[Mau makan siang bersama?]Azlan membaca pesan dari Ayana. Dia tahu jika Ayana pasti mencemaskan dirinya.[Ya, mau makan di mana?]Azlan pun membalas pesan dari Ayana dengan cepat.[Kafe Deon saja, nanti siang aku tunggu di sana.]Azlan tak membalas lagi pesan dari sang kakak. Dia memilih meletakkan ponselnya, lantas kembali bekerja. Saat dia sedang memilah berkas yang bertumpuk di meja, suara ketukan membuat Azlan menoleh ke pintu. Dia melihat Firman masuk menemuinya.“Pa.” Azlan langsung berdiri menyambut sang papa.“Kamu sibuk?” tanya Firman.“Lumayan,” jawab Azlan singkat.Firman melihat meja Azlan yang penuh dengan tumpukan berkas. Dia lantas pergi ke sofa diikuti Azlan.“Apa yang membuat Papa ke sini?” tanya Azlan, “jika ada hal penting soal pekerjaan, aku bisa datang ke ruangan Papa,” ujar Azlan lagi.Firman tersenyum mendengar ucapan Azlan. Dia meminta agar putranya itu duduk di sampingnya.“Papa kebetulan dari luar untuk mengurus pekerjaan, jadi sekalian mampir sebelum kembal
“Aku tahu kamu sangat marah kepadaku. Aku ke sini karena ingin menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi,” ucap Hyuna mulai bicara setelah Azlan bersedia mendengarkan penjelasannya. Azlan sendiri hanya diam tak merespon sama sekali ucapan Hyuna. Dia bahkan memalingkan wajah seolah tak ingin melihat gadis itu. “Pria kemarin itu klien hotel. Dia dari luar kota ke sini karena ingin membahas bisnis dengan hotel Papa. Karena itu aku menemaninya selama beberapa hari ini sebab dia sedang melakukan peninjauan,” ujar Hyuna menjelaskan. Azlan menatap Hyuna setelah mendengar penjelasan itu, hingga kemudian bicara dengan sedikit nada sindiran. “Iya menemani karena bisnis, sampai melepas cincin untuk menunjukkan kalau kamu masih single,” balas Azlan. Hyuna tak terkejut Azlan membahas hal itu. Dia pun mencoba kembali bicara. “Aku lupa memakainya karena setiap mandi pasti aku lepas. Aku benar-benar tidak pernah berniat secara sengaja melepasnya, Lan.” Azlan tersenyum getir mendengar penjelasan
Azlan mengemudikan mobil di jalanan yang lenggang, hingga tiba-tiba membanting stir agar mobilnya menepi. Saat mobil sudah berhenti sempurna, Azlan mencengkram erat stir, lantas menjatuhkan kening di atas benda berbentuk lingkaran itu. Kedua pundaknya pun bergetar, Azlan tak mampu menahan air mata. Dia tak ingin kejadian seperti ini terulang, membuatnya mengambil keputusan berat untuk saling memikirkan ulang apa yang sebenarnya mereka inginkan. Cukup lama Azlan berada di sana, meratapi keputusan yang sebenarnya sulit untuk diambilnya. Dia mencoba menenangkan diri, hingga akhirnya sedikit tenang setelah bisa menangis. “Ini yang terbaik untuk kita saat ini, Hyuna. Kita memang seharusnya menenangkan diri agar tidak saling menyakiti.” Azlan menarik napas panjang, lantas mengembuskan perlahan sebelum akhirnya kembali melajukan mobil untuk kembali ke perusahaan. ** “Bagaimana kabar Azlan?” tanya Alex saat duduk bersama Ayana dan Deon di ruang keluarga. “Buruk,” jawab Ayana sambil memb
“Ya, ini permasalah anak-anak. Aku pun tidak bisa memutuskan bagaimana, tapi yang jelas ya seperti itu ceritanya,” ucap Firman sambil mengusap kening karena pening memikirkan masalah Azlan dan Hyuna. Firman mendapat panggilan dari ayah Hyuna. Dia pun menjelaskan apa yang terjadi agar tidak ada kesalahpahaman nantinya. “Kami hanya cemas dengan kondisi Hyuna yang mengurung diri di kamar sejak siang tadi, kamu tahu sendiri kalau Hyuna selalu memilih mengunci diri di kamar kalau sedang sedih atau kesal. Tapi karena masalahnya seperti itu, ya kita tidak bisa berbuat apa-apa.” Firman mengangguk-angguk mendengar ucapan ayah Hyuna. “Begini saja, kita tunggu sampai anak-anak tenang. Takutnya kalau sekarang kita paksa mereka bicara, malah akan memperburuk keadaan sebab keduanya sedang dalam kondisi labil,” ujar Firman memberikan solusi. “Baiklah, semoga hubungan mereka membaik dan tidak ada masalah yang berkelanjutan.” Panggilan dari ayah Hyuna pun berakhir. Firman menatap ponselnya sambi
Sudah dua hari semenjak Azlan dan Hyuna berpisah. Azlan sendiri menjalani harinya seperti biasa, dia mencoba untuk tak bergantung lagi dengan keberadaan Hyuna di sisinya. “Apa kamu masih mengirim pesan ke Hyuna?” tanya Ayana saat makan siang bersama Azlan dan yang lain. Tatapan Alex dan yang lain pun langsung tertuju ke Azlan ketika mendengar pertanyaan Ayana. Azlan sendiri berhenti menyendok makanan yang ada di piring, lantas memandang Ayana. “Aku tidak ingin menganggunya,” jawab Azlan lantas kembali menyantap makanannya. Ayana, Alex, Deon, dan Ive pun saling tatap. Sikap Azlan memang sangat tenang bagi seseorang yang baru saja kehilangan orang yang dicintai. “Lagi pula hubungan kami sudah berakhir. Aku tidak mau dianggap sebagai pengganggu karena masih terus menghubunginya. Bukankah sudah biasa jika mantan akan berusaha menghindari, bukan sakit hati, hanya saja tak ingin dianggap masih berharap,” ujar Azlan lagi tanpa memperhatikan orang-orang yang ada di sana. Semua orang pu
“Makan ya, Hyun.” Ibu Hyuna membujuk agar putrinya itu mau makan. Dia cemas karena kondisi Hyuna yang lemah, bahkan hanya mengandalkan cairan infus sebab tak mau makan. Hyuna memalingkan wajah, tetap tak mau makan meski ibunya juga dokter sudah membujuk. Ibu Hyuna pun bingung, kenapa putrinya sampai seperti ini. Dia sudah berusaha menghubungi Azlan, tapi tidak mendapatkan hasil. Saat wanita itu bingung karena Hyuna masih tak mau makan, terdengar ketukan pintu yang membuat wanita itu menoleh ke pintu. Dia melihat Ayana dan Deon yang datang, membuatnya begitu senang hingga langsung menghampiri. “Azlan mau datang?” tanya ibu Hyuna dengan suara lirih saat menghampiri Ayana dan Deon. Dia sampai melongok ke pintu, tapi tak melihat Azlan. “Azlan masih sibuk, Bibi. Aku juga sudah menyampaikan pesan Bibi, tapi tidak tahu kapan dia akan datang,” jawab Ayana merasa bersalah karena ibu Hyuna terlihat penuh harap melihat Azlan datang. Wanita itu terlihat kecewa, tapi juga tak bisa berbuat ap
Azlan tidak pulang dari perusahaan sampai malam. Dia masih duduk di belakang meja kerjanya, diam tak melakukan apa pun karena banyak hal yang masuk ke pikirannya. Bahkan dia sampai mengabaikan panggilan dari kedua orang tuanya juga Ayana, tak ada satu pun panggilan dari mereka yang dijawabnya. Hingga saat waktu menunjukkan pukul sembilan malam, Azlan akhirnya beranjak dari kursinya, keluar dari ruangan untuk meninggalkan perusahaan. Bahkan satpam yang melihatnya baru akan pulang pun sampai bingung kenapa Azlan di sana sampai malam. Azlan ternyata tak pulang. Dia membeli makanan, lantas melanjutkan pergi ke rumah sakit. Meski dia kesal dan ingin memberi pelajaran ke Hyuna akan arti betapa berharganya hubungan mereka, tapi sekarang ini dia pun sudah tak bisa melanjutkan karena tak tega mengetahui kondisi Hyuna yang buruk hingga masuk rumah sakit. Azlan belajar di koridor rumah sakit, hingga akhirnya sampai di kamar tempat Hyuna dirawat. Dia masuk begitu saja, mendapat ibu Hyuna yang t
Hyuna membuka kelopak mata di pagi hari. Dia melihat Azlan yang tidur di sampingnya, membuat seulas senyum terbit di wajahnya. Bersamaan dengan Hyuna yang baru saja bangun, Azlan juga ternyata membuka kelopak mata hingga keduanya pun kini saling tatap. “Kupikir kamu tidak ada di sampingku, sehingga aku buru-buru bangun untuk memastikan, tapi ternyata dugaanku salah, aku takut kamu pergi,” ucap Hyuna. Dia memang takut jika kejadian semalam hanya mimpi belaka, lantas di pagi hari dia harus menelan kekecewaan tatkala tak melihat Azlan di sisinya. “Bagaimana bisa pergi, kalau sejak semalam ada yang takut ditinggalkan. Bahkan takut jika semua yang terjadi semalam hanya mimpi,” balas Azlan. Semalam Hyuna tak mau melepas tangan Azlan, bahkan sampai tertidur pun masih menggenggam telapak tangan pria itu. Azlan pun akhirnya menyadari, bagaimana takutnya Hyuna jika kehilangan dirinya. Hyuna hanya melebarkan senyum mendengar ucapan Azlan. Dia lega karena mereka masih bisa bersama. “Kita g
“Dia cantik sekali,” ucap Ayana sambil menggendong bayi mungil Ive. Bayi berjenis kelamin perempuan itu sehat dengan pipi chubby yang menggemaskan. “Tentu saja cantik, apalagi ayahnya tampan seperti ini,” balas Alex menanggapi ucapan Ayana. Ayana langsung memicingkan mata mendengar adiknya yang terlalu percaya diri. “Yang benar itu dia cantik seperti ibunya, bukan karena ayahnya,” ucap Ayana sewot sendiri karena ucapan Alex. Ive hanya menahan tawa mendengar balasan Ayana, sedangkan Alex langsung mendekat kemudian ikut memandang putrinya. “Lihat saja, alisnya tebal seperti milikku. Bibirnya kecil sepertiku. Lihat hidungnya yang mancung, sama sepertiku juga,” ucap Alex membandingkan wajah bayinya dengan dirinya. “Semua mirip kamu, terus Ive hanya dapat hikmahnya gitu,” balas Ayana karena Alex makin mengada-ada. Alex melebarkan senyum, lantas membalas, “Iya, kan bibitnya dariku.” Ayana gemas mendengar ucapan Alex hingga langsung memukul lengan adiknya itu. “Kepedean!” seloroh Ay
“Ive, kamu baik-baik saja?” tanya Ayana saat melihat wajah Ive yang pucat.Ive terkejut mendengar pertanyaan Ayana karena sedang tak berkonsentrasi. Dia melihat, Ayana dan yang lain kini sedang memandangnya.“Wajahmu sangat pucat, Ive. Apa kamu sakit?” tanya Jonathan.Alex langsung menyentuh kening Ive. Dia merasakan kulit wajah Ive yang sangat dingin.“Ive, kamu baik-baik saja?” tanya Alex yang cemas.“Sebenarnya sejak semalam perutku terasa mulas, tapi tidak bisa ke kamar mandi. Ini juga rasanya tidak nyaman,” jawab Ive yang menahan sakit dari kemarin sore sampai pagi tanpa memberitahu siapa pun.Ayana terkejut mendengar jawaban Ive. Dia langsung berdiri, lantas menyentuhkan tangan di kening Ive.“Kita ke rumah sakit, ya. Aku takut kamu sudah kontraksi tapi tidak paham,” ujar Ayana yang cemas.Semua orang pun terkejut mendengar ucapan Ayana. Alex langsung berdiri untuk membantu Ive berdiri.“Ayo, Ive. Kita ke rumah sakit untuk memastikan kondisimu,” kata Alex yang tak bisa membiarka
Tak terasa sudah enam bulan berlalu, kini usia kandungan Ive sudah memasuki usia delapan bulan. Ive sendiri mulai kesulitan melakukan aktivitasnya karena perutnya yang besar.“Kamu mau buah, Ive?” tanya Ayana saat melihat adik iparnya itu datang ke dapur.“Iya, Kak.” Ive menjawab sambil berjalan mendekat. Dia lantas duduk di kursi samping stroller Ansel.Ayana menoleh sekilas ke Ive sambil tersenyum, lantas mengambilkan buah yang biasa dimakan Ive.“Kamu sudah minum susu?” tanya Ive mengajak bicara Ansel yang kini berumur 9 bulan.Ive memberikan telunjuknya agar digenggam Ansel. Dia sangat suka dengan keponakannya yang lucu dan menggemaskan itu.“Hari ini kamu jatah cek kandungan? Tadi Alex memperingatkanku untuk mengantarmu karena dia ada rapat penting pagi ini?” tanya Ayana sambil mengupas apel.Ive menoleh Ayana, kemudian menjawab, “Iya, Kak. Dokternya baru datang jam sepuluh, jadi ke sana jam sembilan ambil antrian tidak masalah.”Ayana menghampiri Ive sambil membawa apel yang sud
Hyuna sangat terkejut dengan jawaban Azlan, bagaimana bisa calon suaminya itu melupakan cincin pernikahan mereka.Azlan menoleh Ayana, memberikan mimik wajah sedih karena cincinnya dan Hyuna tertinggal.“Kenapa dia?” tanya Alex keheranan melihat Azlan yang bingung.Azlan memberi isyarat dengan menggerakkan jemarinya, membuat Alex dan Ayana langsung paham.“Dasar, ceroboh sekali dia,” gerutu Alex.Alex melepas cincin pernikahannya, lantas meminta Ive melepas cincinnya juga. Dia kemudian pergi ke altar untuk memberikan cincinnya agar dipakai Azlan lebih dulu.Ayana dan yang lain terkejut dengan apa yang dilakukan Alex, tapi hal itu juga membuat bangga karena Alex mau membantu kepanikan Azlan.“Pakai ini! Tapi kamu harus membayar bantuanku,” ucap Alex dengan nada candaan.Meski Alex terkadang menyebalkan, tapi nyatanya dia perhatian hingga membuat Azlan hanya menganggukkan kepala.Alex kembali ke kursinya, hingga langsung mendapat pujian dari Ayana.Prosesi pernikahan itu pun kembali ber
Alex begitu terkejut sampai mundur karena melihat siapa yang baru saja menepuk bahunya. Dia memegang dada karena terkejut melihat wanita tua sedang menatapnya.“Mau apa tengok-tengok rumah?” tanya wanita berumur 70 an tahun itu.“Maaf. Saya hanya ingin meminta mangga muda, kalau tidak boleh diminta ya saya beli,” kata Alex berusaha sopan ke wanita tua itu, apalagi sudah menjadi kebiasaan di negara itu jika harus sopan ke orang yang lebih tua.“Mangga muda?” Wanita tua itu mungkin keheranan karena Alex malah minta mangga muda.“Ah … ya. Istri saya sedang hamil. Dia katanya ingin makan mangga muda itu,” ujar Alex menjelaskan sambil menunjuk ke mobil lantas ke pohon mangga.“Oh … bilang dari tadi. Aku pikir mau maling atau sales menawari barang,” balas wanita tua itu dengan entengnya kemudian mengeluarkan kunci mobil dari saku baju yang dipakai.Alex terkejut karena dikira sales barang, tapi demi Ive dia harus menahan diri agar tidak tersinggung.Wanita tua itu membuka gerbang, lantas me
“Kita mau ke mana?” tanya Ive bingung karena Alex mengajaknya pergi keluar padahal baru saja sampai rumah.“Aku ingin mengajakmu tadi siang, tapi karena siang tadi pekerjaanku sangat banyak, jadi baru bisa sekarang. Aku tidak mau menundanya, jadi meski sore aku tetap ingin mengajakmu ke sana,” jawab Alex sambil menoleh Ive dengan senyum di wajah.Ive mengerutkan dahi mendengar jawaban Alex. Dia benar-benar penasaran ke mana suaminya itu akan mengajak pergi.Ive memperhatikan jalanan yang mereka lewati, hingga mobil yang ditumpangi masuk ke area perumahan yang sedang dibangun. Sudah ada beberapa rumah berdiri megah, tapi ada pula yang sedang dalam proses pembangunan.“Mau apa ke sini?” tanya Ive bingung. Dia pun memperhatikan sekitar.Alex menoleh Ive sekilas, lantas sedikit memperlambat laju mobilnya.“Melihat hadiah yang diberikan Ayana. Dia memberi kita hadiah, tapi aku belum sempat melihatnya langsung,” jawab Alex.Dahi Ive semakin berkerut halus mendengar jawaban Alex. Dia pun kem
“Ternyata benar, nabung.” Azlan langsung meledek Alex yang baru saja datang bergabung dengannya, Ayana, dan Ive. Ayana melirik Ive, lantas memberi isyarat untuk menyingkir daripada mendengarkan perdebatan Azlan dan Alex. Alex bingung mendengar ucapan Azlan, hingga dia melihat Ayana dan Ive yang pergi. “Apanya nabung? Kalau punya uang, ya pasti nabung,” balas Alex masih tak paham dengan maksud ucapan Azlan. “Pura-pura tidak paham. Pantas saja kamu ngebet mau nikah, bahkan berani mendahuluiku, ternyata sudah bikin Ive hamil dulu,” ledek Azlan sambil memicingkan mata. Alex sedang minum saat Azlan bicara, hingga dia tersedak karena terkejut mendengar ucapan Azlan, sampai-sampai air yang baru saja masuk ke kerongkongan langsung menyembur keluar. “Sikapmu saja ini sudah cukup membuktikan kalau ucapanku benar. Kamu sudah bikin Ive hamil dulu, lalu mendesak minta nikah biar ga ada yang curiga kalau Ive hamil,” ucap Azlan memperjelas maksudnya agar Alex tak mengelak. Alex mengusap permu
Ive dan Alex pergi bersama Jonathan untuk mengurus proses balik nama sertifikat rumah mendiang ayah Ive.Ive benar-benar masih seperti mimpi bisa memiliki rumah itu, meski sebenarnya dia merasa sangat berat jika diminta meninggalinya. Ada kenangan pahit dan manis yang bersamaan dirasakan tatkala menginjak rumah itu.“Kamu mau tinggal di sini?” tanya Alex sambil menatap Ive.Ive sedang diam, memandangi setiap sudut ruangan, dinding, juga langit-langit kamar itu. Mengingat ada tawa saat bersama ayah dan ibu yang merawatnya, tapi juga ada kepedihan ketika ditindas Carisa.“Entahlah, aku masih bingung. Selain kenangan manis bersama Mama, di rumah ini juga penuh kenangan menyakitkan,” jawab Ive sambil mengedarkan pandangan.Alex melihat bola mata Ive yang berkaca-kaca, hingga dia pun menautkan jemari mereka.“Tidak usah dipaksa jika tak ingin. Ini hadiah dari Papa, kita terima meski tak ditinggali,” ucap Alex a
“Karena membantuku, kamu jadi ikut celaka,” ucap Ive penuh penyesalan begitu bertemu dengan Damian.Ive dan Damian sudah keluar dari rumah sakit, mereka kini berada di rumah Jonathan.Ive menatap perban yang terpasang di pelipis karena hantaman dari orang yang menyerang kakaknya itu.“Tidak apa, kamu jangan terlalu memikirkan ini,” balas Damian, “dulu aku tidak bisa melindungimu, jadi sekarang aku harus melindungimu, meski nyawaku taruhannya,” ucap Damian sambil memulas senyum manis di wajah.Tetap saja Ive merasa bersalah meski Damian berkata jika tak masalah terluka untuk melindunginya.“Bagaimana proses hukum Emanuel dan Eric?” tanya Damian sambil menatap Alex yang duduk di seberangnya.“Polisi sedang memprosesnya, kemungkinan berkas perkaranya akan segera naik ke kejaksaan mengingat bukti-bukti yang kita miliki sangat kuat. Nantinya baik aku, kamu, atau Ive tetap harus menghadiri sida