Dua minggu berselang setelah peristiwa aneh itu terjadi, Chalondra berusaha menjalani hidupnya seperti biasa. Layaknya anak yang baru lulus SMA dan sedang giat-giatnya ikut les sebelum mengikuti tes masuk ke perguruan tinggi. Walau pun berasal dari keluarga yang berada, ibunya selalu mengajarkan mereka kesederhanaan. Seperti tetap ikut jalur umum untuk masuk ke universitas.
Namun Chalondra tidak bisa menyangkal bahwa ada yang kosong di dalam dirinya. Mungkin hatinya? Entah lah. Bayang-bayang kejadian malam itu masih selalu terlintas di pikirannya. Ciuman pertamanya yang sudah dicuri seorang laki-laki beristri dan sentuhan-sentuhan mematikan itu. Semuanya masih menari-nari dalam ingatannya, bahkan segala rasanya pun masih bisa dia rasakan, seperti baru terjadi kemarin. Terlalu nyata untuk sesuatu yang sudah berlalu hampir dua minggu lamanya.
Gadis polos seperti Chalondra, yang belum pernah mengenal cinta, atau ketertarikan dengan lawan jenis dan belum pernah disentuh oleh kaum lelaki, sudah pasti mengalami efek samping dari peristiwa malam itu. Malahan bisa dibilang efek sampingnya sangat berkepanjangan. Pikirannya sering menjadi tidak fokus dan dia jadi lebih sering melamun. Tidak jarang dadanya tiba-tiba sesak dan berujung pada mata yang berkaca-kaca.
"Kan aku yang bilang nggak mau... kenapa aku malah begini?" Dia bergumam sambil mengembuskan napas kasar. Ditatapnya buku pelajaran yang sejak tadi hanya dia anggurin. Semangatnya semakin hari semakin menguap. Padahal dia berharap akan melupakan om-om itu seiring berjalannya waktu.
"CHA!!"
"Astaga! Abang!!" Lamunan Chalondra terurai saat Brandon, kakak semata wayangnya mengejutkannya dari belakang.
"Kamu melamun?! Bukannya belajar." Brandon duduk di kasur yang ada di sebelah meja belajar adiknya.
"Lagi mumet, Bang. Abang tumben udah pulang?"
"Ini udah jam sembilan, Cha. Ya wajar dong udah pulang. Kamu gimana persiapan ujiannya?"
Chalondra menutup bukunya dengan tidak semangat. "Udah sih, Bang. Tinggal ujian aja lagi ...."
"Semangat ya! Kamu pasti bisa masuk universitas yang kamu mau."
Chalondra mengangguk-angguk. Namun sentuhan hangat Brandon di puncak kepalanya membuat perasaan galaunya semakin menjadi. Tiba-tiba saja matanya berkilauan dan hidungnya perih. Astagaaa, dia ternyata merindukan Om yang bernama Dominic itu!
"Kamu kenapa, Cha?" Melihat adiknya tiba-tiba sesenggukan tanpa alasan membuat Brandon terkejut.
"Capek belajar, Bang ...." Chalondra beralasan. Tidak mungkin dia jujur soal rindu kepada suami orang kan?
Brandon mendekat dan menarik Chalondra ke dalam pelukannya. "Maafin Abang ya, nggak bisa nemanin kamu terus di sini. Kalau ada Abang kamu pasti nggak kesepian ...."
Tangis Chalondra semakin menjadi di dalam pelukan Brandon. Kenapa rasanya sakit sekali? Padahal dia yang memutuskan untuk tidak terlibat lebih jauh dengan laki-laki tua itu. Dia tidak ingin menjadi pelakor yang sering diberitakan di akun gosip tersohor di i*******m. Dia cukup mengerti kalau itu salah dan apa yang sudah mereka lalui malam itu adalah sebuah dosa besar. Bagaimana pun Dominic punya istri sah saat mereka saling bertukar saliva.
Tapi ... Chalondra menyukai keintiman yang mereka ciptakan malam itu. Cara Dominic membuatnya nyaman dan tidak menuntut lebih selain ciuman panas. Yaa, mungkin pria itu sedikit nakal dengan menyentuh bokon9nya, tapi hanya sampai di situ saja. Hingga mereka harus mengakhiri cumbuan di jam lima pagi, tidak ada sentuhan yang berlebihan, sekali pun handuk Chalondra terbilang cukup menggoda iman pria itu.
Ya, Dominic mengakuinya. Dia kesulitan konsentrasi karena handuk gadis itu. Tapi dia juga melarang Chalondra untuk memakai kembali pakaiannya.
"Kalau memang kamu nggak mau sama saya, biar saya nikmatin pemandangan ini sampai kita pisah," katanya gamblang. Ciri khas pria dewasa. Straight to the point, tidak malu-malu kucing.
Brandon sedikit kebingungan karena tangisan Chalondra bukannya mereda saat dipeluk, malah semakin menjadi. Brandon bukan tidak mengerti arti dari tangisan adiknya itu.
"Cha, kamu lagi patah hati?"
*****
Ujian masuk universitas yang diselenggarakan oleh dinas pendidikan secara serentak di seluruh Nusantara sudah berakhir. Chalondra akhirnya bisa bernapas lega. Satu bulan lamanya dia belajar untuk mempersiapkan diri. Walau pikirannya sering terbagi untuk hal-hal di luar pelajaran, dia puas karena bisa menghadapi ujian dengan maksimal. Setidaknya dia cukup percaya diri.
Sekarang dia sama sekali tidak punya kesibukan. Pikirannya semakin sering terbang melayang, memikirkan Om Dominic. Apa kabarnya pria tua itu? Apakah sudah akur dengan istrinya?
Chalondra entah kenapa kepikiran untuk datang ke club milik pria itu lagi. Ingin mengadu nasib apakah mungkin akan bertemu dengan Dominic di sana. Dia ingin melihat pria itu lagi, walau dari kejauhan, walau dalam kegelapan. Katakan lah dia nekat dan gila. Tapi apa mau di kata, dia rindu.
Lewat bantuan temannya yang sama, akhirnya dia bisa masuk ke tempat itu lagi. Chalondra bahkan sempat mengejek Dominic di dalam hatinya. Pria itu tetap saja kecolongan meski sudah memperbaharui peraturan perihal syarat masuk.
Chalondra memesan minuman tanpa alkohol. Sesekali memutar kepalanya dan berusaha mengenali orang-orang di dalam kegelapan. Berharap bisa menemukan wajah tampan yang sudah meracuni pikirannya selama satu bulan terakhir.
Namun pencariannya tidak membuahkan hasil. Hampir satu jam lamanya dia duduk di sana, menanti kursi yang di sebelahnya diisi oleh orang yang sama seperti satu bulan yang lalu. Namun sepertinya itu hanyalah harapannya belaka. Mungkin Dominic sudah melupakan tempat itu.
Juga melupakan dirinya.
Ada rasa penyesalan yang membuat Chalondra merasa tidak nyaman sekarang. Dia sedih mengingat semuanya. Kenangan satu malam yang begitu manis. Kenapa dia baru menyadari itu sekarang?
Tapi fakta bahwa Dom adalah laki-laki beristri membuat otaknya lagi-lagi harus disadarkan. Jangan sampai menaruh harapan yang tidak-tidak, sekali pun pria itu mengaku tidak mencintai istrinya. Chalondra menghela napas demi mengosongkan dadanya dari kesesakan.
Kemudian dia menghabiskan teguk terakhir minumannya dan menelannya habis. Dia turun dari kursi tinggi tersebut dan berjalan meninggalkan meja itu, menuju arah pintu keluar. Semangatnya sudah menguap dan air matanya hampir saja menetes. Entah apa yang terjadi pada dirinya. Dia berjalan menunduk demi menghindari tatapan orang-orang. Hingga saat dia melewati salah satu lorong yang sepi, tiba-tiba saja ...
BUKK!!
Kepalanya terbentur sesuatu. Sepertinya dia menabrak seseorang dan yang dia tabrak barusan adalah dada kekar milik orang tersebut.
Ibarat gerakan slow motion, Chalondra mengangkat wajahnya. Dia ingin meminta maaf kepada orang bertubuh kekar tersebut. Namun saat dia menyadari siapa yang dia tabrak, matanya langsung membesar pertanda kalau dia terkejut. Namun itu terjadi hanya beberapa detik. Karena detik berikutnya bibirnya mulai melengkung ke bawah dan dahinya berkerut, kedua alisnya hampir menyatu.
Air matanya jatuh sudah. Dia sangat merindukan pria itu. Tapi boleh kah dia yang memeluk duluan? Kemarin dia yang menolak pria itu dan sekarang dia tidak tahu apakah Dom sudah akur dengan istrinya atau belum. Jadi, dia tidak berhak memeluk om-om tampan itu kan?
Saat dia menangis dalam diamnya, Dominic malah merogoh saku celananya. Mengeluarkan benda berbentuk persegi dan menekan satu nomor yang tidak terbaca oleh Chalondra. Dominic masih menatap kedua matanya saat benda itu dia tempelkan di telinga.
Chalondra berjingkat karena ponselnya bergetar. Ada panggilan. Kebingungan, dia melihat ke arah Dom lagi. Pria itu seakan memberi isyarat agar dia mengangkatnya.
Chalondra pun mengambil benda itu dari dalam tasnya dan alangkah terkejutnya dia saat membaca nama pemanggil yang tertera di ponselnya. My Sugar Daddy?? Kening Cha kini semakin berkerut karena banyak pertanyaan. Tapi sepertinya dia akan menanyakannya lewat telepon.
"Perasaan aku nggak pernah masukin nomor ini," tanyanya sambil menatap dalam netra Dominic yang juga sedang menatapnya.
"Saya yang memasukkannya dulu, waktu mengambil tas kamu yang ketinggalan." Dom menjawab. Tentu saja mereka saling bertelepon sekarang.
"Jadi ... selama ini, Om punya nomor ponselku?" Air mata kesedihan semakin menggenangi bola mata cantik gadis kecil itu. Selama ini Dominic memiliki nomornya, namun tidak berniat bertanya tentang kabarnya sedikit pun. Sama sekali. Malam itu benar-benar tidak berarti baginya.
"Iya." Tangan Dom refleks terulur untuk mengusap air mata Chalondra, namun gadis itu menepisnya.
"Nggak usah pura-pura care sekarang. Kemana Om selama satu bulan ini? Om punya nomor aku tapi Om nggak pernah hubungi aku. Om udah rujuk sama istri Om?"
Dominic tidak menjawab. Dia melihat tatapan kekecewaan yang disorotkan Chalondra kepadanya.
"Saya menunggu kamu selesai ujian. Saya nggak mau bikin ujian kamu kacau." Dominic setidaknya jujur soal ini. Bisa dibilang dia selalu mengikuti perkembangan Chalondra setelah gadis itu menolaknya.
Chalondra bergeming. Mendengar Dominic tau tentang ujiannya -sementara dia tidak menyinggung perihal itu saat malam itu- membuat gadis itu sedikit terhibur. Apakah Dom mengawasinya? Selama ini? Benarkah?
"Kamu ngapain di sini, Cha?"
"Selametan karena udah beres ujian. Om sendiri ngapain di sini? Masih suka minum?"
"Saya ke sini setiap hari. Berharap kamu datang, Chalondra ...."
...
...
...
Entah siapa yang duluan bergerak. Apakah Dominic yang memajukan wajahnya atau Chalondra. Yang pasti sekarang bibir mereka telah bersatu. Chalondra yang kecil langsung mengalungkan tangannya di leher Dom sehingga pria itu dengan leluasa mengangkatnya tinggi di udara.
Mereka melepas rindu yang begitu besar lewat ciuman yang terburu-buru. Dom sampai memojokkan Cha ke tembok dan menekan tubuhnya ke tubuh mungil gadis itu. Chalondra membelit tubuh kekar Dom dengan kakinya. Seakan tidak ingin melepas Dom sampai kapan pun.
"Om aku kangen ... hikssss ..." Tangisan gadis itu pecah saat Dom menjeda ciuman mereka. Menangis di cerug leher laki-laki itu sambil memeluknya erat-erat.
"Saya juga, Chalondra. Kamu jahat banget nolak saya ...."
"Maafin aku, aku kangen Om ..." adu Chalondra lebih keras. Dia benar-benar ingin Dominc tau isi hatinya.
Dominic membuka pintu kamar yang ada di belakang mereka dengan satu tangan. Tangannya yang lain menahan pinggang Cha yang sedang dia gendong. Entah itu kamar yang mana satu, yang jelas masih kosong. Dia membawa Chalondra yang membelit di tubuhnya seperti bayi Koala. Tidak lupa dia mengunci pintu terlebih dahulu.
Dia duduk di tepian kasur dan menegakkan kepala gadis itu. Jika tadi mereka hanya bisa melihat dalam kondisi yang temaram, sekarang mereka sama-sama bisa melihat dalam terang.
Dominic lagi-lagi menyesap bibir Cha tanpa ijin. Lagian tanpa minta ijin pun gadis itu tidak akan keberatan. Ciuman panas mereka yang tadi berlanjut lagi sekarang.
Chalondra mengikuti nalurinya sehingga terlihat lebih fasih berciuman sekarang. Dia dengan lincah membalas semua hisapan dan lumatan Dominic. Tangan gadis itu merangkul leher Dom erat dan pria itu melilitkan kedua tangannya di pinggang Cha dengan posesif.
Ciuman panjang mereka akhirnya harus dihentikan karena Chalondra sudah kehabisan napas. Dominic menarik lidahnya kuat untuk yang terakhir kalinya.
"O ... Omm ..." Napasnya terengah-engah dan matanya begitu sayu. Gairahnya sudah memuncak dan dia hampir menangis kala menyadari sekarang dia dan Dominic sudah bersama.
"Kamu sudah pintar, Cha. Sebulan ini kamu belajar atau latihan ciuman?" sindir Dominic sambil membelai bibir gadis itu yang membengkak.
"Om yang ajarin kan waktu itu. Bercumbu sampai jam lima pagi."
"Saya nggak bisa lupain itu, Cha. Malam itu ... menjadi malam terindah dalam hidup saya. Nggak tau kalau malam ini bakalan ada yang lebih indah dari itu."
Chalondra tersenyum. Dia tentu saja paham arah tujuan kalimat Dominic. Mereka saling menatap lagi. Perasaan rindu menggebu-gebu begitu ketara di antara sorot mata keduanya. Mereka tidak berkata-kata, hanya saling menatap sambil berpelukan.
"Saya kangen kamu, Cha. Ini gila, tapi saya juga nggak bisa bohong. Saya kayak anak kecil ya?"
"Om pedofil dong? Ingat loh, pas Om kuliah, aku baru lahir."
Dominic tertawa mengingat kata-kata yang pernah dia ucapkan pada gadis itu. Iya, sepertinya dia memang pantas diberi sebutan itu. Tapi Chalondra sudah tentu tidak termasuk dalam kategori anak kecil. Sah-sah saja jika dia menyukainya bukan?
"Iya, saya pedofil. Kamu keberatan?"
Chalondra cepat-cepat menggeleng. Dia meraba kedua pipi Dominic dengan tangan-tangan kecilnya. Matanya yang indah menelusuri setiap inci wajah tampan dan tegas Dominic.
"So? You are my sugar daddy and i am your sugar baby?" tanyanya dengan nada menggoda. Kali ini jemarinya yang bermain-main di belahan bibir Dominic.
"Kamu mau? Sebagai imbalannya kamu bisa minta apa saja ke saya..." tawar Dominic, berpura-pura belum tau jika Chalondra adalah anak seorang konglomerat yang tentunya hidup dengan berkelimpahan. Dia pasti sudah memiliki segalanya.
"Apa saja?" mata Chalondra yang indah itu berbinar-binar. Dominic menyambutnya dengan anggukan.
"DEAL!!" Chalondra menciumi pria itu lagi pertanda mereka sepakat.
*****
EPS 6. FIRST TOUCH. Begitulah kesepakatan mereka terjadi. Chalondra, gadis kecil yang baru pertama kali merasakan getaran aneh terhadap lawan jenis itu membuat sebuah keputusan yang cukup berani, yaitu menjadi Sugar Baby seorang om-om beristri seperti Dominic. Jika ditanya kenapa dia mau? Chalondra akan menjawab untuk saat ini dia memang nyaman saat bersama pria dewasa itu. Tidak menutup kemungkinan jika suatu hari nanti dia bosan, mengingat sifatnya yang masih labil, dia akan melepaskan diri dari Dominic. Jadi dia tidak terlalu ambil pusing. "Jadi, bagaimana perjanjiannya? Aku harus ngapain, Om?" "Tugas pertama kamu sebagai sugar baby saya, temani saya tidur sebentar. Saya capek, Cha. Kamu tau nggak setiap hari saya datang ke sini dari jam tujuh sampai jam sebelas malam cuma untuk nungguin kamu ..." Dominic masih menggendong Cha di atas pahanya. Tapi itu tidak membuatnya kesusahan untuk menggeser posisi mereka ke tengah-tengah kasur. Dominic merebahkan tubuh
Pertemuan kedua Chalondra dengan sang sugar daddy mengubah hidupnya seratus delapan puluh derajat. Dia seakan mendapat asupan energi seratus kali lipat yang membuat dirinya kembali bersemangat. Padahal sebulan terkahir dia persis mayat hidup yang seakan mati segan hidup tak mau. Malam itu mereka tidur bersama untuk yang kedua kalinya. Gadis itu memang sudah ijin ke ibunya akan menginap di rumah sahabatnya, Heidy. Ibunya sama sekali tidak khawatir karena Heidy juga lumayan dekat dengan keluarga mereka. Chalondra diantar Dominic ke rumah Heidy tepat jam lima pagi, seperti bulan yang lalu. Mereka melewati malam yang sangat panjang. Bertukar cerita untuk saling mengenal satu sama lain. Sesekali berciuman panjang dan saling menggoda dengan sentuhan-sentuhan yang intim. Tentu saja masih dalam batas yang wajar. "Jadi fix ya, Rabu malam, dan Sabtu malam. Saya akan kabari tempatnya..." Dominic mengingatkan kembali kesepakatan mereka sebelum Chalondra turun dari mobil
Chalondra dan Dominic saling melempar tatapan sekilas. Hanya beberapa detik. Kemudian Chalondra ikut tersenyum mendengar ucapan ibunya terhadap Reina. "Ini suamiku, Tan. Tante belum pernah ketemu kan?" Reina menarik Dominic untuk dikenalkan pada Amber. Amber dan Chris memang tidak hadir di acara pernikahan putri temannya itu. Waktu itu mereka ada keperluan di luar negeri. Dan di hari-hari berikutnya pun mereka belum pernah bertemu lagi. Reina pun bisa dibilang hampir tidak pernah ikut arisan. Sangat jarang. Mungkin bukan kebiasaannya. Dominic tentu tau apa yang harus dia lakukan. Memberi salam pada wanita yang jelas sekali sudah dia kenal. Dia adalah istri pengusaha Chris Ellordi, ibu dari gadis kecil yang saat ini sedang berusaha menghindari tatapannya, Chalondra. "Dominic, Tante..." "Wahh, kamu tampan sekali. Kalian pasangan yang serasi." Amber memuji. Tanpa sadar, gadis kecil yang ada di sebelahnya semakin patah hati mendengar pujian ibunya.
Sampai hari ini, Dominic masih memandangi tangan kanannya seperti orang bodoh. Tangan lebar dan besar yang sudah dijadikan Chalondra sebagai objek pemuas nafsunya kemarin siang. Haaaahhh, bisa-bisanya gadis kecil itu memanfaatkannya untuk mencari kepuasan sendiri? Tidak melibatkan Dominic, sama sekali! Juniornya merasa terlecehkan! Bisa-bisanya kalah sama tangan!"Ddd... dad..." Dominic masih mengingat jelas raut wajah dan tatapan sendu Chalondra saat gadis itu mencapai klimaksnya sendiri dengan menggesek-gesekkan miliknya di tangan Dominic. Sangat seksi dan membuat gairah pria itu naik ."Apa, Chalondra? Enak?" ejek Dominic yang mengetahui ini adalah hal baru bagi sang sugar baby. Lihatlah, bibir seksinya itu sedikit digigit, minta ditarik saja."Daddd... jangan ngejek. Aku kan masih baru kayak gini.""Iya, Chalondra, Sayang. Saya ngerti kok. Makanya saya tanya, enak?"Chalondra mengangguk pelan. Kedua tangannya masih menggantung di leher Do
Hanya berbekal nomor ponsel Chalondra, teman Dominic yang ahli di bidang IT bisa melacak keberadaan gadis kecil itu lewat GPS ponselnya. Dominic sudah berganti pakaian menjadi setelan santai, berupa kaos putih oblong dan jogger pants. Tidak lupa dia memakai topi untuk menutupi setengah wajahnya.Dia mendatangi mall tempat Chalondra dan Heidy shopping. Tadi dia pamit kepada Marcus dan terang-terangan mengatakan ingin kencan. Dia dan Marcus memang dekat. Tidak ada rahasia di antara mereka. Tapi kali ini Dominic masih ingin merahasiakan identitas Chalondra, mengingat gadis itu adalah putri kompetitor terbesar mereka. Dominic tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak penting."Dasar Head Manager tidak tau diri." Marcus mengejek anaknya saat berpamitan."Papa mau pengganti Reina kan? Jangan protes.""Kau selalu bilang Reina selingkuh. Nyatanya kau juga, Nak. Papa tidak pernah mengajarimu berbuat curang seperti itu."Dominic menarik napas kecil.
Kepala Dominic nyut-nyutan. Dia hanya bisa memijit pelipisnya sambil mengawasi dua anak remaja tanggung yang duduk di sebuah meja yang tidak jauh dari mejanya sendiri. Ternyata niat untuk memperkenalkan Chalondra pada juniornya tadi harus dia pasrahkan berujung pada penyesalan.Chalondra... si singa kecil itu. Akhh! Dia terlalu licik. Dominic sangat yakin gadis itu terlalu pintar untuk tidak belajar tentang anatomi tubuh manusia di mata pelajaran Biologi. Tapi gadis kecil itu berpura-pura polos dan membuat Dominic menderita dengan ulah tangannya. Bukannya merasakan gairah, Dom malah dibikin sengsara.Sekarang si singa kecil itu sudah kembali bersama sahabatnya, Heidy. Tadi Dom mengembalikan gadis itu ke studio semula persis sebelum film selesai. Heidy pun katanya belum bangun. Tapi Chalondra meminta Dom tetap mengikutinya dari kejauhan, sampai acara jalan-jalan mereka selesai. Heidy benar-benar tidak tahu apa yang terjadi selama dia tidur dan sekarang pun dia
Cakrawala Paper and Pulp…Brandon James Ellordi, saudara laki-laki Chalondra Chalya Ellordi yang saat ini dipercaya oleh ayahnya menjabat sebagai Marketing National Manager yang bertanggungjawab untuk mengontrol pemasaran produk-produk mereka di dalam dan luar negeri. Produk kertas dan duplek dengan brand ‘Eagle’ milik mereka baru genap berusia lima belas tahun sejak Chris Ellordi merintis bisnis tersebut, namun sudah berhasil menduduki peringkat kedua sebagai brand kertas dengan kualitas terbaik di seluruh Nusantara. Dengan peringkat pertama sudah pasti ditempati oleh Flamingo, milik PT. Inti Global Paper.Sebelumnya Brandon bekerja di Amerika lantaran tidak ingin bekerja di perusahaan ayahnya, namun satu tahun belakangan dia kembali ke Indonesia karena Chris Ellordi sudah terlalu lelah mengurusi semua anak perusahaan Cakrawala Group. Pria paruh baya itu meminta Brandon menangani Cakrawala Paper sementara Chris tetap fokus di Cakrawala Hospital. Brandon yang memang suda
Ada dua pasang mata yang tidak sengaja saling bertumbukan saat Reina mengajak suaminya bergerak untuk menghampiri Bryan. Bagi Chalondra, ini adalah sebuah petaka. Bagaimana bisa dia bertemu Dominic di sini? Jadi… kondangan yang akan dihadiri Dom hari ini adalah pernikahan kakaknya Bryan? Kenapa bisa kebetulan begini?“Eh, Kak Reina!” Bryan tentu saja mengenali Reina. Dulu dia sering diajak main dengan geng kakaknya. Tapi setelah Reina menikah, sepertinya intensitas pertemuan wanita itu dengan gengnya sudah berkurang. Sepertinya sudah harus lebih memilih pertemanan yang sesuai dengan derajat keluarga suaminya.“Kamu sama sia… eh… adek? Adek, anaknya tante Amber kan?” Reina terlihat begitu antusias karena dia pun mendapati Chalondra ada di sini. Adik kecil yang dia temui di arisan ibunya hari Minggu kemarin. Rasanya dunia sempit sekali.“Eh, Kak Reina… iya, Kak.” Chalondra menjawab setengah gugup. Kini detak jantungnya berpacu dengan napasnya yang entah kenapa tiba-t
(Yokk nangis berjamaah duluu hahahaaa.)HAHHH! FINALLYYY TAMAT JUGAAAAAAAAAA. AKU MEWEK NIHH NULISNYA HIKSSSSSSSS :( :(Nggak kerasa M.P.S.D ini sudah menemani kita selama 7 bulan yaaa (Mei-November 2021). Ahhhh, time fliessss.Masih ingat awal-awal aku ngerencanain novel ini, nggak ada persiapan yang matang sama sekali. Cuma mau cek ombak Goodnovel sambil nulis di aplikasi hijau (K.B.M). Karakter Dom dan Cha ini bahkan aku bikin ngalir aja, nggak ngarep banyak. Cover juga hasil crop foto random dari G**gle.TAPI SAMPAI SE-BOOMING INI, hikssss. Aku gak nyangka M.P.S.D sudah membawaku ke tahap ini. Bisa kasih penghasilan, buat namaku sedikit dikenal juga. Bisa bertemu dengan banyak pembaca yang sekarang udah aku anggap kayak saudara :( :(..GAIISSSS MAKASIH YAAAAAAA.WITHOUT YOU I'M NOTHINGGGG. ASLIII.Itu IG-ku yang Ootbaho baru berisi setelah ada Dom-Cha. F
"Buruan, B! Pesawat kita sudah mau berangkat!!""Don't push me, J! Siapa suruh kau tidak membangunkan aku!" Setelah menikah, Brandon jadi terbiasa memanggil istrinya dengan sebutan 'J' saja, sama seperti Janice yang memanggilnya dengan 'B'."Siapa suruh kau begadang? Sudah tau kita harus flight pagi!""Shiitt!" Brandon memaki dirinya sendiri yang bisa-bisanya menganggap sepele jam terbang mereka. Berharap tangan dan kakinya bisa bergerak dua kali lebih cepat sekarang. Janice pasti akan menggorok lehernya jika mereka ketinggalan pesawat. Dia tidak ingin diceramahi dua SKS jika tiket mereka hangus dan jika mereka harus beli tiket on the spot yang tentunya jauh lebih mahal.Sepanjang perjalanan Janice hanya diam karena pikirannya tidak tenang. Pergerakan mobil yang sudah sangat maksimal di dini hari tetap terasa begitu lambat baginya. Kenapa di saat genting seperti ini supir pribadi Brandon terkesan tidak lihai dalam membawa mobil?"J, kita tidak akan
Keesokan harinya, kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu menghabiskan waktu seharian di hotel. Mereka bercinta, makan, tidur and repeat. Benar-benar menikmati hidup tanpa beban. Tanpa ada gangguan dari pihak manapun. Baik keluarga maupun pekerjaan.Satu hari ini Janice merasa begitu dimanja oleh Brandon. Laki-laki itu sangat lembut baik dari tutur kata maupun caranya memperlakukan Janice. Sebaliknya, Brandon pun tidak ingin lepas atau jauh-jauh darinya. Persis seperti anak bayi yang ingin selalu berada di samping sang ibu.“I love you.”“I love you too, B. Sudah seratus kali loh ya. Aku bosan mendengarnya.”“What? Berani-beraninya?!” Bukannya tersinggung, Brandon malah menghujani pipi Janice dengan kecupan yang bertubi-tubi. Dia sepertinya sedang merasakan pelipatgandaan cinta setelah mereka resmi menjadi suami dan istri. Bagi Brandon, Janice adalah wanita sempurna yang membuat hidupnya lengkap, utuh dan bahagia. Di
Warning 21+ Yang fanatik agama tolong menyingkir, karena bab ini akan membuat anda pusing dang mual. Daripada lapor-lapor, mending sadar diri untuk out. Saya menulis bukan untuk tabungan saya di surga kelak. Paham ya? Buat yang udah nungguin belah duren manten baru, happy reading!! ***** Hari H pernikahan Brandon dan Janice sudah di depan mata. Gedung tempat diselenggarakannya pesta resepsi sudah dipenuhi oleh teman-teman sejawat Brandon dan rekanan bisnis semua keluarga. Keluarga Ellordi, keluarga Richard, keluarga Alexander. Janice dan Brandon benar-benar menjadi raja dan ratu sehari yang tidak berhenti menyapa semua tamu yang datang. Setelah kedua mempelai selesai berdansa, Janice mengganti sepatu pengantinnya dengan sepatu sneakers dengan sol sedikit tebal saat akan turun menyapa para tamu. Setidaknya tinggi tubuhnya bisa mengimbangi tinggi Brandon. Mereka menyapa teman satu sekolah yang memang diundan
"Brandon! Your hand!" Janice bolak-balik geram karena selama proses berganti di dalam kamar, Brandon seperti tidak sabaran ingin memijit betisnya. Sejak pulang dari konferensi pers tadi, pria itu kelihatannya sudah gatal ingin menyentuh tubuh calon istrinya.Brandon tidak perduli pekikan Janice. Dia menarik wanita itu ke atas kasur. Dress mahalnya sudah luluh ke lantai dan memang Brandon sengaja menunggu momen dimana dia hanya mengenakan sepasang pakaian dalamnya."B!""What?!" Brandon membalas seraya menaiki tubuh Janice dengan cara yang seksi."Wajahku masih penuh make-up! Aku mandi dulu, baru lakukan apa yang kau mau!""Tapi ada yang sudah mendesak ingin berdekatan dengan belahan jiwanya. Melihat kharisma mu di sepanjang acara tadi, jiwaku jadi meronta-ronta, Janice.""Kharisma yang bagaimana yang bisa membuat jiwa seseorang meronta-ronta? Aw! Brandon!" Janice memekik lantaran pria itu tanpa permisi menurunkan segitiga pengaman Janice. Da
Konferensi pers yang tadinya digelar hanya untuk klarifikasi hubungan antara Brandon dan Chelsea, nyatanya berubah menjadi konferensi pers besar-besaran karena Richard memutuskan untuk ikut tampil di depan media. Malahan setting tempat yang tadinya direncanakan di Cakrawala, kini berpindah ke kantor Richard, yaitu Rich Textile. Brandon dan Janice langsung saling beradu pandang lewat dinding kaca saat pesan dari Chris masuk ke ponsel mereka berdua, yang menyuruh keduanya untuk segera meninggalkan kantor dan hadir di konferensi pers. “Opa sepertinya ingin mengumumkan kamu sebagai penerus perusahaan.” Brandon menebak saat mereka sedang dalam perjalanan menuju perusahaan Richard. “Aku … dengan tampilan yang seperti ini?” Janice langsung panik karena sekarang dia hanya memakai celana jins berwarna hitam dan kemeja biru muda. Itu juga lengan pendek. Jelek sekali! “It’s oke. Kita ketemu opa dulu. Siapa tau mereka sudah mempersiapkan yang terbaik untukmu.”
Janice menghembuskan napasnya ke udara bebas. Dia sedang berdiri di balkon dan menikmati udara pukul dua dini hari. Dia tidak bisa tidur. Di antara mereka, hanya Brandon lah yang berhasil terlelap satu jam yang lalu. Dia tidak bisa berhenti memikirkan semua hal. Pernikahan dan tanggung jawab yang baru saja dia emban sebagai penerus keluarga Richard. Dia sempat bertanya secara diam-diam kepada opa-nya, kenapa bukan Dion saja yang mengelola perusahaan? Tapi Richard menjawab kalau Dion sudah mendapat hak-nya, yaitu perusahaan yang ada di Jepang. Dan Dion sendiri yang meminta demikian, karena dia tidak ingin menetap di Indonesia. Sebentar lagi hidup Janice tidak akan sama lagi. Menikah dengan Brandon saja sudah akan membuat statusnya berbeda dengan rekan-rekan di kantornya, apalagi menjadi penerus Richard. Janice tidak tau apakah ini sebuah berkat atau malah sebuah petaka yang akan membawanya ke kehidupan yang serba rumit. "Kau belum tidur?" Tiba-tiba sua
Notes : Bab ini berisi Brandon-Janice, dan sampai tamat juga akan tentang mereka. Kisah Dom-Cha udah selesai ya gaes, di ige -ku juga udah aku info kalau ekstra part hanya untuk BJ, karena aku ga jadi bikin buku khusus mereka. Kalaupun aku bikin Dom-Cha sesekali, itu buat selingan aja. Jadi, yang ga suka Brandon-Janice, skip aja yaa, thank youu. Happy reading. ***** “Janice … wake up.” Janice merasakan pipinya ditepuk seseorang. Sayup-sayup juga dia mendengar namanya disebut dan orang tersebut menyuruhnya bangun sekarang. Itu suara Brandon. Kedua kelopak mata Janice terbuka dan didapatinya Brandon sedang duduk di tepi kasur. Sudah dengan celana boxer pendek yang menutupi bagian bawahnya. “Sudah sore, Sayang. Kau harus mandi,” ucap Brandon seraya tersenyum manis. “Om dan tante sudah pulang?” “Belum. Mereka sudah langsung ke rumah opa Richard. Dan kita disuruh ke sana sekarang.” Janice spontan terduduk. Selimut ya
"Kenapa kau sangat perhatian kepada Chelsea?" tanya Janice dengan nada yang sedikit curiga. Matanya memicing kepada Brandon yang duduk di sebelahnya. "What?" Pria itu pun tidak kalah kaget mendengar pertanyaan tunangannya. "Aku tidak salah dengar?" "Hm-m. Kenapa kau sepertinya begitu khawatir akan Chelsea?" ulang Janice seraya menatap Brandon yang sempat sesekali menoleh kepadanya. "Kau cemburu?" "Jelas. Aku tidak suka kau memikirkan wanita lain sampai sebegitunya. Apalagi sampai memikirkan nasib hubungan pertunangannya." Brandon langsung tergelak mendengar Janice yang tidak malu berterus terang. Gadis itu jelas-jelas sedang cemburu buta kepadanya. Ha-ha-ha. Menggemaskan sekali. Padahal tidak ada sedikitpun maksud tersembunyi di balik kekhawatiran Brandon kepada Chelsea. Murni hanya sudut pandang dia sebagai seorang laki-laki yang gentleman. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya melihat ini dari sudut pandang seorang pri