Deon terlihat berulang kali mengecek ponsel, bahkan melihat ke jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh malam. Dia mengirimkan beberapa pesan sejak diminta Ayana pulang, tapi istrinya itu tetap tidak membalas pesannya. “Dia sepertinya benar-benar marah.” Deon menatap ponselnya, tidak ada satu pun pesan yang dibaca Ayana. Deon lupa jika Ayana berkata akan sibuk seharian dan mungkin akan pulang terlambat. Dia terlalu fokus dengan kesalahannya, sampai tidak ingat akan ucapan Ayana. “Aku coba hubungi dulu saja,” gumam Deon sambil berpikir. Jika dia tidak berinisiatif menghubungi, Ayana pasti mengira jika Deon ikut marah karena diminta keluar dari pekerjaannya. Deon pun akhirnya menghubungi Ayana, tapi ternyata hanya panggilan terhubung saja yang didengar. Wanita itu tidak menjawab sama sekali panggilan dari Deon. “Dia benar-benar marah,” gumamnya. Deon menyandarkan punggung dengan kasar ke sandaran sofa, menengadahkan wajah menatap langit-langit ruang tamu. Namun, sedetik kemudian
Deon melangkah mendekat ke Ayana, sedangkan wanita itu berdiri sambil melipat kedua tangan di depan dada.Ayana sendiri tidak bermaksud memperpanjang masalah, apalagi tadi sudah bisa tersenyum karena pesan dari Deon yang dianggapnya lucu. Namun, Ayana juga harus memberi efek jera ke suami berondongnya itu, jika ada akibat akan sebuah kesalahan yang dilakukan, terutama saat berusaha membohongi Ayana.“Apa?” tanya Ayana masih dengan ekspresi wajah datar.“Maaf, aku sudah minta maaf dari tadi tapi belum kamu maafkan,” jawab Deon mencoba memelas. Rasanya aneh saat Ayana marah seperti ini kepadanya.“Memangnya semudah itu minta maaf? Kalau kata maaf saja bisa bikin orang bersalah bebas hukuman, untuk apa dibuat kantor polisi beserta selnya? Maling cukup dimaafkan, kelar!” Ayana bicara dengan sedikit melotot, satu tangan bergerak seirama dengan nada bicaranya.Deon memasang wajah memelas, bahkan tidak tampak seperti pria dewasa yang sudah beristri. Lebih cocok disebut anak remaja sedang ter
“Bantu keringkan rambutku.”Deon menarik laptop yang sedang dipangku Ayana, lantas memberikan handuk ke tangan sang istri. Bahkan Deon langsung duduk di hadapan Ayana yang duduk di atas ranjang.Tentu saja kelakuan suaminya ini membuat Ayana sampai geleng-geleng kepala.“Kamu bisa mengeringkan rambutmu sendiri, kenapa harus memintaku mengeringkan rambut?” tanya Ayana keheranan.Deon malah melebarkan senyum mendengar pertanyaan Ayana. Tanpa menjawab pertanyaan itu malah mengambil tangan Ayana yang memegang handuk, kemudian meletakkan di kepala.“Tapi aku ingin kamu yang mengeringkan.”Ayana benar-benar tidak menyangka jika Deon akan manja seperti ini. Namun, dia pun tidak bisa menolak permintaan suaminya itu.Ayana mengubah posisinya menjadi berlutut. Dia lantas mulai mengusap rambut Deon dengan lembut untuk menyingkirkan air yang masih menggenang di rambut pemuda itu.“Ay, bagaimana kalau aku tidak dapat pekerjan lain?” tanya Deon.“Kalau begitu tidak usah bekerja sampai kamu lulus,”
“Hyuna.”Deon berjalan cepat menghampiri Hyuna yang sedang berjalan di koridor kampus menuju ke ruang dosen.Hyuna membalikkan badan ketika mendengar suara Deon. Dia pun tersenyum manis melihat pemuda itu berjalan cepat mendekat ke arahnya.“Ya, De.” Hyuna bersikap manis ketika berhadapan dengan Deon.Deon sendiri ke kampus memang karena ingin menemui Hyuna. Dia ingin mempertanyakan maksud Hyuna mendatangi Ayana.“Kenapa kamu melakukannya?” tanya Deon ke Hyuna saat sudah berdiri berhadapan.Hyuna menaikkan satu sudut alis mendengar pertanyaan Deon.“Melakukan apa?” tanya Hyuna balik.“Menemui Ayana,” jawab Deon, “kenapa kamu menemuinya, kemudian mengatakan jika aku sudah tidak bekerja di kafe karena salahnya. Apa maksudmu? Kupikir kamu menerima keputusanku, ternyata tidak.” Deon benar-benar kecewa dengan sikap Hyuna.Hyuna terkejut dengan ucapan Deon, hingga membalas tanpa menyadari posisi siapa dirinya.“Aku hanya mencemaskanmu. Yang aku sampaikan pun fakta, kenapa dia tidak terima s
Deon pergi ke alamat yang disebutkan penerima panggilan saat menghubungi Ayana. Dia sangat mencemaskan kondisi sang istri karena orang lain yang menjawab panggilan itu. Pemuda itu sudah sampai di alamat tempat Ayana berada. Dia langsung masuk setelah meminta izin satpam yang berjaga di depan. “Kamu sudah datang.” Ternyata Nabila yang menerima panggilan Deon. Deon terlihat panik. Dia melihat Ayana yang tertidur di sofa. Deon pun langsung menghampiri dan berlutut di samping sofa tempat Ayana tidur. “Ay.” Deon mencoba memanggil tapi Ayana tidak menjawab. Nabila memandang Deon yang terlihat begitu cemas. Dalam raut wajah wanita itu juga terlihat kecemasan. “Apa yang terjadi? Kenapa dia tidur di sini?” tanya Deon sambil menoleh Nabila. “Ayana minum obat tidur. Karena kebetulan kamu juga menghubungi, jadi aku bisa memintamu datang ke sini untuk membawanya pulang,” jawab Nabila. “Kenapa dia minum obat tidur?” tanya Deon yang benar-benar penasaran dengan apa yang terjadi dengan istriny
Deon memandang Ayana yang hanya diam menunduk saat sarapan. Tentu saja hal itu menjadi hal yang tidak biasa untuk pemuda itu.“Ay.” Deon memanggil sambil menggenggam telapak tangan Ayana.Ayana terkejut dengan yang dilakukan Deon, bahkan membuatnya langsung menarik telapak tangan yang digenggam suaminya itu.Deon tentu saja terkejut dengan yang dilakukan Ayana, tidak biasanya Ayana bersikap seperti ini.“Ada apa, Ay? Semalam kamu mendadak tidak bisa dihubungi, lalu pagi kamu bersikap dingin. Apa aku melakukan kesalahan? Jika ya, katakan aku salah apa lagi?” tanya Deon yang tidak bisa mendiamkan begitu saja sikap Ayana sekarang ini.Ayana menggelengkan kepala sambil mengulum bibir mendengar pertanyaan Deon. Bahkan dia tidak mau menatap ke suaminya itu.“Lalu kenapa kamu mendiamkanku? Kenapa kamu bersikap dingin kepadaku?” tanya Deon penasaran.Ayana menggeleng dan menarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskan perlahan, lantas dia pun menjawab, “Aku hanya lelah, De.”“Kalau begitu bica
Ayana pergi ke kantor Firman, tentu saja untuk menanyakan bukti-bukti yang baru diketahuinya kemarin. Dia berjalan dengan cepat, bahkan beberapa staff ayahnya yang menyapa pun diabaikan Ayana.Ayana menerobos masuk ruang kerja sang papa. Mengabaikan sekretaris sang ayah yang sempat mencegah. Dia mendorong kasar pintu ruang itu, membuat Firman yang baru saja akan mulai bekerja terkejut dibuatnya.“Ada apa? Apa kamu tidak bisa mengetuk pintu dulu? Meski aku ayahmu, tapi ini bukan rumah.” Firman masih kesal ke Ayana karena pertengkaran mereka tempo hari.Ayana tidak menjawab pertanyaan sang ayah. Dia memilih berjalan menghampiri meja sang ayah dengan ekspresi wajah penuh amarah dan rasa kesal.Firman menatap Ayana yang seperti siap meledak. Dia merasa tidak melakukan kesalahan, tapi sang putri datang dengan cara yang tidak sopan.“Katakan kepadaku, siapa nama orang yang dulu aku tabrak!” Ayana langsung melontarkan pertanyaan itu begitu berdiri di depan meja sang papa.Firman sangat terke
Ayana pulang saat malam hari. Kondisinya tampak baik, tapi tentu saja tidak baik secara mental. Dia sengaja pulang malam agar tidak berinteraksi dengan Deon, tapi ternyata tetap saja berhadapan dengan pemuda itu.“Kamu baru pulang? Mau makan sesuatu, biar aku siapkan.” Deon menyambut Ayana dengan senyum hangat.Ayana menatap Deon yang selalu bersikap manis dan perhatian kepadanya, membuat hatinya semakin teriris dan sakit, menumpuk rasa bersalah yang menggunung di dada.“Aku capek, ingin tidur.” Ayana berjalan ke kamar dan mengabaikan Deon yang menyambutnya.Deon bergeming melihat sikap tak acuh Ayana. Dia memandang wanita itu berjalan, hingga menyadari jika Ayana berjalan sedikit pincang.Ayana masuk kamar dan langsung mandi. Sekali lagi menangis di bawah guyuran air shower meratapi nasib hidupnya.Baru saja dia mencintai dan menemukan pria yang sangat menyayanginya, tapi kebahagiaannya dipatahkan oleh fakta akan masa lalu yang menyakitkan.Ayana ingin memberitahukan ke Deon, tetapi
“Dia cantik sekali,” ucap Ayana sambil menggendong bayi mungil Ive. Bayi berjenis kelamin perempuan itu sehat dengan pipi chubby yang menggemaskan. “Tentu saja cantik, apalagi ayahnya tampan seperti ini,” balas Alex menanggapi ucapan Ayana. Ayana langsung memicingkan mata mendengar adiknya yang terlalu percaya diri. “Yang benar itu dia cantik seperti ibunya, bukan karena ayahnya,” ucap Ayana sewot sendiri karena ucapan Alex. Ive hanya menahan tawa mendengar balasan Ayana, sedangkan Alex langsung mendekat kemudian ikut memandang putrinya. “Lihat saja, alisnya tebal seperti milikku. Bibirnya kecil sepertiku. Lihat hidungnya yang mancung, sama sepertiku juga,” ucap Alex membandingkan wajah bayinya dengan dirinya. “Semua mirip kamu, terus Ive hanya dapat hikmahnya gitu,” balas Ayana karena Alex makin mengada-ada. Alex melebarkan senyum, lantas membalas, “Iya, kan bibitnya dariku.” Ayana gemas mendengar ucapan Alex hingga langsung memukul lengan adiknya itu. “Kepedean!” seloroh Ay
“Ive, kamu baik-baik saja?” tanya Ayana saat melihat wajah Ive yang pucat.Ive terkejut mendengar pertanyaan Ayana karena sedang tak berkonsentrasi. Dia melihat, Ayana dan yang lain kini sedang memandangnya.“Wajahmu sangat pucat, Ive. Apa kamu sakit?” tanya Jonathan.Alex langsung menyentuh kening Ive. Dia merasakan kulit wajah Ive yang sangat dingin.“Ive, kamu baik-baik saja?” tanya Alex yang cemas.“Sebenarnya sejak semalam perutku terasa mulas, tapi tidak bisa ke kamar mandi. Ini juga rasanya tidak nyaman,” jawab Ive yang menahan sakit dari kemarin sore sampai pagi tanpa memberitahu siapa pun.Ayana terkejut mendengar jawaban Ive. Dia langsung berdiri, lantas menyentuhkan tangan di kening Ive.“Kita ke rumah sakit, ya. Aku takut kamu sudah kontraksi tapi tidak paham,” ujar Ayana yang cemas.Semua orang pun terkejut mendengar ucapan Ayana. Alex langsung berdiri untuk membantu Ive berdiri.“Ayo, Ive. Kita ke rumah sakit untuk memastikan kondisimu,” kata Alex yang tak bisa membiarka
Tak terasa sudah enam bulan berlalu, kini usia kandungan Ive sudah memasuki usia delapan bulan. Ive sendiri mulai kesulitan melakukan aktivitasnya karena perutnya yang besar.“Kamu mau buah, Ive?” tanya Ayana saat melihat adik iparnya itu datang ke dapur.“Iya, Kak.” Ive menjawab sambil berjalan mendekat. Dia lantas duduk di kursi samping stroller Ansel.Ayana menoleh sekilas ke Ive sambil tersenyum, lantas mengambilkan buah yang biasa dimakan Ive.“Kamu sudah minum susu?” tanya Ive mengajak bicara Ansel yang kini berumur 9 bulan.Ive memberikan telunjuknya agar digenggam Ansel. Dia sangat suka dengan keponakannya yang lucu dan menggemaskan itu.“Hari ini kamu jatah cek kandungan? Tadi Alex memperingatkanku untuk mengantarmu karena dia ada rapat penting pagi ini?” tanya Ayana sambil mengupas apel.Ive menoleh Ayana, kemudian menjawab, “Iya, Kak. Dokternya baru datang jam sepuluh, jadi ke sana jam sembilan ambil antrian tidak masalah.”Ayana menghampiri Ive sambil membawa apel yang sud
Hyuna sangat terkejut dengan jawaban Azlan, bagaimana bisa calon suaminya itu melupakan cincin pernikahan mereka.Azlan menoleh Ayana, memberikan mimik wajah sedih karena cincinnya dan Hyuna tertinggal.“Kenapa dia?” tanya Alex keheranan melihat Azlan yang bingung.Azlan memberi isyarat dengan menggerakkan jemarinya, membuat Alex dan Ayana langsung paham.“Dasar, ceroboh sekali dia,” gerutu Alex.Alex melepas cincin pernikahannya, lantas meminta Ive melepas cincinnya juga. Dia kemudian pergi ke altar untuk memberikan cincinnya agar dipakai Azlan lebih dulu.Ayana dan yang lain terkejut dengan apa yang dilakukan Alex, tapi hal itu juga membuat bangga karena Alex mau membantu kepanikan Azlan.“Pakai ini! Tapi kamu harus membayar bantuanku,” ucap Alex dengan nada candaan.Meski Alex terkadang menyebalkan, tapi nyatanya dia perhatian hingga membuat Azlan hanya menganggukkan kepala.Alex kembali ke kursinya, hingga langsung mendapat pujian dari Ayana.Prosesi pernikahan itu pun kembali ber
Alex begitu terkejut sampai mundur karena melihat siapa yang baru saja menepuk bahunya. Dia memegang dada karena terkejut melihat wanita tua sedang menatapnya.“Mau apa tengok-tengok rumah?” tanya wanita berumur 70 an tahun itu.“Maaf. Saya hanya ingin meminta mangga muda, kalau tidak boleh diminta ya saya beli,” kata Alex berusaha sopan ke wanita tua itu, apalagi sudah menjadi kebiasaan di negara itu jika harus sopan ke orang yang lebih tua.“Mangga muda?” Wanita tua itu mungkin keheranan karena Alex malah minta mangga muda.“Ah … ya. Istri saya sedang hamil. Dia katanya ingin makan mangga muda itu,” ujar Alex menjelaskan sambil menunjuk ke mobil lantas ke pohon mangga.“Oh … bilang dari tadi. Aku pikir mau maling atau sales menawari barang,” balas wanita tua itu dengan entengnya kemudian mengeluarkan kunci mobil dari saku baju yang dipakai.Alex terkejut karena dikira sales barang, tapi demi Ive dia harus menahan diri agar tidak tersinggung.Wanita tua itu membuka gerbang, lantas me
“Kita mau ke mana?” tanya Ive bingung karena Alex mengajaknya pergi keluar padahal baru saja sampai rumah.“Aku ingin mengajakmu tadi siang, tapi karena siang tadi pekerjaanku sangat banyak, jadi baru bisa sekarang. Aku tidak mau menundanya, jadi meski sore aku tetap ingin mengajakmu ke sana,” jawab Alex sambil menoleh Ive dengan senyum di wajah.Ive mengerutkan dahi mendengar jawaban Alex. Dia benar-benar penasaran ke mana suaminya itu akan mengajak pergi.Ive memperhatikan jalanan yang mereka lewati, hingga mobil yang ditumpangi masuk ke area perumahan yang sedang dibangun. Sudah ada beberapa rumah berdiri megah, tapi ada pula yang sedang dalam proses pembangunan.“Mau apa ke sini?” tanya Ive bingung. Dia pun memperhatikan sekitar.Alex menoleh Ive sekilas, lantas sedikit memperlambat laju mobilnya.“Melihat hadiah yang diberikan Ayana. Dia memberi kita hadiah, tapi aku belum sempat melihatnya langsung,” jawab Alex.Dahi Ive semakin berkerut halus mendengar jawaban Alex. Dia pun kem
“Ternyata benar, nabung.” Azlan langsung meledek Alex yang baru saja datang bergabung dengannya, Ayana, dan Ive. Ayana melirik Ive, lantas memberi isyarat untuk menyingkir daripada mendengarkan perdebatan Azlan dan Alex. Alex bingung mendengar ucapan Azlan, hingga dia melihat Ayana dan Ive yang pergi. “Apanya nabung? Kalau punya uang, ya pasti nabung,” balas Alex masih tak paham dengan maksud ucapan Azlan. “Pura-pura tidak paham. Pantas saja kamu ngebet mau nikah, bahkan berani mendahuluiku, ternyata sudah bikin Ive hamil dulu,” ledek Azlan sambil memicingkan mata. Alex sedang minum saat Azlan bicara, hingga dia tersedak karena terkejut mendengar ucapan Azlan, sampai-sampai air yang baru saja masuk ke kerongkongan langsung menyembur keluar. “Sikapmu saja ini sudah cukup membuktikan kalau ucapanku benar. Kamu sudah bikin Ive hamil dulu, lalu mendesak minta nikah biar ga ada yang curiga kalau Ive hamil,” ucap Azlan memperjelas maksudnya agar Alex tak mengelak. Alex mengusap permu
Ive dan Alex pergi bersama Jonathan untuk mengurus proses balik nama sertifikat rumah mendiang ayah Ive.Ive benar-benar masih seperti mimpi bisa memiliki rumah itu, meski sebenarnya dia merasa sangat berat jika diminta meninggalinya. Ada kenangan pahit dan manis yang bersamaan dirasakan tatkala menginjak rumah itu.“Kamu mau tinggal di sini?” tanya Alex sambil menatap Ive.Ive sedang diam, memandangi setiap sudut ruangan, dinding, juga langit-langit kamar itu. Mengingat ada tawa saat bersama ayah dan ibu yang merawatnya, tapi juga ada kepedihan ketika ditindas Carisa.“Entahlah, aku masih bingung. Selain kenangan manis bersama Mama, di rumah ini juga penuh kenangan menyakitkan,” jawab Ive sambil mengedarkan pandangan.Alex melihat bola mata Ive yang berkaca-kaca, hingga dia pun menautkan jemari mereka.“Tidak usah dipaksa jika tak ingin. Ini hadiah dari Papa, kita terima meski tak ditinggali,” ucap Alex a
“Karena membantuku, kamu jadi ikut celaka,” ucap Ive penuh penyesalan begitu bertemu dengan Damian.Ive dan Damian sudah keluar dari rumah sakit, mereka kini berada di rumah Jonathan.Ive menatap perban yang terpasang di pelipis karena hantaman dari orang yang menyerang kakaknya itu.“Tidak apa, kamu jangan terlalu memikirkan ini,” balas Damian, “dulu aku tidak bisa melindungimu, jadi sekarang aku harus melindungimu, meski nyawaku taruhannya,” ucap Damian sambil memulas senyum manis di wajah.Tetap saja Ive merasa bersalah meski Damian berkata jika tak masalah terluka untuk melindunginya.“Bagaimana proses hukum Emanuel dan Eric?” tanya Damian sambil menatap Alex yang duduk di seberangnya.“Polisi sedang memprosesnya, kemungkinan berkas perkaranya akan segera naik ke kejaksaan mengingat bukti-bukti yang kita miliki sangat kuat. Nantinya baik aku, kamu, atau Ive tetap harus menghadiri sida