Perasaan cinta mungkin memang tidak bisa hilang dalam sekejap mata, tetapi logika tak boleh kalah oleh rasa.***Qeiza masih mematung di tempat duduknya. Tak dipungkiri debar-debar halus membuat jantungnya bekerja memompa darah lebih cepat. Jari-jarinya bahkan mengalami tremor ringan. Untuk menyembunyikan semua itu dari penglihatan Ansel dan Chin Hwa, Qeiza bergegas bangkit dari singgasananya sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku blazer.Ansel menengadah tanpa mengubah posisi berlututnya. Bibirnya sedikit tertarik ke atas, membentuk senyuman tipis. Netra cokelat gelapnya, yang nyaris menyerupai hitam, menatap hangat pada Qeiza dan terang-terangan mengumbar harap di sana.Qeiza dapat merasakan kedua lututnya mulai goyah. Untuk pertama kalinya dia bisa menatap lekat wajah Ansel sedekat dan selama itu. Alis mata Ansel sangat lebat dan pekat. Menggambarkan ketegasan dan kekuatan. Wajahnya berbentuk oval dengan garis rahang yang sangat kokoh. Menampilkan aura yang sangat berkari
Mata Ansel membulat sempurna karena geram. Dia benar-benar merasa terhina. Baru kali ini ada gadis yang menganggap sentuhannya seperti najis. Kehadirannya sama sekali tidak dihargai, padahal sejatinya dia adalah tamu di perusahaan Chin Hwa. Tamu tak diundang. Mendadak Ansel merasa sangat kerdil.“Jadi, ke mana sekarang?” tanya Chin Hwa setelah meninggalkan pelataran parkir kantornya.Dia tidak mengerti mengapa Qeiza bersikap begitu antipati kepada Ansel. Bahkan, sejak pertama kali mereka bertemu. Ada rahasia apa di antara mereka?“Ke mana saja, yang penting bisa jauh dari Ansel,” jawab Qeiza. “Mood-ku selalu buruk setiap kali bertemu dengannya. Dia benar-benar menempatkanku dalam situasi sulit.”“Aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian,” komentar Chin Hwa. “Tapi … apa itu tidak terlalu berlebihan?”“Maksud, Oppa? Aku telah bersikap terlalu kejam, begitu?”“Enggak juga sih.”“Tapi, kata-kata Oppa seolah-olah menganggapku seperti itu.”Chin Hwa terdiam sejenak. Dia tahu suasana
Tak ada yang benar-benar mampu menyembunyikan sebuah kebohongan.***“Sial! Aku kehilangan jejak!”Ansel mengumpat kesal dan membanting punggungnya ke sandaran kursi putarnya. Kedua tangan bersatu membentuk tinju penuh geram.Kalau saja tidak terjadi kecelakaan fatal di depan matanya, dia pasti sudah berhasil menyusul Qeiza. Untung saja rem mobilnya sangat pakem sehingga tidak terjadi kecelakaan beruntun.“Ck, ck, ck! Pagi-pagi menghilang dari kantor, pulang-pulang seperti jenderal kalah perang,” cemooh Xander, mengenyakkan pantat di atas sofa.Dari meja kerjanya, dia dapat melihat dengan sangat jelas ketika Ansel melintas di depan ruangannya dengan wajah merah padam. Makanya dia buru-buru membuntuti Ansel.“Ada apa?” tanyanya. “Buruanmu kabur lagi?”Ansel menatap tajam pada Xander. Netra gelapnya semakin kelam. Seberkas kilatan putih pada iris matanya seperti kilau samurai yang siap mencincang tubuh Xander.“Kau pikir itu lucu?!”“Astaga! Aku hanya bertanya,” ujar Xander. “Kau makin s
Ansel terus bergelut dengan lamunannya dan sejuta tanya yang justru semakin membuatnya bingung. Kalkulasi matematika dunia bisnis tak satu pun menyediakan formula sebab akibat yang mampu melahirkan premis tentang keanehan perilaku Qeiza kepadanya.“Apa-apaan ini, Ansel?!”Sebuah bentakan bernada tinggi menyentak khayalan tak berpintu Ansel. Dia terlonjak kaget dengan wajah pucat. Sebuah map cokelat meluncur pada permukaan meja dan bergerak cepat ke arahnya.Ansel menahan luncuran map itu dengan tangannya dan mendongak dengan mata terbeliak. Di depannya kini telah berdiri seorang wanita paruh baya dengan sorot mata mengalahkan tajamnya mata elang yang sedang berburu mangsa.“M–Mama?!” Ansel seperti sedang bermimpi melihat mamanya tegak sambil bersedekap tangan. “Angin apa yang membawa Mama kemari?”“Kau buka saja sendiri amplop di tanganmu itu dan jelaskan!”Ansel mengernyit. “Amplop apa ini, Ma?” tanyanya.Alina datang tanpa pemberitahuan dan dalam emosi yang sangat buruk. Hanya ada sa
Diam adalah salah satu cara terbaik untuk mengendalikan emosi.***Entah berapa lama keheningan menyekap Ansel dan Alina dalam balutan resah dan gelegak darah nan membuncah. Ansel memeras otak untuk menguntai penjelasan penuh makna yang sekiranya dapat meredam panas hati mamanya.Sementara Alina berjuang mengendalikan diri agar sumpah serapah tak latah terucap, mengguncang pintu langit dengan kutukan si pahit lidah lantaran perkataan seorang ibu adalah doa mustajab bagi anaknya.“Ma, hari ini masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan,” bujuk Ansel, berusaha mengalihkan topik pembicaraan sekaligus pikiran Alina. “Bagaimana kalau Mama pulang dulu dan istirahat. Mama pasti capek, kan?”“Kamu sengaja ingin menghindar?”Ansel menggeleng sembari memasang wajah serius. “Enggak, Ma. Mama bisa lihat sendiri tumpukan dokumen di meja kerjaku,” kilahnya. “Aku janji akan menyediakan waktu untuk mendiskusikan itu nanti.”Alina menyelami kedalaman netra gelap Ansel dengan pandangan menyelidik.
“Maaf,” lirih Dae Hyun. “Entah kenapa perasaanku sangat tidak enak akhir-akhir ini.”“Aku baik-baik saja, Oppa,” sahut Qeiza. “Kurasa kau terlalu memaksakan diri untuk bekerja sampai larut malam.”Qeiza sangat mengenal kebiasaan Dae Hyun. Kakak angkatnya itu sebelas-dua belas dengan Ansel. Seorang penggila kerja yang tak mengenal waktu bila sudah berjibaku dengan tumpukan dokumen ataupun macbook.“Mungkin,” jawab Dae Hyun. “Tapi, kau selalu mengganggu pikiranku. Apa kau sedang dalam masalah?”Hati Qeiza terasa hangat mendapat perhatian dari Dae Hyun. Lelaki itu benar-benar peduli padanya. Dia sengaja tidak melibatkan Dae Hyun dalam setiap permasalahannya karena tidak ingin merepotkan Dae Hyun. Kakak angkatnya itu sudah sangat sibuk. Jadi, dia tidak boleh menambah beban pikirannya.“Aku punya kakak yang sangat peduli,” bangga Qeiza. “Mana mungkin masalah berani menghampiriku? Kakakku pasti akan membereskannya dengan mudah.”Qeiza mempersembahkan senyuman menawannya untuk Dae Hyun. “Bena
Jangan salahkan waktu bila kebersamaan mengantarmu pada sebuah rasa baru.***“Kau menaruh sesuatu di dalam minumannya?”“Enggak.”Kedua alis Dae Hyun semakin bertaut. Minuman tersebut belum kedaluwarsa, tetapi kenapa wajah Qeiza begitu pias ketika dia meminumnya?“S–sebenarnya … aku sudah mencicipinya,” aku Qeiza.Nada bicara Qeiza terdengar ragu dan malu. Sudut matanya curi-curi pandang pada Dae Hyun. Menilik bagaimana reaksi kakak angkatnya tersebut setelah mengetahui fakta yang sesungguhnya. Apakah dia akan merasa jijik, lalu berlari ke toilet untuk membongkar habis isi perutnya?“Benarkah?” Mata Dae Hyun sedikit membesar dan berkilat aneh.“Maaf, Oppa. Aku berniat untuk memberitahumu, tapi kau sudah terlanjur meminumnya.”“Lupakan saja! Toh semua sudah terjadi.”“Hah!”Qeiza tercengang. Dia tidak menduga Dae Hyun akan bersikap sesantai itu. Dia pikir Dae Hyun akan marah besar atau melempar botol tersebut ke mukanya.“Eit! Tunggu!”Qeiza berniat merampas botol di tangan Dae Hyun sa
Qeiza masih setia pada kebisuan. Dia hanya melirik sekilas pada Dae Hyun, lalu kembali membuang muka. Dia belum bisa mengenyahkan rasa malu yang menelan kepercayaan dirinya untuk bersikap wajar terhadap Dae Hyun.Hanya gara-gara sebotol minuman, keakraban mereka mendadak berubah kaku. Jantung Qeiza juga kehilangan kendali atas detak normalnya. Ternyata pengaruh pikiran benar-benar dahsyat.Menyadari Qeiza masih belum dapat melupakan insiden botol minuman tersebut, Dae Hyun tak lagi berusaha mengajak Qeiza berbicara. Dia tidak mau suasana semakin canggung. Perlu waktu bagi mereka berdua untuk berdamai dengan ketidaksengajaan yang membuat pipi merona merah.Turun dari mobil, Qeiza tertegun selama beberapa waktu. Dia baru sadar kalau ternyata Dae Hyun telah membawanya ke Menara Eiffel. Asyik berkutat mengatasi kerikuhannya, Qeiza seperti melupakan dunia sekitar.“Katanya mau makan malam? Kok malah ke sini?” protes Qeiza.Dae Hyun mengacak gemas puncak kepala Qeiza yang berbalut hijab. “In