Dua enam
"VIAN!" teriak Cindy dengan air mata berderai. Ia kemudia merosot jatuh terduduk sambil menangis. Akan tetapi, mobil Vian tetap saja melaju tanpa berhenti ataupun kembali. "Vian!" Gadis itu sekali lagi memanggil meski tahu Vian tidak akan kembali. 'Kenapa? Kenapa setelah semua yang kulakukan, aku masih tidak berarti bagimu? Apa Karin memang lebih segalanya dariku? Apa yang dia miliki yang tidak aku punya?'tukasnya dalam hati. Beberapa orang kru yang lewat melihat padanya, kemudian menggeleng dan berlalu pergi. Bagi mereka, Cindy memang pantas diperlakukan seperti itu, gadis itu memang selalu bersikap sombong dan tidak pernah menyapa mereka. Cindy bangkit berdiri. Ia kemudian menyusut air mata yang mengalir di wajah. Ia kemudian berjalan pergi dengan kepala tegak.*** "Masih memikirkan Vian?" tanya Matthew sambil menoleh pada gadis di sampingnya tersebut.<Dua tujuh Karin berjags pada malam itu karena Matthew tidak juga sadar. Ia mengganti kompres di kening pria itu berulangkali. Saat dini hari, tanpa sadar, ia jatuh tertidur sejenak. Namun ia segera kembali terbangun. 'Tidak, aku tidak bisa tidur sekarang. Aku harus menjaga Matthew,' gumam Karin saat ia terbangun. Ia kemudian melihat pada jam yang menunjukkan angka tiga. Karin sadar Matthew belum makan apa pun dan juga belum minum obat sejak semalam. Ia kemudian membuat bubur ayam dan mencoba membangunkan pria itu. 'Bagaimana ini? Kenapa ia tidak juga bangun? Ia harus segera meminum obat ini," keluh Karin dalam hati. Ia kemudian menatap obat cair yang telah hangat tersebut dan menatap kembali Matthew yang masih terbaring dengan mata terpejam. Sejenak ia ragu, tetapi kemudian ia menggeleng. 'Tidak, aku harus memberikan obat ini. Sudahlah, ia juga tidak sadar. Ia tidak akan tahu,' uca
Dua delapan "Aku akan mengantarmu kembali," ucap Vian setelah beberapa saat. Ia kemudian kembali mengemudikan mobil ke arah apartemen Matthew. Dalam perjalanan, ia tidak lagi banyak bicara. Karin juga hanya diam. Sepanjang jalan tersebut hanya ada keheningan mengiringi mereka. Tidak lama mereka tiba di depan kediaman Matthew. Vian menghentikan mobilnya. "Keluar," ucapnya kemudian pada gadis di sampingnya itu. Karin segera membuka pintu mobil dan keluar tanpa berkata apa-apa. Setelahnya, Vian memacu mobil dengan cepat dan berlalu pergi dari sana. Karin tidak segera kembali ke kediamannya. Ia malah menuju ke sebuah tempat terbengkalai di dekat tempat itu yang telah kosong dan segera menangis tersedu di sana. 'Vian, maafkan aku, maafkan aku, aku terpaksa seperti ini. Aku tidak punya pilihan selain menjadi jahat padamu,' ucap Karin dalam hati.*** Edwin, Silvi, dan Anna kemud
Dua sembilan "Baiklah, aku akan melakukannya," tukas Karin sambil mengangguk pasti. Seulas senyum semangat tampak jelas di wajahnya. "Itu baru gadisku," ujar Matthew sambil merangkul Karin dan menengadahkan wajah gadis itu. "Aku bukan gadismu!" sahut Karin sambil menggeleng dan melepaskan rangkulan pria itu. Matthew tergelak sedang Karin berjalan mondar-mandir dan sibuk memikirkan konsep yang akan dia buat.*** "Di mana Karin?" tanya Vian saat ia bertemu Matthew keesokan hari di tempat syuting mereka. "Aku mengamankan dia agar dia tidak bertemu denganmu," sahut Matthew. "Apa maksudmu?" tanya Vian. "Aku harus melakukannya. Dia adalah gadisku. Aku tidak mau dia bertemu terus denganmu." "Aku hanya ingin tahu apa dia baik-baik saja?" tanya Vian kemudian. Dia berusaha untuk tetap tenang. Ia tidak bisa terpancing emosi oleh Matthew.&nbs
Tiga puluh Karin tengah bekerja dengan komputer hingga malam. Tidak lama ia merasa penat, ia kemudian melihat foto sosok Vian di layar. 'Maaf, Vian, aku memang pengecut, tapi aku tidak bisa menjalani kehidupan dengan seorang bintang sepertimu. Kau adalah bintang, bersinar terang di langit, indah untuk dilihat hanya dari jauh seperti ini,' ucapnya dalam hati. Ia menghela napas panjang. 'Kau akan segera melupakan aku, Vian dan kita akan menjalani jalan kehidupan masing-masing.'*** "Dia sangat terluka dan patah hati," cetus Matthew saat menemui Karin dan menceritakan tentang Vian. "Tidak mungkin, jangan berbohong. Kami hanya berteman sebelumnya, mana mungkin sampai patah hati?" "Kau tidak percaya? Kau harus melihat sendiri raut wajahnya. Karin, dia benar-benar menyukaimu." "Aku tidak." "Bagus," ucap Matthew sambil meraih tangan Karin."Itu artin
Tiga satu "Karin!" seru Silvi dengan penuh semangat saat sahabatnya itu muncul di ambang pintu rumah. Ia segera memeluk sahabatnya itu dengan erat. Karin juga balas memeluk sambil tersenyum. "Jadi kau akan kembali tinggal di sini, 'kan?" tanya Silvi. Karin hanya mengangguk. "Rumah seperti ini, apanya yang bagus sampai kau bersikeras untuk kembali?" tukas Matthew yang berjalan masuk. Silvi menarik Karin mendekat dan berbisik di telinga sahabatnya itu. "Untuk apa dia ikut kemari?" tanyanya. "Dia yang memaksa." "Ohhh," ucap Silvi sambil mengangguk-angguk."Aku mengerti sekarang. Dia tidak bisa melepasmu, jadi mengikutimu kemari." Karin hanya tersenyum kecil menanggapi ucapan Silvi. "Jangan khawatir, kalau merasa kau risih dan tidak suka, aku akan mengusir dia untukmu." Silvi kembali berbisik. Karin tetap saja tersenyum da
Tiga dua Beberapa hari berikutnya, Karin tetap saja sibuk dengan pekerjaannya. Gadis itu bahkan sering lupa waktu untuk makan. "Karin," tegur nyonya Choi."Kau sudah makan?" Karin menggeleng. "Kau ini bagaimana? Anak gadis sepertimu harus banyak makan bergizi. Pantas saja kau kurus begini," omel wanita itu. Karin hanya tersenyum saja. Wanita itu kemudian mengajak Karin untuk makan dengannya. "Kita mau ke mana, Nyonya?" tanya Karin saat mobil melaju malah kembali menuju kota. "Tanah itu tidak akan lari meski kautinggalkan, jadi kau tidak usah cemas seperti itu," ujar Nyonya Choi. Karin hanya mengangguk. Ia bukan gugup karena pekerjaannya, tetapi lebih pada Nyonya Choi. Wanita itu adalah atasannya, bosnya, ia merasa tidak enak untuk semobil dengan wanita itu. "Satu hal lagi, kau terus memanggilku Nyonya, Nyonya, aku tidak suka kau memanggilku seperti itu.
Tiga tiga Waktu berlalu, tanpa terasa restoran telah selesai dibuat. Karin diundang nyonya Choi untuk hadir pada acara peresmian. Karin mengajak Silvi untuk datang bersama. Ia tidak enak untuk menolak nyonya Choi dan ia juga tidak nyaman untuk datang sendirian. Ia tahu yang hadir di pembukaan tersebut pasti banyakan dari kalangan berada. Ia pasti akan merasa sendirian di pesta itu. Karenanya ia memaksa Silvi untuk datang bersamanya. "Kalian sudah datang," sambut nyonya Choi dan sang suami. Karin hanya tersenyum tipis. "Vian!" panggil nyonya Choi."Ini perancang yang ingin kukenalkan padamu, cantik dan berbakat." Tubuh Karin membeku seketika.'Vian di sini?' kemudian sosok Vian sungguh muncul di hadapannya. Silvi bahkan terbengong dengan mulut membuka lebar sambil menatap Vian. "Ini Vian, putraku, biasanya dia selalu sibuk, tapi kali ini dia menyempatkan untuk datang untuk acara
Tiga empat "Apa kau mengenal Karin?" tanya nyonya Choi pada Vian. Putranya itu hanya diam dan menggeleng. Acara pembukaan telah lama berakhir. Para tamu undangan termasuk Karin dan Silvi telah lama pulang. Tadinya Vian disuruh Nyonya Choi mengantar, tetapi Karin bersikeras menolak. Akhirnya dibiarkan Karin dan Silvi untuk pulang sendiri. Sedang Vian mengantar Cindy pulang. "Mereka saling mengenal. Lebih dari itu, mereka juga saling menyukai," ucap Nyonya Choi pada suaminya. Lelaki itu mengangguk. "Aku juga tahu itu saat melihat mereka, tapi sepertinya ada masalah antara mereka." Nyonya Choi kemudian menelepon Vian yang baru selesai mengantar Cindy pulang untuk datang ke rumah. "Apa kau menyukai Karin?" tanya Nyonya Choi saat Vian datang. "Mana mungkin? Aku baru bertemu dengannya. Ibu saja yang menganggap berlebihan," sahut Vian. "Aku berlebihan? Tidak, aku ti
Empat puluh Karin yang terbangun di pagi hari terkejut melihat sosok Vian berada di sampingnya. Lebih terkejut lagi saat mendapati mereka tanpa busana, hanya tertutupi selembar selimut, sedang pakaian yang semula dikenakan berserakan di lantai samping tempat tidur. Karin bergegas beranjak dari tempat tidur. Ia kemudian segera mengenakan pakaian. Vian juga bangun. Karin segera berbalik dan menatap tajam padanya. "Kenakan pakaianmu, kita harus bicara," ucap Karin. "Semua terjadi begitu saja, aku memang salah melakukannya, tapi itu semua terjadi karena kau menggodaku lebih dulu," tukas Vian sambil mengejar Karin yang telah keluar dari kamar. "Jadi kau menganggap ini adalah salahku? Vian, kau tahu yang terjadi. Minuman itu apa kau yang merencanakannya?" tanya Karin. "Tidak, bukan seperti itu." "Tapi kau tetap melakukannya, kau tidak berusaha menyadarkan aku, tapi malah mengambil kesemp
Tiga sembilan Pagi hari, Vian terbangun saat ia merasa ada sesuatu menindih tubuhnya, belum lagi seperti ada sesuatu yang melingkari tubuhnya. Saat membuka mata, ia terkejut melihat Karin tengah memeluk dia. Tubuh gadis itu bahkan berada persis di sampingnya. Kaki Karin juga melintang di atas tubuhnya. Vian tersenyum kecil. Ia kemudian menunduk untuk melihat wajah gadis itu. Ia kemudian menyibakkan rambut yang menutupi sebagian wajah Karin. Gadis itu tampaknya benar-benar lelap. Karin kemudian malah meraih dan memeluk tangan Vian dengan erat. "Kau ini ...," ucap Vian sambil tersenyum. "Ayah, jangan tinggalkan aku," gumam Karin dengan mata terpejam rapat. 'Apa-apaan ini?' gerutu Vian dalam hati.'Kenapa dia malah berpikir kalau aku adalah ayahnya?'*** Setelah bangun dari tidur, Karin membersihkan diri dan menemani Vian untuk sarapan yang dibuat nenek untuk mer
Tiga delapan "Aku?" tanya Karin dengan nada tidak percaya sambil menunjuk dirinya sendiri. "Vian, kau memintaku untuk mendorong mobil?" Vian mengangguk. "Apa kau bercanda?" tukas Karin kemudian."Aku ini seorang gadis. Kau memintaku keluar di hutan belantara untuk mendorong mobil. Vian, kau bilang kau sudah tidak dendam padaku, tapi apa yang kaulakukan ini?" "Aku memang sudah tidak dendam padamu." "Lalu?" "Hanya saja tidak ada yang mendorong mobil selain dirimu." "Vian, bukankah masih ada dirimu? Kenapa? Apa kau tidak bisa melakukannya? Vian, kau yang mendorong mobil dan aku yang akan menyetir untukmu. Bagaimana?" "Kau menyuruh aku?" tanya Vian seperti tidak percaya mendengar ucapan Karin. "Lalu? Bukankah kau bilang tidak ada orang lain selain kita di sini? Jadi kalau bukan aku, tentu kau yang harus mendorong m
Tiga tujuh "Kau tenang dulu," ucap ayah Vian lagi setelah beberapa saat."Jika kau bicara dengan keras seperti tadi, ibumu mungkin mendengarnya, dia akan tahu kalau pernikahanmu dan Karin tidak terjadi sungguhan. Hal itu mungkin akan kembali mempengaruhi kesehatannya." "Tapi, Ayah ...," ucap Vian yang hendak membantah, tetapi lelaki paruh baya di depannya itu segera mengangkat tangan untuk menghentikan kata-katanya. "Ayah belum selesai bicara. Kau dengarkan ayah dulu," ucap lelaki itu lagi."Vian, kau mungkin tidak peduli dengan yang terjadi pada ibumu, tapi ayah sangat peduli. Ayah tidak mau dia sakit lagi." "Aku juga peduli, Ayah, aku juga tidak mau ibu sakit lagi," ujar Vian. "Baiklah, Ayah percaya padamu, tapi dengan kata-katamu yang keras tadi, jika dia mendengarnya maka ...." Ayah Vian berhenti bicara. Wajahnya menunduk dengan rona muram. "Ayah, aku minta m
Tiga enam Sebenarnya, Karin tidak sungguh tidur. Ia berpura-pura terlelap agar tidak lagi terus melihat Vian. Saat Vian mendekat dan meletakkan selimut pada tubuhnya, ia telah terkejut meski begitu, ia tetap berpura tertidur. Akan tetapi, sewaktu pria itu menyibakkan rambutnya, Karin langsung terperanjat dan membuka mata. Vian tertegun dengan pertanyaan Karin. Apa yang dia lakukan, dia sendiri sungguh tidak mengerti. Tangan dia seolah bergerak sendiri untuk menyibakkan rambut gadis itu. "Karin, aku benar-benar tidak bermaksud. Aku hanya ingin kau tidur dengan baik. Rambutmu itu tampak mengganggu bagiku, jadi aku menyingkirkannya," ucap Vian. Pria itu kemudian bergegas untuk kembali tanpa menunggu perkataan Karin.*** Keesokan hari saat bangun, Vian telah tidak melihat Karin. Ia tertegun dan sejenak mencari, tetapi tidak menemukan gadis itu di kamar. 'Ah, untuk apa aku mencari dia? Mungkin dia telah pergi,
Tiga lima "Maafkan ibuku, Karin, dia memang keras kepala. Kadang ia memakai cara licik hanya agar orang memenuhi keinginannya," ucap Vian yang mengantar Karin keluar kamar. Karin hanya mengangguk. Vian yang melihat langkah gadis itu yang sedikit terpincang menjadi merasa tidak enak. "Kakimu apakah tidak apa?" tanyanya. "Tidak apa, sudah membaik, kok, kau tidak perlu cemas." "Soal permintaan ibuku, aku aksn memikirkan cara untuk menolaknya. Kau tidak perlu cemas dengan hubunganmu dengan Matthew," ucap Vian. Karin kembali mengangguk. Ia sampai pada taksi yang telah dipanggil. Ia segera pamit dan pulang dari sana.*** "Kau tidak mengantar Karin? Kau membiarkan calon istrimu pulang sendiri?" tanya Nyonya Choi. Vian menggeleng."Berapa kali harus kubilang? Karin bukan calon istriku. Pernikahan kami tidak akan berhasil." "Ibumu masih sak
Tiga empat "Apa kau mengenal Karin?" tanya nyonya Choi pada Vian. Putranya itu hanya diam dan menggeleng. Acara pembukaan telah lama berakhir. Para tamu undangan termasuk Karin dan Silvi telah lama pulang. Tadinya Vian disuruh Nyonya Choi mengantar, tetapi Karin bersikeras menolak. Akhirnya dibiarkan Karin dan Silvi untuk pulang sendiri. Sedang Vian mengantar Cindy pulang. "Mereka saling mengenal. Lebih dari itu, mereka juga saling menyukai," ucap Nyonya Choi pada suaminya. Lelaki itu mengangguk. "Aku juga tahu itu saat melihat mereka, tapi sepertinya ada masalah antara mereka." Nyonya Choi kemudian menelepon Vian yang baru selesai mengantar Cindy pulang untuk datang ke rumah. "Apa kau menyukai Karin?" tanya Nyonya Choi saat Vian datang. "Mana mungkin? Aku baru bertemu dengannya. Ibu saja yang menganggap berlebihan," sahut Vian. "Aku berlebihan? Tidak, aku ti
Tiga tiga Waktu berlalu, tanpa terasa restoran telah selesai dibuat. Karin diundang nyonya Choi untuk hadir pada acara peresmian. Karin mengajak Silvi untuk datang bersama. Ia tidak enak untuk menolak nyonya Choi dan ia juga tidak nyaman untuk datang sendirian. Ia tahu yang hadir di pembukaan tersebut pasti banyakan dari kalangan berada. Ia pasti akan merasa sendirian di pesta itu. Karenanya ia memaksa Silvi untuk datang bersamanya. "Kalian sudah datang," sambut nyonya Choi dan sang suami. Karin hanya tersenyum tipis. "Vian!" panggil nyonya Choi."Ini perancang yang ingin kukenalkan padamu, cantik dan berbakat." Tubuh Karin membeku seketika.'Vian di sini?' kemudian sosok Vian sungguh muncul di hadapannya. Silvi bahkan terbengong dengan mulut membuka lebar sambil menatap Vian. "Ini Vian, putraku, biasanya dia selalu sibuk, tapi kali ini dia menyempatkan untuk datang untuk acara
Tiga dua Beberapa hari berikutnya, Karin tetap saja sibuk dengan pekerjaannya. Gadis itu bahkan sering lupa waktu untuk makan. "Karin," tegur nyonya Choi."Kau sudah makan?" Karin menggeleng. "Kau ini bagaimana? Anak gadis sepertimu harus banyak makan bergizi. Pantas saja kau kurus begini," omel wanita itu. Karin hanya tersenyum saja. Wanita itu kemudian mengajak Karin untuk makan dengannya. "Kita mau ke mana, Nyonya?" tanya Karin saat mobil melaju malah kembali menuju kota. "Tanah itu tidak akan lari meski kautinggalkan, jadi kau tidak usah cemas seperti itu," ujar Nyonya Choi. Karin hanya mengangguk. Ia bukan gugup karena pekerjaannya, tetapi lebih pada Nyonya Choi. Wanita itu adalah atasannya, bosnya, ia merasa tidak enak untuk semobil dengan wanita itu. "Satu hal lagi, kau terus memanggilku Nyonya, Nyonya, aku tidak suka kau memanggilku seperti itu.