk! Rosalina menutup pintu itu dengan keras. Dirinya pun langsung meletakkan bayi itu di sana. Namun, tiba-tiba saja bayi itu menangis karena merasa lapar dan butuh asupan ke dalam tubuhnya."Mana bayinya malah nangis! Apa yang harus aku lakukan sekarang?!" batinnya.Rosalina mengambil kembali bayi itu dan mencoba menimang-nimangnya agar tidak menangis. Namun sayang,