Hari ini adalah hari libur untuk Alba, seperti biasa dia diperbolehkan untuk bangun siang hari. Namun sejak malam dia tidur dengan gelisah, ingin cepat-cepat pagi datang. Ceritanya, kemarin dia bertemu dengan Tante Geya. Iya, tante Geya yang sangat dia sayangi itu datang ke rumahnya untuk pertama kalinya. Sebenarnya ketika dia berangkat sekolah, Dad sudah memberitahunya kalau tante Geya akan datang nanti sore, jadi Dad mengajaknya untuk berbelanja. Alba suka berbelanja, apalagi berbelanja untuk keperluan bertemu dengan tante Geya. Jadi begitu sampai di taman kanak-kanak dia mulai berceloteh mengenai hal itu pada Nina dan ibu guru, keduanya terlihat sangat antusias mendengar ocehannya, dia jadi semakin tidak sabar. Beberapa kali dia bertanya pada ibu guru apakah sudah waktunya pulang? Bahkan ketika waktunya tidur siang dia sudah bisa memperkirakan kapan bisa pulang. Bangun tidur siang, makan camilan, bernyanyi, kemudian menggambar, berhitung setelahnya pulang! Dia ingin cepat
Geya tersenyum kecil ketika dia melihat si kecil Alba sudah penuh semangat di depan pintu gerbang saat dia datang, gadis kecil itu mengurai rambutnya yang sepanjang pinggang dan memakai topi berwarna coklat muda, menggunakan sweater berwarna merah muda serta rok rempel berwarna abu-abu dipadu padankan dengan kaos kaki dibawah lutut, sepatu kets abu-abu. Geya begitu gemas melihatnya, Janu benar-benar bisa memakaikan baju yang cocok itu si gadis kecil.“Tante! Ayo kita pergi!” Ucapan itu begitu penuh semangat menyambut Geya yang kini sudah memasuki gerbang dan semakin tersenyum lebar menyambut tangan mungil Alba.“Ya ampun! Cantik banget hari ini!” Pekik Geya, berjongkok di depan Alba yang sekarang salah tingkah karena pujiannya.“Dad memilihkan baju.” Katanya berusaha menjelaskan, “Ini dari paman Javis.” Dia menunjuk pada sweater merah mudanya. Geya terkekeh. Jadi, Javislah yang mengenalkan si kecil ini pada sweater
Pernikahan yang tertanam di kepala Geya adalah happy ending stories yang selalu dielu-elukan di setiap buku cerita ataupun cerita para putri yang dia baca sejak kecil.“Akhirnya mereka hidup bersama selamanya..”Narasi itu terngiang di kepalanya dan menempel dengan begitu lekat, melihat kedua orangtuanya yang hidup seperti narasi tersebut sampai maut memisahkan keduanya membuat Geya yakin bahwa narasi itu benar. Ketika sudah menikah dengan orang yang kita cintai adalah akhir dari semua perjalanan. Bahwa pernikahan adalah sebuah tujuan dari hidup seseorang.Maka sejak dia pertama kali mengenal cinta, dia mencurahkan segalanya terlebih lagi ketika pria itu berkata bahwa dia memang ingin serius dengannya. Pernikahan yang dia impikan hanya bertahan selama beberapa tahun sebelum akhirnya kandas, pernikahan yang dia pikir akan menjadi akhir dari perjalanan hidupnya itu kini bahkan tidak ingin dia ingat lagi. Terlalu menyakitkan, pria itu,
Janu membaca pesan yang baru saja masuk, dari Geya. Mencoba membacanya dengan seksama setiap baris kalimatnya dia resapi seolah itu adalah pesan dari pak Barata yang tengah mengirimkan materi project lagu selanjutnya. Tapi ini adalah pesan yang lebih penting dari sebuah project, ini demi masa depannya. Iya, masa depan hubungan yang sudah lama tidak dia lakukan. Hubungan yang selama ini tidak pernah terlintas di benaknya, hubungan serius. Dia membaca pesannya, membacanya lagi dan lagi mencoba meyakinkan kalau apa yang dia baca adalah benar. Kemarin malam dia berhasil mengutarakan perasaannya pada Geya, setelah sekian lama bergulat dengan apakah dia harus jujur pada wanita itu atau tidak, akhirnya dia melakukannya juga. Perasaan itu tidak bisa dia sembunyikan lagi, semakin bertemu dengan Geya perasaan ingin bersama selalu muncul. Dia menyukai bagaimana kedua orang yang dia sayangi berinteraksi, dia menyukai bagaimana Geya meneleponnya, cara wanita bicara, tertawa, memasak untuknya atau
Pagi ini, Geya membuka mata dengan perasaan campur aduk ketika dia mendengar sebuah lagu dalam tidurnya lagu yang terus berulang-ulang diputar sehingga membuatnya bangun dari tidur yang nyenyak. Sebuah lagu mengenai seorang perempuan yang bertanya kepada pasangannya apakah ada yang salah dengannya, mengapa dia ditinggalkan begitu saja. Geya bangun dengan airmata yang mengalir, di dalam lagu tersebut si perempuan meminta si pasangan menjelaskan mengapa tiba-tiba hal-hal kecil yang sebelumnya bisa dimaklumi menjadi masalah yang besar hingga dia bertanya mengenai hal-hal kecil tersebut. Geya menangis karena kemudian dia jadi teringat bagaimana dia bertanya hal yang sama pada Diraya ketika mereka masih menjadi suami istri, mereka bukan bersama untuk waktu yang singkat, sebelum menikah mereka melalui waktu yang lama sampai akhirnya menikah. Lalu, mengapa kemudian Diraya pergi tanpa alasan, tanpa kata, meninggalkannya seperti barang tidak terpakai, tidak berharga. Dia merasakan hal itu la
Diraya terdiam, menatap jalan yang lengang namun beberapa mobil masih berkeliaran. Dia menyesap kopi di dalam gelas plastik bekas aqua yang tadi dia terima dari penjual kopi keliling, dia tengah berada di pinggir jalan. Duduk diatas trotoar, menikmati kopi murahan serta rokoknya. Pikirannya tengah semrawut, dari sejak menikah dengan Yara tidak ada sedikitpun rasa bahagia dia rasakan, ya terus menerus meneriakinya ketika mereka sedang adu argumen, atau menyakitinya dengan mendorong, menampar, dia juga beberapa kali memergoki Yara mengecek ponselnya bahkan menguntit kemanapun dia pergi. Lama-lama ini menjadi memuakkan. Lama-lama dia merasa menjadi tidak bebas akan hal itu. Apa yang dia harapkan sudah tercapai, mobil dan rumah mewah, uang yang seperti tidak ada habisnya di dalam rekening bank. Itu semua yang dia inginkan, yang dia harapkan setelah pernikahannya dengan Geya dulu. Pernikahan yang diawali dengan cinta itu lama-lama menjadi membosankan, melihat Geya yang begitu menurut pa
Alba memanglah anak berusia 5 tahun saja, bulan depan dia akan menginjak usia 6 tahun. Itu akan menjadi tahun keduanya bersama ayah dan keenam pamannya, serta keluarga barunya. Alba kini sudah bisa memahami bahasa Indonesia yang baik, dia juga sudah bisa merangkai kata dalam bahasa Indonesia menjadi sebuah kalimat. Dia sudah bisa menjawab pertanyaan oranglain dengan baik, dan sopan. Alba sudah bisa berbaur di taman kanak-kanak, selain Anna kini dia sudah punya cukup banyak teman. Bulan depan bertepatan dengan ulang tahun ke 6 dia juga wisuda dari taman kanak-kanak dan bersiap masuk sekolah dasar. Ada rasa takut dan juga semangat yang membuatnya ingin segera masuk tempat baru. Tapi, dia juga tahu kalau ayahnya selalu berpikiran pesimis untuk mendaftarkannya sekolah. Dia juga tahu ayahnya suka takut dia jadi bahan omongan jika seseorang tahu siapa dirinya, siapa Alba Parvati. Dulu, Alba tidak terlalu mengerti kemudian dia menyadari beberapa orang yang mengenalinya sebagai anak Janu Kri
Akhir-akhir ini Janu tengah disibukkan dengan beberapa finishing projectnya bersama Kiyoko, Kiyoko sudah mulai syuting untuk pemotretan album dan juga syuting Music Video. Keseluruhan lagu sudah rampung, namun ada beberapa bagian yang mesti diedit, diselesaikan ataupun masih harus dipantau. Dia memakan waktu hampir 10 jam sehari di studio untuk menyelesaikannya. Hubungannya dengan Geya sudah berjalan tiga bulan dan dalam rentang waktu itu juga tidak ada perubahan signifikan terjadi, Geya sibuk dengan project barunya sekarang, membuat seri spesial untuk bukunya. Dia mengerti kesibukan Janu, dan Janu juga sama, mengerti bagaimana sibuknya Geya dengan project terbarunya. Alba seperti biasa harus dioper kesana kemari dalam beberapa waktu, Janu tidak sampai hati harus melibatkan Geya dalam pengurusan Alba. Bagaimanapun, mereka belum dalam tahap kesana, maksudnya, Geya belum menjadi ibu sah Alba. Untungnya, Magani dan Yuwa punya waktu luang lebih. Yang lain sedang dalam pekerjaannya masi
Geya sedang sibuk memilih baju dari lemari. Hari ini adalah hari yang tidak pernah terlintas dalam pikirannya setelah perpisahannya dengan mantan suaminya dulu. Dia berpikir mungkin akan berakhir sendirian sampai tutup usia. Jika berpikir pertemuannya dengan Janu sampai orang itu mengira dia adalah tukang bully sampai mereka bertemu lagi di Rumah Sakit, kalau dipikir lagi jodoh itu memang selucu itu. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya semuanya akan menjadi sejauh ini, dia dan Janu. Dia tidak pernah berpikir kalau kedekatannya dengan Alba akan membawa perasaan lain pada ayah si bocah. Janu yang sejak awal memang tidak berniat untuk mendekatinya malah juga ikut jatuh hati padanya. Dia memilih baju terusan berwarna abu-abu dengan corak goresan berbentuk bunga, mengecek lagi penampilannya di kaca dia sudah begitu yakin semuanya terlihat baik, tidak terlalu berlebihan. Dia keluar dan mendapati Janu serta Alba sudah berdiri di teras, menunggunya. Ketika dia berjalan mendekati mereka
Ini sudah dua minggu semenjak Diraya akhirnya keluar dari rumah milik Yara, ketika Yara memintanya untuk bercerai hari itu juga dia keluar dari rumah. Yara tidak mengusirnya karena sejak awal pembelian rumah itu atas nama Diraya, rumah itu hak Diraya tapi dia terlalu malu bahkan untuk mengakui bahwa rumah itu miliknya. Dia merasa tidak pantas. Memang. Dia tidak pantas untuk mengakui kalau rumah itu miliknya, itu dibeli dengan uang Yara, dan kini setelah si pemilik memintanya untuk pergi dia harus tahu diri kalau itu juga termasuk dengan meninggalkan apa yang sudah dia berikan. Yara sudah meneleponnya beberapa kali, menanyakan mengapa dia tidak datang ke tempat kerja. Tapi dia sudah begitu malu. Dia datang ke tempat Geya dan tanpa malu menanyakan kemana kesetiaan Geya terhadapnya ketika sejak awal dialah yang telah berkhianat. Dia merasa semua orang menjauhinya sekarang atau mungkin sejak awal memang tidak ada yang ada disisinya selain Geya? Suara ketukan mengejutkannya ketika dia
Alba menatap mata berwarna hitam pekat di depannya, keningnya berkerut dan wajahnya mengeras. Dia berusaha untuk menahan airmata yang sebentar lagi mungkin akan jatuh karena matanya sudah begitu berair dan perih. Dan akhirnya dia mengedip, “AAAAAK!” Pekiknya, bocah berusia satu tahun di depannya tergelak, tertawa melihat kelakuannya. “Ngapain sih Ba? Pasti main adu kedip sama Kai ya?” Seorang wanita keluar membawa satu mangkok MPASI untuk Kaivan, Ginel tertawa, duduk di sebelah Alba yang kini sibuk mengucek matanya yang terasa perih. “Kai ‘kan masih kecil jadi refleksnya buat kedip itu gak kayak kita.” Ginel mencoba menjelaskan pada apa yang sekarang sudah menatapnya. “Tapi adik Kai kelamaan gak kedip, Aba aja gak kuat.” Kata bocah itu menjelaskan, Ginel hanya tertawa kemudian memakaikan bib pada Kaivan yang sudah kegirangan karena dia sudah mengerti jika bib dipasang, artinya dia akan makan. Ginel menyuapi Kaivan dan Alba terus mengoceh pada batita itu, sesekali menoleh mengecek
Geya membuka matanya, suara diluar kamar seperti biasa membangunkannya. Bu Cicih dan Bu Ria sedang sibuk di dapur dan ruangan sekitar, membersihkan dan membuat makanan. Dia baru saja membalikkan badan ke samping ketika jari jemarinya merasakan sesuatu, menarik tangan kirinya wajahnya berubah sumringah, senyumnya begitu lebar. Cincin dari Janu. Ini sudah seminggu setelah akhirnya Janu mengungkapkan rasa seriusnya pada dirinya, sudah seminggu ketika dia, Janu dan Alba menangis di parkiran karena akhirnya dia dilamar lelaki itu. Meskipun tidak dalam suasana romantis tapi itu semua mampu membuatnya bahagia. Di depan Alba, Janu meminta dirinya menjadi istrinya. Dan dua hari kemudian pria itu datang bersama bocah cantiknya, berdiri di depan pintu dengan buket bunga, dan si kecil Alba membawa kotak cantik berwarna biru muda. Kebahagiaannya tidak dapat terbendung, yang diinginkan Geya sejak awal begitu sederhana. Dia hanya ingin membangun rumah tangga ringan, dimana dia sebagai istri dan
Yara mendengar apa yang terjadi di toko buku pada suaminya dari orang suruhannya, hati sakit, terbakar cemburu. Dia ingin pergi kesana namun kepalanya terlalu pusing, badannya terlalu berat untuk diajak bekerja sama. Dia memang sedang tidak baik-baik saja, berkali-kali dia mencoba menyelesaikan hidupnya namun tidak pernah berhasil, selama ada Diraya sudah tidak bisa dihitung lagi dia melakukan percobaan itu berapa kali. Hidupnya bersama Diraya sudah hancur. Diraya masih menginginkannya, Geya. Dia masih menginginkan wanita itu kembali ke hidupnya. Mungkin Yara sejak awal tidak diinginkan oleh Diraya, mungkin sejak awal lelaki itu memang mengincar hartanya saja, untuk Diraya dia hanya tidak lebih dari sekedar ATM berjalan. Dia menangis lagi, meskipun kepalanya masih terasa sangat sakit tapi airmatanya tidak berhenti. Para pelayannya keluar masuk mengecek keadaannya, mereka memanggil dokter keluarga untuk memeriksanya. Pagi ini dia sudah muntah lebih dari enam kali, tidak ada makanan y
Diraya keluar dari dalam mobil, disambut salah satu supirnya di rumah. Dia menatap rumah besar itu, rumah besar yang dia sangka akan hangat namun kenyatannya jauh lebih dingin dari rumah yang pernah ia punya bersama dengan mantan istrinya. Ini adalah rumah yang paling dingin yang pernah dia tinggali. Dia masuk ke dalam rumah dan para pelayan menyambutnya, berbisik-bisik memberitahu keadaan sang istri yang sejak kepergiannya tidak baik-baik saja. Hal ini bukan hal mengejutkan lagi baginya karena memang sejak awal, Yara tidak pernah baik-baik saja. Wanita itu akan selalu seperti itu, cemas, ketakutan setiap kali Diraya pergi dari rumah. Lama kelamaan itu semua tidak lagi membuat khawatir, dia malah jadi muak. Masuk ke dalam kamar dia mendapati Yara meringkuk diatas kasur. “Gue udah balik jadi cepetan bangun dari tempat tidur.” Ujar Diraya, ketus, dia bahkan tidak mengenali siapa yang tengah berbicara sekarang. Dia bahkan sudah tidak mengenali dirinya sendiri yang sudah lama menghilan
Alba membuka matanya, sejak semalam dia sudah begitu bersemangat sampai-sampai ayahnya memintanya untuk tidur dengan tenang atau hari ini dia akan bangun kesiangan, kenyataannya dia tidak bangun kesiangan sedikitpun. Malahan dia bangun terlalu pagi, membangunkan sang ayah yang masih terkantuk-kantuk, dia mengoceh selama sejam sebelum akhirnya tertidur kembali. Janu melirik kearah jam dan waktu menunjukkan pukul 7 pagi, dia membuka pintu kamar perlahan dan mendapati keenam temannya sudah tersenyum lebar menyambutnya. Janu menutup pintu kamar selembut mungkin agar tidak membangunkan putri kecilnya yang bersemangat, dia mendekat kearah teman-temannya yang sudah merampungkan dekorasi hampir delapan puluh persen. Mereka berencana merayakan ulang tahun outdoor karena memang teras belakang Janu cukup besar untuk ukuran rumah orang Indonesia yang berada di tengah kota, jadi mereka bisa mendekorasi balon, tulisan, dan lain-lain yang berhubungan dengan pesta ulang tahun Alba. “Nu, ini hadiah
Janu memasukkan mobil ke dalam garasi, dia mengecek Alba yang baru saja menyelesaikan nyanyiannya di kursi belakang. Anak itu begitu ceria sejak di jemput dari taman kanak-kanak, Janu turun dari mobil, membuka pintu belakang dan melepaskan sabuk pengaman bocah itu. Alba merentangkan tangannya minta di gendong, Janu tersenyum dan menggendong putri kecilnya masuk ke dalam rumah. Sesampainya di rumah si kecil Alba masih bernyanyi riang, mbak Ayu menyambut Alba dan membantunya melepaskan sepatu serta baju seragamnya. “Non seneng banget hari ini..” Kata mbak Ayu sambil melepaskan rok sekolah Alba, bocah itu menatapnya, matanya berbinar-binar. “Aba mau ulang tahun!” Pekiknya lantang, Janu terkekeh mendengarnya menatap si kecil dari arah dapur. Tiga hari sudah berlalu semenjak dia dan keenam temannya bertemu di tempat Yuwa. Mereka sudah merencanakan bagaimana acara itu akan digelar, Magani sudah membuatkan rundown acara yang akan berlangsung selama satu jam saja, karena ketika Janu berk
Janu memakirkan mobilnya dengan hati-hati, dia baru saja sampai di depan toko Yuwa. Iya, baru saja dia mengantar Alba ke sekolah dan kini dia sudah berada di toko Yuwa, jam masih menunjukkan pukul 10 ketika dia sampai, melepas sabuk pengaman dia tidak lupa membawa paper bag berisi sarapannya bersama Yuwa. Dia menyebrang dan mendapati Yuwa bersama karyawannya tengah mengeluarkan beberapa bunga display ke depan toko. “Lah udah datang aja Nu?” Yuwa terkejut, memang benar teman-temannya berjanji untuk bertemu di tempatnya tapi tidak sepagi ini seingatnya. Jadi dia terkejut melihat pria dengan celana jeans gombrang dan kaos belel itu ada di depan tokonya. “Jam 12 sama jam 10 apa bedanya sih kak...” Ujar Janu santai, masuk ke dalam toko Yuwa dan pergi ke belakang, mencari-cari mangkok dan kemudian duduk di salah satu bangku kayu. “Kak aku gak beliin karyawanmu makan, tapi ini aku beliin buat kamu!” Pekiknya dari belakang. “Udah makan dia!” Jawab Yuwa lagi berteriak dari depan, masih sibu