Malam itu hujan turun lebat. Tyler memutuskan untuk singgah ke suatu coffee shop untuk menikmati secangkir arabika kesukaannya. Pria paruh baya itu membutuhkan relaksasi setelah semua pekerjaan yang dia kerjakan seharian. Menguntit seseorang adalah hal yang cukup menyita fokusnya dan membuatnya merasa lelah, sehingga pria itu butuh memberikan self reward atas kerja kerasnya hari itu. Tyler menghirup aroma kopi yang berada di cangkirnya, sebelum menyesap minuman itu dan mendalami rasanya, sebelum akhirnya kembali fokus dengan surat kabar yang semula ia baca. Brakk! Suara gebrakan meja membuat kedamaian Tyler terusik. Pria itu pun melihat ke arah sumber suara. Tyler langsung memicingkan mata setelah melihat gadis yang tadi ia mata-matai sedang duduk di seberang mejanya. Tyler menghela nafas lelah. Setelah siang itu menghabiskan waktu di kamar hotel bersama Adrian, gadis itu masih sempat bertemu dengan pria lain malam harinya. Apa dia tidak merasa lelah? batin Tyler berdecak. Ty
Waktu menunjukan pukul 11 malam saat Tyler menelepon Matteo. Pria itu kembali mendesah kesal. Dia benci aktivitas menyenangkannya saat ini terganggu oleh dering ponsel yang terus berteriak memanggilnya. Matteo sedang memeluk tubuh Luna yang polos tanpa busana di bawah selimut yang mereka gunakan. "Ah, apalagi sekarang!" Matteo meraih benda pipih tersebut dan alis Matteo bertaut setelah membaca ID caller yang tertera pada layar ponsel. "Tyler Bannet?" segera pria itu beranjak dari ranjang dan berjalan mengendap-endap agar tidak membangunkan Luna. Hanya menggunakan boxer yang menutupi bagian tubuh sensitivenya, pria itu masuk ke kamar mandi untuk menerima telepon dari Tyler Bannet. "Hallo, Tyler. Informasi apa yang kau dapat dari pria tadi?" tanya Matteo penuh antusias. "Aku mendapat informasi bahwa pemuda tadi adalah kekasih Emily Boss. Tetapi, Emily mencampakannya setelah mendapatkan Adrian. Emily selalu meminta agar hubungan mereka berakhir, tetapi pemuda itu selalu menolak karena
Dengan perasaan gusar Emliy pergi ke apartemen Nico malam itu juga. Mengabaikan hawa dingin yang menggigit kulit. Malam itu waktu menunjukan pukul satu dini hari. Kepada para scurity, perempuan itu meminta agar salah satu di antara mereka tidak mengatakan kepada ayah dan ibunya bahwa dia keluar rumah malam itu. Suara ketukan pintu membuat Nico yang sedang menunggu kehadiran seseorang melirik ke arah benda tersebut. Pria berusia 23 tahun itu pun berjalan menuju pintu untuk membukakan pintu bagi seseorang yang ada di luar sana. "Akhirnya kau datang." ucap Nico dengan seringai di wajah saat mendapati Emily dengan wajah bersungut berdiri di depan pintu. Pria itu menarik lengan Emily masuk ke dalam apartemen dan mengunci pintu dengan cepat. "Cepat, lakukan apa yang seharusnya kau lakukan! Aku tidak ingin banyak berbasa-basi." perintah Nico yang saat itu duduk di sofa, sementara Emily berdiri di depannya sembari membuang wajah. "Apa kau tuli?" ucap Nico dengan gigi beradu, yang akh
Saat acara usai, Luna langsung berhambur dan memeluk Matteo dengan erat. Dia telah melihat hal yang sangat menyakitkan secara bersamaan malam itu. Ayah kandungnya yang menatapnya penuh kebencian dan saudara tiri bersama mantan tunangannya yang terlihat mesra di hadapannya. Luna seolah bukan siapa-siapa bagi mereka. Gadis itu benar-benar merasa kecil sekarang. Matteo menarik nafas dalam lalu membalas pelukan Luna. Gadis itu pasti merasa sangat tersiksa di sepanjang acara. "Jangan menangis, Luna. Kau tidak sendiri." bisik Matteo dengan suara lembut yang menenangkan hati Luna. "Terima kasih, Matteo. Seandainya tadi aku tidak melihatmu tersenyum dan memberi semangat padaku, mungkin aku tidak bisa melakukannya. Aku begitu gugup dan tidak memiliki sedikitpun rasa percaya diri." Luna tertawa ringan, menutupi alasan sesungguhnya yang membuatnya bersedih. "Kau tidak perlu berterima kasih, Sweetheart. Sudah menjadi kewajibanku untuk selalu menyemangatimu," Matteo mengelus kepala Luna
"Apa kau baik-baik saja, Luna?" tanya Stefano berbasa-basi saat berjalan mendekat ke arah mereka. Bulu mata lentik gadis itu masih basah oleh air mata. Tanpa mendengar penjelasan dari Luna, Stefano sudah tahu apa yang membuat gadis itu menangis. Tatapan Stefano dan Matteo saling bertabrakan. Sebagai seorang sahabat, mereka bisa membaca tatapan satu sama lain. Matteo mengartikan tatapan Stefano kali ini dengan kalimat; "Tenangkan gadis itu, Matteo. Dia sangat membutuhkan ketenagan darimu." yang Matteo balas dengan senyum samar. Matteo kembali menarik tubuh Luna agar kembali bersandar di dadanya. Gadis itu tampak tersenyum tulus, kendati kesedihan tetap terlihat jelas di wajah rupawannya. "Saya baik-baik saja, Tuan Stefano. Untung saja dia ada untuk melindungiku." Luna mendongak dan melihat ke belakang untuk dapat menatap wajah Matteo yang lebih tinggi darinya. "Saya tidak tahu apa yang akan terjadi jika pria ini tidak bersamaku tadi." "Kau dan keluarga Tuan Alexander terlih
Sepanjang perjalanan Luna tidak berhenti menatap ke arah luar jendela yang memperlihatkan jajaran gedung. Pikirannya tidak berhenti berkelana pada kejadian di Magnolia spring Resort malam itu. Dia telah menerima penolakan dari ayah kandungnya sendiri. Apakah dia sanggup membenci ayahnya? Meskipun hubungan mereka telah berubah atau mungkin sudah berakhir, ikatan darah dan kenangan tetap ada, dan tidak bisa dihapus begitu saja. Alis Luna bertaut saat menyadari bahwa Matteo mengendarai mobil melalui jalan yang Luna tahu bahwa itu bukan rute menuju apartmen mereka. "Kita mau kemana?" Luna menoleh ke arah Matteo dengan tatapan bertanya. "Nanti kau akan tahu." Matteo menoleh sekilas sembari tersenyum kepada Luna. Gadis itu menarik siku untuk melihat jam yang melingkar di pegelangan tangannya. Waktu sudah sangat larut untuk bepergian. "Tetapi ini sudah pukul 11.45 malam," "Besok akhir pekan, Luna. Kau tidak perlu khawatir jika terlambat bangun keesokan harinya." Luna terd
Luna terkesiap saat Matteo tiba-tiba membopong tubuhnya. Tidak ada pilihan lain bagi Luna selain mengalungkan lengannya pada leher Matteo. Pria itu menunjukan raut wajah serius yang membuat Luna merasa terintimidasi. Matteo langsung membawa Luna ke kamar mandi hotel. Pria itu menyiapkan air hangat untuk memenuhi bathtub. "Maaf, aku langsung membawamu ke sini. Mungkin aku terlalu egois telah membatasi keinginanmu untuk bersenang-senang dengan air pantai. Tetapi aku tidak bisa menahannya lebih lama," ucap Matteo sembari melepas kancing kemeja Luna. "Aku sudah berkata padamu, kau bisa melakukannya kapan pun kau mau," jawab Luna yang saat itu pasrah dengan perbuatan Matteo yang melucuti pakaiannya. Dalam hitungan menit semua pakaian Luna telah tanggal di atas lantai, memperlihatkan tubuh polosnya yang membuat jantung Matteo berdetak kencang. Gadis itu bahkan tidak malu menunjukan ketertarikannya pada Matteo. Luna mengalungkan tangan pada leher Matteo dan sedikit berjinjit, sebelu
Luna dan Matteo berjalan beriringan menyusuri pantai. Beberapa orang yang mereka lalui melihat ke arah mereka dengan tatapan kagum yang membuat Luna merasa canggung dengan keadaan sekitar. "Apakah kau merasa semua orang yang kita lalui melihat kita, Matteo?" Luna bertanya dengan suara lirih, sesekali mencuri lihat ke arah para pengunjung yang sedang berjemur. Tanpa sengaja tatapan Luna bertabrakan dengan segrombolan pemuda yang menatapnya dengan tatapan seductive. Seketika Luna mengalihkan pandang ke arah Matteo. Beberapa wanita berbikini yang sedang berjemur bahkan tak segan melepas kacamata hitam mereka dan melihat Matteo dengan tatapan kagum. Hal itu membuat Luna mengkrucutkan bibir."Dan aku rasa, para wanita tertarik padamu." Luna tersenyum samar sembari menilai penampilan Matteo dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kemeja putih yang Matteo pakai terlihat serasi dengan celana jeans selutut yang pria itu kenakan. Matteo tampak berkharisma. Luna bisa memaklumi jika banyak wanita
Matteo memegangi bahu Luna yang terguncang karena menangis. Gadis itu terus saja menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Apa yang sudah mengganggu pikiranmu? Apakah seseorang sudah membuatmu bersedih saat aku sedang bekerja?" tanya Matteo sembari menarik tubuh Luna ke dalam pelukannya. Pria itu menepuk punggung Luna dan mengecupi kepala gadis itu. Setelah tangis Luna mereda, barulah Matteo menanyakan sebab Luna menangis. "Apa yang terjadi saat aku sedang tidak ada di dekatmu?" tanya Matteo dengan kedua tangan menangkup wajah Luna. Luna ragu untuk mengatakan apa yang membuatnya kecewa hari itu, tetapi tatapan Matteo yang menghangat membuatnya yakin untuk meneritakan kekecewaannya hari itu. "Aku berharap hari ini Ayah akan menghubungiku dan mengucapkan selamat ulang tahun untukku hari ini. Sepertinya dia benar-benar sudah melupakan aku. Ini adalah hari ulang tahun tergetir dalam hidupku. Bahkan tidak ada yang tahu bahwa hari ini adalah hari yang penting bagiku." Kembali air mata men
Luna terbangun dari tidur dan langsung mengecek ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Dia sangat berharap ayahnya tidak melupakan hari spesialnya. Gadis itu segera menyalakan ponselnya untuk melihat barangkali ada pesan masuk. Tetapi dia harus menelan kecewa hari itu, tidak ada pesan masuk sama sekali. "Mungkinkah Ayah benar-benar sudah tidak peduli padaku?" gumamnya sembari mengelus dadanya yang terasa berdenyut nyeri. Air mata menganak sungai dan ia mulai menangis tergugu. "Bahkan aku tidak yakin Matteo tahu kalau ini adalah hari ulang tahunku." Ini adalah hari ulang tahun tergetir seumur hidup Luna. Gadis itu menangis tergugu mendapati kenyataan bahwa hari ini sangat jauh berbeda dari ekspektasinya. Luna berharap, setidaknya dia akan menerima ucapan selamat ulang tahun hari ini, tetapi kenyataan seakan mentertawakannya. "Matteo selalu sibuk akhir-akhir ini. Apakah pekerjaan bisa membuatnya dengan cepat melupakan aku?" Luna mengungkapkan kekesalannya saat satu-satunya orang
"Cinta sejati bukan hanya tentang hadir saat bahagia, tapi juga saat terluka. Dia yang selalu ada, bukan hanya saat dicari, tapi juga saat kau membutuhkannya." Dari balkon apartemen Nico menarik napas dalam saat mobil rolls-royce berwarna merah muda tampak memasuki parkiran. Mendengar nada bicara Emily saat meneleponnya, dia tahu, gadis itu sedang tidak baik-baik saja, dan Nico merasa khawatir karenanya. "Apa yang membawamu ke sini? Apakah pria itu mengabaikanmu, sehingga kau memilih datang padaku bukan atas dasar paksaan dariku?" gumam Nico berusaha menerka maksud kedatangan Emily ke apartementnya. Tangan Emily yang hendak menekan bel terhenti di udara saat seorang pemuda membukakan pintu untuknya. Pria itu mengulas senyum tulus. Dan tanpa dipersilahkan Emily sudah masuk terlebih dulu. "Apa yang membawamu datang kepadaku? Apakah dia mengabaikanmu?" tanya Nico sembari menutup pintu. Hening. Emily melepas sepatunya melempar benda tersebut ke segala arah, lalu mendengus da
Emily dan Rosaline berhenti di depan ruang instalasi gawat darurat begitu tenaga medis mendorong brankar Alexander memasuki ruangan tersebut. Pintu ruangan ditutup, menyisahkan Emily dan Rosaline yang saling menatap setelahnya. Berbanding terbalik dengan raut wajah putrinya yang tampak tenang setelah Alex dibawa masuk ke ruang instalasi gawat darurat, Rosline justru terlihat benar-benar gelisah. Emily menepuk lengan ibunya, lalu berkata,"Tidak perlu segelisah itu, Ibu," ucapnya lalu tersenyum licik. "Tapi, Emily, bagaimana kalau dia sampai ...," cicit Rosaline membayangkan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi pada Alex. "Meninggal?" tebak Emily sembari mengedikkan bahu."Ya, kau benar. Bisa saja dia menginggal. Ibu rasa penyakit jantungnya cukup serius," ucap Rosaline sembari menggigit ibu jarinya. Wanita paruh baya itu berjalan hilir mudik membayangkan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi."Bukankah itu bagus, Bu?" Emily menyibak rambut brunetnya ke belakang. "Apanya yang
Emily dan Adrian dibuat bertanya dengan ketidakhadiran Luna di ruangan itu. Biasanya mereka bertemu untuk membahas proposal kerjasama yang Golden Horizon ajukan. Mereka merasa asing dengan wanita bertubuh tinggi besar yang kini tengah membaca proposal dan memasang raut wajah serius semenjak pertama mereka bertatap muka. Adrian mengernyit dan menatap Emily dengan raut bertanya, seakan berkata,"Di mana Luna? Dan siapa wanita yang sekarang di hadapan kita?" Emily mengedikkan bahunya. Sebagaimana dengan Adrian, gadis itu juga merasa asing dengan wanita berbadan padat yang minim senyum tersebut. Tetapi, bukan Emily namanya jika hanya menerka-nerka dan membiarkan pikirannya larut dalam pertanyaan di mana keberadaan saudara tirinya. "Maaf, saya ingin bertanya." Emily akhirnya bertanya setelah Adrian menyiku lengannya, memberi isyarat agar Emily menanyakan ketidakhadiran Luna pagi itu. Tidak menjumpai entitas Luna membuat Adrian bertanya-tanya, karena gadis itulah yang membuatnya berseman
Luna mengerjabkan mata untuk menjernihkan penglihatannya begitu tangan kirinya yang merentang menyentuh permukaan kasur, tempat di mana biasanya Matteo berbaring. Gadis itu melirik jam di atas nakas. Waktu menunjukan pukul 05.45 a.m, terlalu awal dari biasanya Matteo bangun untuk menyiapkan sarapan. Luna bangkit dari berbaring. Pandangannya menyapu sekeliling. Di apartemen bermodel studio yang minim sekat, seharusnya dia bisa melihat Matteo jika pria itu memang berada di sana. Luna turun dari ranjang dan mencari keberadaan Matteo. "Matt?" tanyanya seraya berjalan menuju kamar mandi. Pintu kamar mandi terbuka, dan tidak ada siapa pun di sana. Alis gadis itu bertaut, dia pun mulai bertanya-tanya di mana Matteo. Kembali Luna mengedarkan pandangannya dan mengernyit saat mendapati hidangan tersaji di atas meja makan. Luna segera mendekat. Di atas meja kaca tersebut, ia mendapati roti gandum utuh yang sudah dipanggang lengkap dengan selai kacang di dalamnya, bubur oatmeal dengan irisan
Gadis itu menggeleng cepat sembari menyeka air matanya. "Bukan aku tidak senang dengan kehamilan ini,""Lalu mengapa kau sesedih itu?" Nampaknya Matteo belum mengerti kalau Luna dipecat dari pekerjaannya. Sehingga gadis itu tersenyum getir, lalu berkata,"Aku dipecat dari pekerjaanku setelah terbukti hamil, Matteo," "Hanya karena itu?" tanya Matteo dengan tatapan datar. Dia merasa tidak senang karena seolah Luna jauh lebih mementingkan pekerjaan dari pada bersuka cita menyambut buah hati yang akan hadir di antara mereka suatu hari nanti. Setelah mendengar jawaban Matteo seketika alis Luna bertaut. "Apa katamu? Hanya?" tanya Luna dengan wajah memerah, dia beranggapan bahwa Matteo baru saja meremehkan persoalan besar yang sedang dia alami. "Ya, benar. Tidak seharusnya kau terlalu memikirkan pemecatan itu. Aku yang akan bekerja untuk memenuhi kebutuhan kalian." Tidak ada sedikit pun gurat kesedihan yang Matteo tampakkan menanggapi pemecatan Luna, sehingga hal tersebut membuat sang ga
Luna keluar dari toilet untuk menemui Stefano dengan wajah kikuk sekaligus malu. Apa yang akan terjadi padanya kali ini? Apakah dia akan menerima pemecatan perihal hamil di luar nikah? Semoga saja tidak. "Bagaimana hasilnya?" Stefano langsung menyodorkan pertanyaan yang membuat Luna tersenyum canggung. "P-positif, Tuan." Jawab gadis itu sembari memperlihatkan alat tes kehamilan yang menampakkan dua garis merah berjajar dalam genggaman tangannya. Stefano menarik nafas dalam dan memperlihatkan raut wajah menahan amarah. Dia harus mendramatisir suasana untuk membuat gadis di hadapannya merasa bersalah dan bersedia menerima keputusan pemecatan darinya. "Apakah pria yang menghamilimu adalah pria yang kau kenalkan padaku sebagai kekasihmu pada malam acara fashion show beberapa waktu lalu?" "Be-benar, Tuan." Luna menunduk malu dan tersenyum canggung. Adanya kehamilan adalah bukti bahwa dia dan Matteo telah melakukan hubungan seks di luar pernikahan. Bukan tidak mungkin atasannya
Tak banyak pekerjaan di pagi itu sehingga Stefano bisa menemani atasannya di sebuah sofa yang terletak di dekat jendela besar yang menyuguhkan pemandangan deretan gedung pencakar langit, ditemani secangkir espersso serta beberapa kudapan. "Selama aku menggantikanmu di sini, apa saja yang kau kerjakan?" tanya Stefano di sela aktifitas mengunyah. Memang beberapa kali saat dirinya mengalami kesulitan dalam pekerjaan yang dipercayakan padanya, Matteo selalu bersedia membantu. Tetapi terkadang pria berambut keriting itu penasaran dengan aktifitas baru Matteo selama Stefano menggantikan posisi sahabatnya di hotel milik keluarga Vicenzo. "Sementara ini aku mencari bukti tentang pelaku di balik scandal foto mesumku yang beredar di internet beberapa waktu lalu." Matteo menyesap minumannya, lalu meletakkan kembali gelas di atas meja saat sahabatnya tersebut kembali bertanya. "Lalu, hasilnya?" "Orang-orangku bekerja dengan sangat baik. Bahkan aku sudah menemukan saksi kunci dari peris