Vera dan Danno menikmati hari libur mengunjungi salah satu cabang kedai es krim di kota ini. Keduanya duduk berdua di meja yang dekat dengan jendela. Saat mereka datang masih terlalu pagi, jadi belum terlalu ramai.
"Sayang, tumben kamu nggak ngomel lagi," kata Danno memandangi Vera yang duduk di seberang meja darinya."Kenapa harus ngomel?" Vera menjilati es krim cone sambil menikmati pemandangan jalan raya yang sudah ramai."Kita hari ini jadi ke kantor polisi?""Iya lah, sebelum mereka tahu apa yang terjadi, lebih baik kooperatif sama mereka.'"Tapi, bukannya bagus mereka nggak tau itu punyaku.""Bukan nggak tau, tapi belum tau. Udahlah, nanti habis makan siang, kita ke kantor polisi lalu ngaku kalau itu jepit dasi punya kamu.""Kenapa nggak sekarang aja?""Kamu nggak liat aku sedang apa?"Danno tersenyum. "Istriku jahat banget, selalu ngutamain es krim ketimbang aku. Aku cemburu, loh.""Kamu ngeselin, kalo es krim 'kan nyenengin." Vera balas tersenyum.Danno berdiri sedikit, lalu nekad melahap sisa es krim yang ada di tangan Vera.Vera kaget sampai melongo. Semua es krim sudah dimakan, tersisa cone atau kerucut saja di tangan. "HEI!"Danno duduk kembali sambil tersenyum jahil. Dia mengancam, "sekali lagi kamu bandingin aku sama es krim, aku makan lagi es krim kamu.""Beli'in aku es krim lagi!""Nggak mau.""Cepetan.""Beli sendiri dong, ngapain nyuruh? itu meja pesannya ada disitu ..." Danno bertopang dagu di atas meja, masih tersenyum.Dia suka menghabiskan waktu dengan menggoda Vera. Semakin wanita itu jengkel, maka semakin dia gemas.Kesal, Vera mengancam, "cepet beliin aku es krim lagi, atau aku bakalan bersaksi kalo kamu udah mukulin pria itu sampe babak belur sebelum ditemukan tewas. Lima tahun hukumannya ... kamu dipenjara, kita cerai, aku nikah lagi, kamu bebas, aku udah punya anak sama pria lain."Senyum jahil Danno luntur. Makin kesini, istrinya makin pintar bicara. Apa karena dia pengacara sekarang?"Perkara es krim aja sampe ngomongin nikah lagi," gerutunya sambil berdiri dengan agak malas.Vera menahan tawa. Dia menepuk bokong sang suami saat berjalan melewatinya."Apa?" Danno menoleh. Dia masih kelihatan kesal, meskipun hanya bercanda, tapi dia tak sanggup membayangkan Vera menikah lagi."Cepetan, jangan lama-lama.""Iya." Danno membungkuk sebentar untuk mengecup kening Vera sesaat, baru kemudian pergi ke meja pemesanan. Tampaknya, dia tidak peduli dipandangi beberapa orang, termasuk pegawai es krim.Vera baru sadar kalau di tempat umum, jadi dia sedikit malu, lalu melihat keluar jendela.Danno menunggu antrian di depan meja pemesanan, ada wanita yang mengantri di sebelahnya.Dia sesekali menoleh ke Vera, tapi tak sengaja— dia melihat pria berjaket kulit tengah masuk ke dalam sini."Mas? Mas?" Suara pegawai es krim menegurnya.Danno mengabaikannya. Dia terkejut melihat si pria mencurigakan berani menghampiri meja sang istri.Pria asing itu merogoh saku jaket kulitnya, mengeluarkan sesuatu.Mengira itu senjata tajam, insting liar Danno bangkit seketika. Tubuhnya seperti bergerak sendiri saat panik.Ia berlari mendekat, lalu mencengkram kepala pria misterius itu— dan menghantamkan wajahnya ke atas meja, lalu melakukan kuncian Hammerlock— melumpuhkan bahu lawan dengan meletakkan lengan di belakang punggungnya.Kemudian, ia menekan pergelangan tangan ke belakang leher si lawan. Teknik ini biasa digunakan polisi saat menangkap pelaku kejahatan, di mana membuat lawan kesulitan dalam menyerang balik."Danno!" Vera kaget dengan ulah suaminya tiba-tiba. "Danno ... Danno stop!"Tak hanya dia, situasi di dalam juga mendadak mencekam, pengunjung sedikit takut kalau ada perkelahian."Berani banget kamu deketin Vera?" Danno tak peduli, merasa kalau orang itu berbahaya. Sorot matanya begitu dingin, begitu pula suaranya. "Mau apa kamu?""Saya ... saya disuruh nyerahin ini ..." Pria itu menunjukkan tangannya yang ternyata memegang lipatan kertas, bukan senjata tajam."Sayang, lepasin!" Vera panik karena para pegawai sudah berdatangan. Dia menarik lengan suaminya. "Kamu jangan mukulin orang gitu aja!""Maaf." Danno tersadar situasinya, lalu terpaksa melepaskannya.Si pria misterius itu menaruh lipatan kertasnya di atas meja, lalu berlari keluar dari tempat itu secepat kilat. Dia mecurigakan."Hei, jangan pergi dulu!" Vera makin bingung. Dia melihat sekitar dimana beberapa pengunjung sudah memegangi ponsel, agak takut kalau keadian ini disebarkan di media sosial."Maaf, Mas, nggak ada apa-apa, kok— cuma salab paham!“ Wanita itu berusaha menjelaskan ke pegawai yang mendekat. Tak mau menunggu lagi, dia mengambil tas dan kertas itu, lalu menyeret suaminya pergi ke luar, "ayo kita keluar sekarang."Usai keluar dari tempat tersebut, Danno berkata, ”maaf, jangan marah ya— aku reflek barusan.“"Kamu suka banget bikin jantungan.””Tapi, Sayang, kasus apa yang terakhir kamu tangani? Kayaknya itu ada hubungannya sama kerjaan kamu. Udah aku bilang 'kan nggak usah ngambil kasus berat-berat."Vera diam saja karena fokus membaca isi kertas itu hanya:338 KUHPItu adalah pasal yang mengatur hukuman mati bagi pelaku pembunuhan.Dihiraukan, Danno merebut kertas itu,. Untuk orang awam hukum sepertinya, dia cukup tahu itu tentang pasal itu."Kasus apa yang kamu tangani sebelum libur?" Dia bertanya serius.Vera tak bisa menyembunyikan ini. Dia mengaku, "aku pernah melakukan kebohongan besar."Danno melihat sekitar, khawatir kalau membicarakan hal beginian di luar rumah. "Kita bahas di rumah. Ayo ..."Vera mengangguk.***Di kamar tidur mereka, terdapat papan tulis dekat tembok yang terdapat tulisan spidol bertuliskan:BALAS DENDAMDanno menempelkan beberapa foto orang di situ dengan bantuan double tape, beberapa di antaranya berasal dari potongan koran. Setelah itu, dia menulis nama-nama mereka di bagian bawah.Danno menuding tiga deret foto paling atas, semuanya pria, dua di antaranya sudah di atas empat puluh tahunan, sementara satunya masih muda."Si bocah setan, Alarik. Ayahnya, Henry, dan kemudian pengacara mereka dulu ... Gio, mereka adalah target utama kita," katanya sambil menuding mereka dengan ujung pena.Vera duduk di pinggiran ranjang, memperhatikan papan tulis dengan seksama.Danno menggambar garis dari foto Gio si pengacara ke foto seorang pemuda asing yang bagian bawahnya tertulis nama Roni. "... nah, ini Roni, teman Hardi yang kasus kematiannya kamu tangani sebelum nikah sama aku, sekitar dua bulan yang lalu baru selesai kasusnya?""Iya.""Roni itu saksi suap yang dilakuin pengacara Gi
"Tapi itu untuk nanti malam, Sayang—siapin diri kamu, ya~" Danno masih menyeringai. Dia memberikan ciuman mesra ke bibir Vera.Vera menyudahi ciuman itu sembari berbisik, "kita ngomongin ini dulu, dong—Aku ntar lupa kita barusan bahas apaan.“Danno tergelak lirih. Dia kembali ke papan tulis, dia menggambar garis dari foto Roni ke foto Hardi.Dia menjelaskan, "jadi intinya— Hardi, pengedar narkoba yang kita tangkap malam itu, tapi sekarang sudah mati dibunuh. Dia adalah orang yang buat mobil papa kamu menjadi rem blong sampai terjadi kecelakaan sepuluh tahun silam. Selain itu ..."Dia berhenti sejenak untuk menggambar garis dari foto hardi ke foto Henry. "... Hardi cuma suruhan Henry alias ayah Alarik."Spidolnya kemudian mengaitkan garis dari foto Alarik ke foto buram yang sepertinya diambil diam-diam, serta foto hitam putih dari potongan koran yang tidak jelas juga.Suami Vera ini menjelaskan kembali, "Alarik sekarang berbinis prostitusi online dengan membawahi dua mucikari, Johan da
"Sayang ..." Vera menangkup wajah Danno, lalu didorong agar berhenti menciumi wajahnya. Dia mengeluh, "... sampai kapan kamu bakalan cium aku begini?""Mmm... " Danno tersenyum menatap wajah cantik Vera di bawah. "Aku suka mencium kamu."Iya, posisinya masih menindih dada sang istri di atas ranjang. Sudah hampir lima belas menit mereka berciuman, merangsang tubuh masing-masing. Dia tidak mau berhenti— menciumi wanita itu adalah sebuah candu yang sulit dikendalikan.Vera menyentil hidung Danno. Kemudian, dia kembali merangkul tangan di leher sang suami itu. Dia mengingatkan, "kita 'kan lagi rapat penting, jangan cium aku terus, dong.""Padahal kamu sendiri yang minta dicium? Sekarang minta berhenti?""Tadi ... Ini udah kelamaan kamu ciumin bibirku.""Terus maunya aku cium yang lain?" Danno menyeringai. Dia memberikan pandangan genit kepada Vera.Tatapan mata itu sudah bisa membuat Vera mengerti maksudnya. Dia ikut tersenyum, lalu menantang dengan nada suara manja, "kamu mau cium apalag
Vera memasak kari ayam dalam waktu yang lumayan singkat, beruntungnya sudah ada bumbu jadi. Dia tidak mengira kalau ada sanak keluarganya yang mampir ke rumah. Tidak ada persiapan sama sekali."Maaf, Bang, kami baru pindah ke sini, belum belanja juga ..." Wanita itu mencari alasan sambil menyajikan makan siang mereka dia atas meja makan. "Maaf kalau cuma makanan ini aja yang bisa Vera suguhin."Feno, yang sudah duduk di kursinya, mengangguk. "Nggak apa-apa, kok. Ini udah cukup.""Mending tadi pesen makan aja, Sayang," sahut Danno yang kurang minat dengan kari ayam. Dia agak rewel perihal makanan, paling tidak suka dengan kari.Tentu saja, Vera tahu itu. Namun, bumbunya cuma ada itu, dia tidak punya pilihan lain. Dia berkata, "kalau kamu nggak suka, ya udah pesen sendiri sana, aku sama bang Feno makan di sini. Iya 'kan, Bang.""Iya." Feno mulai mengambil lauk. "Masakan kamu selalu enak, kok.""Makasih, Abang~" Vera tersenyum gembira. Dia melirik suaminya yang tampak kesal. Selama ini,
Danno masih menatap Vera. Dia belum ada niat untuk membalas semua yang diucapkannya.Vera terus memberi penjelasan, "sayang, kamu nggak boleh kayak gitu, Bang Feno udah jauh-jauh loh ke sini, kita bahkan belum tanya kasusnya gimana, kapan sidangnya, nggak harus sekarang juga 'kan?""Aku tetep nggak mau.""Kenapa sih?""Ada banyak alasan, pertama abang sepupu kamu itu nggak jelas— kayaknya lagi nyembunyiin sesuatu. Pokoknya aku ngerasa nggak enak. Terus lagi, aku nggak mau kamu urusan sama kasus-kasus berat yang ngelibatin narkoba, obat-obatan kayak begituan, pokoknya nggak.""Tapi mungkin aja Bang Feno benar, temennya cuma dijebak doang.""Mau dijebak atau nggak, nggak ada urusan sama kita, Sayang. Lagian kamu ini nggak ngerasa aneh, dia jauh-jauh ke sini cuma minta tolong kamu jadi pengacara kasus salah paham?""Ya, nggak masalah 'kan?""Kamu ini jadi naif kalau masalah Feno.""Kamu kok ngomong gitu sih? Dia itu saudaraku, saudara kamu juga. Misalnya mau nolak ya jangan kasar kayak t
Vera pergi ke ruang makan lagi, tapi kakak sepupunya sudah tidak ada di sana. Dia pun mencari hingga ketemu di ruang tamu. Iya, pria itu mondar-mandir di depan sofa, seperti gelisah akan sesuatu."Ada apa, Bang?" Vera heran."Oh, kamu udah di sini—“ Feno sedikit kaget dengan kehadiran Vera. Tetapi, dia kemudian tersenyum. "Nggak apa-apa.""Abang ngapain di sini? Mau nonton televisi atau gimana?”"Enggak, kok. Lagi nungguin kamu dari tadi. Gimana?“Dengan berat hati, Vera mengatakan, ”maaf, Bang. Danno tetep ngotot nggak mau Vera ngambil kasus apapun sekarang. Dia pengen kami fokus bulan madu aja. Maaf.""Ya udah nggak apa-apa. Tapi, kamu nggak apa?“"Maksudnya?”"Suami kamu itu kayaknya protektif banget, dia juga posesif. Kamu nggak terkekang sama dia?""Enggak, kok. Danno dari dulu 'kan juga gitu, Bang. Dia overprotektif. Dia mikirin kebaikan Vera, jadi Vera nggak mungkin marah."“Beneran? Kamu nggak diancam 'kan?""Diancam? Enggak, dong!” Vera tertawa lirih untuk menunjukkan kalau
Beberapa hari kemudian ...Vera sudah mengurus permasalahan jepit dasi suaminya yang ditemukan di TKP pembunuhan oleh polisi. Pihak polisi tetap menjadikan Danno sebagai saksi. Meskipun demikian, mereka tidak berhak menahan pria itu atau menyelidiki terlalu banyak.Di saat kepolisian menyelidiki kematian misterius Hardi, Vera dan Danno bersiap dengan rencana mereka untuk menyusup ke klub malam "LUX"."Kamu nggak bahas luka lebam di tubuh Hardi itu karena aku pukuli 'kan?" tanya Danno di depan cermin meja rias sang istri."Nggak, dong. Kalau aku bilang itu— kamu bakalan ditahan. Pokoknya selama kamu diam, kita akan baik-baik aja." Vera yang berdiri di belakang Danno. Dia sibuk merapikan tatanan rambut pria itu, lalu melihat ke cermin."Maaf ya, Sayang— aku bikin kamu susah."“Tumben sadar diri?”Senyum terbentuk di bibir Danno. Dia melirik istrinya sambil bilang, "minta maaf salah, mukulin orang salah.“"Iya, iya.” Vera tergelak sedikit. “Aku udah biasa sama sifat preman kamu. Dari du
Jalan raya tidak pernah sepi sekalipun sudah dini hari begini. Lima belas menit di jalanan tak membuat Vera sadar kalau diikuti. Iya, itu wajar saja— semua kendaraan tampak tidak mencurigakan.Akan tetapi, setelah setengah jam kemudian— di saat dia mulai berbelok-belok mengikuti arahan dari googlemaps, barulah dia sadar ada satu mobil hitam yang mengintai.Setiap kali dia mengebut, mobil di belakangnya juga mengebut. Setiap kali dia menurunkan kecepatan, kendaraan itu ikut menurunkan kecepatan. Sudah pasti, dia sedang diikuti.Vera tidak tenang. Dia tidak terbiasa sendirian saat pergi kemanapun saat malam-malam begini tanpa Danno.Sambil mengamati kaca spion, dia bertanya pada diri sendiri, "siapa itu? Ada yang ngikutin aku? Sejak kapan? Apa sejak dari rumah? Apa jangan-jangan Alarik dan ayahnya tahu kalau Danno pergi, lalu menunggu kesempatan ini?"Dalam sekejap, pikirannya dipenuhi oleh hal-hal buruk yang mungkin terjadi. Belum lagi, dia tidak terlalu familiar dengan jalan-jalan d
Danno dan istrinya, Vera, sudah lama menantikan liburan ini.Mereka menjalani hari-hari yang sibuk, penuh dengan komitmen pekerjaan dan keluarga, dan mereka menantikan waktu untuk bersantai dan menikmati liburan ke Bali.Mereka memutuskan untuk membawa serta bayi laki-laki mereka yang kini sudah berusia enam bulan, Daniel, dan anak perempuan mereka, Venny.Pada hari pertama liburan mereka, mereka pergi ke kedai es krim lokal. Hari itu adalah hari yang hangat, dan mereka semua ingin menikmati makanan dingin.Danno dan Vera mengantri bersama Baby Daniel di kereta dorongnya, sementara Venny berdiri di samping mereka.Saat mereka menunggu, Vera mengulurkan tangan dan mengacak-acak rambut Venny."Kamu udah nggak sabar ya pengen makan es krim?" tanya Vera kepada putrinya."Iya, Mama." Venny menjawab dengan penuh semangat. "Venny nggak sabar makan es krim!"Saat mereka menunggu, Baby Daniel mulai rewel di kereta dorongnya, dan Danno menariknya keluar dan menggendongnya."Kamu mau es krim, J
Satu tahun kemudian ...Vera telah melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat. Dia, sang suami, dan Venny, keponakan yang sudah jadi anak adopsi mereka, memutuskan untuk kembali ke kota Jakarta.Danno menghentikan mobilnya tepat di depan teras rumah besar bertingkat dua. Usai mematikan mobil, dia keluar dan beranjak ke belakang untuk membuka bagasi.Di saat bersamaan, Vera keluar dari mobil dengan menggendong bayi laki-lakinya.Dia membuka pintu belakang, dan membiarkan Venny keluar. Anak perempuan itu terlihat sangat riang gembira."Hore! Udah sampe!" Katanya yang langsung melongo melihat betapa besar rumah yang ada di hadapannya. "ini rumah Papa?"Dengan bangga, Vera mengatakan, "iya dong, ini rumah kita yang sebenarnya. Kalau rumah di Surabaya itu rumah nyewa sebentar, Sayang. Mulai sekarang kita tinggal di rumah kita yang sebenarnya, rumahnya Papa."Danno masih mengeluarkan beberapa koper dari dalam bagasi. Dia menarik semuanya keluar, lalu menggeretnya mendekat ke dekat sang is
Keesokan harinya ...Ibu Vida bertamu di rumah sewaan keluarga pendonor mata yang dia sewa untuk melakukan akting di depan Danno. Dia kesal karena waktu sudah berlalu, tapi tak mendapatkan kabar tentang yang yang diminta.Dia duduk di sofa panjang ruang tamu bersama Delia juga. Di situ, ada wanita yang sebelumnya memotret kemesraan Delia, lalu seorang pria paruh baya, ayah dari anggota keluarga pendonor yang telah meninggal dunia.Delia resah. Dia masih kepikiran sejak melihat kemesraan Danno dan Vera. Saking resahnya, dia sudah tak peduli dengan dirinya yang tak menggunakan kontak lensa. Alhasil, dia tidak kelihatan seperti buta."Ini maksudnya apa? Kok Danno nggak ngirim-ngirim uangnya?" Ibu Vida meminta kejelasan.Delia cemberut. "Nggak tahu, Tante. Padahal pas terakhir pulang dari sini, dia udah bilang kalau bakalan transfer uangnya. Tapi, pas aku ke rumahnya— eh dia malah mesra sama istrinya. Aneh banget. Sebenarnya mereka itu lagi bertengkar atau enggak, sih?“Ibu Vida melihat l
Alarik terdiam pasrah.Dia bahkan tak punya kekuatan untuk bangkit. Ini adalah salahnya, salahnya karena buang-buang waktu. Seharusnya dia langsung membakar rumah ini beserta Vera di dalam selagi ada waktu.Selain itu, seharusnya dia juga membawa anak buahnya yang masih setia. Sekarang?Semua akan sia-sia. Dia melihat Sean yang menyeringai melihatnya tersungkur di trotoar. Orang yang menjadi kepercayaan Danno. Selain itu, ada pria lain yang datang di belakangnya— orang yang menghasutnya tentang Johan alias Rey, saudara kandung Sean.Rey tertawa melihat Alarik yang sudah tak berdaya, tak punya kekuatan dan keberanian untuk bangkit lagi. Dia sengaja menendang tongkat bisbol dari dari tangannya.Alhasil, sekarang— Alarik tak punya kuasa lagi. Meski begitu, dia bangkit, masih menguatkan diri untuk bisa kabur.Rey memperingatkan dengan nada sarkas, “ Bos Alarik— jangan coba-coba kabur. Polisi udah datang, loh.""Brengsek, kalian emang sekumpulan pengkhianat brengsek.” Alarik melihat Sean
Saat hendak membakar sofa, tiba-tiba terdengar suara kaca pecah dari belakang. Sontak saja Alarik menoleh— "Siapa ..." Dia waspada, takut kalau polisi yang datang. Tapi, dia sangat yakin kalau keberadaannya di sini sangat rahasia.Lalu, dalam sejekap, seorang datang berlari menuju ke arahnya. Iya, tanpa diduga itu adalah Danno.Vera membuka mata, melihatnya datang. Dia berusaha berteriak, "MMM!"Danno tampak seperti singa yang sudah siap menerkam musuh. Raut wajahnya menjadi gelap dan mengerikan, terlebih saat melihat istrinya diperlakukan seperti itu."Kamu—" Alarik panik, hendak melempar korek yang sudah dinyalakan ke arah Vera.Akan tetapi, ketika koreknya hampir jatuh— tubuhnya keburu ditendang oleh Danno sehingga korek tersebut jatuh ke tempat lain, lalu padam.Sangat menegangkan. Detak jantung Vera sampai menjadi tidak karuhan. Dia ketakutan bukan main."Brengsek!" bentak Alarik yang tubuhnya terhuyung-huyung, nyaris terjungkal ke lantai. Tapi, dia berhasil mempertahankan kesei
Usai mendapatkan telepon singkat yang mengkhawatirkan dari salah satu satpam, Danno langsung berdiri. Raut wajahnya berubah panik dan gelisah. Meski belum tahu siapa 'orang mencurigakan' yang didengar barusan, tapi dia sudah bisa menduga.Iya, siapa lagi yang yang akan menyakiti satpamnya seperti itu. Berita tentangnya sudah menyebar di mana-mana— Alarik."Si brengsek itu ... Pasti di brengsek itu ..." Ucap Danno sembari menyambar kunci mobil dari atas meja. Dia memberi pesan ke Dino. "Tolong kamu telpon polisi, minta datang langsung ke rumahku. Aku mau balik dulu sekarang.""Ada apa, Pak?“ Dino ikutan panik sehingga berdiri pula. Dia bingung dengan reaksi wajah Danno yang berubah setelah menerima panggilan sebentar itu. "Terus ini gimana?”"Udah nggak usah ngurusin Delia dulu— telpon atau langsung pergi aja ke kantor polisi, minta ke rumahku. Ada penjahat yang datang.“ Danno mengatakan itu, dan tak ingin berkata apapun lagi. Dia segera meninggalkan tempat itu, keluar dari sana dengan
Danno sedang duduk berhadapan dengan Dino di dalam sebuah kafe. Posisi meja mereka dekat dengan jendela. Dari situ— mereka bisa mengawasi kondisi di seberang jalan, tepat di mana rumah dari keluarga pendonor palsu sedang bersama Delia.Danno melihat jam tangannya, sudah tepat menunjukkan pukul delapan malam. Dia berkata, "aku belum nelpon Vera ..."Selepas menyeruput kopi, Dino berkomentar, "sebenarnya bapak pulang aja nggak masalah sih, Pak. Saya bisa jaga semalaman di sini.""Nggak ..." Danno melihat ke arah rumah seberang jalan lagi. Meski suasana jalanan di depan ramai, tapi dia bisa mengamati sekitar rumah itu. "Nggak bisa, kata Sean kemungkinan ibu mertuaku bakalan datang ke situ sebentar lagi. Kalau itu terjadi, aku bisa langsung menangkap basah permainan mereka yang mau meras aku.""Oh iya, Pak— kata Mas Sean, Ibu mertua bapak punya foto waktu bapak pelukan sama Mbak Delia.""Nggak masalah, aku udah tahu kalau pasti bakalan difoto waktu Delia peluk aku. Kan tujuannya emang me
Usai menjemput Venny dan makan bersama, keluarga kecil ini pulang ke rumah. Vera sedikit bisa bernapas lega karena di rumah sudah tidak ada Delia.Di saat suaminya pergi untuk mengurus kebohongan Delia, Vera bersama Venny di ruang tengah. Vera duduk di sofa sembari menonton berita sore, sementara itu— keponakannya tampak nyaman duduk di atas karpet sembari menggambar.Vera tersenyum melihat hampir seluruh berita nasional sedang fokus kasus menghebohkan di Surabaya. Iya, usahanya bersama Darrel dan Sean membuahkan hasil karena sekarang tempat hiburan milik Alarik dan ayahnya diekspos.Di samping bisnis ilegalnya yang memperkerjakan gadis di bawah umur sebagai penghibur serta menjual obat-obatan terlarang, tempat hiburan itu ternyata juga menunggak pajak, melanggar banyak sekali larangan. Akan tetapi, sialnya— yang tertangkap hanyalah orang-orang yng menjadi suruhan saja, Pak Henry juga tertangkap, tapi Alarik berhasil melarikan diri. Pria itu sudah kabur sejak berita tentang klub mala
Vera masih diam.Dia menunggu sang suami menjelaskan apa maksudnya sang ibu memiliki hubungan salah satu balas dendam mereka yaitu ayah dari Alarik.Danno bisa melihat raut wajah Vera yang menjadi tegang. Dia menjelaskan, "aku udah pernah bilang sama kamu kalau mama kamu itu bukan orang yang baik 'kan? Aku sebenarnya nggak pengen ngomong ini sama kamu dulu ... mengingat kamu kemarin kayaknya nyaman banget waktu ketemu mama kamu."Vera tertegun sejenak. Dia mengaku, "jujur, aku sebenarnya udah nggak enak waktu ketemu dia, Danno. Tapi, ... dia ngomongnya lembut banget, sama kayak kamu, manipulatif."Danno cemberut. "Sayang, aku mungkin manipulatif, tapi aku begini juga gara-gara kamu 'kan? Mulutku manis supaya kamu bahagia."Vera menatap sang suami. Dia menahan tawa. "Untung aku aku cinta sama kamu , jadi aku maafin tingkah ngeselin kamu yang overprotektif sama posesif itu ..."Wajah Danno tak lagi kelihatan cemberut. Dia ikutan tersenyum, tapi tak mengatakan apapun lagi.Vera kembali s