Camilla Jacobson, gadis cantik bermata abu-abu dengan rambut pirang keemasan, adalah primadona fakultas teknik. Senyumnya yang menawan, karakternya yang ramah dan riang, menawan hati siapa saja yang melihatnya, termasuk seorang Brandon Gallagher.
Siang itu, jam makan siang. Brandon sudah memesan beberapa menu makanan dan membawanya dalam nampan bersama Liam. Mereka sedikit kebingungan saat hendak duduk. Pasalnya, seluruh meja kafetaria sudah terisi.
Liam berjalan sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan seluas lapangan voli itu. Sementara Brandon hanya bersiul dan melangkah tak teratur mengelilingi meja-meja.
"Right here, Brandon!"
Brandon menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah suara yang baru saja memanggil namanya. Dia membelalak tak percaya, ternyata gadis itu yang memanggil namanya. Gadis populer yang kecantikannya tak tertandingi di kampus. Liam pun ikut melongo melihatnya.
"How did she know your name? (Bagaimana dia bisa tahu namamu)" tanya Liam keheranan.
Brandon mengendikkan bahu, lalu menghampiri gadis itu. Liam berlari kecil mengikutinya ke arah meja Camilla Jacobson. Mereka meletakkan nampan pelan lalu duduk di depan Camilla yang tampak mengembangkan senyum, menampilkan deretan gigi putihnya.
"How are you, Brandon?" sapanya manis.
"You know me?" Brandon balik bertanya.
"Sejak hari pertama kamu masuk kesini, aku sudah memperhatikanmu," kerling Camilla.
"How?" sahut Liam, masih tak percaya akan apa yang tengah terjadi.
"Well, siapa yang tidak mau memperhatikan muka imut bermata biru?" jawab Camilla, sorot matanya tak lepas dari wajah Brandon.
"Tapi, aku juga tampan," timpal Liam tak mau kalah.
"Brandon is different, I guess. Sedikit misterius. Aku suka.."
'Aku suka! Aku suka!' Kalimat terakhir Camilla berputar di dalam benak Brandon. "Aku juga suka!" seru Brandon spontan. Lalu terpaku saat menyadari kesalahan dalam bicaranya. "Ehm, maksudku, aku suka kalau kau suka. Jadi ya, begitulah. Whatever. Lupakan apa yang kukatakan barusan, ehmm.." Salah tingkah, Brandon mengambil sandwich tuna dan memakannya tanpa jeda, membuat Camilla tertawa geli.
Liam mengusap wajahnya kasar sembari berdecak iri, kemudian mengulurkan tangannya pada Camilla, "I'm Liam, by the way!"
"Hai, Liam. Nice to meet you," Camilla membalas uluran tangan Liam.
Perkenalan pertama yang mengesankan menurut Brandon, sebab dia tak pernah dekat dengan gadis manapun seumur hidupnya, kecuali kakak perempuan yang umurnya hanya selisih dua tahun saja dari usianya. Meskipun menurut Brandon, Jean tak bisa dikategorikan sebagai perempuan karena tingkahnya yang terlalu bar-bar.
Pertemuan selanjutnya menjadi lebih intens. Mereka sering menghadiri kuliah bersama. Camilla juga sering mengajak mereka keluar. Awalnya, mereka jalan bertiga. Lama kelamaan, Liam mundur karena memiliki proyek baru bersama sang ayah yang juga seorang arsitek.
Seperti sabtu sore di musim panas itu, Camilla mengajak Brandon berkencan dan menyatakan cintanya. Tentu saja Brandon tak menolak. Dia menerima cinta Camilla dan mendapatkan ciuman pertamanya kala itu.
"This is my first kiss," ucap Brandon jujur sesaat setelah bibir ranum itu melepaskan pagutannya dari bibir Brandon.
Camilla terkekeh pelan, jemari lentiknya mengusap rahang Brandon yang terlihat begitu kokoh, "Don't worry, baby. There will be second kiss, third and more and more."
Camilla mendekatkan bibirnya lagi, namun harus terhenti saat dering ponsel Brandon berbunyi. Brandon terkejut dan bergerak mundur, lalu mengangkat telepon. Debar jantungnya belum kembali normal setelah 'serangan' itu. Mukanya bersemu merah. Camilla makin gemas melihatnya.
"Ha..halo," ujar Brandon gugup.
"Mate, kau dimana? Aku ingin bicara!" terdengar suara Liam di seberang sana.
"Aku sedang berada di tribun lapangan football, Liam! Ada apa?" Brandon menunduk geli saat hidung mancung Camilla bermain di pipinya.
"Sedang apa kau di sana? Cepatlah kemari! Aku punya pekerjaan untukmu!" seru Liam.
"Pekerjaan apa?"
"Ayahku membutuhkan seseorang untuk menggambar rancangan penthouse baru. Aku bilang kau ahlinya. Rancanganmu selalu sempurna. Ayahku tertarik padamu," tutur Liam.
Brandon sudah akan melonjak kegirangan jika saja ia tak ingat ada Camilla di sampingnya. Bagaimanapun dia harus menjaga citranya di depan gadis itu. "Baiklah, Liam! Katakan pada ayahmu, aku bersedia. Aku akan memberikan karya terbaikku. I promise i won't let him down (aku janji tak akan mengecewakannya)," ujar Brandon berapi-api, kemudian mengakhiri panggilannya.
"What's going on, baby?" tanya Camilla genit.
"Ayah Liam, dia hendak memakai rancanganku," jawab Brandon antusias. Saat itu dia merasa menjadi manusia paling beruntung di seluruh dunia, mendapatkan cinta sekaligus pekerjaan pertamanya dalam waktu yang bersamaan.
Gelak tawa memenuhi sebuah rumah besar berlantai tiga di Richmond, pinggirin kota London. Pesta yang cukup ramai sedang berlangsung di kediaman keluarga Thompson. Liam tampak bangga berdiri di samping ayahnya, sementara Brandon berdiri mengangkat sekaleng minuman ringan sambil melingkarkan lengan di pundak Liam.Mereka mengadakan perayaan atas lolosnya tender ayah Liam dalam pembangunan gedung pencakar langit baru di pusat kota London. "Aku bangga padamu, Brandon. Kau memiliki bakat yang luar biasa. Aku tak sabar ingin bekerja penuh waktu denganmu saat kau lulus nanti," seru Mr. Thompson, ayah Liam, sembari mendekatkan kepalanya pada Brandon."Dua tahun lagi, Dad! He will be all yours!" Liam mengacungkan dua jari membentuk huruf V yang disambut tawa renyah ayahnya.Di antara gegap gempita itu, Brandon mencari-cari sosok yang selama ini juga ikut mendukungnya, lalu seutas senyum muncul dari bibirnya saat melihat Camilla sedang bersandar di dinding di sudut ruangan yang juga sedang mema
"Kau tahu apa yang baru saja kulihat?" Liam setengah berlari memasuki ruang kerja Brandon tanpa permisi. Laki-laki itu langsung berdiri di depan meja, menatap lurus pada Brandon yang seakan tak peduli. Pria bermata biru itu sibuk mengamati layar laptopnya, mencoba memeriksa kembali kelengkapan presentasi untuk undangan pengajuan tender besok. "Kau mendengarku 'kan, Mate? Jangan pura-pura tuli!" Liam tanpa sungkan mengomel pada Brandon. Sudah beberapa lama, perusahaan ayah Liam yang kini dipercayakan padanya bekerja sama dan menjadi rekanan dengan perusahaan Brandon. "I'm busy right now. Aku tidak mau mendengar apapun," sahut Brandon malas. "Dia berciuman dengan Maxwell! Camilla menggandeng tangan dan mencium Maxwell tepat di hadapanku, Mate! Sepertinya dia sengaja berbuat itu! Dia sepertinya ingin memproklamirkan hubungannya dengan Maxwell ke seluruh dunia!" Ujar Liam menggebu-gebu. "Sudahlah, Liam. I don't want to hear it," desah Brandon, seketika dia merasa sangat lelah. "Samp
Brandon dan Camilla duduk berhadapan di sebuah restoran bintang lima favorit mereka berdua. Tak sekalipun Camilla menghadapkan wajahnya pada Brandon. "Tell me what to do," ujar pria itu menghiba. "Aku sudah lelah dengan semuanya, jangan paksa aku lagi," ucap Camilla pelan. "Apa kau sudah mengkhianatiku, Baby?" nada suara Brandon melembut. "Katakan sejujurnya, aku tak akan marah." Pelan-pelan, Camilla menoleh pada Brandon. Bulir-bulir air mata mengalir deras di pipinya. "Dia memberikan semua yang tak pernah kau berikan padaku," isaknya. "Apakah itu?" tanya Brandon tenang. "Perhatian," jawab Camilla singkat lalu kembali menunduk, menghindari tatapan teduh Brandon. Pria tampan itu hanya tersenyum masam. Alasan klise baginya. Akan tetapi karena rasa cintanya yang teramat besar untuk Camilla, Brandon memilih untuk menerima alasan itu. "Baiklah, aku akan memberi seluruh perhatianku untukmu, mulai detik ini, aku akan meninggalkan pekerjaanku!" "Brandon, please stop! Aku tidak mau, ok
"Aku masih mengingat saat peti mati mereka diturunkan perlahan ke liang lahat. Ingin sekali aku melupakan tiap detil kejadian, namun selalu saja gagal. Bayangan wajah orang tuaku di saat terakhir mereka, masih saja berputar di kepala. Aku yang bersalah, Daisy. Aku yang telah membunuh mereka," Brandon terisak. Laki-laki tinggi besar itu menangis hingga bahunya berguncang. Ia menutupi mukanya dengan kedua telapak tangan. Daisy mungkin sedang mengalami amnesia. Namun, satu hal yang ia tahu. Hatinya rapuh dan lembut. Hanya dengan melihat kesedihan yang mendalam di diri Brandon saja sudah membuatnya merasa hancur. Maka, Daisy berdiri mendekati Brandon yang masih tertunduk menutupi muka dengan siku yang bertumpu di atas meja. Daisy memberanikan diri memeluknya. Memeluk Brandon erat. Dia tak peduli meskipun baru mengenal pria itu. Dia juga tak peduli meskipun jantungnya kini berdetak puluhan kali lebih cepat. Dia hanya ingin menenangkan Brandon. "Sedang apa kalian?" tiba-tiba Jean sudah ber
"Aku harap kau sudah sarapan, karena Jean hanya menyiapkan makanan untuk kami berdua dan aku tidak mau membagi sarapanku denganmu," ujar Brandon, masih dengan nada santai.Liam masih berdiri terpaku melihat dua orang anak manusia di depannya ini. Gadis cantik bagaikan boneka, berambut hitam legam dengan rambut acak-acakan dan piyama yang kusut sedang duduk berduaan dengan Brandon yang tak memakai baju. Angan Liam sudah melanglang buana, membayangkan apa yang mungkin sudah terjadi di antara dua anak manusia berbeda jenis itu."Jangan berpikiran macam-macam! Duduklah!" titah Brandon.Bagaikan kerbau yang dicocok hidungnya, Liam berjalan seperti robot dan mengambil tempat duduk di samping Daisy, lalu memperhatikan gadis itu lekat-lekat.Merasa diperhatikan oleh Liam, Daisy tersenyum dan memperkenalkan diri, "Hai, I'm Daisy. Sembilan hari yang lalu aku tenggelam di sungai dan Brandon menyelamatkanku. Aku menginap di rumahnya untuk sementara sampai ingatanku kembali. Kau tahu? Aku mengalami
Brandon mendengus kesal saat melihat Daisy dan Liam asyik bercanda di sofa ruang tamu. Entah apa yang mereka bicarakan sampai-sampai Daisy tertawa lepas."Bukannya kau sedang banyak pekerjaan, Liam? Kapan kau akan pulang ke London?" sindir Brandon."Oh, sepertinya aku akan menginap malam ini," balasnya ringan, tanpa beban.Brandon menggeram. Baru delapan jam bertemu dengan Daisy saja, Liam sudah berani menempel seperti perangko. Apalagi jika Brandon mengijinkannya menginap? Sejak dulu, Liam selalu lebih berpengalaman dalam hal perempuan. Brandon hanya punya seorang mantan saja selama hidupnya, yaitu Camilla. Sedangkan Liam, dia bahkan tak sanggup menghitung berapa gadis yang sudah pernah menjalin hubungan dengannya."Ayo, ikut aku!" ajak Brandon tiba-tiba sembari menarik pergelangan tangan Daisy."Kemana?" tanya Daisy kebingungan. "Membeli baju!" Jawab Brandon sekenanya."Baju siapa?" Cecar Daisy."Bajumu, Daisy! Selama tiga hari di rumah ini, kau memakai baju-baju kakakku. Terlalu be
Daisy membalas lambaian tangan Liam sebelum pria itu memasuki mobilnya. Liam memutuskan untuk kembali ke London malam ini. Brandon yang berdiri di samping Daisy tak bisa menyembunyikan wajah bahagianya saat mobil milik Liam meninggalkan halaman rumah peninggalan orang tuanya."Aku akan memasak makan malam spesial untuk kita malam ini," Brandon tersenyum manis pada Daisy."Kau akan memasak apa?" tanya Daisy seraya melingkarkan tangannya pada lengan Brandon."Masakan kesukaan ibuku, ayam panggang madu. Kau mau membantuku?" tawar Brandon."Sure!" Mata Daisy berbinar. Baginya aktivitas apapun asalkan bersama Brandon adalah menyenangkan.Dengan hati-hati, Brandon mengeluarkan ayam potong dari dalam kulkas, sementara Daisy mengikuti instruksi Brandon untuk membuat bumbu tabur.Daisy sedikit kesulitan saat memotong paprika yang agak licin, hingga tanpa sengaja pisaunya malah menggores telunjuknya. "Ouch," pekiknya kesakitan."Hey, be careful!" Brandon refleks meraih telunjuk Daisy dan menghi
Daisy mengamati pria itu mulai dari ujung kepala hingga kaki. Mencoba menggali ingatan yang mungkin saja masih tersisa dari masa lalunya. "Aku sama sekali tak bisa mengingatnya," bisik Daisy lirih pada Brandon. "It's okay. Jangan dipaksakan," hibur Brandon sembari mengusap lembut punggung gadis itu. "Maafkan om yang terlambat menjemputmu, Nak," ucap pria asing itu dalam bahasa Indonesia. Rautnya terlihat sedih dan memelas. Brandon menautkan alisnya tak mengerti, "I beg you pardon?" "Sudah berminggu-minggu saya mencari keponakan saya ini," ujar pria itu. "Dia menghilang begitu saja setelah pamit berangkat kerja paruh waktu." Daisy beringsut. Mencengkeram lengan kaos Brandon erat. Ketakutan terpancar dari wajahnya. "Dia terkena amnesia, Sir ..." nada kalimat Brandon menggantung. "Hendra! Hendra Wasesa!" Pria itu mengulurkan tangannya dan menjabat tangan Brandon. Tangan pria itu terasa kasar, seperti telah melakukan pekerjaan berat selama bertahun-tahun. "Silakan masuk. Have a sea
"Namun, sebelum itu, kami harap anda hadir ke kantor untuk memberikan sedikit kesaksian," sela salah seorang polisi yang berdiri di samping Hendra."Iya, tentu," Zivanna mengangguk. Meskipun matanya lembab dan pipinya basah oleh air mata. Akan tetapi, dia merasa sangat lega saat itu."Bagaimana, Daisy? Apakah kau bersedia pulang ke London bersamaku? Ataukah Raja ...."Zivanna langsung menghentikan kalimat Brandon dengan menempelkan telunjuknya di bibir tipis kemerahan pria asli Inggris tersebut. "Aku tidak akan kembali pada Raja, Brandon. Sedari awal, aku sudah jatuh cinta padamu," tutur Zivanna."Benarkah?" Brandon menatap paras cantik itu lekat-lekat. "Katakan sekali lagi," pintanya."Aku mencintaimu, Brandon. Aku sangat mencintai dan merindukanmu," ucap Zivanna penuh keyakinan."Apakah itu artinya ... kau bersedia menikah denganku?" tanya Brandon lagi dengan sorot tak percaya.Zivanna mengangguk kuat-kuat."Ya, Tuhan. Ini seperti mimpi," Brandon mengangkat tubuh Zivanna tinggi-ting
"Tidak," wajah Zivanna memucat. Dia mundur perlahan sampai punggungnya menabrak sandaran kursi makan. Dia berniat untuk melarikan diri. Namun, sebelum hal itu terjadi, para pengawal Wiyasa sudah lebih dulu menangkap dan mencekal tubuh rampingnya."Menyerah saja, Nak. Tak ada gunanya kamu melawan. Kita akan mati bersama-sama di rumah tua ini," Atmariani memiringkan kepala. Dia memperhatikan kecantikan paras Zivanna yang berada di atas rata-rata. "Sebenarnya aku merasa sayang jika gadis secantik kamu harus berakhir mengenaskan. namun, ini adalah harga yang wajib kamu bayar karena telah menghancurkan kehidupan kedua putri kami.""Aku cucumu, Nek," Zivanna mulai terisak. Dia tak dapat menerima kegilaan ini. Tak pernah Zivanna sangka bahwa dia akan mati di tangan orang-orang yang seharusnya menyayangi dan menjaganya setulus hati."Tidak," Wiyasa menggeleng. "Dari awal, kami tidak pernah mengakui kebodohan Rosanna yang memilih untuk kawin lari ke luar negeri. Dia bahkan hamil dan melahirkan
Zivanna terbangun ketika cahaya matahari menerobos masuk melalui lubang kecil di jendela kamar yang berlubang. Sudah tiga malam dia tidur di rumah tua yang terkesan aneh tersebut. Selama rentang waktu itu, dia tak bisa berhubungan dengan dunia luar. Entah bagaimana kabar Raja beserta keluarganya.Zivanna menguap, lalu bangkit perlahan seraya mengamati daun jendela yang berlubang di sana-sini. Penasaran, Zivanna beringsut turun dari ranjang dan mendekat ke daun jendela. Lubang-lubang kecil itu membentuk lingkaran sempurna. "Jendela itu terkena peluru," ujar seseorang secara tiba-tiba. Sontak Zivanna berjingkat saking terkejutnya, lalu membalikkan badan. Tampak Atmariani tengah berdiri di ambang pintu sambil membawa nampan berisi secangkir teh dan semangkuk bubur ayam."Sarapan dulu," ujarnya datar. Atmariani melangkah masuk dengan gayanya yang selalu terlihat anggun. Dia meletakkan nampan tadi ke atas nakas. "Setelah itu, bersiap-siaplah. Kami akan membawamu berjalan-jalan keluar.""K
Hendra tersenyum puas karena berhasil mengajak ayah kandung Zivanna untuk bertemu di London. Sekarang giliran Brandon yang dia tuju. Brandon Gallagher memiliki kekuatan dan pengaruh yang cukup besar untuk membantu Hendra menjemput Zivanna. Dengan langkah terburu-buru, Hendra berjalan menuju apartemen mewah Brandon. Sayangnya, pria yang hendak ditemuinya itu sedang mengadakan pertemuan di sebuah restoran dengan mantan kekasih yang kini menjadi saingan bisnisnya, yaitu Camilla."Katakan apa keperluanmu. Aku tidak punya banyak waktu," ujar Brandon dingin dan datar."Aku hanya ingin mengajukan kerja sama. Kudengar, kau kembali aktif dalam perusahaanmu," tutur Camilla, masih dengan gayanya yang tampak selalu percaya diri."Aku tidak tertarik untuk bekerja sama dengan siapapun. Aku hanya berfokus pada memperbaiki sistem dan rencana bisnis ke depannya," tolak Brandon tanpa basa-basi."Selama ini perusahaanmu dalam posisi autopilot dan dikendalikan sesekali oleh Liam. Kau pasti mengetahui ji
"Apa cuma ini barang-barangmu?" tanya Atmariani dingin. Zivanna menjawabnya dengan anggukan pelan."Ya, sudah. Kebetulan, di rumah nanti, kamu akan mendapat barang-barang dan pakaian baru. Ditinggal di sini juga tidak apa-apa," saran Wiyasa. Raut ramah yang senantiasa ditampakkan di hadapan keluarga Atmaja, seolah sirna. Ekspresinya saat menghadapi Zivanna, terlihat begitu dingin dan datar."Ayo, jangan buang-buang waktu," Atmariani menyodorkan koper Zivanna pada salah seorang anak buahnya sambil memberikan isyarat pada anak buahnya yang lain untuk mengapit Zivanna agar tak melarikan diri.Zivanna sendiri sudah pasrah atas semua yang akan dilakukan oleh Atmariani dan suaminya. Dia juga tak mengucapkan sepatah katapun sampai dia memasuki mobil SUV keluaran lama.Di dalam kendaraan, Zivanna hanya terdiam, sampai mobil itu berhenti di sebuah rumah tua di pinggiran kota Jakarta."Rumah siapa ini?" tanya Zivanna pelan.Wiyasa tak segera menjawab. Dia malah membantu Atmariani untuk turun da
"Apa mereka menyakitimu, Nak?" Hana mulai was-was dengan keadaan Zivanna. "Tidak, Tante. Hanya saja saya kecewa ketika Tuan dan Nyonya Gumilar mengatakan bahwa Raja tidak akan datang kemari. Dia juga membatalkan rencana pernikahan kami," jawab Zivanna lesu. "Itu yang terbaik untuk kalian, Zi," sahut Hana dengan segera. "Bolehkah tante menanyakan sesuatu padamu?" "Silakan, Tante." "Apakah kamu mencintai Raja ataukah hanya merasa berutang budi padanya?" tanya Hana lugas. "Saya ...." Hening sejenak. Zivanna tak melanjutkan kata-katanya. Hana hanya dapat mendengar desah napas gadis cantik itu. "Raja melakukan segalanya demi saya. Sekarang saatnya saya membalas semua kebaikan Raja. Apapun yang dia inginkan, akan saya lakukan," lanjut Zivanna pada akhirnya. "Jadi, apakah kamu mencintai Raja?" Hana mengulang pertanyaannya. Zivanna kembali terdiam, sampai-sampai Hana harus menunggu beberapa saat lamanya. "Cinta bisa tumbuh seiring waktu. Tidaklah sulit untuk mencintai Raja, Tante," jaw
"Astaga, bisa tidak kalian berhenti bercanda," Raja terkekeh. Namun, sorot matanya menunjukkan rasa sedih yang mendalam. "Tolong, berhentilah, Raja. Sudah cukup kamu mati-matian berkorban untuk Zivanna. Sekarang, saatnya fokus pada keluargamu. Berapa lama keluarga ini ditinggalkan saat kamu didakwa sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Rosanna? Pernah tidak, sekali saja, kamu berpikir tentang perasaan mama yang hancur melihat putranya duduk di kursi pesakitan?" ujar Hana panjang lebar. "Pernah tidak, kamu memikirkan kondisi mama yang benar-benar sedih dan terluka? Apakah sepenting itu Zivanna buatmu, Nak? Sampai-sampai kamu menepiskan keberadaan kami?" tampak jelas raut kecewa dari wajah Hana. Sementara Raja hanya bisa terdiam. Dia terpekur memikirkan ungkapan hati sang ibu. Selama ini memang dia terlalu fokus pada Zivanna, hingga melupakan keberadaan keluarganya. "Ah, sudahlah. Aku istirahat dulu. Kepalaku pusing sekali," tanpa menunggu tanggapan Raja, Hana segera berlalu dari
"Apa maksudnya dengan melepaskan mama?" sentak Raja. Tangannya terkepal kuat sembari melangkah mendekat. Diliriknya sang ayah yang lebih banyak menunduk dan tak banyak bicara. "Lelucon macam apa lagi ini, Pa?" geram Raja. "Mama harap kamu bisa mengerti, Raja. Perusahaan kita dalam bahaya. Tak hanya itu, nyawa mama juga terancam. Kamu lihat sendiri, tak ada siapapun di rumah kita selain pengawal Ibu Gumilar dan Pak Wiyasa. Sebesar itulah pengaruh mereka dalam keluarga ini," tutur Hana dengan raut pilu. "Tidak! Ini semua sama sekali tidak masuk akal," Raja menggeleng kuat-kuat. "Sejak kecil sampai sekarang, aku tidak pernah mendengar nama Atmariani dan Wiyasa. Mama dan papa tidak pernah menyebut nama itu satu kalipun," tolaknya. "Itu karena kedua orang tua kita menyembunyikan semuanya dari kita," sahut Dewa. "Suka atau tidak, inilah kenyataannya, Raja. Tuan dan Nyonya Gumilar hendak membawa ibu kita." "Ananda pasti sudah pernah mengenal Rosanna dan Maria, dua putri kami. Nak Raja bi
"Apa kamu suka?" tanya Raja lembut seraya memijit pundak Zivanna. "Suka," Zivanna mengangguk sambil tersenyum samar. Suasana dan desain interior apartemen itu mengingatkannya akan rumah Brandon di desa. Raja bukannya tak tahu perubahan air muka Zivanna, tetapi dia berusaha untuk tidak menghiraukan itu semua. "Memang semuanya membutuhkan proses, Zi. Kamu sudah terbiasa tinggal di Inggris," tuturnya lembut. "Iya," Zivanna memaksakan tawa. "Terima kasih, ya. Kamu pengertian sekali," kedua tangannya terulur, menangkup paras rupawan Raja. "Aku mencintaimu, Zi," Raja mendekatkan wajah, hendak mencium bibir gadis yang telah membuatnya tergila-gila. Namun, dering telepon genggam miliknya lebih dulu menggagalkan niat Raja. "Ah, tunggu sebentar. Ini nada dering khusus milik Papa," ujar pria tampan itu sebelum meraih ponsel dan menerima panggilan. "Ya, halo," sapa Raja dengan raut kalem. Sesaat kemudian, raut wajah kalem itu berubah tegang. Raja diam mendengarkan tanpa mengucapkan sepatah k