Emily dan Adrian dibuat bertanya dengan ketidakhadiran Luna di ruangan itu. Biasanya mereka bertemu untuk membahas proposal kerjasama yang Golden Horizon ajukan. Mereka merasa asing dengan wanita bertubuh tinggi besar yang kini tengah membaca proposal dan memasang raut wajah serius semenjak pertama mereka bertatap muka. Adrian mengernyit dan menatap Emily dengan raut bertanya, seakan berkata,"Di mana Luna? Dan siapa wanita yang sekarang di hadapan kita?" Emily mengedikkan bahunya. Sebagaimana dengan Adrian, gadis itu juga merasa asing dengan wanita berbadan padat yang minim senyum tersebut. Tetapi, bukan Emily namanya jika hanya menerka-nerka dan membiarkan pikirannya larut dalam pertanyaan di mana keberadaan saudara tirinya. "Maaf, saya ingin bertanya." Emily akhirnya bertanya setelah Adrian menyiku lengannya, memberi isyarat agar Emily menanyakan ketidakhadiran Luna pagi itu. Tidak menjumpai entitas Luna membuat Adrian bertanya-tanya, karena gadis itulah yang membuatnya berseman
Emily dan Rosaline berhenti di depan ruang instalasi gawat darurat begitu tenaga medis mendorong brankar Alexander memasuki ruangan tersebut. Pintu ruangan ditutup, menyisahkan Emily dan Rosaline yang saling menatap setelahnya. Berbanding terbalik dengan raut wajah putrinya yang tampak tenang setelah Alex dibawa masuk ke ruang instalasi gawat darurat, Rosline justru terlihat benar-benar gelisah. Emily menepuk lengan ibunya, lalu berkata,"Tidak perlu segelisah itu, Ibu," ucapnya lalu tersenyum licik. "Tapi, Emily, bagaimana kalau dia sampai ...," cicit Rosaline membayangkan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi pada Alex. "Meninggal?" tebak Emily sembari mengedikkan bahu."Ya, kau benar. Bisa saja dia menginggal. Ibu rasa penyakit jantungnya cukup serius," ucap Rosaline sembari menggigit ibu jarinya. Wanita paruh baya itu berjalan hilir mudik membayangkan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi."Bukankah itu bagus, Bu?" Emily menyibak rambut brunetnya ke belakang. "Apanya yang
"Cinta sejati bukan hanya tentang hadir saat bahagia, tapi juga saat terluka. Dia yang selalu ada, bukan hanya saat dicari, tapi juga saat kau membutuhkannya." Dari balkon apartemen Nico menarik napas dalam saat mobil rolls-royce berwarna merah muda tampak memasuki parkiran. Mendengar nada bicara Emily saat meneleponnya, dia tahu, gadis itu sedang tidak baik-baik saja, dan Nico merasa khawatir karenanya. "Apa yang membawamu ke sini? Apakah pria itu mengabaikanmu, sehingga kau memilih datang padaku bukan atas dasar paksaan dariku?" gumam Nico berusaha menerka maksud kedatangan Emily ke apartementnya. Tangan Emily yang hendak menekan bel terhenti di udara saat seorang pemuda membukakan pintu untuknya. Pria itu mengulas senyum tulus. Dan tanpa dipersilahkan Emily sudah masuk terlebih dulu. "Apa yang membawamu datang kepadaku? Apakah dia mengabaikanmu?" tanya Nico sembari menutup pintu. Hening. Emily melepas sepatunya melempar benda tersebut ke segala arah, lalu mendengus da
Luna terbangun dari tidur dan langsung mengecek ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Dia sangat berharap ayahnya tidak melupakan hari spesialnya. Gadis itu segera menyalakan ponselnya untuk melihat barangkali ada pesan masuk. Tetapi dia harus menelan kecewa hari itu, tidak ada pesan masuk sama sekali. "Mungkinkah Ayah benar-benar sudah tidak peduli padaku?" gumamnya sembari mengelus dadanya yang terasa berdenyut nyeri. Air mata menganak sungai dan ia mulai menangis tergugu. "Bahkan aku tidak yakin Matteo tahu kalau ini adalah hari ulang tahunku." Ini adalah hari ulang tahun tergetir seumur hidup Luna. Gadis itu menangis tergugu mendapati kenyataan bahwa hari ini sangat jauh berbeda dari ekspektasinya. Luna berharap, setidaknya dia akan menerima ucapan selamat ulang tahun hari ini, tetapi kenyataan seakan mentertawakannya. "Matteo selalu sibuk akhir-akhir ini. Apakah pekerjaan bisa membuatnya dengan cepat melupakan aku?" Luna mengungkapkan kekesalannya saat satu-satunya orang
Matteo memegangi bahu Luna yang terguncang karena menangis. Gadis itu terus saja menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Apa yang sudah mengganggu pikiranmu? Apakah seseorang sudah membuatmu bersedih saat aku sedang bekerja?" tanya Matteo sembari menarik tubuh Luna ke dalam pelukannya. Pria itu menepuk punggung Luna dan mengecupi kepala gadis itu. Setelah tangis Luna mereda, barulah Matteo menanyakan sebab Luna menangis. "Apa yang terjadi saat aku sedang tidak ada di dekatmu?" tanya Matteo dengan kedua tangan menangkup wajah Luna. Luna ragu untuk mengatakan apa yang membuatnya kecewa hari itu, tetapi tatapan Matteo yang menghangat membuatnya yakin untuk meneritakan kekecewaannya hari itu. "Aku berharap hari ini Ayah akan menghubungiku dan mengucapkan selamat ulang tahun untukku hari ini. Sepertinya dia benar-benar sudah melupakan aku. Ini adalah hari ulang tahun tergetir dalam hidupku. Bahkan tidak ada yang tahu bahwa hari ini adalah hari yang penting bagiku." Kembali air mata men
Bugh! Mata Luna yang terpejam saat menanti kecupan bibir dari Adrian seketika terbuka lebar saat melihat kekasihnya, Adrian, sudah tersungkur di atas tanah. Seolah belum puas melihat Adrian kesakitan dengan pukulan yang baru saja Matteo daratkan, Matteo Vicenzo yang merupakan bodyguard Luna, kembali menghujani pukulan di perut Adrian. "Teo, hentikan!" pekik Luna Winterbourne yang berhasil membuat Matteo menghentikan pukulannya, sehingga tangan mengepal pria itu berhenti di udara. Gadis itu mendekati Adrian yang susah payah berusaha bangkit ke posisi duduk. Sentuhan Luna pada wajah Adrian yang memar seketika mendapat tepisan kasar dari kekasihnya. "Aku sudah berulang kali mengatakan padamu untuk tidak membawa bodyguardmu saat kita bertemu! Dia selalu saja mengacaukan segalanya!" geram Adrian sebelum akhirnya bangkit perlahan dan pergi meninggalkan Luna. Alis Luna bertaut, dia sendiri tidak tau dari mana arah datangnya Matteo. Pria itu muncul tiba-tiba tanpa terdengar suara derap
"Apa yang membuat wajahmu babak belur begitu?" tanya Emily saat mendapati wajah Adrian memar. "Bodyguard bodoh Luna menghajarku tanpa sebab." jawab Adrian berbohong dan memasang raut wajah polos, karena tidak mungkin dia mengaku kepada Emily bahwa memar di wajahnya terjadi karena dia berusaha mencium Luna, yang tak lain adalah saudara tiri Emily. Bisa-bisa Emily marah saat itu juga. Pria itu menyesap minuman yang sudah Emily pesan beberapa menit sebelum pria itu datang ke cafe tempat mereka berada saat ini. Di kursi seberang meja, Emily menatap lekat pada wajah kekasihnya tesebut. Karena sedingin apa pun pembawaan Matteo, tetapi menurutnya pria itu bukanlah orang dengan gangguan jiwa yang akan menyerang siapa pun tanpa alasan. Emily meragukan jawaban Adrian. “Kau pasti berbohong! Pasti kau melakukan sesuatu yang membuat amarahnya tersulut.” desak Emily dengan tatapan penuh selidik.Andrian pun menarik nafas berat dan menghembuskannya perlahan sebelum akhirnya mengakui kesalahannya
"Bastard!" geram Matteo saat mendapati tubuhnya terjerembab di atas lantai tanpa menyadari siapa pelaku yang mendorongnya.Pria 32 tahun itu berjalan gontai menuju ke sebuah ranjang, karena dalam keadaan mabuk berat pun dia tau bahwa berbaring di ranjang jauh lebih nyaman dari pada di atas lantai yang dingin.Dibawah pengaruh psikedelik yang Adrian masukkan ke dalam minumannya, menjadikan Matteo berhalusinasi dan mulai bereuforia saat melihat gadis yang dia sukai terlelap di atas ranjang hanya menggunakan pakaian dalam, sementara gaun indah yang melekat pada tubuhnya tergeletak di atas lantai."Ah, Luna, aku nyaris berpikir bahwa harapanku akan pupus malam ini." gumam Matteo sembari menyentuh pipi Luna yang sehalus porseline cina. "Ternyata aku salah, kau datang dan menyerahkan tubuhmu sepenuhnya padaku! Sekarang aku sadar, cintaku tidak bertepuk sebelah tangan!" Dalam halusinasinya, Matteo melihat Luna seolah sangat berhasrat padanya, sehingga ia pun tertawa renyah karenannya."Baik