"Berengsek! Dasar jalang tak tahu malu!" geram Adrian saat keluar dari gedung Magnolia spring Resort menuju mobilnya. Emily memasang raut wajah kecewa saat berjalan di belakang Adrian. Pasalnya, ia merasa kesal melihat Adrian yang selalu tersulut amarah setiap kali melihat Luna bersama Matteo. Apa kata-kata yang dia katakan kepada Emily bahwa pria itu samasekali tidak mencintai Luna hanya bualan?Emily menarik pegelangan tangan Adrian yang seketika membuat pria itu menoleh ke arah Emily. Wajah pria itu terlihat mengetat, sehingga membuat Emily menyipitkan kedua matanya."Kenapa? Apakah kau cemburu melihat kemesraan Luna dan Matteo? Kau selalu saja seperti ini!" pekik Emily dengan wajah memerah. Kedua mata wanita itu berkaca-kaca karena dadanya terasa sesak. Jalas sekali terlihat Adrian ccemburu terhadap Luna. Adrian menarik nafas dalam untuk meregangkan otot wajahnya yang menegang. Dia baru menyadari bahwa reaksinya setelah melihat Luna bermesraan dengan Matteo membuat Emily berasum
Mobil Adrian berhenti di sebuah restaurant sehingga Tyler Bannet harus menunggu di dalam mobilnya yang teraparkir di bahu jalan. Sesekali pria paruh baya itu melihat arloji yang melingkar di pegelangan tangannya. Sudah satu jam lebih Tyler menunggu di mobil, dan orang yang sedang dia mata-matai belum menampakkan tanda-tanda akan keluar. Tyler mendengkus putus asa. Apa yang sedang mereka lakukan di dalam restaurant? Apakah mereka mengunyah tiap makanan yang mereka suapkan sebanyak seratus kali kunyahan? Pria berambut silver itu menegakkan badan dan menatap lurus pada pintu kaca restaurant. Dan matanya melebar saat pasangan yang dia tunggu keluar dari sana. Keduanya tampak saling merangkul dan menunjukan gesture memiliki satu sama lain. Salah satu alis Tyler naik mendekati dahi. Dia pun membidik kamera ponselnya untuk menangkap gambar dua orang yang tengah ia mata-matai.Tyler membiarkan mobil Adrian berjalan terlebih dahulu, setelah dia rasa jarak cukup aman, barulah Tyler melajukan
Selama perjalanan pulang menuju apartemen jantung Luna terus berdegup kencang, yang membuat gadis itu harus mengelus dada sebelah kirinya. Luna khawatir jika jantungnya melompat keluar karena saking kencangnya debaran itu. Apa yang dilakukan Luna membuat Matteo khawatir dengan kondisi kesehatan gadis itu. Tetapi setiap Matteo bertanya, Luna akan menjawab; "Aku baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Matteo membukakan pintu mobil untuk Luna begitu keduanya tiba di parkiran apartemen. Pria itu membopong tubuh Luna yang membuat gadis itu memekik. "Apa yang kau lakukan Matteo? Aku bisa berjalan sendiri!" "Aku melihatmu terlalu gelisah sepanjang perjalanan pulang. Kau bahkan berulang kali menyentuh dada sebelah kirimu. Aku khawatir jika sesuatu terjadi padamu." jawab Matteo sembari berjalan menyusuri koridor apartemen. Luna mengalungkan kedua lengannya pada leher Matteo. Gadis itu semakin gelisah sekarang. Seolah ada sesuatu yang menyihirnya, sehingga gadis itu membek
Malam itu hujan turun lebat. Tyler memutuskan untuk singgah ke suatu coffee shop untuk menikmati secangkir arabika kesukaannya. Pria paruh baya itu membutuhkan relaksasi setelah semua pekerjaan yang dia kerjakan seharian. Menguntit seseorang adalah hal yang cukup menyita fokusnya dan membuatnya merasa lelah, sehingga pria itu butuh memberikan self reward atas kerja kerasnya hari itu. Tyler menghirup aroma kopi yang berada di cangkirnya, sebelum menyesap minuman itu dan mendalami rasanya, sebelum akhirnya kembali fokus dengan surat kabar yang semula ia baca. Brakk! Suara gebrakan meja membuat kedamaian Tyler terusik. Pria itu pun melihat ke arah sumber suara. Tyler langsung memicingkan mata setelah melihat gadis yang tadi ia mata-matai sedang duduk di seberang mejanya. Tyler menghela nafas lelah. Setelah siang itu menghabiskan waktu di kamar hotel bersama Adrian, gadis itu masih sempat bertemu dengan pria lain malam harinya. Apa dia tidak merasa lelah? batin Tyler berdecak. Ty
Waktu menunjukan pukul 11 malam saat Tyler menelepon Matteo. Pria itu kembali mendesah kesal. Dia benci aktivitas menyenangkannya saat ini terganggu oleh dering ponsel yang terus berteriak memanggilnya. Matteo sedang memeluk tubuh Luna yang polos tanpa busana di bawah selimut yang mereka gunakan. "Ah, apalagi sekarang!" Matteo meraih benda pipih tersebut dan alis Matteo bertaut setelah membaca ID caller yang tertera pada layar ponsel. "Tyler Bannet?" segera pria itu beranjak dari ranjang dan berjalan mengendap-endap agar tidak membangunkan Luna. Hanya menggunakan boxer yang menutupi bagian tubuh sensitivenya, pria itu masuk ke kamar mandi untuk menerima telepon dari Tyler Bannet. "Hallo, Tyler. Informasi apa yang kau dapat dari pria tadi?" tanya Matteo penuh antusias. "Aku mendapat informasi bahwa pemuda tadi adalah kekasih Emily Boss. Tetapi, Emily mencampakannya setelah mendapatkan Adrian. Emily selalu meminta agar hubungan mereka berakhir, tetapi pemuda itu selalu menolak karena
Dengan perasaan gusar Emliy pergi ke apartemen Nico malam itu juga. Mengabaikan hawa dingin yang menggigit kulit. Malam itu waktu menunjukan pukul satu dini hari. Kepada para scurity, perempuan itu meminta agar salah satu di antara mereka tidak mengatakan kepada ayah dan ibunya bahwa dia keluar rumah malam itu. Suara ketukan pintu membuat Nico yang sedang menunggu kehadiran seseorang melirik ke arah benda tersebut. Pria berusia 23 tahun itu pun berjalan menuju pintu untuk membukakan pintu bagi seseorang yang ada di luar sana. "Akhirnya kau datang." ucap Nico dengan seringai di wajah saat mendapati Emily dengan wajah bersungut berdiri di depan pintu. Pria itu menarik lengan Emily masuk ke dalam apartemen dan mengunci pintu dengan cepat. "Cepat, lakukan apa yang seharusnya kau lakukan! Aku tidak ingin banyak berbasa-basi." perintah Nico yang saat itu duduk di sofa, sementara Emily berdiri di depannya sembari membuang wajah. "Apa kau tuli?" ucap Nico dengan gigi beradu, yang akh
Saat acara usai, Luna langsung berhambur dan memeluk Matteo dengan erat. Dia telah melihat hal yang sangat menyakitkan secara bersamaan malam itu. Ayah kandungnya yang menatapnya penuh kebencian dan saudara tiri bersama mantan tunangannya yang terlihat mesra di hadapannya. Luna seolah bukan siapa-siapa bagi mereka. Gadis itu benar-benar merasa kecil sekarang. Matteo menarik nafas dalam lalu membalas pelukan Luna. Gadis itu pasti merasa sangat tersiksa di sepanjang acara. "Jangan menangis, Luna. Kau tidak sendiri." bisik Matteo dengan suara lembut yang menenangkan hati Luna. "Terima kasih, Matteo. Seandainya tadi aku tidak melihatmu tersenyum dan memberi semangat padaku, mungkin aku tidak bisa melakukannya. Aku begitu gugup dan tidak memiliki sedikitpun rasa percaya diri." Luna tertawa ringan, menutupi alasan sesungguhnya yang membuatnya bersedih. "Kau tidak perlu berterima kasih, Sweetheart. Sudah menjadi kewajibanku untuk selalu menyemangatimu," Matteo mengelus kepala Luna
"Apa kau baik-baik saja, Luna?" tanya Stefano berbasa-basi saat berjalan mendekat ke arah mereka. Bulu mata lentik gadis itu masih basah oleh air mata. Tanpa mendengar penjelasan dari Luna, Stefano sudah tahu apa yang membuat gadis itu menangis. Tatapan Stefano dan Matteo saling bertabrakan. Sebagai seorang sahabat, mereka bisa membaca tatapan satu sama lain. Matteo mengartikan tatapan Stefano kali ini dengan kalimat; "Tenangkan gadis itu, Matteo. Dia sangat membutuhkan ketenagan darimu." yang Matteo balas dengan senyum samar. Matteo kembali menarik tubuh Luna agar kembali bersandar di dadanya. Gadis itu tampak tersenyum tulus, kendati kesedihan tetap terlihat jelas di wajah rupawannya. "Saya baik-baik saja, Tuan Stefano. Untung saja dia ada untuk melindungiku." Luna mendongak dan melihat ke belakang untuk dapat menatap wajah Matteo yang lebih tinggi darinya. "Saya tidak tahu apa yang akan terjadi jika pria ini tidak bersamaku tadi." "Kau dan keluarga Tuan Alexander terlih
Di sebuah apartemen yang disewakan Adrian untuk tempat tinggal Luna. Gadis itu menatap ke luar jendela yang menampilkan lalu lalang kendaraan yang cukup ramai. Situasi jalanan itu seolah menggambarkan pikirannya yang saat ini sangat penuh dengan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi hari itu; Matteo kalah dari Adrian, dan dia menepati janjinya untuk melepas Luna. Gadis itu sudah melihat betapa gigihnya Adrian berlatih untuk mempersiapkan diri melawan Matteo. Gadis itu menyentuh liontin dari kalung yang dia pakai. Hadiah ulang tahun dari Matteo, pemberian yang sangat berharga dari pria yang sangat dia cintai. Bayangan makan malam romantis di hari ulang tahunnya kembali berkelibat di dalam kepalanya. Saat itu, Matteo adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulang tahun Luna. Akankah romantisme di antara keduanya hanya akan menjadi kenangan dan menyisakan Luna yang akan menerima kenyataan pahit, bahwa Matteo benar-benar melepasnya dan keduanya mencari jalan hidup masing-masi
Alaram di ponsel berbunyi yang membuat Matteo terbangun. Segera ia mematikan alaram agar ponselnya berhenti berdering, khawatir mengusik Luna yang masih terlelap. Mata pria tersebut terbuka lebar saat mendapati Luna tidak berada di sampingnya. Segera Matteo bangkit dari ranjang dan mencari keberadaan Luna. Dia tidak ingin kekasihnya yang sedang hamil kelelahan karena menyiapkan sarapan di dapur. Tetapi saat tiba di dapur, hanya kesunyian yang ia dapati. Semua peralatan dapur masih berada pada tempatnya. Pun saat dia menoleh ke arah kamar mandi. Pintu ruangan tersebut terbuka, tidak ada siapa-siapa di sana. Seketika Matteo menyugar rambut hitamnya dan mulai berpikir di mana keberadaan Luna. "Tidak biasanya dia keluar tanpa memberi tahuku," gumam Matteo sembari menggeleng. Perasaannya mendadak kalut. Seolah kepergian Luna kali itu merupakan sesuatu yang tidak wajar. Pria berbadan tinggi besar itu kembali ke kamar untuk mengambil ponselnya. Segera ia melakukan panggilan tetep
Luna memejamkan kedua matanya dengan paksa saat mendengar pintu apartemen terbuka. Dia memilih untuk berpura-pura tidur daripada meluapkan amarahnya malam itu. Jantung Luna berdenyut nyeri saat pria yang ia tunggu kepulangannya berjalan mendekatinya. Matteo mengelus rambut Luna, mengecup kening perempuan itu cukup lama dan menghirup aroma harum rambut perempuan itu untuk mengisi paru-parunya. Aroma harum rambut Luna sedikit membuat Matteo merasa tenang, setelah malam itu dia menemui mantan kekasihnya tanpa sepengetahuan Luna. Tangan Matteo membelai wajah rupawan perempuan itu. Seketika dahi pria itu mengernyit, dia baru menyadari kelopak mata Luna menghitam, mascaranya luntur karena ia menangis. Matteo tersenyum. Dia berpikir bahwa Luna sengaja berdandan malam itu untuk menyambutnya. Pun bibirnya yang terpoles lipstik merah muda yang membuat Matteo gemas. Pria itu mengecup singkat bibir Luna dan berucap; "Maaf telah membuatmu terlalu lama menunggu malam ini", sebelum akhirnya berbar
Malam itu hujan turun lebat mengguyur Los Angles. Luna yang terjaga dari tidurnya menatap kecewa pada ranjang di sebelahnya, tempat di mana biasanya Matteo tidur. Jam dinding menunjukan pukul 23.35. Terlalu larut untuk seseorang yang lembur di tempat kerja. "Lihatlah, Sayang. Pria itu bekerja terlalu keras demi memenuhi kebutuhan kita." Luna berucap sembari mengelus perutnya yang terlihat semakin membuncit. Kesenduan menghiasi wajah ayu wanita itu. Wanita berambut pirang madu itu berjalan mendekati jendela, menyaksikan buliran air yang turun lebat mengguyur bumi. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai. Tubuh feminimnya berbalut gaun tidur berbahan satin warna merah muda kesukaan Matteo. Malam itu Luna mempersiapkan diri menyambut kepulangan Matteo dengan berdandan secantik mungkin. "Di luar pasti dingin. Aku pasti memeluknya andai dia ada di sini," ucap Luna penuh sesal, mengingat segala sikap cemburunya yang berulang kali menyinggung dan menuduh Matteo tanpa bukti. Luna mem
Seorang wanita berambut blonde baru saja turun dari mobilnya. Kehadirannya seolah menghentikan dunia saat itu juga. Entitasnya menyita perhatian setiap orang yang berlalu-lalang di sepanjang pelataran Magnolia spring Resort. Seakan sudah terbiasa dihujani dengan tatapan kagum, supermodel tersebut berjalan membusungkan dada dan mengabaikan tatapan terpana setiap orang yang melihatnya. Merasa pernah dan pasti bisa meluluhkan hati sang CEO hotel berbintang lima tersebut, dengan penuh percaya diri Laura Martinez mendatangi ruangan sekretaris pribadi Matteo. Dia bahkan masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Seketika Stefano yang kini menjadi asisten sekaligus sekretaris Matteo mengernyit mendapati kehadiran wanita itu. "Aku datang untuk bertemu dengan Matteo," ucap wanita tersebut sembari melepaskan kacamata hitam yang bertengger pada hidung mancungnya. Stefano mengamati Laura dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan seksama. Tubuh berbentuk jam pasir itu terbalut deng
Matteo memegangi bahu Luna yang terguncang karena menangis. Gadis itu terus saja menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Apa yang sudah mengganggu pikiranmu? Apakah seseorang sudah membuatmu bersedih saat aku sedang bekerja?" tanya Matteo sembari menarik tubuh Luna ke dalam pelukannya. Pria itu menepuk punggung Luna dan mengecupi kepala gadis itu. Setelah tangis Luna mereda, barulah Matteo menanyakan sebab Luna menangis. "Apa yang terjadi saat aku sedang tidak ada di dekatmu?" tanya Matteo dengan kedua tangan menangkup wajah Luna. Luna ragu untuk mengatakan apa yang membuatnya kecewa hari itu, tetapi tatapan Matteo yang menghangat membuatnya yakin untuk meneritakan kekecewaannya hari itu. "Aku berharap hari ini Ayah akan menghubungiku dan mengucapkan selamat ulang tahun untukku hari ini. Sepertinya dia benar-benar sudah melupakan aku. Ini adalah hari ulang tahun tergetir dalam hidupku. Bahkan tidak ada yang tahu bahwa hari ini adalah hari yang penting bagiku." Kembali air mata men
Luna terbangun dari tidur dan langsung mengecek ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Dia sangat berharap ayahnya tidak melupakan hari spesialnya. Gadis itu segera menyalakan ponselnya untuk melihat barangkali ada pesan masuk. Tetapi dia harus menelan kecewa hari itu, tidak ada pesan masuk sama sekali. "Mungkinkah Ayah benar-benar sudah tidak peduli padaku?" gumamnya sembari mengelus dadanya yang terasa berdenyut nyeri. Air mata menganak sungai dan ia mulai menangis tergugu. "Bahkan aku tidak yakin Matteo tahu kalau ini adalah hari ulang tahunku." Ini adalah hari ulang tahun tergetir seumur hidup Luna. Gadis itu menangis tergugu mendapati kenyataan bahwa hari ini sangat jauh berbeda dari ekspektasinya. Luna berharap, setidaknya dia akan menerima ucapan selamat ulang tahun hari ini, tetapi kenyataan seakan mentertawakannya. "Matteo selalu sibuk akhir-akhir ini. Apakah pekerjaan bisa membuatnya dengan cepat melupakan aku?" Luna mengungkapkan kekesalannya saat satu-satunya orang
"Cinta sejati bukan hanya tentang hadir saat bahagia, tapi juga saat terluka. Dia yang selalu ada, bukan hanya saat dicari, tapi juga saat kau membutuhkannya." Dari balkon apartemen Nico menarik napas dalam saat mobil rolls-royce berwarna merah muda tampak memasuki parkiran. Mendengar nada bicara Emily saat meneleponnya, dia tahu, gadis itu sedang tidak baik-baik saja, dan Nico merasa khawatir karenanya. "Apa yang membawamu ke sini? Apakah pria itu mengabaikanmu, sehingga kau memilih datang padaku bukan atas dasar paksaan dariku?" gumam Nico berusaha menerka maksud kedatangan Emily ke apartementnya. Tangan Emily yang hendak menekan bel terhenti di udara saat seorang pemuda membukakan pintu untuknya. Pria itu mengulas senyum tulus. Dan tanpa dipersilahkan Emily sudah masuk terlebih dulu. "Apa yang membawamu datang kepadaku? Apakah dia mengabaikanmu?" tanya Nico sembari menutup pintu. Hening. Emily melepas sepatunya melempar benda tersebut ke segala arah, lalu mendengus da
Emily dan Rosaline berhenti di depan ruang instalasi gawat darurat begitu tenaga medis mendorong brankar Alexander memasuki ruangan tersebut. Pintu ruangan ditutup, menyisahkan Emily dan Rosaline yang saling menatap setelahnya. Berbanding terbalik dengan raut wajah putrinya yang tampak tenang setelah Alex dibawa masuk ke ruang instalasi gawat darurat, Rosline justru terlihat benar-benar gelisah. Emily menepuk lengan ibunya, lalu berkata,"Tidak perlu segelisah itu, Ibu," ucapnya lalu tersenyum licik. "Tapi, Emily, bagaimana kalau dia sampai ...," cicit Rosaline membayangkan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi pada Alex. "Meninggal?" tebak Emily sembari mengedikkan bahu."Ya, kau benar. Bisa saja dia menginggal. Ibu rasa penyakit jantungnya cukup serius," ucap Rosaline sembari menggigit ibu jarinya. Wanita paruh baya itu berjalan hilir mudik membayangkan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi."Bukankah itu bagus, Bu?" Emily menyibak rambut brunetnya ke belakang. "Apanya yang