"What do you mean?" Ashley menautkan alisnya dan menatap intens pada Zivanna. Saat itulah Zivanna tersadar dengan apa yang baru saja ia ucapkan. "Ah, eh, nothing! I have to go home. Tiba-tiba saja kepalaku pusing," dalih Zivanna seraya melepas apron dan melipatnya. Dengan lemah, dia meletakkan apron itu ke loker penyimpanan. "What happen, Zi? Wajahmu mendadak pucat," nada Ashley begitu khawatir sembari memperhatikan gerak Zivanna. "Aku pulang dulu, ya. Ma'af aku tidak bisa menemanimu sampai toko tutup," pamit Zivanna lesu. "No, no, it's fine! Take your time. Istirahatlah," sahut Ashley lembut. Zivanna mengangguk, merapikan sweaternya, lalu melambaikan tangan pada Ashley dan beranjak keluar ruangan dapur. Dengan langkah tergesa, Zivanna melewati meja kasir dan beberapa etalase kue. Dia juga sempat tersenyum pada seorang pegawai Ashley sebelum membuka pintu tokonya dan melangkah pergi. Akan tetapi, Zivanna tidak berniat pulang ke rumah Theo dan Olive. Dia sudah bertekad kuat, jauh
Sudah ketiga kalinya Raja duduk di kursi pesakitan ini. Raut wajahnya masih tetap terlihat tenang dan datar. Dia sama sekali tak menyangkal dengan bukti-bukti yang ditunjukkan oleh pihak kepolisian. bahkan dia sendiri yang menyerahkan bukti-bukti itu. Tampak wajah ayahnya yang beberapa kali menghela napas panjang, sedang berusaha menghibur ibunya yang sangat terpukul, hingga tak henti-hentinya mengeluarkan air mata. Dalam hati, Raja bertanya-tanya, benarkah yang ia lakukan? Mengorbankan dirinya sendiri demi Zivanna. Namun tanpa sadar, dirinya juga mengorbankan kebahagiaan kedua orang tuanya. Raja menarik napas panjang. Penuntut masih terus membeberkan bukti-bukti. Beberapa saat yang lalu, penuntut juga menawarkan Raja untuk menghadirkan saksi yang bisa membelanya, tapi Raja tak memiliki saksi. Dia juga tak berminat membela diri, sampai terdengar keributan yang berasal dari luar ruang sidang. Beberapa petugas keamanan di dalam gedung segera membuka pintunya lebar-lebar. Raja terpana
Zivanna menatap satu persatu wajah-wajah yang menghadiri persidangan. Dia menangkap sosok kedua orang tua Raja yang tampak kebingungan. Di sudut lain, dia juga melihat adik kandung ibunya, Maria, tengah memandang nanar ke arahnya. Zivanna tersenyum samar. Sebentar lagi dia akan mengungkapkan segalanya. Dia hanya berharap bahwa Brandon tak hadir di tempat ini, sehingga dia tak perlu mendengarkan kenyataan tentang dirinya secara langsung. Gadis itu tak akan sanggup jika harus melihat wajah Brandon yang mungkin akan sangat kecewa padanya."Silakan, Nona. Utarakan penjelasan anda," suruh seorang jaksa penuntut umum yang mulai tak sabar menunggunya berbicara."Alright," Zivanna menarik napas panjang, kemudian membuangnya perlahan. "Saya harap Yang Mulia bersedia melepaskan Raja, dia tak bersalah. Karena sayalah yang telah membunuh ibu kandung saya sendiri," tegasnya, membuat suasana di dalam ruang pengadilan menjadi gaduh."Lanjutkan, Nona," pinta jaksa penuntut umum itu lagi.Zivanna terd
"Zizi? Dari mana saja? Kau sudah tidak masuk sekolah lebih dari tiga hari!" mata hazel Gladys membulat. Buru-buru dia menarik Zivanna masuk ke dalam rumahnya. "Ayo ke kamarku!" "Ta-tapi aku belum menyapa Nyonya Lorna," sergah ZIvanna. "Ibuku sudah terlelap. Besok pagi saja!" Gladys terus menyeret sahabatnya itu sampai ke dalam kamar. Gadis berambut pirang tersebut kemudian mendudukkan Zivanna di tepi ranjang, lalu duduk di sampingnya. "Bagaimana? Apa yang bisa kubantu?" tanyanya sembari mendekatkan wajah kepada Zivanna. "Aku ingin mncari ayah kandungku," tegas Zivanna, membuat Gladys terbelalak. Dia lagi-lagi terkejut oleh ulah teman akrabnya itu. "Aku tidak mengerti. Bukankah ayah kandungmu ada di rumah? Kenapa harus dicari? Jangan bilang kalau kau memiliki masalah gangguan ingatan akibat ibumu yang terus-terusan memukuli dirimu!" terka Gladys dengan nada tak suka. Sejak dulu gadis itu sudah berkeinginan untuk melaporkan ibu Zivanna ke polisi. Hanya saja, Zivanna selalu melarang d
Sesuai yang telah dijanjikan, Gladys membantu Zivanna untuk meretas ponsel Rosanna demi mencari petunjuk tentang keberadaan ayah kandungnya. Sepulang sekolah, Gladys bersama Zivanna berjalan kaki menuju rumah yang tak begitu jauh jaraknya dari tempat mereka menimba ilmu. "Apa yang ibumu lakukan di jam seperti ini?" tanya Gladys sesaat setelah mereka memasuki halaman rumah Zivanna."Mengunci diri di ruang kerjanya sampai sore atau bahkan malam. Entah apa yang dia lakukan di dalam sana," jawab Zivanna seraya membuka pintu. "Ayo," gadis itu segera mengajak sahabatnya memasuki kamar."Lalu, ponselnya? Di mana ibumu menyimpannya?" tanya Gladys, begitu dia menutup rapat pintu kamar Zivanna."Ponsel itu tidak pernah lepas dari genggaman ibu, ke manapun. Bahkan ke kamar mandipun ibu selalu membawa ponselnya. Seakan-akan ada banyak rahasia di dalam sana yang tidak boleh diketahui oleh orang lain," jelas Zivanna."Misterius sekali," Gladys mengusap dagu sambil berjalan mondar-mandir. "Lalu, apa
"Di mana sopan santunmu, Zizi? Sudah berapa kali aku bilang, kau tidak boleh masuk ke ruangan ini jika tidak diijinkan?" dingin suara pria itu dengan sorot mata tajam yang dia tujukan pada Zivanna. Kakinya melangkah pelan, semakin mendekat pada dua gadis remaja itu. "Apa yang sedang kalian lakukan di sini?" berat dan dalam intonasi pria tersebut, penuh dengan penekanan. "A-aku hanya berusaha meminta uang pada mama. Besok, sekolah kami akan mengadakan acara penggalangan dana, Pa," kilah Zivanna terbata. "Hm," pria itu mencondongkan wajahnya pada Gladys. "Apa ibumu tidak mengajari caranya meminta ijin untuk memakai barang seseorang Nak?" sindirnya. Menyadari kesalahannya, Gladys buru-buru meletakkan ponsel Rosanna kembali ke atas meja. "I'm ... I'm sorry, Sir. Aku hanya mengagumi ponsel keluaran terbaru ini. Bagus sekali," dalihnya seraya tersenyum lebar. Alasan apapun akan dia kemukakan, asal tak ketahuan. "Berapa yang kau butuhkan?" tanya laki-laki itu, sama sekali tanpa senyum. "
"Apa yang telah Mama lakukan? Darah siapa itu?" Zivanna mundur perlahan. Sementara Rosanna terus maju dengan langkah sempoyongan. Kini Zivanna dapat melihat dengan jelas, betapa bercak darah itu tidak hanya mengotori tangan beserta baju, namun juga rambut dan ujung kaki Rosanna. "Mama, jangan," Zivanna tahu benar jika Rosanna tengah mabuk. Satu tangan wanita itu memegang sebuah tongkat besi yang biasa digunakan di perapian ruang tengah. "Ada apa ini?" Zivanna mulai terisak dan jatuh terduduk ketika betis bagian belakangnya menabrak tepian ranjang. Rosanna berdiri tegak dengan mata melotot. tatapannya menghujam ke arah Gladys seraya mengangkat tongkat besi itu tinggi-tinggi. "Mama, berhenti!" teriak Zivanna. Entah kekuatan dari mana, gadis itu tiba-tiba berdiri dan menghalau gerakan Rosanna sekuat tenaga. Zivanna mendorongnya hingga Rosanna jatuh tersungkur. Tongkat besi yang tadi tergenggam di tangan, lepas dan terpelanting ke lantai. Buru-buru Zivanna merebut tongkat besi itu dan m
Rosanna bergerak maju dengan langkah kaku. Bagi Zivanna, ibunya itu terlihat mirip zombie. Sementara Gladys semakin beringsut hingga punggungnya menempel di kepala ranjang. Gadis itu menggeleng pelan dan ketakutan. "Please, don't hurt me, Mrs. Rosanna," ucapnya lirih."Of course I'm not going to hurt you, Sweet Heart. Aku hanya ingin meminta tolong padamu," Rosanna menyeringai, lalu mengulurkan tangannya pada Gladys. Zivanna hanya terpana akan adegan yang tengah berlangsung di hadapannya itu. Namun, buru-buru dia tersadar dan menguasai diri. "Gladys, jangan," cegahnya. Akan tetapi, sahabatnya itu seperti jauh lebih takut pada Rosanna."Aku tidak ingin mati, Zi," bisiknya tepat di telinga Zivanna saat Gladys turun dari ranjang dan menghampiri wanita berlumuran darah tersebut. Gadis itu melewati Zivanna begitu saja demi membalas uluran tangan Rosanna."Kau juga sebaiknya membantu Mama, Sayang. Kau tentu tak ingin jika dituduh sebagai pembunuh ayahmu dan harus mendekam di penjara, bukan?
"Namun, sebelum itu, kami harap anda hadir ke kantor untuk memberikan sedikit kesaksian," sela salah seorang polisi yang berdiri di samping Hendra."Iya, tentu," Zivanna mengangguk. Meskipun matanya lembab dan pipinya basah oleh air mata. Akan tetapi, dia merasa sangat lega saat itu."Bagaimana, Daisy? Apakah kau bersedia pulang ke London bersamaku? Ataukah Raja ...."Zivanna langsung menghentikan kalimat Brandon dengan menempelkan telunjuknya di bibir tipis kemerahan pria asli Inggris tersebut. "Aku tidak akan kembali pada Raja, Brandon. Sedari awal, aku sudah jatuh cinta padamu," tutur Zivanna."Benarkah?" Brandon menatap paras cantik itu lekat-lekat. "Katakan sekali lagi," pintanya."Aku mencintaimu, Brandon. Aku sangat mencintai dan merindukanmu," ucap Zivanna penuh keyakinan."Apakah itu artinya ... kau bersedia menikah denganku?" tanya Brandon lagi dengan sorot tak percaya.Zivanna mengangguk kuat-kuat."Ya, Tuhan. Ini seperti mimpi," Brandon mengangkat tubuh Zivanna tinggi-ting
"Tidak," wajah Zivanna memucat. Dia mundur perlahan sampai punggungnya menabrak sandaran kursi makan. Dia berniat untuk melarikan diri. Namun, sebelum hal itu terjadi, para pengawal Wiyasa sudah lebih dulu menangkap dan mencekal tubuh rampingnya."Menyerah saja, Nak. Tak ada gunanya kamu melawan. Kita akan mati bersama-sama di rumah tua ini," Atmariani memiringkan kepala. Dia memperhatikan kecantikan paras Zivanna yang berada di atas rata-rata. "Sebenarnya aku merasa sayang jika gadis secantik kamu harus berakhir mengenaskan. namun, ini adalah harga yang wajib kamu bayar karena telah menghancurkan kehidupan kedua putri kami.""Aku cucumu, Nek," Zivanna mulai terisak. Dia tak dapat menerima kegilaan ini. Tak pernah Zivanna sangka bahwa dia akan mati di tangan orang-orang yang seharusnya menyayangi dan menjaganya setulus hati."Tidak," Wiyasa menggeleng. "Dari awal, kami tidak pernah mengakui kebodohan Rosanna yang memilih untuk kawin lari ke luar negeri. Dia bahkan hamil dan melahirkan
Zivanna terbangun ketika cahaya matahari menerobos masuk melalui lubang kecil di jendela kamar yang berlubang. Sudah tiga malam dia tidur di rumah tua yang terkesan aneh tersebut. Selama rentang waktu itu, dia tak bisa berhubungan dengan dunia luar. Entah bagaimana kabar Raja beserta keluarganya.Zivanna menguap, lalu bangkit perlahan seraya mengamati daun jendela yang berlubang di sana-sini. Penasaran, Zivanna beringsut turun dari ranjang dan mendekat ke daun jendela. Lubang-lubang kecil itu membentuk lingkaran sempurna. "Jendela itu terkena peluru," ujar seseorang secara tiba-tiba. Sontak Zivanna berjingkat saking terkejutnya, lalu membalikkan badan. Tampak Atmariani tengah berdiri di ambang pintu sambil membawa nampan berisi secangkir teh dan semangkuk bubur ayam."Sarapan dulu," ujarnya datar. Atmariani melangkah masuk dengan gayanya yang selalu terlihat anggun. Dia meletakkan nampan tadi ke atas nakas. "Setelah itu, bersiap-siaplah. Kami akan membawamu berjalan-jalan keluar.""K
Hendra tersenyum puas karena berhasil mengajak ayah kandung Zivanna untuk bertemu di London. Sekarang giliran Brandon yang dia tuju. Brandon Gallagher memiliki kekuatan dan pengaruh yang cukup besar untuk membantu Hendra menjemput Zivanna. Dengan langkah terburu-buru, Hendra berjalan menuju apartemen mewah Brandon. Sayangnya, pria yang hendak ditemuinya itu sedang mengadakan pertemuan di sebuah restoran dengan mantan kekasih yang kini menjadi saingan bisnisnya, yaitu Camilla."Katakan apa keperluanmu. Aku tidak punya banyak waktu," ujar Brandon dingin dan datar."Aku hanya ingin mengajukan kerja sama. Kudengar, kau kembali aktif dalam perusahaanmu," tutur Camilla, masih dengan gayanya yang tampak selalu percaya diri."Aku tidak tertarik untuk bekerja sama dengan siapapun. Aku hanya berfokus pada memperbaiki sistem dan rencana bisnis ke depannya," tolak Brandon tanpa basa-basi."Selama ini perusahaanmu dalam posisi autopilot dan dikendalikan sesekali oleh Liam. Kau pasti mengetahui ji
"Apa cuma ini barang-barangmu?" tanya Atmariani dingin. Zivanna menjawabnya dengan anggukan pelan."Ya, sudah. Kebetulan, di rumah nanti, kamu akan mendapat barang-barang dan pakaian baru. Ditinggal di sini juga tidak apa-apa," saran Wiyasa. Raut ramah yang senantiasa ditampakkan di hadapan keluarga Atmaja, seolah sirna. Ekspresinya saat menghadapi Zivanna, terlihat begitu dingin dan datar."Ayo, jangan buang-buang waktu," Atmariani menyodorkan koper Zivanna pada salah seorang anak buahnya sambil memberikan isyarat pada anak buahnya yang lain untuk mengapit Zivanna agar tak melarikan diri.Zivanna sendiri sudah pasrah atas semua yang akan dilakukan oleh Atmariani dan suaminya. Dia juga tak mengucapkan sepatah katapun sampai dia memasuki mobil SUV keluaran lama.Di dalam kendaraan, Zivanna hanya terdiam, sampai mobil itu berhenti di sebuah rumah tua di pinggiran kota Jakarta."Rumah siapa ini?" tanya Zivanna pelan.Wiyasa tak segera menjawab. Dia malah membantu Atmariani untuk turun da
"Apa mereka menyakitimu, Nak?" Hana mulai was-was dengan keadaan Zivanna. "Tidak, Tante. Hanya saja saya kecewa ketika Tuan dan Nyonya Gumilar mengatakan bahwa Raja tidak akan datang kemari. Dia juga membatalkan rencana pernikahan kami," jawab Zivanna lesu. "Itu yang terbaik untuk kalian, Zi," sahut Hana dengan segera. "Bolehkah tante menanyakan sesuatu padamu?" "Silakan, Tante." "Apakah kamu mencintai Raja ataukah hanya merasa berutang budi padanya?" tanya Hana lugas. "Saya ...." Hening sejenak. Zivanna tak melanjutkan kata-katanya. Hana hanya dapat mendengar desah napas gadis cantik itu. "Raja melakukan segalanya demi saya. Sekarang saatnya saya membalas semua kebaikan Raja. Apapun yang dia inginkan, akan saya lakukan," lanjut Zivanna pada akhirnya. "Jadi, apakah kamu mencintai Raja?" Hana mengulang pertanyaannya. Zivanna kembali terdiam, sampai-sampai Hana harus menunggu beberapa saat lamanya. "Cinta bisa tumbuh seiring waktu. Tidaklah sulit untuk mencintai Raja, Tante," jaw
"Astaga, bisa tidak kalian berhenti bercanda," Raja terkekeh. Namun, sorot matanya menunjukkan rasa sedih yang mendalam. "Tolong, berhentilah, Raja. Sudah cukup kamu mati-matian berkorban untuk Zivanna. Sekarang, saatnya fokus pada keluargamu. Berapa lama keluarga ini ditinggalkan saat kamu didakwa sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Rosanna? Pernah tidak, sekali saja, kamu berpikir tentang perasaan mama yang hancur melihat putranya duduk di kursi pesakitan?" ujar Hana panjang lebar. "Pernah tidak, kamu memikirkan kondisi mama yang benar-benar sedih dan terluka? Apakah sepenting itu Zivanna buatmu, Nak? Sampai-sampai kamu menepiskan keberadaan kami?" tampak jelas raut kecewa dari wajah Hana. Sementara Raja hanya bisa terdiam. Dia terpekur memikirkan ungkapan hati sang ibu. Selama ini memang dia terlalu fokus pada Zivanna, hingga melupakan keberadaan keluarganya. "Ah, sudahlah. Aku istirahat dulu. Kepalaku pusing sekali," tanpa menunggu tanggapan Raja, Hana segera berlalu dari
"Apa maksudnya dengan melepaskan mama?" sentak Raja. Tangannya terkepal kuat sembari melangkah mendekat. Diliriknya sang ayah yang lebih banyak menunduk dan tak banyak bicara. "Lelucon macam apa lagi ini, Pa?" geram Raja. "Mama harap kamu bisa mengerti, Raja. Perusahaan kita dalam bahaya. Tak hanya itu, nyawa mama juga terancam. Kamu lihat sendiri, tak ada siapapun di rumah kita selain pengawal Ibu Gumilar dan Pak Wiyasa. Sebesar itulah pengaruh mereka dalam keluarga ini," tutur Hana dengan raut pilu. "Tidak! Ini semua sama sekali tidak masuk akal," Raja menggeleng kuat-kuat. "Sejak kecil sampai sekarang, aku tidak pernah mendengar nama Atmariani dan Wiyasa. Mama dan papa tidak pernah menyebut nama itu satu kalipun," tolaknya. "Itu karena kedua orang tua kita menyembunyikan semuanya dari kita," sahut Dewa. "Suka atau tidak, inilah kenyataannya, Raja. Tuan dan Nyonya Gumilar hendak membawa ibu kita." "Ananda pasti sudah pernah mengenal Rosanna dan Maria, dua putri kami. Nak Raja bi
"Apa kamu suka?" tanya Raja lembut seraya memijit pundak Zivanna. "Suka," Zivanna mengangguk sambil tersenyum samar. Suasana dan desain interior apartemen itu mengingatkannya akan rumah Brandon di desa. Raja bukannya tak tahu perubahan air muka Zivanna, tetapi dia berusaha untuk tidak menghiraukan itu semua. "Memang semuanya membutuhkan proses, Zi. Kamu sudah terbiasa tinggal di Inggris," tuturnya lembut. "Iya," Zivanna memaksakan tawa. "Terima kasih, ya. Kamu pengertian sekali," kedua tangannya terulur, menangkup paras rupawan Raja. "Aku mencintaimu, Zi," Raja mendekatkan wajah, hendak mencium bibir gadis yang telah membuatnya tergila-gila. Namun, dering telepon genggam miliknya lebih dulu menggagalkan niat Raja. "Ah, tunggu sebentar. Ini nada dering khusus milik Papa," ujar pria tampan itu sebelum meraih ponsel dan menerima panggilan. "Ya, halo," sapa Raja dengan raut kalem. Sesaat kemudian, raut wajah kalem itu berubah tegang. Raja diam mendengarkan tanpa mengucapkan sepatah k