14. Theo menyodorkan sebuah kartu kepada resepsionis tersebut."Saya mau tinggal disini. Tolong siapkan kamar VIP untuk kami!" pinta Theo.Resepsionis itu pun kemudian mengambil kartu tersebut.Amilie terus melihat ke arah pintu, ia takut jika Stephen menyusulnya sampai ke sana. Bibirnya kering dengan perasaan panik yang tak kunjung hilang."Mas, bagaimana kalau dia menemukan kita?" ucap Alissia panik dengan pandangan terus ke luar. Memperhatikan siapa saja orang yang keluar -- masuk apartemen tersebut."Tenang saja, dia tidak akan berani mengganggumu."Tak lama setelah menunggu, resepsionis itu mengembalikan kartu itu kepada Theo."Maaf, Pak. Kartu Anda sudah terblokir."Lalu, Theo mengambil kartu yang satunya lagi. Yang mana kemudian kartu itu ia berikan kepada resepsionis tersebut untuk diperiksa juga."Maaf, yang ini juga sudah diblokir."Theo menerima kartu terakhir yang dimilikinya tersebut."Papa! Ini pasti karena ulahnya!" umpat Theo di dalam hatinya.Kekesalan itu tampak sek
Amilie yang melihat Rosalina terus melihat ke arahnya membuatnya tidak bisa diam saja. Ia berjalan ke arah Rosalina dan meminta maaf."Ma, maaf kalau sikap Mas Theo membuat Mama jengkel. Tapi, mungkin dia juga sedang ada masalah dengan hidupnya," ucap Amilie meminta maaf.Meskipun begitu, Rosalina tidak peduli. Sebab, Theo merupakan saingannya Stephen -- anaknya sendiri."Tidak masalah, sudah biasa. Tenang saja, Mama dukung pernikahan kamu dengan Theo."Amilie yang mendapat dukungan itu malah merasa sedih, sebab pernikahan yang ia inginkan adalah dengan Stephen. "Terima kasih," sahut Amilie sembari tersenyum samar.'Berarti selama ini Mama mertua tidak setuju kalau aku menikah dengan Stephen' pikir Amilie dalam lamunannya."Kamu lebih cocok dengan Theo daripada Stephen!" ujar Rosalina seraya menepuk-nepuk pundak Amilie.Amilie mengedipkan mata, ia bangkit dari lamunannya. Lalu, kemudian berpamitan kepada Rosalina."Kalau begitu aku permisi, Ma.""Ya, silakan."Amilie melangkah pergi
Theo mematikan telepon itu. Ia menjemput Amilie dan membawanya pergi dari sana menuju kamar."Ayo tidur! Besok saya akan mengajak kamu pergi ke suatu tempat!" katanya.Amilie dan Theo berjalan berdampingan, keduanya masuk kamar dan siap tidur. Saat itu, Amilie langsung membantingkan tubuhnya ke tempat tidur."Aahh, akhirnya aku bisa istirahat di sini dengan nyaman. Tapi, sekarang aku merasa lapar," ucap Amilie sembari memegang perutnya yang bersuara.Lantas, Amilie bangkit dari baringnya. Ia berjalan menuju pintu kamar yang ada di sebelah kanan sana."Kamu mau pergi ke mana?"Amilie menoleh. "Saya mau makan, lapar," jawabnya.Theo tidak bisa membiarkan Amilie sendirian ke sana, ia pun kemudian menemaninya. "Kamu juga mau ke mana?""Makan malam. Seharian saya belum makan."Padahal, itu hanya alasannya saja. Dibalik semua itu, ia menyimpan rasa khawatir. Dirinya tidak mau Amilie menemui sesuatu yang aneh di sana.Mereka pun berjalan menuju tangga dengan langkah santai. Namun, Theo me
Pertengkaran mulai terjadi. Dan semua berasal dari Stephen yang mencari gara-gara itu. Ia bahkan dengan berani mengambil potongan sayuran itu dan membuangnya ke tempat sampah."Apa-apaan ini, potongan sayurannya tidak bagus! Cocoknya di tempat sampah!"Theo yang melihat hal itu pun membuatnya geram. Ia memanggil Stephen dengan kasar dan amarah yang memuncak di kepala. Ia mengangkat tangannya dengan sebilah pisau yang seolah siap menancap."Stephen!"Stephen menoleh ke arah Theo dengan santainya. Matanya langsung terbelalak, ia terlihat ketakutan begitu melihat pisau tajam yang siap menancap itu.Amilie yang berada di sana dan melihat hal itu pun membuatnya ikut takut. Ia tidak ingin sesuatu hal yang buruk terjadi pada keduanya."Mas!" seru Amilie.Mata Theo memerah, seolah menyala bagai dipenuhi bara api penuh amarah. Ia pun menancapkan pisau itu ke atas talenan. Amilie mengelus dada tenang. "Syukurlah Mas Theo masih sadar."Sebelumnya, Amilie takut Theo melayangkan pisau itu ke kepa
Theo yang melihat hal itu pun membuatnya panik. Segera saja ia menghentikan dirinya saat sedang memasak demi membantu Alissia agar tidak mual-mual secara terus menerus."Aku akan mengambilkanmu kayu putih!" ucap Theo sembari bersiap untuk pergi.Namun, Amilie menghentikannya. "Tidak usah, Mas. Sebentar lagi ini pasti akan membaik.""Mungkin ini karena jabang yang ada di dalam kandungannya, Mas," jawab Alissia sembari memegang perut.Tanpa sengaja, Sanjaya datang dan mendengar percakapan anak dan menantunya itu. Ia mendatangi mereka ke dapur!"Ada apa ini? Siapa yang tengah hamil?"Amilie yang mendengar Sanjaya ada di sana pun membuatnya terhenyak seketika. Ia menatap gugup ke arah Sanjaya dengan mulut mengatup rapat.Sontak, Theo memeluk Amilie dari samping. Seakan tengah memperlihatkan keharmonisan keduanya kepada Sanjaya."Istriku. Dia sedang hamil!" Tatapan Sanjaya pun turun ke bawah dada menantunya. Ia melihat ke arah perut Amilie lekat-lekat."Bagaimana mungkin wanita yang baru
Malam itu menjadi malam sendu bagi Amilie. Ketika dirinya sudah ingin melupakan Stephen dan mengikhlaskan semua yang telah terjadi. Tetapi, Sanjaya mengingatkannya pada kejadian hari itu."Ayo, lebih baik kita lanjutkan masak! Jangan dengarkan Papa!" ajak Theo sembari memeluk Amilie dari samping.Theo melepaskan tangannya itu dari bahu Amilie, lalu ia pun melanjutkan kembali memasak.Hingga, tak lama kemudian masakan itu jadi. Perut Amilie yang sudah bersuara itu pun akhirnya akan terisi dengan makanan lezat."Aku merasa lapar, tapi aku jadi tidak berselera makan," batin Amilie.Setelah makanan itu tersaji dengan baik, Theo membawanya ke meja makan. Saat itu, hanya menyediakan dua piring saja. "Untuk Papa mana? Kenapa hanya ada dua piring saja?" tanya Sanjaya sembari melihat ke meja makan.Theo melepaskan apron itu, lalu dengan santainya ia pun menjawab pertanyaan Sanjaya."Kalau Papa mau 'kan masih bisa minta buatkan kepada pembantu yang ada di sini.""Dasar anak kurang ajar!" ump
Amilie memegang lehernya, ia merasa ada sesuatu yang membuat kerongkongannya seolah ingin memuntahkan semua isi perutnya."Aku merasa tidak nyaman," ucap Amilie.Ia beranjak pergi ke toilet terdekat dari ruang makan itu dan mencoba memuntahkan sesuatu itu. Tetapi, ia hanya memuntahkan air liur.Namun, rasa mualnya tak kunjung hilang.Theo yang melihat hal itu pun, ia segera mengambil kayu putih untuk kemudian ia berikan pada Amilie."Amilie sayang~!" seru Theo sembari membawa kayu putih di tangan kanannya.Seketika Amilie menoleh, ia bertanya-tanya dengan cara Theo memanggil dirinya."Tumben sekali, tapi baguslah. Supaya tidak ada yang meragukan pernikahan ini," ucapnya pelan.Dirinya mengambil tisu untuk menyeka air di sekitar mulutnya. Hingga, akhirnya Theo datang dan memapahnya untuk kembali ke ruang makan."Apa perutmu merasa tidak nyaman lagi?" tanya Theo.Amilie mengangguk. Saat itu, mereka sudah berada di ruang makan."Kalau begitu, ayo kita ke kamar saja! Jangan-jangan kamu k
"Tolong buka pintunya!" kata Theo kepada Amilie."Kalau begitu, turunkan saja aku. Biar aku yang membukanya," jawab Amilie.Namun, Theo enggan menurunkan Amilie dari pangkuannya. Ia terus membawa dalam pelukannya."Mas!" seru Amilie ketika melihat suaminya yang tampak sedang melamun. Ia sendiri tidak tahu apa penyebabnya, tetapi Amilie tahu bahwa Theo tengah mengalami masalah yang menghantam dengan begitu dahsyat.Amilie membuka pintu kamar itu perlahan, hingga terbuka.Namun, saat itu tatapan mata Theo masih terlihat kosong. Ia masih melamun, bahkan seolah tidak melihat bahwa pintu itu telah terbuka."Mas, pintunya sudah dibuka!" seru Amilie.Seruan yang lebih keras itu membuat ia bangun dari lamunannya tersebut. Segera saja ia memasuki kamar dan menurunkan Amilie di sofa.Untuk beberapa saat Amilie menatap Theo, ia ingin bertanya. Tetapi, perasaan ragu itu malah muncul. Namun, walau bagaimanapun ia merasa perlu mengetahui masalah suaminya. Jika tahu, sebisa mungkin ia akan membantun
Drap Drap Drap!Theo berjalan menuju mobil itu dengan Santoso. Santoso mendekat dan tampaknya ia ingin menanyakan sesuatu. Tetapi, entah angin apa yang membuatnya mengurungkan niat tersebut.Pada akhirnya, ia hanya bicara mengenai sesuatu yang mendasar saja."Nak, biar Papa saja yang mengemudi! Papa lihat, kondisi kamu sedang kurang baik!" ujar Santoso meminta kunci mobil yang ada di tangan menantunya tersebut.Dengan wajah tampak kusut, Theo menoleh lalu memberikan kunci mobil. "Terima kasih, Pa," ucapnya dengan singkat. "Apa yang terjadi? Sepertinya dia tengah memikirkan sesuatu dengan serius? Apa ada masalah yang begitu memberatkan pikirannya?" batin Santoso sembari menatap wajah Theo."Terima kasih buat apa?" tanya Santoso sembari memasuki mobil. Begitu juga dengan Theo yang masuk ke dalam mobil tersebut. Tetapi, kali ini mereka pindah posisi, karena yang mengemudikan mobil itu saat ini adalah Santoso."Terima kasih karena Papa sudah mengerti keadaan saya," sahutnya, singkat.San
"Papa habiskan dulu sarapannya!" ujar Dania kepada Santoso yang langsung bangkit. Padahal, saat itu ia hanya baru makan dua sendok saja.Santoso pun menoleh ke arah Dania. "Papa harus pergi ke suatu tempat dulu!" Ia pun kemudian berjalan keluar dari sana. "Ayo, Nak! Kita harus pergi sekarang!"Awalnya, Theo terdiam. Ia bingung dengan maksud Santoso. Sebelumnya ia bahkan tidak diberitahu kemana dirinya akan diajak pergi. Tetapi, kemudian ia ikut dengan ajakan tersebut."Mas, kamu mau pergi ke mana?" tanya Amilie yang juga penasaran dengan itu. Sedangkan Amanda, ia hanya terdiam.Setelah sekian lama dirinya sendiri, ia pun akhirnya sadar dan tak lagi mengganggu rumah tangga adiknya. Dirinya tidak mau jika di masa depan, ada seorang pengganggu dalam rumah tangga yang nanti akan dibangunnya tersebut."Aku harus pergi dulu. Kamu jaga diri baik-baik ya, sayang~"Theo mengecup dahi Amilie, lalu melangkah pergi dari ruangan itu.Tanpa tahu menahu apa yang akan dilakukan oleh Santoso dengan
"AWAAAASS!!!" Teriak Rosalina kepada sopir yang terlihat tidak berkendara dengan baik.Namun, Rosalina tidak tahu jika sopir itu ternyata mengantuk hingga kehilangan fokus saat mengemudikan mobil.BRAAKK! DUAAAARRR!Mobil taksi menghantam keras mobil lainnya yang sedang berkendara dengan kecepatan yang tinggi. Hingga membuat kedua mobil tersebut penyok dan parahnya. Para pengendara termasuk penumpang di sana mobil itu harus mengalami luka yang begitu hebat."Aaarghhh!" Rosalina meringis kesakitan. Ia memegang kepalanya dan dirinya langsung syok begitu melihat banyaknya darah dalam kepalanya tersebut.Rosalina melihat ke sana kemari sembari memegang sebuah tas yang berisi uang.Orang-orang, termasuk para polisi yang ada di sana pun langsung menghampiri ke arah mobil yang mengalami tabrakan hebat tersebut.Tidak mau keberadaannya diketahui oleh para polisi, ia pun bermaksud kabur sebelum para polisi itu sampai pada mobil tersebut."Aku harus melarikan diri dari sini!" gumamnya sembari
Pagi ini, cuaca tampak cerah dengan kicauan burung yang semakin melengkapi pagi mereka. Dengan senyum bahagia, mereka mempersiapkan segalanya untuk kepulangan mereka hari ini. Namun ...Tok Tok Tok!Suara ketukan pintu membuat keduanya menoleh secara bersamaan ke arah suara itu berasal. Ada rasa penasaran dalam benaknya."Siapa, Mas?" tanya Amilie ke arah Theo.Theo mengangkat kedua bahunya. "Tidak tahu, sayang. Mungkin itu Papa," jawab Theo, ngasal. Karena yang ada di pikiran Theo saat itu hanya Ayah mertuanya yang kemarin banyak bertanya kepada dirinya."Masuk saja!" sahut Theo sembari menoleh ke arah pintu. Klek! Pintu terbuka.Seorang pria datang ke ruangan itu dengan sopan. Lalu, ia berdiri di hadapan Amilie dan Theo. Theo yang melihat pria yang ia pikir membeli restoran itu ada di hadapannya membuat dirinya langsung tercengang kaget "Bukannya kamu yang waktu itu ...!" Theo mengingatnya, bahwa orang itu merupakan orang yang membeli restorannya kala itu."Benar. Kita pernah ber
Di dalam sebuah ruangan rumah sakit tersebut, Amilie duduk sembari melihat ke arah jendela. Ia menunggu kedatangan suaminya yang sampai kini pun belum kembali."Mas, kamu dimana? Kamu baik-baik saja, 'kan?" ucap Amilie. Ia terus berbicara sendiri.Klek! Pintu pun terbuka.Theo datang ke rumah sakit itu dengan bayi yang ada di dalam pelukannya. Suara tangisan bayi itu semakin terdengar nyaring. Hal ini membuat Amilie langsung berlari menuju Theo. "Mas, berikan dia padaku, aku yakin dia merasa lapar ...!" pinta Amilie kepada suaminya yang masih memeluk erat bayi itu.Perlahan, Theo pun memberikan bayi itu kepada Amilie. Ia memeluknya dengan penuh cinta, lalu berjalan menuju ranjang sana. Dirinya duduk, lalu memberikan asi kepada bayinya."Mas, tidak terjadi sesuatu sama kamu, 'kan?" tanya Amilie sembari menyusui."Tidak ada, sayang. Aku baik-baik saja," jawabnya.Tetapi, wajahnya seolah menahan rasa sakit. Sayangnya, saat itu Amilie tidak menyadari keadaan suaminya. Yang ia paling ped
"Cepat lemparkan tas itu sekarang!" teriak seseorang yang datang terakhir itu. Lantas, Theo pun kemudian melemparkan tas itu ke wajahnya. Pada saat yang bersamaan, seorang pria datang ke tempat itu dan mendahului mengambil has tersebut.Theo pun dibuat heran dengan sosok tak dikenalnya itu. Lalu, secara beruntun yang lainnya datang ke tempat itu dan melawan ketiga penjahat tersebut.Rosalina dalam balutan topeng di wajahnya itu dibuat syok. "Hah! Siapa mereka?" gumamnya dengan melirik ke setiap orang yang datang dan seolah hendak membantu Theo.Tetapi, di sisi lain Theo merasa senang karena sepertinya mereka akan membantunya dari orang-orang jahat tersebut.Di sana mereka bersiap melawan para penjahat. Begitu pun, para penjahat yang seolah tidak takut dengan mereka.Namun, tak berselang lama setelah itu, kini para polisi datang ke tempat itu bersama para bodyguard Santoso. Hingga, tempat itu terkepung. "Serahkan bayi itu sekarang!"Alih-alih menyerah, Rosalina malah menggunakan bay
Theo terus mengemudi dan mengemudikan mobilnya ke tempat yang telah disebutkan itu. Tetapi, dirinya tak menemukan tempat yang disebutkan tersebut. Hingga, pada akhirnya ia turun dari mobil untuk menanyakan alamat itu kepada orang sekitar.Dengan membawa sebuah tas yang berisi uang, ia pun kemudian berjalan kepada seorang penjaga kios yang ada di sana."Permisi, apa boleh saya tanya?" ucap Theo.Penjaga kios itu menghentikan pekerjaannya sejenak, lalu menoleh ke arah Theo. "Boleh. Mau tanya apa?" sahutnya dengan nada datar."Apa kamu tahu dimana letak sebuah rumah tua yang ada di dekat kontrakan sekitar sini?" tanya Theo lagi."Oh, kalau itu ... Dari sini kamu berjalan lurus. Sekitar lima langkah dari sini ada sebuah gang kecil, kamu jalan yang itu terus saja ikuti gangnya. Nah, setelah itu kamu sampai!" jelasnya."Kalau begitu, terima kasih," ucap Theo kepada orang itu.Sembari tersenyum, penjaga kios itu pun menyahutnya. "Iya, sama-sama. Mau minum kopi dulu, Pak?" tanyanya basa-basi
"Mas, kita bahkan tidak punya uang sebanyak itu? Dari mana kita mendapatkannya?" lirih Amilie sembari menangis.Lalu, kemudian ia mengingat sesuatu yang membuat dirinya menyeka air matanya segera dan langsung mengambil ponsel."Kamu mau apa, sayang?" "Mau harus minta tolong sama Papa, Mas. Untuk uang sebanyak itu, aku yakin tidak sulit untuk Papa memberikannya!" sahut Amilie dengan serius.Theo pun kemudian terdiam, ia tak lagi menyahut apa yang Amilie katakan. Lantas, Theo pun kemudian mencoba untuk menghubungi beberapa rekannya dengan menawarkan restoran miliknya. Tetapi, tak satupun dari mereka yang tertarik dengan itu."Sepertinya aku masih memiliki foto itu!" batin Theo.Amilie yang mencoba menghubungi Santoso pun terus melakukannya sampai sang Ayah menjawab telepon darinya."Kenapa Papa tak menjawab telepon dariku?" umpat Amilie kesal.Ia mencobanya lagi dan tau menyerah sebelum dirinya mendapatkan kepastian akan hal itu."Sayang, lebih baik kamu urungkan niat kamu untuk meng
"Berhenti di sini saja, Pak!" pinta Rosalina kepada taksi itu.Rosalina pun membayar ongkosnya, lalu bergegas pergi memasuki gang kecil menuju rumahnya. Di gang kecil itu, ia langsung melepas kacamata dan masker yang sempat menutupi serta menyamarkan wajahnya.Sesekali ia melihat ke belakang, memastikan bahwa tidak ada orang lain yang mengikutinya."Aku harus segera masuk ke dalam rumah! Tak seorang pun yang boleh tahu kalau akulah pembunuh itu!"Meskipun, saat ini dirinya selamat dan belum ada yang mengetahui akan apa yang dilakukan sebelumnya terhadap seorang perawat wanita. Tetap saja, hatinya tidak bisa dibohongi.Brakk! Rosalina menutup pintu itu dengan keras. Dirinya pun langsung meletakkan bayi itu di sana. Namun, tiba-tiba saja bayi itu menangis karena merasa lapar dan butuh asupan ke dalam tubuhnya."Mana bayinya malah nangis! Apa yang harus aku lakukan sekarang?!" batinnya.Rosalina mengambil kembali bayi itu dan mencoba menimang-nimangnya agar tidak menangis. Namun sayang,