“Makan ya, Hyun.” Ibu Hyuna membujuk agar putrinya itu mau makan. Dia cemas karena kondisi Hyuna yang lemah, bahkan hanya mengandalkan cairan infus sebab tak mau makan. Hyuna memalingkan wajah, tetap tak mau makan meski ibunya juga dokter sudah membujuk. Ibu Hyuna pun bingung, kenapa putrinya sampai seperti ini. Dia sudah berusaha menghubungi Azlan, tapi tidak mendapatkan hasil. Saat wanita itu bingung karena Hyuna masih tak mau makan, terdengar ketukan pintu yang membuat wanita itu menoleh ke pintu. Dia melihat Ayana dan Deon yang datang, membuatnya begitu senang hingga langsung menghampiri. “Azlan mau datang?” tanya ibu Hyuna dengan suara lirih saat menghampiri Ayana dan Deon. Dia sampai melongok ke pintu, tapi tak melihat Azlan. “Azlan masih sibuk, Bibi. Aku juga sudah menyampaikan pesan Bibi, tapi tidak tahu kapan dia akan datang,” jawab Ayana merasa bersalah karena ibu Hyuna terlihat penuh harap melihat Azlan datang. Wanita itu terlihat kecewa, tapi juga tak bisa berbuat ap
Azlan tidak pulang dari perusahaan sampai malam. Dia masih duduk di belakang meja kerjanya, diam tak melakukan apa pun karena banyak hal yang masuk ke pikirannya. Bahkan dia sampai mengabaikan panggilan dari kedua orang tuanya juga Ayana, tak ada satu pun panggilan dari mereka yang dijawabnya. Hingga saat waktu menunjukkan pukul sembilan malam, Azlan akhirnya beranjak dari kursinya, keluar dari ruangan untuk meninggalkan perusahaan. Bahkan satpam yang melihatnya baru akan pulang pun sampai bingung kenapa Azlan di sana sampai malam. Azlan ternyata tak pulang. Dia membeli makanan, lantas melanjutkan pergi ke rumah sakit. Meski dia kesal dan ingin memberi pelajaran ke Hyuna akan arti betapa berharganya hubungan mereka, tapi sekarang ini dia pun sudah tak bisa melanjutkan karena tak tega mengetahui kondisi Hyuna yang buruk hingga masuk rumah sakit. Azlan belajar di koridor rumah sakit, hingga akhirnya sampai di kamar tempat Hyuna dirawat. Dia masuk begitu saja, mendapat ibu Hyuna yang t
Hyuna membuka kelopak mata di pagi hari. Dia melihat Azlan yang tidur di sampingnya, membuat seulas senyum terbit di wajahnya. Bersamaan dengan Hyuna yang baru saja bangun, Azlan juga ternyata membuka kelopak mata hingga keduanya pun kini saling tatap. “Kupikir kamu tidak ada di sampingku, sehingga aku buru-buru bangun untuk memastikan, tapi ternyata dugaanku salah, aku takut kamu pergi,” ucap Hyuna. Dia memang takut jika kejadian semalam hanya mimpi belaka, lantas di pagi hari dia harus menelan kekecewaan tatkala tak melihat Azlan di sisinya. “Bagaimana bisa pergi, kalau sejak semalam ada yang takut ditinggalkan. Bahkan takut jika semua yang terjadi semalam hanya mimpi,” balas Azlan. Semalam Hyuna tak mau melepas tangan Azlan, bahkan sampai tertidur pun masih menggenggam telapak tangan pria itu. Azlan pun akhirnya menyadari, bagaimana takutnya Hyuna jika kehilangan dirinya. Hyuna hanya melebarkan senyum mendengar ucapan Azlan. Dia lega karena mereka masih bisa bersama. “Kita g
“A … Ay!” pekik Azlan saat Ayana menarik telinganya begitu kencang. “Memang anak kurang ajar! Sudah membuat heboh satu rumah, ternyata malah sedang makan enak-enakan di sini!” amuk Ayana gemas saat menemui adiknya di rumah sakit. Ayana sudah panik karena mendapat laporan dari kedua orang tua yang mengatakan jika Azlan tidak pulang, tapi ternyata sang adik pergi ke rumah sakit tanpa kabar. Hyuna sendiri meringis melihat Ayana menarik telinga Azlan, dia harus mengakui jika lebih galak dari Ayana. “Iya, Ay. Maaf. Aku ke sini pun karena spontan setelah seharian memikirkan Hyuna,” ujar Azlan menjelaskan sambil mengimbangi tarikan jari Ayana di telinganya. Ayana pun akhirnya melepas telinga Azlan, lantas menatap sang adik dengan ekspresi kesal. Azlan mengusap berulang kali telinganya yang sakit, bahkan kini begitu merah karena ditarik cukup kencang oleh Ayana. Ayana menoleh Hyuna, melihat gadis itu sudah bisa duduk dan makan. Meski dia marah Azlan tidak memberi kabar, tapi setidaknya
Ive pergi ke mall sendirian setelah mendapat izin dari Alex yang tak bisa menemani karena harus menghadiri sebuah rapat.Ive sendiri pergi ke mall karena ingin membelikan sesuatu untuk Damian yang akan pergi. Dia menyadari jika takkan bisa menemui Damian dalam waktu yang lama, padahal mereka baru saja bertemu.“Apa yang harus kubeli untuk Damian?”Ive pun bingung harus membeli apa. Dia tidak mungkin membeli perhiasan untuk kakak lelakinya itu. Ive berhenti depan sebuah toko aksesoris, membeli hadiah untuk wanita lebih mudah daripada membeli hadiah untuk pria.Ive sampai menghela napas frustasi karena bingung harus bagaimana.“Bagaimana kalau dasi? Kupikir dia sudah punya banyak.” Ive bertanya sendiri tapi menjawab sendiri juga.“Sepatu? Ah … apalagi itu.” Ive malah bingung sendiri. Dia masih berdiri di sana sambil melamun karena bingung.Hingga tatapan Ive tertuju ke toko jam tangan, hingga dia berpikir jika mungkin jam tangan lebih bagus dan bermanfaat.Ive pun pergi ke toko jam tang
“Lihat saja, aku akan meminta pengacara untuk menjebloskanmu ke penjara atas perbuatanmu!” ancam wanita yang berkelahi dengan Ive. “Kamu pikir aku takut!” amuk balik Ive. Keduanya sudah dilerai dan digiring ke ruang security mall, tapi tetap saja adu mekanik. Manager toko yang melerai mereka pun pusing melihat perkelahian yang akhirnya menjadi tontonan pengunjung mall. Kini saat keduanya sudah berhasil dibawa ke ruang security, dua wanita itu pun tetap saja berkelahi. “Jika kalian tidak bisa diajak berdiskusi, maka aku terpaksa memanggil polisi,” ancam manager toko. Ive langsung memalingkan wajah dari wanita di sampingnya. Penampilan Ive berantakan karena terlibat adu jambak. Wanita yang berkelahi dengan Ive pun meringis kesakitan karena lehernya terkena cakar Ive. “Sekarang panggil wali kalian untuk menyelesaikan masalah ini, sebab kalian sudah membuat gaduh,” perintah manager itu. Ive langsung mengeluarkan ponsel. Dia ingin menghubungi Alex, tapi ingat jika suaminya itu seda
Chris celingukan karena tidak melihat Ive di toko jam tangan sesuai dengan yang diinformasikan. “Duh, ke mana coba? Masa aku salah toko?” Chris pun kebingungan karena tak melihat Ive, apalagi dia juga menjadi bahan tatapan orang karena dia tak berkebangsaan Indonesia. Saat Chris sedang bingung, Ive datang bersama Damian. “Chris.” Ive langsung memanggil asisten pribadi suaminya itu. “Syukurlah tidak salah mall, aku mencarimu sejak tadi,” ucap Chris kemudian memberikan kartu debit platinum ke Ive. “Lho, katanya uang?” Ive keheranan karena diberi kartu. “Ya, kan itu kalau digesek, bisa buat bayar,” balas Chris. “Iya, tahu. Kupikir Alex mau mengantar uang tunai,” ujar Ive. “Mana mungkin Pak Alex bawa uang tunai dalam jumlah banyak, lagian kalau ambil uang di bank dulu juga akan memakan waktu lama,” balas Chris menjelaskan. Ive pun menerima kartu debit dari Chris, meski sebelumnya sudah diberi Alex kartu debit, tapi isinya tak terlalu banyak. “Pinnya tanggal pernikahan kalian,” k
“Akh ….”Ive kesakitan saat menyisir rambut. Kulit kepalanya terluka karena dijambak wanita tadi di mall, membuatnya sekarang harus merasakan sakit saat luka itu tertarik kembali.“Ada apa?” tanya Alex yang terkejut mendengar suara Ive memekik. Apalagi istrinya memegangi kepala.Ive terkejut mendengar suara Alex. Dia buru-buru menurunkan tangan dari kepala agar Alex tak melihat.“Tidak, tidak apa. Hanya tak sengaja menyisir terlalu kencang,” jawab Ive sambil melebarkan senyum agar Alex tak curiga.Alex tak percaya begitu saja karena tadi melihat Ive seperti sangat kesakitan. Dia pun mendekat, lantas memaksa melihat kepala Ive.Ive tak bisa menghindar atau menyembunyikan lagi, hingga pasrah saat Alex mengecek kulit kepalanya.“Kenapa kulit kepalamu sampai kemerahan seperti ini? Bahkan ini ada yang luka?” tanya Alex yang sangat syok.Ive tak berani menatap Alex. Bola matanya bergerak liar untuk menghindari tatapan suaminya itu.“Ive.” Alex menatap tajam ke Ive agar mau menjawab pertanya
“Dia cantik sekali,” ucap Ayana sambil menggendong bayi mungil Ive. Bayi berjenis kelamin perempuan itu sehat dengan pipi chubby yang menggemaskan. “Tentu saja cantik, apalagi ayahnya tampan seperti ini,” balas Alex menanggapi ucapan Ayana. Ayana langsung memicingkan mata mendengar adiknya yang terlalu percaya diri. “Yang benar itu dia cantik seperti ibunya, bukan karena ayahnya,” ucap Ayana sewot sendiri karena ucapan Alex. Ive hanya menahan tawa mendengar balasan Ayana, sedangkan Alex langsung mendekat kemudian ikut memandang putrinya. “Lihat saja, alisnya tebal seperti milikku. Bibirnya kecil sepertiku. Lihat hidungnya yang mancung, sama sepertiku juga,” ucap Alex membandingkan wajah bayinya dengan dirinya. “Semua mirip kamu, terus Ive hanya dapat hikmahnya gitu,” balas Ayana karena Alex makin mengada-ada. Alex melebarkan senyum, lantas membalas, “Iya, kan bibitnya dariku.” Ayana gemas mendengar ucapan Alex hingga langsung memukul lengan adiknya itu. “Kepedean!” seloroh Ay
“Ive, kamu baik-baik saja?” tanya Ayana saat melihat wajah Ive yang pucat.Ive terkejut mendengar pertanyaan Ayana karena sedang tak berkonsentrasi. Dia melihat, Ayana dan yang lain kini sedang memandangnya.“Wajahmu sangat pucat, Ive. Apa kamu sakit?” tanya Jonathan.Alex langsung menyentuh kening Ive. Dia merasakan kulit wajah Ive yang sangat dingin.“Ive, kamu baik-baik saja?” tanya Alex yang cemas.“Sebenarnya sejak semalam perutku terasa mulas, tapi tidak bisa ke kamar mandi. Ini juga rasanya tidak nyaman,” jawab Ive yang menahan sakit dari kemarin sore sampai pagi tanpa memberitahu siapa pun.Ayana terkejut mendengar jawaban Ive. Dia langsung berdiri, lantas menyentuhkan tangan di kening Ive.“Kita ke rumah sakit, ya. Aku takut kamu sudah kontraksi tapi tidak paham,” ujar Ayana yang cemas.Semua orang pun terkejut mendengar ucapan Ayana. Alex langsung berdiri untuk membantu Ive berdiri.“Ayo, Ive. Kita ke rumah sakit untuk memastikan kondisimu,” kata Alex yang tak bisa membiarka
Tak terasa sudah enam bulan berlalu, kini usia kandungan Ive sudah memasuki usia delapan bulan. Ive sendiri mulai kesulitan melakukan aktivitasnya karena perutnya yang besar.“Kamu mau buah, Ive?” tanya Ayana saat melihat adik iparnya itu datang ke dapur.“Iya, Kak.” Ive menjawab sambil berjalan mendekat. Dia lantas duduk di kursi samping stroller Ansel.Ayana menoleh sekilas ke Ive sambil tersenyum, lantas mengambilkan buah yang biasa dimakan Ive.“Kamu sudah minum susu?” tanya Ive mengajak bicara Ansel yang kini berumur 9 bulan.Ive memberikan telunjuknya agar digenggam Ansel. Dia sangat suka dengan keponakannya yang lucu dan menggemaskan itu.“Hari ini kamu jatah cek kandungan? Tadi Alex memperingatkanku untuk mengantarmu karena dia ada rapat penting pagi ini?” tanya Ayana sambil mengupas apel.Ive menoleh Ayana, kemudian menjawab, “Iya, Kak. Dokternya baru datang jam sepuluh, jadi ke sana jam sembilan ambil antrian tidak masalah.”Ayana menghampiri Ive sambil membawa apel yang sud
Hyuna sangat terkejut dengan jawaban Azlan, bagaimana bisa calon suaminya itu melupakan cincin pernikahan mereka.Azlan menoleh Ayana, memberikan mimik wajah sedih karena cincinnya dan Hyuna tertinggal.“Kenapa dia?” tanya Alex keheranan melihat Azlan yang bingung.Azlan memberi isyarat dengan menggerakkan jemarinya, membuat Alex dan Ayana langsung paham.“Dasar, ceroboh sekali dia,” gerutu Alex.Alex melepas cincin pernikahannya, lantas meminta Ive melepas cincinnya juga. Dia kemudian pergi ke altar untuk memberikan cincinnya agar dipakai Azlan lebih dulu.Ayana dan yang lain terkejut dengan apa yang dilakukan Alex, tapi hal itu juga membuat bangga karena Alex mau membantu kepanikan Azlan.“Pakai ini! Tapi kamu harus membayar bantuanku,” ucap Alex dengan nada candaan.Meski Alex terkadang menyebalkan, tapi nyatanya dia perhatian hingga membuat Azlan hanya menganggukkan kepala.Alex kembali ke kursinya, hingga langsung mendapat pujian dari Ayana.Prosesi pernikahan itu pun kembali ber
Alex begitu terkejut sampai mundur karena melihat siapa yang baru saja menepuk bahunya. Dia memegang dada karena terkejut melihat wanita tua sedang menatapnya.“Mau apa tengok-tengok rumah?” tanya wanita berumur 70 an tahun itu.“Maaf. Saya hanya ingin meminta mangga muda, kalau tidak boleh diminta ya saya beli,” kata Alex berusaha sopan ke wanita tua itu, apalagi sudah menjadi kebiasaan di negara itu jika harus sopan ke orang yang lebih tua.“Mangga muda?” Wanita tua itu mungkin keheranan karena Alex malah minta mangga muda.“Ah … ya. Istri saya sedang hamil. Dia katanya ingin makan mangga muda itu,” ujar Alex menjelaskan sambil menunjuk ke mobil lantas ke pohon mangga.“Oh … bilang dari tadi. Aku pikir mau maling atau sales menawari barang,” balas wanita tua itu dengan entengnya kemudian mengeluarkan kunci mobil dari saku baju yang dipakai.Alex terkejut karena dikira sales barang, tapi demi Ive dia harus menahan diri agar tidak tersinggung.Wanita tua itu membuka gerbang, lantas me
“Kita mau ke mana?” tanya Ive bingung karena Alex mengajaknya pergi keluar padahal baru saja sampai rumah.“Aku ingin mengajakmu tadi siang, tapi karena siang tadi pekerjaanku sangat banyak, jadi baru bisa sekarang. Aku tidak mau menundanya, jadi meski sore aku tetap ingin mengajakmu ke sana,” jawab Alex sambil menoleh Ive dengan senyum di wajah.Ive mengerutkan dahi mendengar jawaban Alex. Dia benar-benar penasaran ke mana suaminya itu akan mengajak pergi.Ive memperhatikan jalanan yang mereka lewati, hingga mobil yang ditumpangi masuk ke area perumahan yang sedang dibangun. Sudah ada beberapa rumah berdiri megah, tapi ada pula yang sedang dalam proses pembangunan.“Mau apa ke sini?” tanya Ive bingung. Dia pun memperhatikan sekitar.Alex menoleh Ive sekilas, lantas sedikit memperlambat laju mobilnya.“Melihat hadiah yang diberikan Ayana. Dia memberi kita hadiah, tapi aku belum sempat melihatnya langsung,” jawab Alex.Dahi Ive semakin berkerut halus mendengar jawaban Alex. Dia pun kem
“Ternyata benar, nabung.” Azlan langsung meledek Alex yang baru saja datang bergabung dengannya, Ayana, dan Ive. Ayana melirik Ive, lantas memberi isyarat untuk menyingkir daripada mendengarkan perdebatan Azlan dan Alex. Alex bingung mendengar ucapan Azlan, hingga dia melihat Ayana dan Ive yang pergi. “Apanya nabung? Kalau punya uang, ya pasti nabung,” balas Alex masih tak paham dengan maksud ucapan Azlan. “Pura-pura tidak paham. Pantas saja kamu ngebet mau nikah, bahkan berani mendahuluiku, ternyata sudah bikin Ive hamil dulu,” ledek Azlan sambil memicingkan mata. Alex sedang minum saat Azlan bicara, hingga dia tersedak karena terkejut mendengar ucapan Azlan, sampai-sampai air yang baru saja masuk ke kerongkongan langsung menyembur keluar. “Sikapmu saja ini sudah cukup membuktikan kalau ucapanku benar. Kamu sudah bikin Ive hamil dulu, lalu mendesak minta nikah biar ga ada yang curiga kalau Ive hamil,” ucap Azlan memperjelas maksudnya agar Alex tak mengelak. Alex mengusap permu
Ive dan Alex pergi bersama Jonathan untuk mengurus proses balik nama sertifikat rumah mendiang ayah Ive.Ive benar-benar masih seperti mimpi bisa memiliki rumah itu, meski sebenarnya dia merasa sangat berat jika diminta meninggalinya. Ada kenangan pahit dan manis yang bersamaan dirasakan tatkala menginjak rumah itu.“Kamu mau tinggal di sini?” tanya Alex sambil menatap Ive.Ive sedang diam, memandangi setiap sudut ruangan, dinding, juga langit-langit kamar itu. Mengingat ada tawa saat bersama ayah dan ibu yang merawatnya, tapi juga ada kepedihan ketika ditindas Carisa.“Entahlah, aku masih bingung. Selain kenangan manis bersama Mama, di rumah ini juga penuh kenangan menyakitkan,” jawab Ive sambil mengedarkan pandangan.Alex melihat bola mata Ive yang berkaca-kaca, hingga dia pun menautkan jemari mereka.“Tidak usah dipaksa jika tak ingin. Ini hadiah dari Papa, kita terima meski tak ditinggali,” ucap Alex a
“Karena membantuku, kamu jadi ikut celaka,” ucap Ive penuh penyesalan begitu bertemu dengan Damian.Ive dan Damian sudah keluar dari rumah sakit, mereka kini berada di rumah Jonathan.Ive menatap perban yang terpasang di pelipis karena hantaman dari orang yang menyerang kakaknya itu.“Tidak apa, kamu jangan terlalu memikirkan ini,” balas Damian, “dulu aku tidak bisa melindungimu, jadi sekarang aku harus melindungimu, meski nyawaku taruhannya,” ucap Damian sambil memulas senyum manis di wajah.Tetap saja Ive merasa bersalah meski Damian berkata jika tak masalah terluka untuk melindunginya.“Bagaimana proses hukum Emanuel dan Eric?” tanya Damian sambil menatap Alex yang duduk di seberangnya.“Polisi sedang memprosesnya, kemungkinan berkas perkaranya akan segera naik ke kejaksaan mengingat bukti-bukti yang kita miliki sangat kuat. Nantinya baik aku, kamu, atau Ive tetap harus menghadiri sida