"Dari kecil dia sudah tomboy. Saya yang ikut merawatnya saat kedua orang tuanya sibuk bekerja," tutur Hendra sambil matanya tak lepas dari Daisy.Sersan Johnson mendengarkan sembari memeriksa surat-surat dan foto-foto yang dibawa oleh Hendra. Surat keterangan itu menunjukkan bahwa Daisy adalah benar-benar keponakannya. Bahkan alamat gadis itu di Inggris sama dengan alamat pamannya."Saya yang membawanya kemari. Dia gadis yang sangat cerdas. Baru tahun lalu dia lulus kuliah, cumlaude," ujar Hendro bangga."Dimana dia berkuliah?" Selidik Sersan Johnson."Royal Holloway, London," Hendra mengeluarkan kartu mahasiswa milik Daisy. Di situ tertera nama Zivanna Malila Dinata.Sersan Johnson mengamati kartu itu, menyamakan foto yang ada pada kartu identitas dengan wajah Daisy. "It's you," polisi itu menyodorkan kartu mahasiswanya pada Daisy. Gadis itu menerimanya dan terpaku."Di saat dia hilang, Zizi tidak membawa apapun. Bahkan tas dan kartu identitasnya tertinggal di kamar," tutur Hendra."A
Sepanjang perjalanan dari Bristol menuju London, Daisy sama sekali tak bersuara. Dia hanya memalingkan wajah ke arah jendela, melihat pepohonan yang seakan bergerak mundur melewatinya. "Sudah mengantuk belum, Zizi? Tidur saja nggak apa-apa," ujar Hendra dalam bahasa Indonesia. Daisy menggeleng lemah, lalu kembali memandang keluar jendela. "Kamu beneran nggak ingat apa-apa?"Hendra sesekali melirik pada Daisy sambil memegang kemudinya. Gadis cantik itu menggeleng lagi. "Sama om, kamu sama sekali nggak ingat?" cecar pria itu. "Maaf, tapi saya benar-benar tidak ingat," jawab Daisy dengan nada suara agak tinggi. Sekilas, dia melirik pada Hendra. Entah mungkin Daisy salah lihat, namun dia seakan melihat raut Hendro yang malah terlihat lega dan bahagia. Perasaan Daisy makin tak menentu. Takut, was-was dan sedih bercampur menjadi satu. Apalagi ketika dia melihat wajah Hendra pertama kali, Daisy seakan melihat sekelebat bayangan menakutkan yang mengganggu tidurnya itu menjadi nyata. "J
Bau aneh dan menyengat memasuki indra perciumannya. Daisy terbelalak dan terduduk. Dia memandang nanar di sekitar dan melihat seorang wanita mengoleskan suatu cairan dari botol hijau transparan ke hidungnya. "Tante Maria," ucap Daisy begitu saja. Wanita itu membeku. "Ka-kamu ingat?" Tanyanya tergagap. Daisy menggeleng pelan. "Kemarin cowok yang di panggilan video itu memanggil tante demikian," terangnya. Wanita itu seakan mendesak lega. "Baguslah," gumamnya. "Bagus kenapa?" "Tante lebih senang memorimu hilang. Kalaupun memorimu kembali, pura-pulalah tidak ingat, ya! Tante mohon." Kalimat yang dilontarkan wanita itu membuat Daisy semakin kebingungan. Tiba-tiba saja dia merindukan Brandon. Perasaannya saat ini sungguh tak enak. "Maria!" Teriakan kencang terdengar dari luar kamar. "Itu om Hendra. Tante keluar dulu, mau menyiapkan sarapan," pamitnya seraya beranjak pergi. Pandangan Daisy kembali ke arah nakas. Dia mencari-cari ponsel yang kemarin sempat dipakainya. Yang ia cari
Daisy menuruti permintaan Maria. Dia harus berpura-pura tidur dan berdiam di kamar. Daisy juga ingin mengungkapkan apa yang terjadi sebenarnya di rumah ini. Siapakah sosok paman sebenarnya dan siapakah dirinya. Lalu tiba-tiba terdengar jeritan seorang wanita dari lantai bawah. Daisy yakin itu suara Maria yang seperti sedang kesakitan. Hati nurani Daisy memberontak. Ingin sekali ia turun dan membantu wanita itu sebisanya. Kemudian samar-samar ia mendengar suara Hendra bicara. Pelan-pelan, Daisy menempelkan telinganya di pintu. Pria itu seperti sedang mengumpat dan membanting sesuatu. "Kalau sampai terbongkar, kau juga akan masuk penjara!" Pekiknya. Daisy tak tahan lagi, dia tak bisa menuruti keinginan Maria. Dia harus keluar kamar dan memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Namun langkahnya terhenti saat dia mendengar suara baru yang belum pernah ia dengar sebelumnya. "Tenang dulu, Pa! Kasihan mama," ujar suara itu. "Lagian, Zizi amnesia. Dia nggak ingat apa-apa. Itu sebuah keuntung
Baru semalam Daisy pergi meninggalkan rumahnya, namun mood Brandon langsung memburuk seketika. Dia kembali merasakan keheningan yang tidak ia suka. Dua tahun lamanya ia tinggal di sini, seorang diri, kecuali saat weekend atau saat Liam menjenguknya. Namun, dia tak pernah merasa setersiksa ini. "What did you do to me, Daisy?" Gumam Brandon, lebih kepada bicara pada diri sendiri. Dia meraup kasar mukanya dan berjalan ke halaman belakang rumah. Tak ada satu bulan dia bertemu gadis itu. Akan tetapi, rasanya seperti sudah bertahun-tahun mengenalnya. "Daisy," Brandon sudah sangat merindukan wajah cantik itu. Masih terasa jelas bibirnya yang bersentuhan dengan bibir Daisy, begitu hangat dan memabukkan. Keinginannya kini tak terbendung untuk kembali bertemu dengan gadis itu. Segera diraihnya ponselnya dan ia mulai menghubungi Liam. "Aku akan ke London sekarang," hanya itu saja pesannya namun sudah pasti akan membuat Liam terkejut bukan kepalang. Pasalnya, Brandon trauma dengan London. Dia
"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Brandon dan Daisy bersamaan, sebelum akhirnya berpelukan. "Aku lari dari rumah. Aku ketakutan," isak Daisy yang semakin mengencangkan pelukannya. "It's okay. Ada aku di sini. Aku juga hendak membuat laporan," Brandon mengusap-usap punggung Daisy lembut. "Melaporkan apa?" Daisy mendongak menatap Brandon curiga. "Aku sendiri juga tidak tahu, tapi feelingku mengatakan ada yang salah dengan pamanmu," jawab Brandon. Daisy memundurkan badannya agar dapat bicara dengan nyaman sambil memandang wajah Brandon. "Kau tahu? Aku juga berpikiran seperti itu. Omku tampaknya mempunyai niat jahat." "Aku tadi juga singgah di alamat yang diberikan oleh pamanmu, Daisy. Seorang wanita yang agak mirip denganmu membuka pintunya. Wajahnya terlihat babak belur dan tampak sangat ketakutan," timpal Brandon antusias. "Tante Maria," Gumam Daisy pilu. "Apa kau mau membuat laporan bersamaku?" Brandon menggenggam tangan Daisy erat. "Tapi aku tidak memiliki bukti apapun,"
Wajah tampan itu tampak memenuhi layar ponselnya. Tak ada lagi senyum menawan seperti kemarin. Yang ada hanyalah wajah masam menahan cemburu. "Bisa jelaskan sesuatu nggak, Zi?" Ujarnya saat melihat Brandon melingkarkan bahunya pada Daisy. Daisy sama sekali tak memedulikan pertanyaan Raja, dia malah menunjukkan gedung kantor polisi yang terletak di belakangnya. "Raja, aku akan terus terang sekarang," Daisy menarik napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya. "Aku sama sekali tidak ingat masa laluku dan aku ingin kamu menjelaskan padaku tentang semuanya." "Is this some kind of joke?" Tanyanya dengan nada sinis. "Menurutmu? Kamu lihat sendiri, aku ada di depan kantor polisi sekarang," ucap Daisy, datar dan dingin. "Jadi kamu nggak ingat aku siapa?" Raja menyipitkan matanya seakan tak percaya. "Aku punya hasil scan MRI sebagai bukti." Raja terdiam, dia seakan berpikir, kemudian akhirnya berkata, "Aku akan ke London secepatnya." Sebelum Daisy mengakhiri panggilannya, Raja berseru m
Daisy terpana. Tak disangka Brandon yang sederhana memiliki penthouse semewah ini. Matanya tak henti-henti memandang Menara Big Ben yang tampak jelas dari dinding kaca. "It's so beautiful," gumamnya."Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di sini, sejak ..." Brandon tak meneruskan kalimatnya. Matanya ikut menerawang ke arah Big Ben."Sejak orang tuamu ..." Daisy juga tak sanggup melanjutkan kata-katanya.Brandon tersenyum tipis. "Rumah ini mengingatkanku pada pengkhianatan," ujarnya gamang."Camilla?""Yeah, kami sempat tinggal bersama selama dua tahun, sebelum dia berkhianat dan meninggalkan aku," sahut Brandon sambil mengalihkan pandangannya pada Daisy."Do you still love her?" Tanya Daisy hati-hati.Brandon menggeleng cepat, "I forgive her, tapi aku tidak akan melupakan apa yang dia lakukan padaku. Rasa cinta itu hilang seiring dengan pengkhianatan yang dia lakukan."Tanpa pikir panjang, Daisy mengusap rahang kokoh Brandon. Mata biru pria itu terlihat mengeluarkan setitik air ma
"Namun, sebelum itu, kami harap anda hadir ke kantor untuk memberikan sedikit kesaksian," sela salah seorang polisi yang berdiri di samping Hendra."Iya, tentu," Zivanna mengangguk. Meskipun matanya lembab dan pipinya basah oleh air mata. Akan tetapi, dia merasa sangat lega saat itu."Bagaimana, Daisy? Apakah kau bersedia pulang ke London bersamaku? Ataukah Raja ...."Zivanna langsung menghentikan kalimat Brandon dengan menempelkan telunjuknya di bibir tipis kemerahan pria asli Inggris tersebut. "Aku tidak akan kembali pada Raja, Brandon. Sedari awal, aku sudah jatuh cinta padamu," tutur Zivanna."Benarkah?" Brandon menatap paras cantik itu lekat-lekat. "Katakan sekali lagi," pintanya."Aku mencintaimu, Brandon. Aku sangat mencintai dan merindukanmu," ucap Zivanna penuh keyakinan."Apakah itu artinya ... kau bersedia menikah denganku?" tanya Brandon lagi dengan sorot tak percaya.Zivanna mengangguk kuat-kuat."Ya, Tuhan. Ini seperti mimpi," Brandon mengangkat tubuh Zivanna tinggi-ting
"Tidak," wajah Zivanna memucat. Dia mundur perlahan sampai punggungnya menabrak sandaran kursi makan. Dia berniat untuk melarikan diri. Namun, sebelum hal itu terjadi, para pengawal Wiyasa sudah lebih dulu menangkap dan mencekal tubuh rampingnya."Menyerah saja, Nak. Tak ada gunanya kamu melawan. Kita akan mati bersama-sama di rumah tua ini," Atmariani memiringkan kepala. Dia memperhatikan kecantikan paras Zivanna yang berada di atas rata-rata. "Sebenarnya aku merasa sayang jika gadis secantik kamu harus berakhir mengenaskan. namun, ini adalah harga yang wajib kamu bayar karena telah menghancurkan kehidupan kedua putri kami.""Aku cucumu, Nek," Zivanna mulai terisak. Dia tak dapat menerima kegilaan ini. Tak pernah Zivanna sangka bahwa dia akan mati di tangan orang-orang yang seharusnya menyayangi dan menjaganya setulus hati."Tidak," Wiyasa menggeleng. "Dari awal, kami tidak pernah mengakui kebodohan Rosanna yang memilih untuk kawin lari ke luar negeri. Dia bahkan hamil dan melahirkan
Zivanna terbangun ketika cahaya matahari menerobos masuk melalui lubang kecil di jendela kamar yang berlubang. Sudah tiga malam dia tidur di rumah tua yang terkesan aneh tersebut. Selama rentang waktu itu, dia tak bisa berhubungan dengan dunia luar. Entah bagaimana kabar Raja beserta keluarganya.Zivanna menguap, lalu bangkit perlahan seraya mengamati daun jendela yang berlubang di sana-sini. Penasaran, Zivanna beringsut turun dari ranjang dan mendekat ke daun jendela. Lubang-lubang kecil itu membentuk lingkaran sempurna. "Jendela itu terkena peluru," ujar seseorang secara tiba-tiba. Sontak Zivanna berjingkat saking terkejutnya, lalu membalikkan badan. Tampak Atmariani tengah berdiri di ambang pintu sambil membawa nampan berisi secangkir teh dan semangkuk bubur ayam."Sarapan dulu," ujarnya datar. Atmariani melangkah masuk dengan gayanya yang selalu terlihat anggun. Dia meletakkan nampan tadi ke atas nakas. "Setelah itu, bersiap-siaplah. Kami akan membawamu berjalan-jalan keluar.""K
Hendra tersenyum puas karena berhasil mengajak ayah kandung Zivanna untuk bertemu di London. Sekarang giliran Brandon yang dia tuju. Brandon Gallagher memiliki kekuatan dan pengaruh yang cukup besar untuk membantu Hendra menjemput Zivanna. Dengan langkah terburu-buru, Hendra berjalan menuju apartemen mewah Brandon. Sayangnya, pria yang hendak ditemuinya itu sedang mengadakan pertemuan di sebuah restoran dengan mantan kekasih yang kini menjadi saingan bisnisnya, yaitu Camilla."Katakan apa keperluanmu. Aku tidak punya banyak waktu," ujar Brandon dingin dan datar."Aku hanya ingin mengajukan kerja sama. Kudengar, kau kembali aktif dalam perusahaanmu," tutur Camilla, masih dengan gayanya yang tampak selalu percaya diri."Aku tidak tertarik untuk bekerja sama dengan siapapun. Aku hanya berfokus pada memperbaiki sistem dan rencana bisnis ke depannya," tolak Brandon tanpa basa-basi."Selama ini perusahaanmu dalam posisi autopilot dan dikendalikan sesekali oleh Liam. Kau pasti mengetahui ji
"Apa cuma ini barang-barangmu?" tanya Atmariani dingin. Zivanna menjawabnya dengan anggukan pelan."Ya, sudah. Kebetulan, di rumah nanti, kamu akan mendapat barang-barang dan pakaian baru. Ditinggal di sini juga tidak apa-apa," saran Wiyasa. Raut ramah yang senantiasa ditampakkan di hadapan keluarga Atmaja, seolah sirna. Ekspresinya saat menghadapi Zivanna, terlihat begitu dingin dan datar."Ayo, jangan buang-buang waktu," Atmariani menyodorkan koper Zivanna pada salah seorang anak buahnya sambil memberikan isyarat pada anak buahnya yang lain untuk mengapit Zivanna agar tak melarikan diri.Zivanna sendiri sudah pasrah atas semua yang akan dilakukan oleh Atmariani dan suaminya. Dia juga tak mengucapkan sepatah katapun sampai dia memasuki mobil SUV keluaran lama.Di dalam kendaraan, Zivanna hanya terdiam, sampai mobil itu berhenti di sebuah rumah tua di pinggiran kota Jakarta."Rumah siapa ini?" tanya Zivanna pelan.Wiyasa tak segera menjawab. Dia malah membantu Atmariani untuk turun da
"Apa mereka menyakitimu, Nak?" Hana mulai was-was dengan keadaan Zivanna. "Tidak, Tante. Hanya saja saya kecewa ketika Tuan dan Nyonya Gumilar mengatakan bahwa Raja tidak akan datang kemari. Dia juga membatalkan rencana pernikahan kami," jawab Zivanna lesu. "Itu yang terbaik untuk kalian, Zi," sahut Hana dengan segera. "Bolehkah tante menanyakan sesuatu padamu?" "Silakan, Tante." "Apakah kamu mencintai Raja ataukah hanya merasa berutang budi padanya?" tanya Hana lugas. "Saya ...." Hening sejenak. Zivanna tak melanjutkan kata-katanya. Hana hanya dapat mendengar desah napas gadis cantik itu. "Raja melakukan segalanya demi saya. Sekarang saatnya saya membalas semua kebaikan Raja. Apapun yang dia inginkan, akan saya lakukan," lanjut Zivanna pada akhirnya. "Jadi, apakah kamu mencintai Raja?" Hana mengulang pertanyaannya. Zivanna kembali terdiam, sampai-sampai Hana harus menunggu beberapa saat lamanya. "Cinta bisa tumbuh seiring waktu. Tidaklah sulit untuk mencintai Raja, Tante," jaw
"Astaga, bisa tidak kalian berhenti bercanda," Raja terkekeh. Namun, sorot matanya menunjukkan rasa sedih yang mendalam. "Tolong, berhentilah, Raja. Sudah cukup kamu mati-matian berkorban untuk Zivanna. Sekarang, saatnya fokus pada keluargamu. Berapa lama keluarga ini ditinggalkan saat kamu didakwa sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Rosanna? Pernah tidak, sekali saja, kamu berpikir tentang perasaan mama yang hancur melihat putranya duduk di kursi pesakitan?" ujar Hana panjang lebar. "Pernah tidak, kamu memikirkan kondisi mama yang benar-benar sedih dan terluka? Apakah sepenting itu Zivanna buatmu, Nak? Sampai-sampai kamu menepiskan keberadaan kami?" tampak jelas raut kecewa dari wajah Hana. Sementara Raja hanya bisa terdiam. Dia terpekur memikirkan ungkapan hati sang ibu. Selama ini memang dia terlalu fokus pada Zivanna, hingga melupakan keberadaan keluarganya. "Ah, sudahlah. Aku istirahat dulu. Kepalaku pusing sekali," tanpa menunggu tanggapan Raja, Hana segera berlalu dari
"Apa maksudnya dengan melepaskan mama?" sentak Raja. Tangannya terkepal kuat sembari melangkah mendekat. Diliriknya sang ayah yang lebih banyak menunduk dan tak banyak bicara. "Lelucon macam apa lagi ini, Pa?" geram Raja. "Mama harap kamu bisa mengerti, Raja. Perusahaan kita dalam bahaya. Tak hanya itu, nyawa mama juga terancam. Kamu lihat sendiri, tak ada siapapun di rumah kita selain pengawal Ibu Gumilar dan Pak Wiyasa. Sebesar itulah pengaruh mereka dalam keluarga ini," tutur Hana dengan raut pilu. "Tidak! Ini semua sama sekali tidak masuk akal," Raja menggeleng kuat-kuat. "Sejak kecil sampai sekarang, aku tidak pernah mendengar nama Atmariani dan Wiyasa. Mama dan papa tidak pernah menyebut nama itu satu kalipun," tolaknya. "Itu karena kedua orang tua kita menyembunyikan semuanya dari kita," sahut Dewa. "Suka atau tidak, inilah kenyataannya, Raja. Tuan dan Nyonya Gumilar hendak membawa ibu kita." "Ananda pasti sudah pernah mengenal Rosanna dan Maria, dua putri kami. Nak Raja bi
"Apa kamu suka?" tanya Raja lembut seraya memijit pundak Zivanna. "Suka," Zivanna mengangguk sambil tersenyum samar. Suasana dan desain interior apartemen itu mengingatkannya akan rumah Brandon di desa. Raja bukannya tak tahu perubahan air muka Zivanna, tetapi dia berusaha untuk tidak menghiraukan itu semua. "Memang semuanya membutuhkan proses, Zi. Kamu sudah terbiasa tinggal di Inggris," tuturnya lembut. "Iya," Zivanna memaksakan tawa. "Terima kasih, ya. Kamu pengertian sekali," kedua tangannya terulur, menangkup paras rupawan Raja. "Aku mencintaimu, Zi," Raja mendekatkan wajah, hendak mencium bibir gadis yang telah membuatnya tergila-gila. Namun, dering telepon genggam miliknya lebih dulu menggagalkan niat Raja. "Ah, tunggu sebentar. Ini nada dering khusus milik Papa," ujar pria tampan itu sebelum meraih ponsel dan menerima panggilan. "Ya, halo," sapa Raja dengan raut kalem. Sesaat kemudian, raut wajah kalem itu berubah tegang. Raja diam mendengarkan tanpa mengucapkan sepatah k