“Ada apa, hm?”Deon memeluk Ayana dari belakang, juga meletakkan dagu di pundak Ayana yang berbaring memunggunginya.Ayana cukup terkejut karena Deon tiba-tiba memeluknya. Dia menggeser posisi berbaring, lantas menghadap ke Deon higga keduanya saling tatap.“Tidak ada, aku hanya ngantuk,” jawab Ayana.Mereka memang pulang setelah urusan Mita dan Haikal selesai. Bahkan Ayana secara tegas meminta Satria angkat kaki dari rumah, diberi kesempatan sampai esok untuk keluar rumah.“Maaf kalau keluargaku menyusahkanmu,” ucap Deon tak enak hati. Ayana terlalu baik, sangat berbeda dengan sikapnya yang terlihat angkuh dan sombong.“Tidak apa, bagiku uang segitu bukan apa-apa,” jawab Ayana menjelaskan.Deon menatap wajah Ayana lekat, lantas menyingkirkan anak rambut Ayana yang menutup kening.“Sejak kapan kamu tahu jika Satria mendapat uang dari papamu?” tanya Deon hati-hati. Dia ingin bertanya saat masih di rumah orang tuanya, tapi takut mood Ayana semakin buruk.“Sejak kita baru menikah. Aku ti
Deon berjalan ke arah gedung perkuliahan. Tidak ada lagi tatapan aneh dari mahasiswa yang berpapasan dengannya, mungkin ada beberapa yang masih bergunjing, tapi tidak sebanyak sebelumnya.“De.”Deon menoleh, melihat Alex yang berjalan ke arahnya. Mereka yang awalnya berseteru, kini dekat karena merasa sudah diadu domba.“Si brengsek Randy ternyata sedang diskor karena sudah menyebar berita hoaks tentangmu. Padahal aku ingin sekali menghajarnya, sebagai balasan karena dia sudah membuatku mendapat pukulan darimu,” ucap Alex yang berjalan di samping Deon. Dia menyentuh rahangnya dan mengingat bagaimana sakitnya saat terkena pukulan dari Deon akibat salah paham yang terjadi.Deon menghentikan langkah mendengar ucapan Alex, benar juga apa yang dikatakan pemuda di sampingnya itu. Meski Raymond dalang dari berita yang tersebar, tapi Randy juga ambil bagian dalam masalah itu.“Tapi, kamu benar-benar sudah menikah dengan wanita berumur?” tanya Alex masih penasaran.Berita tentang Deon seorang
Ayana pergi bersama Kyle. Mereka kini sedang dalam perjalanan ke suatu tempat yang berada di pusat kota. Meski sulit, tapi Kyle benar-benar bisa melaksanakan tugas yang diberikan Ayana sebelumnya.“Ini lokasi yang paling strategis yang bisa aku temukan. Beberapa kilo dari sini banyak gedung perkantoran, lalu beberapa meter ke arah barat adalah perumahan elite. Menurutku lokasi ini paling cocok,” ucap Kyle menjelaskan sambil menunjuk ke arah yang dimaksud.Ayana berdiri menatap bangunan bertuliskan for sale. Bangunan yang tidak terlalu besar, tapi memiliki halaman parkir luas, cocok untuk bisnis.“Desain bangunannya memang kuno, tapi kokoh. Jika kamu mau merenovasinya agar bisa sesuai dengan keinginanmu, aku akan minta Mike membuat desainnya,” ujar Kyle menjelaskan.Ayana melepas kacamata hitam yang sejak tadi menutup kedua mata indahnya. Memperhatikan dengan seksama bangunan itu, lantas mengedarkan ke sekitar sebelum kembali menatap bangunan itu.“Bangunannya cantik, renovasi saja sep
“Ibu, Ayah. Ini sertifikat rumah kalian. Kelak, jika memang butuh bantuan finansial, tolong jangan ke rentenir, tapi mintalah padaku atau Deon,” ucap Ayana sambil menyerahkan surat tanah dan bangunan milik orang tua Deon.Mita dan Haikal saling tatap, tidak menyangka jika Ayana benar-benar membayar utang mereka, bahkan sudah mendapatkan sertifikat itu.“Nak Ay, sebenarnya kami tidak bisa menerima bantuanmu seperti ini. Kami sudah banyak merepotkan, jadi kami tidak bisa menerimanya,” ucap Mita yang tidak enak hati karena Ayana benar-benar baik.“Benar, Nak. Begini saja, sertifikatnya simpan dulu. Nanti kalau ayah dan Ibu ada rezeki, kami akan menebusnya,” timpal Haikal yang merasa sungkan.Kyle ikut ke sana, hanya diam mendengarkan perbincangan Ayana dengan orang tua Deon.Ayana hanya mengulas senyum mendengar ucapan mertuanya. Dia pun meletakkan stopmap berisi sertifikat itu di meja.“Yah, Bu, sekarang aku adalah anak kalian. Memberi kalian sesuatu juga hakku. Jadi terima ini sebagai
Ayana berada di kafe Deon cukup lama, sengaja makan siang di sana sekalian melarisi kafe karena semenjak dia datang, sampai satu jam di sana pun tidak ada satu pelanggan pun yang masuk.Tidak seperti biasanya, kafe hari itu benar-benar sangat sepi. Ayana juga melihat beberapa gadis hanya lewat sambil menoleh, kemudian berbisik dan mempercepat langkah.“De, apa sebelumnya ada masalah di kafe?” tanya Ayana menyelidik.Deon ingin mengambil piring kotor yang baru saja digunakan Ayana, hingga menggelengkan kepala menjawab pertanyaan istrinya. Dia pun memilih kembali duduk bersama istrinya itu.“Tidak ada masalah apa pun. Kemarin aku tidak masuk karena pergi denganmu, tapi Gery bilang tidak ada masalah apa-apa. Bahkan kemarin pun masih ramai seperti biasa,” jawab Deon karena dia pun tidak berpikir yang tidak-tidak.Ayana kembali memandang ke luar kafe, hingga Deon menatap istrinya itu.“Sudah, kenapa kamu jadi ikut mikir? Beginilah orang jualan, kadang sepi kadang juga ramai, kamu juga tida
“Biar aku yang menyetir.”Malam itu Ayana benar-benar menjemput Deon. Pemuda itu menghampii mobil Ayana yang berhenti di tepi jalan, lantas meminta Ayana turun agar dirinya bisa menyentir.Ayana menuruti ucapan Deon. Dia melepas seatbelt, turun dari mobil dan membiarkan pemuda itu duduk di belakang kemudi. Ayana pun pindah ke kursi penumpang di samping kemudi.“Bagaimana tadi?” tanya Ayana sambil memasang seatbelt.“Apanya yang bagaimana?” tanya Deon sambil mulai memacu mobil meninggalkan kafe.“Ya, tadi kafenya.” Ayana menatap Deon yang sedang menyetir.“Ya, ada beberapa. Tapi itu sudah lumayan,” jawab Deon tanpa menoleh Ayana.Ayana memperhatikan raut wajah Deon, menilai jika apa yang diucapkan sebenarnya tidak seperti yang diharapkan.“Baguslah, terpenting masih ada yang beli,” ujar Ayana lagi yang tidak mau menambah beban pikiran Deon jika terus bertanya.Deon menoleh Ayana, melihat istrinya sudah kembali menatap lurus ke depan.**Ayana duduk di atas ranjang dengan laptop menyala
“Kamu tidak ke kampus?” tanya Gery saat melihat Deon datang lebih awal dari biasanya. “Aku sedang tidak ada kelas, jadi berpikir ke sini lebih awal,” jawab Deon sambil menyimpan tas di salah satu laci yang ada di bawah meja kasir. Gery mengangguk-angguk, kembali mengelap gelas yang sebenarnya sudah bersih. Deon melihat layar monitor di meja, hingga menyadari jika belum ada pelangggan yang datang. “Belum ada pembeli?” tanya Deon kemudian menoleh Gery. Gery menoleh Deon, lantas menghela napas kasar. “Ya, belum ada. Sama seperti kemarin,” jawab Gery kemudian meletakkan gelas di rak juga lap di meja. Gery berdiri menyandarkan pinggang di tepian meja, melipat kedua tangan di dada lantas mengembuskan napas kasar lagi. “Jika ini terus berlangsung, bisa-bisa kafe ini bangkrut,” ujar Gery sambil menoleh Deon. “Apa Pak Anta tahu?” tanya Deon yang cemas jika pemilik cabang kafe itu mengetahui tentang masalah yang terjadi di kafe. Memang pemiliknya jarang datang sebab mengurus kafe utama
“Aku ingin fasilitasnya lengkap. Konsep desainnya bisa untuk remaja atau dewasa. Karena di sini target pengunjung berusia 17 sampai 40 puluh tahunan.”Ayana memberikan instruksi ke Mike—kepala arsitek perusahaan yang diberi tanggung jawab untuk membuat desain kafe yang sedang ingin dibangun Ayana.Mike berpikir sejenak. Biasanya dia mendesain perumahan, gedung, atau pusat perbelanjaan, sekarang hanya diminta membuat desain untuk renovasi tanpa membongkar seinci pun dari bangunan asli.“Memangnya kamu sudah membahas ini dengan anak di bawah umur itu, bagaimana kalau dia tidak suka dengan konsep yang kamu ajukan?” tanya Kyle yang tetap saja menyebut Deon anak di bawah umur.Mike langsung menata Kyle, sedangkan Ayana memicingkan mata ke asistennya itu.“Dia sudah dewasa, Kyle! Sampai kapan kamu akan menyebutnya anak-anak.” Ayana menatap asistennya sambil melipat kedua tangan di depan dada.“Tetap saja, dia anak-anak. Meski dia bisa menghamilimu, tetap saja bagiku anak-anak,” ujar Kyle de