Pada pagi hari, Jordan pergi ke rumah Sonia untuk memberi tahu keberadaan Devan yang tidak pulang.
"Di mana kakakmu? Mamah khawatir kenapa dia tidak menjawab panggilan Mamah. Kamu juga, katanya mau mencarinya, kenapa tidak memberi kabar?" tanya Sonia pada Jordan, wanita itu terlihat begitu panik. Baginya kini Devan adalah putra satu-satunya yang dimiliki sejak mendiang istri Jordan meninggal.
Jordan yang tahu jika mertuanya begitu cemas pun menepuk pundak Sonia dari belakang, lantas memijatnya lembut dan meminta wanita itu untuk duduk serta tetap tenang. Jordan memang menganggap Sonia seperti ibunya sendiri meskipun istrinya sudah tiada. Bagi Jordan, Sonia adalah wanita yang baik dan juga penyayang, karena itu Jordan tidak bisa meninggalkan Sonia meski dirinya hanya seorang mantan menantu.
"Mamah jangan khawatir, dia baik-baik saja," ucap Jordan dengan tangan yang masih memijat pundak Sonia.
Sonia me
Saat Devan selesai makan, Jordan terlihat datang bersama dengan Sonia. Wanita itu terlihat membawa rantang makanan dan paper bag berisi pakaian ganti untuk Devan.Evangeline langsung berdiri begitu melihat Sonia datang, ia menyapa lantas bergeser agar wanita itu duduk di kursi tempatnya duduk tadi. Devan sendiri menatap apda Jordan, adik iparnya itu tampak tersenyum dengan sesekali menggosok hidung menggunakan jemari."Bagaimana keadaan kamu, kenapa bisa masuk rumah sakit?" tanya Sonia yang begitu cemas melihat keadaan putranya."Aku baik-baik saja, Mah! Hanya asam lambungku saja yang kumat," jawab Devan."Maaf Nyonya, ini karena saya, tidak tahu jika pak Devan tidak bisa makan pedas, tapi malah saya beri makanan itu." Evangeline merasa bersalah dan perlu meminta maaf pada keluarga Devan.Sonia menatap pada Evangeline yang menundukkan kepala, lantas beralih pada Devan yang ternya
Danny memperhatikan Devan, asisten itu tahu jika ada sesuatu yang berbeda dari atasannya. Sebagai bawahan yang sudah ikut selama lima tahun dengan Devan, tentu saja ia paham dengan sikap dan kebiasaan Devan.Danny membawa berkas ke meja Devan, ia masih mengamati atasannya itu dengan seksama. Danny bisa melihat lengkungan kecil terus terpajang di wajah Devan."Ehem ...." Danny berdeham.Devan yang sadar jika Danny mengamatinya pun menengok, ia melihat asistennya itu berdiri dan berjalan ke arahnya."Saya lihat Anda terlihat begitu bahagia, apa itu? Juga kenapa kemarin Anda dan Angel tidak masuk secara bersamaan, apa ada sesuatu?" tanya Danny yang begitu penasaran dengan perubahan suasana hati atasannya.Devan sudah tahu maksud dari Danny, ia pun mengambil ponselnya yang berada di samping laptop. Lantas terlihat mengetikka sesuatu hingga kemudian memperlihatkannya pada Danny.
"Hah, baru ingat denganku!" Evangeline menatap Milea yang duduk dengan tersenyum lebar ke arahnya.Milea memperlihatkan deretan giginya, lantas berdiri dan berpindah duduk di samping Evangeline, merengkuh lengan temannya itu seraya menyandarkan kepala dengan manja."Maaf, aku takut kamu memukuliku. Tapi 'kan yang aku lakukan tidak sia-sia," ucap Milea membela diri, berusaha membujuk temannya agar tidak marah lagi dengannya.Evangeline menepuk pelan kepala Milea, meski awalnya kesal, tapi memang karena Milea akhirnya ia bisa mencoba menjalin hubungan dengan Devan."Hah, kali ini aku maafkan. Awas saja kalau kamu merencanakan hal yang aneh-aneh lagi," kata Evangeline yang kemudian merengkuh tubuh Milea yang masih bergelayut manja padanya.Milea membuat huruf 'Ok' menggunakan jempol dan telunjuknya, lantas mengulas senyum kepada Evangeline yang mengusap pucuk kepalanya. Meski umur m
"Membatalkan kerjasama! Tidak akan aku biarkan dia menggodamu!" Amarah Devan sepertinya sudah mencapai ubun-ubun.Evangeline menahan tangan Devan, mengambil paksa gagang telpon yang sudah dipegang dan menaruhnya. Mencoba meredakan emosi Devan yang ternyata begitu menakutkan. Evangeline sadar jika nilai proyek kerjasama itu tidaklah sedikit, jika Devan membatalkannya secara sepihak, maka perusahaannya yang akan mengalami kerugian besar karena harus membayar pinalti."Ini bukan masalah besar, selama aku tidak menanggapinya," ucap Evangeline mencoba meyakinkan Devan.Devan menatap Evangeline yang mengulas senyum padanya, ia malah merasa jika Evangeline tengah membela pria yang mengirimkan bunga itu, membuat Devan semakin terbakar api cemburu."Kamu suka dengan kiriman itu, 'kan!" tuduh Devan yang benar-benar emosi.Evangeline menaikkan satu sudut alisnya, merasa jika perkataan Son
Malam itu Evangeline pergi ke rumah Milea menggunakan taksi, wanita itu sedikit heran karena rumah Milea terlihat begitu terang, seakan mengadakan pesta besar.Evangeline langsung berjalan menuju pintu utama untuk masuk, hingga dirinya begitu terkejut ketika sadar jika itu bukan acara makan malam biasa."Angel, kamu sudah datang." Naya—Ibu Milea langsung menyambut anak asuhnya itu."Ma, apa acaranya bukan cuman makan malam?" tanya Evangeline yang merasa canggung karena dirinya hanya memakai pakaian biasa."Milea tidak mengatakan padamu kalau malam ini acara lamarannya?" tanya Naya balik.Evangeline terkejut, hampir saja mengumpat karena sepertinya Milea mengerjai dirinya."Ah, anak itu. Pasti mengerjai dirimu lagi." Naya sepertinya sudah paham dengan kebiasaan Milea.Evangeline memasang wajah memelas, ia tidak mungkin ikut acara jik
Evangeline mengajak Devan ke kamar yang berada di lantai dua, tepat di samping kamar Milea. Meski tidak ditempati, ternyata kamar itu terlihat bersih dan tertata rapi, barang-barang yang ada di sana pun masih sama tidak berubah sama sekali.Devan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan itu, ia melihat meja belajar yang penuh dengan buku, tatanan ruangannya sangat khas dengan anak sekolahan, hanya ada ranjang berukuran sedang dan meja belajar.Evangeline duduk di tepian ranjang, membiarkan Devan melihat kamar yang pernah ditempatinya. Mata Devan tertuju pada sebuah bingkai foto yang terdapat di atas meja belajar, ia pun mengambil kemudian menghampiri Evangeline yang duduk di tepian ranjang."Ini kamu?" tanya Devan seraya menunjuk pada salah satu gambar yang terdapat di bingkai itu.Evangeline tersenyum, ia mengangguk tanda mengiyakan. Devan mengulas senyum, tidak menyangka jika Evangeline berpenampilan sepert
Devan mengantar Evangeline pulang ke apartemen, sepanjang basement hingga lift dan depan pintu unit apartemen, Devan tidak melepaskan genggamannya dari tangan Evangeline, membuat wanita itu hanya bisa mengulas senyum sepanjang langkah mereka."Sudah sampai, kamu pulanglah karena sudah larut," kata Evangeline yang sudah berdiri di depan pintu apartemennya."Tidak bisakah seperti ini beberapa menit lagi!" pinta Devan.Evangeline mengerutkan alisnya, tidak mengerti dengan permintaan Devan. "Kenapa?" tanya Evangeline."Karena saat kita kembali ke perusahaan, aku harus menahan untuk tidak memegang tanganmu," jawabnya.Evangeline tertawa renyah mendengar jawaban Devan, tidak menyangka jika hal itu bisa membuat Devan merasa resah."Oke, beberapa menit." Evangeline akhirnya mengiyakan permintaan Devan.Evangeline berdiri dengan bersandar daun pintu, kedua tanganny
Devan keluar dari kamar mandi dengan rambut setengah basah. Evangeline yang melihatnya pun bersikap biasa saja, sudah terbiasa dengan pemandangan seperti itu."Kamu tidak mengeringkan rambut dulu?" tanya Evangeline yang sedang sibuk menata makanan di meja."Di mana pengeringnya?" tanya Devan.Evangeline melepas aprone dari tubuhnya, lantas berjalan menyusul Devan ke kamar. Ia pun berjalan menuju meja rias lantas mengambil hairdryer yang ada di atas meja."Duduklah, biar aku keringkan," ujar Evangeline yang sudah berdiri dibelakang kursi.Devan mengulas senyum, ia pun langsung duduk ke kursi yang ditunjuk Evangeline menghadap ke cermin. Evangeline mulai menyalakan pengering rambut, dengan lembut dia mengusap rambut Devan yang basah seraya menggerakkan hairdryer secara perlahan. Devan menatap Evangeline lewat pantulan cermin, merasa jika pilihannya tidaklah salah, Evangeline benar-
Setelah memantapkan hati, akhirnya Anira memutuskan untuk pergi. Hari itu Kenan dan keluarganya datang untuk berpamitan dengan Anira, setelah sebelumnya mendapat kabar dari Evangeline dan Devan. "Jangan lupakan kami," ucap Angel yang ingin melepas Anira. Anira mengangguk kemudian memeluk Angel, tak bisa berkata-kata karena dirinya begitu sedih meninggalkan keluarga itu. "Sering hubungi kami, oke!" pinta Angel lagi sebelum melepas pelukan. Anira lagi-lagi hanya mengangguk, sebelum kemudian beralih menatap Kenan yang sudah menatapnya sejak tadi. "Aku akan menunggumu kembali, Nira." Kenan langsung memeluk Anira, membuat gadis itu terkejut. Anira membalas pelukan Kenan, bahkan mengusap punggung pemuda itu karena tahu jika Kenan sama beratnya melepas. "Aku sangat menyayangimu, jangan lupakan aku," lirih Kenan sebelum melepas pelukan. Anira merasa jantungnya berdegup dengan cepat ketika Kenan mengucapkan kata itu, entah kenap
"Kamu tidak akan pergi, 'kan!" Kalandra bicara empat mata dengan Anira di kamar gadis itu. Ia menatap Anira yang duduk di tepian ranjang."Aku tidak tahu." Anira menjawab pertanyaan Kalandra seraya menundukkan kepala.Wanita yang bicara dengan Evangeline adalah ibu kandung Anira, setelah sekian tahun wanita itu datang dan ingin membawa Anira karena merasa berhak atas gadis itu."Nggak, aku nggak izinin kamu pergi!" Kalandra langsung memegang kedua lengan Anira, bahkan tanpa sengaja mencengkeram begitu erat."Al, sakit!" pekik Anira mencoba melepas tangan Kalandra dari lengannya.Kalandra berlutut di depan Anira, menggenggam kedua telapak tangan gadis itu begitu erat, kedua bola matanya terlihat berkaca."Jangan pergi, Nira. Aku mohon," pinta Kalandra.Anira terlihat bingung, setelah sekian tahun dia tidak tahu siapa orangtua kandungnya, serta bagaimana mereka, haruskah dia melewatkan kesempatan bersama orangtuanya."Aku bingung
"Apa maksudnya itu, hah?" Kalandra mendorong Kenan ke tembok.Kenan yang baru saja mengantar Anira ke kelas, cukup terkejut saat Kalandra langsung menarik dan membawanya ke samping gedung sekolah."Kamu kenapa sih, Al?" tanya Kenan bingung, apalagi ketika menatap amarah di mata saudaranya itu. Ia mengusap lengan yang sakit karena terbentur dinding."Apa maksudmu menciumnya?" Kalandra ternyata melihat dari jauh saat Kenan menangkup wajah Anira. Ia melihat punggung Kenan di mana saudaranya itu memiringkan kepala.Kenan terkejut mendengar pertanyaan Kalandra, tak menyangka jika saudaranya itu melihat."Al, dengar dulu--" Kenan ingin menjelaskan, tapi terhenti karena Kalandra yang tiba-tiba memukulnya tepat di pipi, membuatnya sampai memalingkan wajah."Apa kamu kira, karena dekat dengannya maka bisa membuatmu sesuka hati menciumnya? Aku tidak setuju kamu bersikap seperti itu padanya!" Kalandra yang sudah terpancing emosi, tak bisa berpikiran je
Kenan berada di kamarnya setelah Kalandra dan Anira pulang. Ia menatap bingkai yang terdapat di meja belajarnya. Di sana terdapat foto dirinya, Anira, dan Kalandra.Kenan tiba-tiba menggelengkan kepala dengan senyum kecil di wajah, merasa lucu dengan hal yang dipikirkannya sekarang."Apa itu senyum-senyum sendiri?" tanya Angel yang ternyata melihat adiknya itu duduk melamun. Ia pun lantas berjalan masuk dan menghampiri Kenan.Kenan menoleh Angel yang kini sudah berdiri bersandar meja belajarnya."Siapa yang tersenyum?" Kenan mengelak dari pertanyaan sang kakak."Jangan bohong! Jelas-jelas tadi aku melihatmu tersenyum," ucap Angel."Hah, terserahlah." Kenan masih tidak mau mengakui. Ia malah membuka buku seakan ingin mengabaikan sang kakak.Angel menatap Kenan, seperti mengetahui sesuatu dari pandangan sang adik."Ke, apa kamu menyukai Anira?" tanya Angel tiba-tiba.Kenan langsung berhenti membalikkan buku saat mendengar
Kalandra tidak jadi belajar karena kasihan dengan Anira. Ia pun meminta sopir untuk menjemput mereka. Dalam perjalanan pulang, Kalandra hanya diam, membuat Anira sedikit merasa heran."Kamu baik-baik saja, Al?" tanya Anira.Kalandra tersadar dari lamunan, kemudian menoleh ke arah Anira yang duduk di sampingnya."Aku tidak apa-apa," jawab remaja itu, mencoba mengulas senyum.Anira mengangguk karena Kalandra sudah mengatakan jika tidak apa-apa, mereka pun kembali menatap aspal jalanan.Sebenarnya Kalandra sedang memikirkan percakapannya dengan Kenan beberapa waktu lalu, saat Kenan sedang berganti pakaian.Di kamar tamu, beberapa waktu lalu."Ke, boleh aku tanya sesuatu?" Kalandra berdiri di samping pintu kamar mandi tempat Kenan berganti pakaian."Tanya saja!" Suara Kenan terdengar dari dalam kamar mandi."Aku melihat, akhir-akhir ini kamu sangat memperhatikan Nira. Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?" tanya Kala
Angel sangat terkejut saat melihat Anira tercebur ke kolam. Saat ingin melompat, ternyata Kenan sudah melompat duluan. Angel pun akhirnya menunggu di tepian dengan wajah panik.Kalandra meraih handuk yang tergantung di kursi, lantas berjongkok begitu melihat Kenan membawa Anira ke tepian, ia langsung menarik Anira keluar dari kolam, serta menutup tubuh gadis itu menggunakan handuk.Anira sangat ketakutan, itu karena dirinya trauma. Sejak kejadian banjir itu, tenggelam adalah mimpi buruk untuknya. Kejadian di masa kecil itu, ternyata melekat di hati dan pikiran gadis itu.Kenan keluar dari kolam, kemudian langsung mendekat ke arah Wira dan mendorong teman kakaknya itu. Membuat beberapa teman Angel terkejut dan panik karena takut ada perkelahian."Kenapa kamu mendorongnya, hah?" Kenan murka dengan kejadian yang menimpa Anira, menyalahkan Wira seakan tak takut dengan pemuda yang lebih dewasa darinya itu."Siapa yang mendorong? Dia terpeleset!" Bela Wi
Sore itu Anira dan Kalandra pergi ke rumah Kenan. Anira ke sana karena Kalandra yang mengajak, dua remaja itu ingin mengerjakan tugas."Rumah Kenan ramai amat?" tanya Anira ketika melihat beberapa mobil terparkir di halaman rumah."Palingan teman-teman Ica. Kata Kenan, tante dan om lagi ke luar kota, makanya di rumah bebas. Biasa kalau Ica suka ngundang teman kalau tidak ada om dan tante," jawab Kalandra seraya turun dari mobil, mereka diantar sopir.Anira hanya mengangguk, kemudian keluar dari mobil bersama Kalandra.Saat masuk, Anira melihat ke arah samping rumah, di mana kolam renang terlihat ramai dengan muda-mudi. Sepertinya Angel mengadakan pesta kolam renang."Nira!" panggil Angel saat melihat Anira."Kak!" sapa Anira sopan."Mau belajar?" tanya Angel. Ia membawa nampan berisi softdrink dan camilan."Ya, Al yang ingin belajar bersama Kenan," jawab Anira. "Apa mau aku bantu?" tanya Anira kemudian saat melihat Angel kerepo
Tahun demi tahun pun berlalu. Evangeline dan Devan menjalani hidup penuh kebahagiaan. Adanya Kalandra dan Anira, membuat hidup keduanya begitu sempurna.Kalandra kini hampir menginjak umur enam belas tahun, sedangkan Anira baru menginjak umur delapan belas tahun, gadis itu tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sama seperti tahun sebelumnya, Anira satu sekolah dengan Kalandra dan Kenan. Evangeline dan Milea memang sengaja menyekolahkan mereka bersama, agar ketiganya bisa terus saling menjaga."Nira! Dasiku di mana?" Kalandra berteriak dari kamarnya. Remaja itu sibuk mencari dasi sekolahnya.Anira yang baru saja selesai bersiap, lantas menyusul Kalandra begitu mendengar suara pemuda itu."Bukannya di laci kamar ganti, Al! Kenapa kamu suka lupa?" Anira yang baru masuk kamar, langsung berjalan ke arah kamar ganti.Kalandra sendiri hanya tersenyum melihat Anira yang langsung masuk ke kamar begitu dipanggil.Anira mengambilkan dasi Kaland
Hari berikutnya, Kalandra terpaksa tak ke sekolah karena kondisinya. Siang itu Kenan pulang bersama Anira dijemput Milea, Kenan ingin menjenguk Kalandra."Apa Al baik-baik saja?" tanya Kenan saat berada di mobil bersama Anira."Ya, hanya karena masih pusing, makanya dia tidak berangkat," jawab Anira dengan senyum kecil di wajah.Kenan mengangguk, kemudian memilih duduk dengan tenang bersama Anira, sampai mobil mereka sampai di rumah Evangeline.--Di rumah Evangeline, Kalandra terlihat kesepian karena berada di kamar sendirian."Ma, aku bosan," ucap Kalandra ketika melihat Evangeline masuk kamar."Nonton televisi kalau bosan," balas Evangeline santai. Wanita itu masuk membawa makanan dan minum untuk Kalandra.Kalandra mencebikkan bibir, tahu akan bosan di rumah sendirian, tentu dia akan memilih berangkat ke sekolah bersama Anira, meskipun kepala masih terasa pening.Evangeline meletakkan nampan ke atas nakas, seb