Ayana berada di kafe Deon cukup lama, sengaja makan siang di sana sekalian melarisi kafe karena semenjak dia datang, sampai satu jam di sana pun tidak ada satu pelanggan pun yang masuk.Tidak seperti biasanya, kafe hari itu benar-benar sangat sepi. Ayana juga melihat beberapa gadis hanya lewat sambil menoleh, kemudian berbisik dan mempercepat langkah.“De, apa sebelumnya ada masalah di kafe?” tanya Ayana menyelidik.Deon ingin mengambil piring kotor yang baru saja digunakan Ayana, hingga menggelengkan kepala menjawab pertanyaan istrinya. Dia pun memilih kembali duduk bersama istrinya itu.“Tidak ada masalah apa pun. Kemarin aku tidak masuk karena pergi denganmu, tapi Gery bilang tidak ada masalah apa-apa. Bahkan kemarin pun masih ramai seperti biasa,” jawab Deon karena dia pun tidak berpikir yang tidak-tidak.Ayana kembali memandang ke luar kafe, hingga Deon menatap istrinya itu.“Sudah, kenapa kamu jadi ikut mikir? Beginilah orang jualan, kadang sepi kadang juga ramai, kamu juga tida
“Biar aku yang menyetir.”Malam itu Ayana benar-benar menjemput Deon. Pemuda itu menghampii mobil Ayana yang berhenti di tepi jalan, lantas meminta Ayana turun agar dirinya bisa menyentir.Ayana menuruti ucapan Deon. Dia melepas seatbelt, turun dari mobil dan membiarkan pemuda itu duduk di belakang kemudi. Ayana pun pindah ke kursi penumpang di samping kemudi.“Bagaimana tadi?” tanya Ayana sambil memasang seatbelt.“Apanya yang bagaimana?” tanya Deon sambil mulai memacu mobil meninggalkan kafe.“Ya, tadi kafenya.” Ayana menatap Deon yang sedang menyetir.“Ya, ada beberapa. Tapi itu sudah lumayan,” jawab Deon tanpa menoleh Ayana.Ayana memperhatikan raut wajah Deon, menilai jika apa yang diucapkan sebenarnya tidak seperti yang diharapkan.“Baguslah, terpenting masih ada yang beli,” ujar Ayana lagi yang tidak mau menambah beban pikiran Deon jika terus bertanya.Deon menoleh Ayana, melihat istrinya sudah kembali menatap lurus ke depan.**Ayana duduk di atas ranjang dengan laptop menyala
“Kamu tidak ke kampus?” tanya Gery saat melihat Deon datang lebih awal dari biasanya. “Aku sedang tidak ada kelas, jadi berpikir ke sini lebih awal,” jawab Deon sambil menyimpan tas di salah satu laci yang ada di bawah meja kasir. Gery mengangguk-angguk, kembali mengelap gelas yang sebenarnya sudah bersih. Deon melihat layar monitor di meja, hingga menyadari jika belum ada pelangggan yang datang. “Belum ada pembeli?” tanya Deon kemudian menoleh Gery. Gery menoleh Deon, lantas menghela napas kasar. “Ya, belum ada. Sama seperti kemarin,” jawab Gery kemudian meletakkan gelas di rak juga lap di meja. Gery berdiri menyandarkan pinggang di tepian meja, melipat kedua tangan di dada lantas mengembuskan napas kasar lagi. “Jika ini terus berlangsung, bisa-bisa kafe ini bangkrut,” ujar Gery sambil menoleh Deon. “Apa Pak Anta tahu?” tanya Deon yang cemas jika pemilik cabang kafe itu mengetahui tentang masalah yang terjadi di kafe. Memang pemiliknya jarang datang sebab mengurus kafe utama
“Aku ingin fasilitasnya lengkap. Konsep desainnya bisa untuk remaja atau dewasa. Karena di sini target pengunjung berusia 17 sampai 40 puluh tahunan.”Ayana memberikan instruksi ke Mike—kepala arsitek perusahaan yang diberi tanggung jawab untuk membuat desain kafe yang sedang ingin dibangun Ayana.Mike berpikir sejenak. Biasanya dia mendesain perumahan, gedung, atau pusat perbelanjaan, sekarang hanya diminta membuat desain untuk renovasi tanpa membongkar seinci pun dari bangunan asli.“Memangnya kamu sudah membahas ini dengan anak di bawah umur itu, bagaimana kalau dia tidak suka dengan konsep yang kamu ajukan?” tanya Kyle yang tetap saja menyebut Deon anak di bawah umur.Mike langsung menata Kyle, sedangkan Ayana memicingkan mata ke asistennya itu.“Dia sudah dewasa, Kyle! Sampai kapan kamu akan menyebutnya anak-anak.” Ayana menatap asistennya sambil melipat kedua tangan di depan dada.“Tetap saja, dia anak-anak. Meski dia bisa menghamilimu, tetap saja bagiku anak-anak,” ujar Kyle de
Deon keluar dari kafe untuk membuang sampah, hingga saat baru saja memasukkan kantong plastik hitam ke tempat sampah besar di ujung parkiran kafe, dia melihat gadis yang biasa datang ke kafe saling bisik ketika melihat dirinya.Deon tidak tahan, ingin tahu lebih jauh alasan orang-orang tidak datang ke kafe, juga kenapa pandangan para gadis jadi aneh kepadanya, sedangkan dia tidak pernah melakukan kesalahan.“Maaf, permisi!” Deon memanggil dengan sopan, ingin bertanya karena tidak bisa lagi mengabaikan rasa penasarannya.Dua gadis itu terkejut mendengar panggilan Deon, ingin menghindar tapi pemuda itu sudah berada di depan mereka.“Maaf jika saya lancang. Tapi ada hal yang benar-benar ingin saya tanyakan dan saya berterima kasih jika kalian mau menjawabnya,” ujar Deon sopan karena membutuhkan jawaban dua gadis itu.Dua gadis itu saling tatap, sebelum kemudian memandang Deon dan mengangguk bersamaan, meski ada rasa cemas yang terlihat jelas dari raut wajah dua gadis itu.“Maaf sebelumny
Deon turun dengan cepat dari taksi, melihat mobil Ayana yang menabrak pohon di bahu jalan. Banyak orang di sana, hingga Deon mencari keberadaan sang istri, menemukannya duduk tak jauh dari mobil bersama seorang wanita yang menyodorkan minum.“Ay!” Deon setengah berlari menghampiri.Orang yang ada di sana menoleh, melihat Deon yang langsung berlutut di depan Ayana, memandang wajah sang istri yang menunduk meski dirinya sudah menyebut namanya.“Ada apa? Kenapa bisa kecelakaan seperti ini?” tanya Deon panik, menangkup kedua pipi Ayana lantas mengarahkan kepadanya. Dia melihat kening Ayana yang berdarah dan memar.Ayana menatap Deon, hingga kemudian menggelengkan kepala pelan sebelum kembali menurunkan pandangan.Deon melihat tatapan sedih dan kecewa dari mata Ayana. Dia pun memeluk istrinya itu untuk menenangkan.Setelah berterima kasih ke orang yang menolong Ayana dan menghubunginya, Deon pun mengajak Ayana pulang menggunakan taksi, sedangkan mobil sudah diurus oleh bengkel yang dihubun
Sore itu, sebelum Ayana mengalami kecelakaan. Wanita itu pergi ke rumah Firman karena sang papa meminta bertemu dengannya.Sejak kejadian Ayana memergoki Firman memberikan uang ke Satria, dia memang tidak pernah menemui atau berkunjung ke rumah orang tuanya.Ayana mengemudikan mobil masuk ke halaman rumah orang tuanya, memarkirkan mobil di depan garasi, lantas berjalan masuk rumah. Di sana ternyata sudah ada Firman dan Suci sudah menunggunya.Tanpa menyapa layaknya anak yang lama tidak pulang, Ayana memilih langsung duduk berhadapan dengan kedua orang tuanya. Bukan tanpa sebab Ayana tidak mau menyapa, dia terlalu muak dengan sikap orang tuanya.“Papa ingin bicara apa?” tanya Ayana to the point, ingin semua yang dibicarakan segera selesai agar dia bisa pergi dari rumah itu.“Apa begini sikapmu saat bertemu orang tuamu? Bahkan kamu tidak menyapa atau menanyakan kabar kami?” Suci menatap Ayana heran.Ayana memandang sang mama, hingga kemudian membalas, “Kalian tampak sehat, untuk apa aku
Deon duduk bersandar headboard. Masih memeluk Ayana yang sesenggukan selepas bercerita. Deon memaksa istrinya untuk menceritakan apa yang terjadi, hingga akhirnya pemuda itu tahu penyebab kenapa Ayana sampai seperti ini.“Aku selalu diam, menerima semua keputusan mereka. Tapi kenapa mereka tidak pernah mau memahami dan mengerti perasaanku.” Ayana bicara lagi, meluapkan apa yang dirasakan ke Deon. Bahkan terdengar sesekali sesenggukan karena menangis tiada henti.“Sudah tidak apa? Biarkan mereka tidak percaya, tapi aku di sini untuk memercayaimu. Aku akan berdiri di sampingmu,” ujar Deon menenangkan.Mendengar Ayana menangis, rasanya sesuatu yang sangat tidak nyata. Wanita tegar itu menangis seperti anak kecil yang rapuh dan penuh dengan ketakutan.Andai Deon bukan dari keluarga biasa. Andai dia lebih berkuasa dari keluarga Ayana, sudah pasti Deon akan maju, berdiri di barisan paling depan untuk melawan siapapun yang menindas istrinya. Namun, untuk saat ini Deon bukanlah siapa-siapa, s