Penelitian mengatakan bahwa jatuh cinta bisa menyebabkan perubahan pada fungsi reseptor otak seseorang. Mungkin itu yang tengah terjadi padaku. Biasanya dalam kondisi apapun, aku tidak akan berani mengajak Papa berbicara terlebih dahulu. Sepertinya ini juga efek bahagia karena melihat perjuangan Rio untuk menaklukkan hati Papa agar bisa bersamaku.
"Pa ... Papa mau ketan sama gorengannya dulu apa mau sarapan yang lain?" Aku kembali memberanikan diri menegur Papa yang tengah serius membaca surat kabar di kursi teras depan.
Aku melihat ekspresi terkejut dari wajah Papa. Dia terdiam sepersekian detik sebelum bereaksi.
"Ketan saja. Sekalian bikinin Papa espresso. Kalau tidak bisa, suruh Buk Rom saja," sahutnya dengan nada datar. Kemudian kembali menekuri surat kabar yang ada di tangannya.
"Okay, Pa." Aku berg
Pagi ini aku bangun dengan hati yang terasa ringan. Bahkan ajakan Buk Rom untuk shalat di mesjid tak kutolak. Langit masih gelap ketika kami kembali ke rumah. Udara pegunungan yang begitu segar menambah tenangnya suasana hati. Baru kali ini aku benar-benar merasa hidup, setelah sekian belas tahun hidup tertekan."Ah, tidak terasa sebentar lagi Lia akan benar-benar pergi dari rumah," desah Buk Rom tersenyum sendu. "Baru kemarin rasanya Ibuk masih gendong-gendong Lia, kewalahan mengejar Lia yang gesitnya minta ampun. Sekarang sudah mau menikah," kenang perempuan berwajah keibuan itu dengan ujung mata yang basah."Aah ... Ibuk, pagi-pagi sudah bikin melow aja," ujarku sambil menyusut ujung mata dengan mukena yang masih kukenakan."Ibuk ngerasa Lia sudah seperti anak Ibuk. Makanya jadi sedih kalau ingat sebentar lagi Lia benar-benar pergi meninggalkan rumah." Bu
Benar ternyata bahwa rindu itu berat. Sebulan sudah tak bertemu dengan Rio. Mendengar suaranya terkadang menjadi candu. Seperti ada yang kurang jika dia tidak memberi kabar.Papa masih belum mengizinkanku untuk kembali ke Bandung dan melarang untuk bertemu Rio hingga keluarganya datang untuk membicarakan hubungan kami.Menjalin hubungan jarak jauh seperti ini membuatku kehilangan setengah kewarasan. Memikirkan Rio akan berpaling, begitu menghantuiku. Khawatir jika akhirnya dia menyadari bahwa aku tak begitu layak untuk dipertahankan. Segala kekhawatiran itu membuat sikapku uring-uringan setiap kali Rio menelepon. Hal itu sering menyulut pertengkaran di antara kami."By, hari ini aku sibuk meeting buat membenahi manajemen franchise, bukan kelayapan nggak jelas," ujar Rio mengungkapkan alasannya tidak menerima panggilanku seharian. Wajahnya terlihat gusar.
Satu masalah selesai. Lega karena mendapat dukungan dari Rio untuk mengikuti acara mentoring di Jakarta. Lalu ketika teringat harus meminta izin pada Papa mendadak harapanku pupus. Sudah pasti Papa tidak akan mengizinkan jika mengetahui tujuanku pergi ke Jakarta, berkaitan dengan hobi gambarku.Hanya tinggal dua hari lagi menjelang hari daftar ulang peserta mentoring. Aku masih kebingungan memulai percakapan dengan Papa. Setiap kali beliau pulang dari rumah sakit, wajahnya terlihat tidak bersahabat. Sehingga aku selalu mengurungkan niat untuk membicarakannya."Kapan jadinya berangkat, By?" tanya Rio kembali ketika melakukan panggilan video malam ini."Aku belum ngomong sama Papa." Kukatakan pada Rio apa yang menjadi beban pikiranku."Coba kamu tanya aja, mana tau kali ini Papa sudah tidak terlalu saklek kayak dulu," usulnya memberi
"Kalian mau ke Jepang?" tanya Ares duduk di hadapan Rio. Sekilas dia menatapku lalu kembali beralih pada Rio."Iya, mau honeymoon," tekan Rio pada kata terakhir kalimatnya."Oh! Kalian sudah menikah?" Senyum yang tadinya tercetak di bibir Ares seketika sirna. Tatapannya beralih padaku.Jika tak salah menafsirkan tatapan itu, ada kilatan kecewa yang hadir di sana. Namun, untuk apa lagi? Bukankah dia yang dulu menyerah dengan perasaannya terhadapku. Dia yang menyuruhku mencari kebahagiaanku sendiri. Lalu buat apa kecewa itu dia rasakan saat ini?"Bulan depan. Nanti datang, ya, Bro!" Rio menepuk pelan lengan Ares."Wah, bulan depan gue balik ke Jepang. Mungkin bakal menetap sampai beres kuliah," balas Ares dengan ekspresi yang tak dapat kuartikan."Kamu ngelanjutin kuliah di sana?" Tanpa sadar pertanyaan itu terlontar saja dari bibirku."Iya. Gue dapat beasiswa penuh," sahut Ares tersenyum ti
Rindu kali ini makin terasa berat. Bagaimana tidak, bahkan hanya untuk sekedar mengetahui kabar Rio melalui pesan singkat saja, aku tak bisa. Hari ini aku sudah tak sanggup lagi menahan rindu. Satu minggu lagi menjelang hari pernikahan, rasa tak tenang membuatku melanggar aturan. Satu pesan singkat kukirim. Hanya centang satu yang muncul. Hingga sore menjelang, tanda centang tak berubah menjadi dua.Gelisah bolak-balik memeriksa ponsel, tapi hasilnya nihil. Tak ada tanda Rio membaca pesan dariku. Iseng, kucoba menghubungi nomornya, tidak aktif. Ada perasaan janggal yang kurasa. Tidak biasanya Rio mematikan ponsel seharian seperti ini.Selesai shalat magrib, tanda pesan masuk berbunyi pada ponselku. Berharap itu pesan balasan dari Rio, gegas kubuka aplikasi pesan berwarna hijau itu. Ternyata Mama Yasmin yang mengirim pesan padaku.[Lia, besok bisa berangkat k
Langit makin gelap, angin bertiup semakin kencang. Aku menggigil, menahan dingin dan tangis. Baru beberapa hari yang lalu melayang begitu tinggi dengan angan-angan pernikahan kami, kini dihempaskan begitu kejam hingga ke dasar bumi. Rasanya remuk redam, tak lagi bertenaga untuk bangkit."Lia, ayo pulang." Kembali Mama Yasmin memanggil, memaksaku untuk berdiri dan menuntunku bersama Kania menjauhi pusara Rio seiring dengan menderasnya hujan.Rasa lelah karena telah menempuh perjalanan jauh dan menghadapi kenyataan yang mengejutkan ini secara tiba-tiba, membuat kakiku tak mampu lagi untuk menopang tubuh. Seketika semua terasa gelap. Hanya suara Kania berteriak panik yang terdengar, kemudian hening.Aroma eucalyptus memenuhi indera penciumanku. Wajah Mama Yasmin yang terlihat pasi, menyambut ketika aku membuka mata. Aku mencoba bangki
Tiga tahun berlalu, telah banyak yang berubah dalam hidupku. Aku kembali ke kota kelahiranku, setelah rencana pernikahan dengan Rio batal. Berharap mengobati luka hati karena kehilangan laki-laki yang telah mampu meluluhkan hatiku itu. Meski pada akhirnya masih terseok-seok untuk kembali bangkit.Papa dan Mama tidak lagi mempermasalahkan ketika aku mulai menekuni pekerjaan yang berkutat di seputar gambar. Membuat aku semakin bersemangat untuk berkarya. Dalam tiga tahun aku bisa menyelesaikan beberapa cerita komik. Tiga diantaranya telah di cetak dan meraih best seller.Namun a,da satu hal yang masih belum bisa berubah, perasaanku terhadap Rio. Masih sama seperti saat ia tinggalkan dulu. Sulit bagiku untuk melepas semua kenangan tentangnya. Meski dalam beberapa tahun ini sudah ada beberapa laki-laki yang berusaha mendekati, tapi aku masih belum mampu membuka hati.Setiap tanggal kepergiannya, aku selalu berangkat ke
Meski kesal, tapi kakiku menurut saja ketika Ares menuntun ke parkiran. Duduk dengan patuh di jok penumpang ketika cowok itu membukakan pintu mobilnya untukku."Kita mau kemana?" tanyaku ketika meninggalkan area gedung resepsi Aldo."Makan, yuk!" ajaknya tanpa menoleh padaku."Baru juga beres makan," sahutku dengan wajah kesal."Biasanya lo, kan, makannya banyak," balasnya cuek."Itu udah berapa tahun yang lalu, kali, sudah banyak yang berubah," sahutku ketus.Kenapa dia masih saja mengungkit masa lalu yang telah susah payah kuhapus. Meski beberapa waktu lalu, aku sudah merasa biasa saat bertemu dengannya. Akan tetapi, mendengarnya mengungkit masa lalu, seperti ada yang kembali menggeliat bangun di relung hatiku yang terdalam."Tapi suka cemberutnya nggak beruba
Tiga minggu telah berlalu semenjak keluar dari rumah sakit. Perut yang sudah mulai kembali ke ukuran semula, memudahkan gerakanku melakukan berbagai aktivitas yang beberapa bulan belakangan ini terasa berat. Namun, entah mengapa ada kosong yang terasa sulit untuk dijelaskan. Terkadang tanpa sadar, aku mengusap perut dan menunggu gerakan yang seolah balas menyapa dari dalam sana.Meski berusaha menyibukkan diri dengan kembali beraktivitas normal, nyatanya rasa kosong itu masih saja kian menganga. Hingga pada suatu hari, Ares mengajakku keluar. Mengendarai skuter tua yang selalu menemani ketika kami bepergian pada masa kuliah dulu. Mengajakku berkeliling kota Jakarta, menyalip di antara kemacetan dan asap knalpot, dan berakhir di pemakaman yang sudah begitu familiar.Setahun lebih aku tak mengunjungi tempat ini semenjak terakhir kali Ares mengajakku menikah. Namun, kali ini ada yang berbeda. Ares tidak mengajakku ke blok yang biasa kukunjungi, tetapi ke arah yang berlawa
Aku berusaha untuk kembali membuka mata meski rasanya begitu berat. Mencoba memahami apa yang tengah terjadi dan apa yang akan kulalui setelah ini. Kemudian rasa mulas dan nyeri di perut membuat kesadaranku seakan kembali menjauh. Sesuatu seolah mendesak keluar dari bagian bawah tubuhku, hingga aku tak mampu lagi mempertahankan diri untuk terus tersadar. Suara dengingan yang memenuhi telinga, silau lampu ruangan serta rasa pusing yang menghebat, membuatku tak mampu lagi memahami apa yang tengah terjadi seiring suara Ares yang terasa makin menjauh.******Samar kurasakan jemari dingin menggenggam erat jemariku disertai embusan hangat napas seseorang di punggung tangan. Aku membuka mata. Mendapati Ares dengan posisi menelungkupkan wajah di tepi brankar yang kutempati. Kedua tangannya menggenggam erat jemariku. Perlahan, sebelah tanganku yang bebas dan dipasangi selang infus bergerak mengelus rambut hitam tebalnya. Ares seketika mengangkat wajah dengan mata ya
Jika ada yang lebih berat dari menerima kenyataan, hal itu adalah memaafkan. Memaafkan bukan lah perkara mudah. Terlebih lagi jika itu memaafkan seseorang yang telah menghancurkan kehidupanmu. Akan tetapi, psikiaterku berkata, memaafkan itu seperti menanggalkan beban yang kita pikul. Aku harus bisa melakukan agar mampu melangkah dengan ringan.Perlahan, aku mulai menerima kehadiran jabang bayi yang mulai tumbuh dan membesar di rahimku. Merasakan gerakannya yang makin menguat. Kehadirannya sedikit banyak membantuku mengusir rasa sepi yang belakangan sering mengusik. Terkadang tanpa sadar, aku mengajaknya berbicara. Lalu terkekeh geli ketika gerakan kuatnya seakan membalas perkataanku.Bulan ini aku pun sudah mulai kembali ke rutinitas sebagai author komik. Melanjutkan kontrak kerja yang sempat terbengkalai dan mengikuti perkembangan proyek film dari ceritaku yang sedang di garap oleh rumah produksi.Ares terlihat senang dengan perubahan sikapku akhir-akhir ini. T
"Mau tau jenis kelaminnya?" Dokter Puji melirik dari balik kaca matanya dengan senyum teduh. Mengalihkan tatap dari layar monitor alat USG.Meski dokter yang berwajah keibuan ini tau riwayat janin yang kukandung, tetapi dia tetap memberi tau perkembangan janin dalam rahimku dengan penuh semangat. Seolah-olah janin ini adalah anak sah dari pernikahan kami."Mau, Dok!" Ares yang lebih dahulu menjawab penuh semangat, mengalihkan perhatiannya dari televisi layar datar di seberang tempat periksa yang sedari tadi ia perhatikan, dengan seluas senyum."Baby-nya laki-laki," tukas Dokter Puji sambil menggerakkan kembali transduser ke bagian sisi perutku yang lain. Kurasakan kembali gerakan yang sedikit menyentak itu di dalam perut."Bayinya aktif banget ini." Dokter Puji tertawa pelan melihat gerakan di layar monitor alat USG.Alih-alih memperhatikan dengan seksama gambar abstrak yang ada di monit
Tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya bisa pasrah menerima dan merasakan sesosok makhluk telah tumbuh dalam rahimku. Gerakan-gerakan halus itu kini terasa nyata. Ares masih terus menghujaniku dengan perhatian. Meski terkadang aku dapat melihat tatapan terluka dari sorot matanya saat aku mulai mengeluhkan sikapnya yang terus saja menahan diri untuk tidak menyentuhku seperti seharusnya seorang suami lakukan pada istrinya.Sudah dua bulan ini aku kembali rutin mengunjungi psikiater. Setelah kembali harus menjalani pemeriksaan ke kantor polisi terkait kasusku, trauma ini semakin terasa menyiksa. Terlebih lagi, ketika menjalani beberapa sidang. Melihat wajah pelaku membuat ketakutanku semakin menjadi. Aku beberapa kali kembali mengalami mimpi buruk. Meskipun tak mengingat kejadian sebenarnya, entah kenapa alam bawah sadarku seakan memberikan gambaran jelas tentang kejadian itu.Hampir tiap malam
Wajah khawatir Ares terlihat begitu kentara kala dia menemuiku di kamar sepulang kerja."Kata Buk Rom seharian kamu nggak makan. Muntah-muntahnya makin parah?" tanyanya lirih.Aku mengangguk lemah."Aku bantu siap-siap, ya. Kita ke dokter sekarang." Nada Ares lebih seperti titah yang tak bisa dibantah. Dia menyibakkan selimut dan membantuku untuk bangun. Setelah memastikan aku duduk dengan posisi nyaman dengan bersandar, Ares beranjak ke meja rias di sisi lain tempat tidur, mengambil sisir dan menyibakkan rambut yang menutupi bagian keningku."Biar aku yang nyisir rambut sendiri," tepisku mengambil alih sisir dari tangan Ares.Tanpa membantah, dia menyerahkan sisir kemudian beralih ke walking closet. Membuka sisi lemari tempat pakaianku tersimpan dan mengambil salah satu pakaian yang terdapat di bagian atas."Ganti baju dulu. Sepertinya bajumu juga sudah basah karena kerin
Sebuah gerakan pelan membuatku tersentak. Sudah lama sekali rasanya aku tidak tidur tanpa mimpi yang membuatku terbangun dengan napas tersengal di tengah malam. Aku membuka mata dengan cepat, mendapati Ares dengan posisi duduk dan menatapku."Maaf membuatmu terbangun," tukasnya sambil menarik kembali selimut untuk menutupi tubuhku."Kamu mau kemana?" Aku bangkit menyibakkan selimut, menarik tangan Ares seperti anak kecil yang tak ingin ditinggal. Entah kenapa rasa takut ditinggalkan Ares terlintas begitu saja di benakku."Mau mandi—""Bukannya tadi sudah mau mandi?" Aku memotong kalimat Ares, tidak terima dengan alasannya."Ini sudah pagi, istriku ... aku mau siap-siap berangkat kerja," balas Ares tertawa geli melihat tanganku yang menarik tangannya dengan posesif.Dengan sorot mata tak percaya, aku melirik jam digital yang terletak di nakas. Pukul 04.3
Aku baru saja beres membenahi pakaian ke dalam walk in closet saat Ares kembali masuk kamar dan menghampiriku. Duduk di tepi tempat tidur dan berkata, "Makan malam sudah datang. Makan, yuk," ajaknya dengan seluas senyum lembut terukir manis di bibirnya.Aku bangkit seraya mengangguk dan membalas senyumnya."Pesan apa?" tanyaku saat mengikutinya keluar kamar."Nasi Padang, biar Buk Rom nggak terlalu kaget," balasnya seraya merangkul bahuku.Aku kembali mengulas senyum. Betapa lelaki ini penuh perhatian, bukan hanya ke padaku, bahkan pada Buk Rom yang bukan siapa-siapa baginya pun tak luput dari perhatiannya. Keyakinanku makin tumbuh, bahwa aku akan menemukan bahagiaku bersamanya kelak. Meski kini aku masih tertatih meraup satu kata itu ke dalam hidupku. Dan aku berjanji untuk mampu bangkit setelah keterpurukan ini. Sesulit apa pun, akan kuusahakan."Ibuk istirahat saja biar saya yang cuci
"Ma, Lia nggak mau anak ini," cetusku ketika mama hendak beranjak keluar kamar. Ares tersentak, melepaskan pelukan yang sedari tadi tak ia lepas. Dari sudut mata, kulihat wajah Ares mengeras."Lia mau aborsi aja. Mama kan dokter kandungan ...." Aku memperjelas kalimatku untuk meminta bantuan dari perempuan yang telah melahirkanku itu. Mengharapkan profesinya bisa menyelamatkanku keluar dari masalah saat ini."Nggak bisa, itu melanggar kode etik dokter," balas mama berbalik menatapku datar. Tak ada kesan iba atau khawatir selayaknya seorang ibu pada putrinya."Bukannya ada pengecualian untuk korban perkosaan?" Aku berusaha setenang mungkin mengemukakan permintaan, menahan airmata yang kembali berdesakan untuk luruh. Meski rasanya ingin berteriak sekencang-kencangnya agar mama mau sedikit berbelas kasih padaku. Anaknya yang saat ini tengah ditimpa kemala