Evangeline mengajak Devan ke kamar yang berada di lantai dua, tepat di samping kamar Milea. Meski tidak ditempati, ternyata kamar itu terlihat bersih dan tertata rapi, barang-barang yang ada di sana pun masih sama tidak berubah sama sekali.
Devan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan itu, ia melihat meja belajar yang penuh dengan buku, tatanan ruangannya sangat khas dengan anak sekolahan, hanya ada ranjang berukuran sedang dan meja belajar.
Evangeline duduk di tepian ranjang, membiarkan Devan melihat kamar yang pernah ditempatinya. Mata Devan tertuju pada sebuah bingkai foto yang terdapat di atas meja belajar, ia pun mengambil kemudian menghampiri Evangeline yang duduk di tepian ranjang.
"Ini kamu?" tanya Devan seraya menunjuk pada salah satu gambar yang terdapat di bingkai itu.
Evangeline tersenyum, ia mengangguk tanda mengiyakan. Devan mengulas senyum, tidak menyangka jika Evangeline berpenampilan sepert
Devan mengantar Evangeline pulang ke apartemen, sepanjang basement hingga lift dan depan pintu unit apartemen, Devan tidak melepaskan genggamannya dari tangan Evangeline, membuat wanita itu hanya bisa mengulas senyum sepanjang langkah mereka."Sudah sampai, kamu pulanglah karena sudah larut," kata Evangeline yang sudah berdiri di depan pintu apartemennya."Tidak bisakah seperti ini beberapa menit lagi!" pinta Devan.Evangeline mengerutkan alisnya, tidak mengerti dengan permintaan Devan. "Kenapa?" tanya Evangeline."Karena saat kita kembali ke perusahaan, aku harus menahan untuk tidak memegang tanganmu," jawabnya.Evangeline tertawa renyah mendengar jawaban Devan, tidak menyangka jika hal itu bisa membuat Devan merasa resah."Oke, beberapa menit." Evangeline akhirnya mengiyakan permintaan Devan.Evangeline berdiri dengan bersandar daun pintu, kedua tanganny
Devan keluar dari kamar mandi dengan rambut setengah basah. Evangeline yang melihatnya pun bersikap biasa saja, sudah terbiasa dengan pemandangan seperti itu."Kamu tidak mengeringkan rambut dulu?" tanya Evangeline yang sedang sibuk menata makanan di meja."Di mana pengeringnya?" tanya Devan.Evangeline melepas aprone dari tubuhnya, lantas berjalan menyusul Devan ke kamar. Ia pun berjalan menuju meja rias lantas mengambil hairdryer yang ada di atas meja."Duduklah, biar aku keringkan," ujar Evangeline yang sudah berdiri dibelakang kursi.Devan mengulas senyum, ia pun langsung duduk ke kursi yang ditunjuk Evangeline menghadap ke cermin. Evangeline mulai menyalakan pengering rambut, dengan lembut dia mengusap rambut Devan yang basah seraya menggerakkan hairdryer secara perlahan. Devan menatap Evangeline lewat pantulan cermin, merasa jika pilihannya tidaklah salah, Evangeline benar-
Setelah mencoba memahami isi hati masing-masing, kini hubungan Devan dan Evangeline semakin baik, terlebih karena Evangeline yang berpikir lebih dewasa dan mengerti akan kondisi Devan. Meski begitu, Evangeline masih enggan jika hubungan mereka diketahui oleh karyawan lain."Ivi, sore ini aku akan bertemu dengan teman. Apa kamu mau ikut?" tanya Devan pada Evangeline yang masih fokus dengan pekerjaannya."Teman biasa atau klien?" tanya Evangeline menatap Devan yang berdiri di depan meja."Dua-duanya, sebenarnya teman karena kami pernah menjalin kerjasama," jawabnya.Evangeline terlihat berpikir, ia pun teringat sesuatu."Sepertinya aku tidak ikut, ada janji dengan Milea dan Ica," ucapnya dengan senyum seraya mengedipkan mata beberapa kali."Ah, ya sudahlah. Sepertinya aku harus pergi dengan menyandang status jomblo," seloroh Devan.Pria itu
Evangeline berdiri di belakang Devan yang duduk menghadap cermin, wanita itu benar-benar memangkas rambut Devan agar terlihat sedikit rapi, jemarinya tampak menyisir helaian rambut yang sudah selesai ia pangkas."Bagaimana? Aku ahli, 'kan!" ujar Evangeline seraya mengulas senyum menatap wajah Devan lewat pantulan cermin.Devan memperhatikan tatanan rambutnya, benar-benar rapi. Pria itu pun menatap Evangeline lewat bayangan yang terpantul dari cermin, Evangeline tampak menunduk dan masih menyisir rambutnya dengan jari. Devan memutar tubuhnya, lantas menatap Evangeline dengan menggenggam tangan kekasihnya itu."Ini mengingatkan kepada dia?" tanya Devan menyelidik, mencari tahu dari manik mata Evangeline yang terlihat begitu indah.Evangeline mengulas senyum seraya menggelengkan kepala, ia pun mencoba bersikap biasa hingga kemudian melepas tangan Devan yang menggenggam lalu menangkup kedua sisi wajah pr
"Ivi," lirih Devan yang sadar jika kekasihnya itu sedang marah besar.Evangeline mengedarkan pandangan, memperhatikan para karyawan yang tatapan mulai tertuju pada mereka, ia pun sedikit merapat pada Devan."Jangan menjatuhkan wibawamu di depan karyawan, membuat keputusan yang tidak masuk akal hanya karena hal sepele. Aku tidak ingin kamu kehilangan muka di depan para karyawan, jadi pikirkan apa yang aku ucapkan." Evangeline langsung berjalan cepat setelah mengatakan hal itu, ia hanya tidak ingin sang kekasih dicap sebagai pria semena-mena hanya karena alasan yang benar-benar tidak masuk akal.Devan terlihat bingung, tidak menyangka jika Evangeline akan semarah itu dengan sikapnya. Ia pun melangkah untuk mengejar Evangeline."Pak, saya jadi dipecat?" tanya karyawan yang tadi mendekati Evangline."Tidak!" teriak Devan yang sudah berjalan cepat mengejar sang kekasih.Karyawan Devan mengusap dada, bahagia karena dirinya tidak jadi dipecat, tapi juga
Devan yang tidak menyadari tatapan Radhika maupun Evangeline pun langsung merangkul pundak kekasihnya itu. Devan pun memperkenalkan keduanya."Dik, ini Evangeline kekasihku.""Ivi, dia Radhika rekan bisnisku."Devan memperkenalkan keduanya, pria itu tidak curiga sama sekali dengan sikap sang kekasih dan temannya."Ivi? Dia memanggilnya dengan nama 'Ivi'?" Radhika bertanya-tanya dalam hati, seakan tidak terima jika panggilan yang diberikan olehnya diucapkan oleh pria lain.Namun, meski begitu ia tetap berusaha tenang. Radhika mengulurkan tangan ke arah Evangeline, ingin menjabat tangan mantan istrinya itu."Senang bertemu dengan Anda, Nona!"Evangeline menatap tangan Radhika, perasaannya kacau juga jantungnya terus berdebar begitu cepat."Ivi, Dika memperkenalkan dirinya," bisik Devan yang sadar jika kekasihnya itu malah termangu.Evangeline tersadar, ia menoleh pada Devan lantas mengulas senyum dengan terpaksa. Evangeline membala
Devan terlihat sesekali melirik Evangeline, melihat kekasihnya itu hanya diam menatap aspal jalanan."Vi, apa perlu ke rumah sakit?" tanya Devan yang cemas.Evangeline yang mendengar pertanyaan Devan pun menoleh, ia lantas mengulas senyum dengan menggelengkan kepala."Tidak perlu, aku hanya ingin cepat pulang dan tidur."Devan pun mengangguk, pria itu terlihat berpikir, merasa aneh dengan sikap Evangeline sejak bertemu rekan bisnisnya. Sejak awal berangkat kekasihnya itu baik-baik saja, tapi setelah bertemu Radhika, Evangeline terlihat gugup dan gelisah.___Devan mengantar Evangeline hingga ke depan pintu unit, ia mengkhawatirkan keadaan kekasihnya itu."Vi, yakin nggak mau ke dokter dulu?" tanya Devan sekali lagi menawari."Tidak perlu, aku benar-benar hanya butuh istirahat," tolak Evangeline sekali lagi."Oke, masuklah! Jangan sampai sakitmu semakin parah," ucap Devan yang langsung mendapat sebuah anggukan dar
Devan yang merasa cemas terhadap Evangeline pun memutuskan untuk datang ke apartemen sang kekasih meski pekerjaan dan rapat tengah menunggunya. Bukan hanya karena Evangeline mengatakan sakit, tapi rasa cemas sebab baru mengetahui jika rekan bisnisnya adalah mantan suami sang kekasih.Devan keluar dari lift yang terbuka di lantai tempat ruangan Evangeline berada, pria itu berjalan santai hingga ia menghentikan langkah ketika melihat pintu unit Evangeline terbuka, tapi sedetik kemudian Devan berjalan cepat karena mendengar suara gaduh."Lepas, Ka! Jangan keterlaluan!" teriak Evangeline dengan suara sedikit terisak."Nggak, aku tidak akan pernah melepaskanmu!" tolak Radhika.Devan yang melihat Radhika tengah memaksa Evangeline pun merasa murka, pria itu langsung menarik kerah kemeja bagian belakang Radhika lantas mendorong rekan bisnisnya itu keluar melewati pintu."Jangan menyentuhnya!" gera
Setelah memantapkan hati, akhirnya Anira memutuskan untuk pergi. Hari itu Kenan dan keluarganya datang untuk berpamitan dengan Anira, setelah sebelumnya mendapat kabar dari Evangeline dan Devan. "Jangan lupakan kami," ucap Angel yang ingin melepas Anira. Anira mengangguk kemudian memeluk Angel, tak bisa berkata-kata karena dirinya begitu sedih meninggalkan keluarga itu. "Sering hubungi kami, oke!" pinta Angel lagi sebelum melepas pelukan. Anira lagi-lagi hanya mengangguk, sebelum kemudian beralih menatap Kenan yang sudah menatapnya sejak tadi. "Aku akan menunggumu kembali, Nira." Kenan langsung memeluk Anira, membuat gadis itu terkejut. Anira membalas pelukan Kenan, bahkan mengusap punggung pemuda itu karena tahu jika Kenan sama beratnya melepas. "Aku sangat menyayangimu, jangan lupakan aku," lirih Kenan sebelum melepas pelukan. Anira merasa jantungnya berdegup dengan cepat ketika Kenan mengucapkan kata itu, entah kenap
"Kamu tidak akan pergi, 'kan!" Kalandra bicara empat mata dengan Anira di kamar gadis itu. Ia menatap Anira yang duduk di tepian ranjang."Aku tidak tahu." Anira menjawab pertanyaan Kalandra seraya menundukkan kepala.Wanita yang bicara dengan Evangeline adalah ibu kandung Anira, setelah sekian tahun wanita itu datang dan ingin membawa Anira karena merasa berhak atas gadis itu."Nggak, aku nggak izinin kamu pergi!" Kalandra langsung memegang kedua lengan Anira, bahkan tanpa sengaja mencengkeram begitu erat."Al, sakit!" pekik Anira mencoba melepas tangan Kalandra dari lengannya.Kalandra berlutut di depan Anira, menggenggam kedua telapak tangan gadis itu begitu erat, kedua bola matanya terlihat berkaca."Jangan pergi, Nira. Aku mohon," pinta Kalandra.Anira terlihat bingung, setelah sekian tahun dia tidak tahu siapa orangtua kandungnya, serta bagaimana mereka, haruskah dia melewatkan kesempatan bersama orangtuanya."Aku bingung
"Apa maksudnya itu, hah?" Kalandra mendorong Kenan ke tembok.Kenan yang baru saja mengantar Anira ke kelas, cukup terkejut saat Kalandra langsung menarik dan membawanya ke samping gedung sekolah."Kamu kenapa sih, Al?" tanya Kenan bingung, apalagi ketika menatap amarah di mata saudaranya itu. Ia mengusap lengan yang sakit karena terbentur dinding."Apa maksudmu menciumnya?" Kalandra ternyata melihat dari jauh saat Kenan menangkup wajah Anira. Ia melihat punggung Kenan di mana saudaranya itu memiringkan kepala.Kenan terkejut mendengar pertanyaan Kalandra, tak menyangka jika saudaranya itu melihat."Al, dengar dulu--" Kenan ingin menjelaskan, tapi terhenti karena Kalandra yang tiba-tiba memukulnya tepat di pipi, membuatnya sampai memalingkan wajah."Apa kamu kira, karena dekat dengannya maka bisa membuatmu sesuka hati menciumnya? Aku tidak setuju kamu bersikap seperti itu padanya!" Kalandra yang sudah terpancing emosi, tak bisa berpikiran je
Kenan berada di kamarnya setelah Kalandra dan Anira pulang. Ia menatap bingkai yang terdapat di meja belajarnya. Di sana terdapat foto dirinya, Anira, dan Kalandra.Kenan tiba-tiba menggelengkan kepala dengan senyum kecil di wajah, merasa lucu dengan hal yang dipikirkannya sekarang."Apa itu senyum-senyum sendiri?" tanya Angel yang ternyata melihat adiknya itu duduk melamun. Ia pun lantas berjalan masuk dan menghampiri Kenan.Kenan menoleh Angel yang kini sudah berdiri bersandar meja belajarnya."Siapa yang tersenyum?" Kenan mengelak dari pertanyaan sang kakak."Jangan bohong! Jelas-jelas tadi aku melihatmu tersenyum," ucap Angel."Hah, terserahlah." Kenan masih tidak mau mengakui. Ia malah membuka buku seakan ingin mengabaikan sang kakak.Angel menatap Kenan, seperti mengetahui sesuatu dari pandangan sang adik."Ke, apa kamu menyukai Anira?" tanya Angel tiba-tiba.Kenan langsung berhenti membalikkan buku saat mendengar
Kalandra tidak jadi belajar karena kasihan dengan Anira. Ia pun meminta sopir untuk menjemput mereka. Dalam perjalanan pulang, Kalandra hanya diam, membuat Anira sedikit merasa heran."Kamu baik-baik saja, Al?" tanya Anira.Kalandra tersadar dari lamunan, kemudian menoleh ke arah Anira yang duduk di sampingnya."Aku tidak apa-apa," jawab remaja itu, mencoba mengulas senyum.Anira mengangguk karena Kalandra sudah mengatakan jika tidak apa-apa, mereka pun kembali menatap aspal jalanan.Sebenarnya Kalandra sedang memikirkan percakapannya dengan Kenan beberapa waktu lalu, saat Kenan sedang berganti pakaian.Di kamar tamu, beberapa waktu lalu."Ke, boleh aku tanya sesuatu?" Kalandra berdiri di samping pintu kamar mandi tempat Kenan berganti pakaian."Tanya saja!" Suara Kenan terdengar dari dalam kamar mandi."Aku melihat, akhir-akhir ini kamu sangat memperhatikan Nira. Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?" tanya Kala
Angel sangat terkejut saat melihat Anira tercebur ke kolam. Saat ingin melompat, ternyata Kenan sudah melompat duluan. Angel pun akhirnya menunggu di tepian dengan wajah panik.Kalandra meraih handuk yang tergantung di kursi, lantas berjongkok begitu melihat Kenan membawa Anira ke tepian, ia langsung menarik Anira keluar dari kolam, serta menutup tubuh gadis itu menggunakan handuk.Anira sangat ketakutan, itu karena dirinya trauma. Sejak kejadian banjir itu, tenggelam adalah mimpi buruk untuknya. Kejadian di masa kecil itu, ternyata melekat di hati dan pikiran gadis itu.Kenan keluar dari kolam, kemudian langsung mendekat ke arah Wira dan mendorong teman kakaknya itu. Membuat beberapa teman Angel terkejut dan panik karena takut ada perkelahian."Kenapa kamu mendorongnya, hah?" Kenan murka dengan kejadian yang menimpa Anira, menyalahkan Wira seakan tak takut dengan pemuda yang lebih dewasa darinya itu."Siapa yang mendorong? Dia terpeleset!" Bela Wi
Sore itu Anira dan Kalandra pergi ke rumah Kenan. Anira ke sana karena Kalandra yang mengajak, dua remaja itu ingin mengerjakan tugas."Rumah Kenan ramai amat?" tanya Anira ketika melihat beberapa mobil terparkir di halaman rumah."Palingan teman-teman Ica. Kata Kenan, tante dan om lagi ke luar kota, makanya di rumah bebas. Biasa kalau Ica suka ngundang teman kalau tidak ada om dan tante," jawab Kalandra seraya turun dari mobil, mereka diantar sopir.Anira hanya mengangguk, kemudian keluar dari mobil bersama Kalandra.Saat masuk, Anira melihat ke arah samping rumah, di mana kolam renang terlihat ramai dengan muda-mudi. Sepertinya Angel mengadakan pesta kolam renang."Nira!" panggil Angel saat melihat Anira."Kak!" sapa Anira sopan."Mau belajar?" tanya Angel. Ia membawa nampan berisi softdrink dan camilan."Ya, Al yang ingin belajar bersama Kenan," jawab Anira. "Apa mau aku bantu?" tanya Anira kemudian saat melihat Angel kerepo
Tahun demi tahun pun berlalu. Evangeline dan Devan menjalani hidup penuh kebahagiaan. Adanya Kalandra dan Anira, membuat hidup keduanya begitu sempurna.Kalandra kini hampir menginjak umur enam belas tahun, sedangkan Anira baru menginjak umur delapan belas tahun, gadis itu tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sama seperti tahun sebelumnya, Anira satu sekolah dengan Kalandra dan Kenan. Evangeline dan Milea memang sengaja menyekolahkan mereka bersama, agar ketiganya bisa terus saling menjaga."Nira! Dasiku di mana?" Kalandra berteriak dari kamarnya. Remaja itu sibuk mencari dasi sekolahnya.Anira yang baru saja selesai bersiap, lantas menyusul Kalandra begitu mendengar suara pemuda itu."Bukannya di laci kamar ganti, Al! Kenapa kamu suka lupa?" Anira yang baru masuk kamar, langsung berjalan ke arah kamar ganti.Kalandra sendiri hanya tersenyum melihat Anira yang langsung masuk ke kamar begitu dipanggil.Anira mengambilkan dasi Kaland
Hari berikutnya, Kalandra terpaksa tak ke sekolah karena kondisinya. Siang itu Kenan pulang bersama Anira dijemput Milea, Kenan ingin menjenguk Kalandra."Apa Al baik-baik saja?" tanya Kenan saat berada di mobil bersama Anira."Ya, hanya karena masih pusing, makanya dia tidak berangkat," jawab Anira dengan senyum kecil di wajah.Kenan mengangguk, kemudian memilih duduk dengan tenang bersama Anira, sampai mobil mereka sampai di rumah Evangeline.--Di rumah Evangeline, Kalandra terlihat kesepian karena berada di kamar sendirian."Ma, aku bosan," ucap Kalandra ketika melihat Evangeline masuk kamar."Nonton televisi kalau bosan," balas Evangeline santai. Wanita itu masuk membawa makanan dan minum untuk Kalandra.Kalandra mencebikkan bibir, tahu akan bosan di rumah sendirian, tentu dia akan memilih berangkat ke sekolah bersama Anira, meskipun kepala masih terasa pening.Evangeline meletakkan nampan ke atas nakas, seb