Devan dan Evangeline Sudah sampai di perusahaan Radhika, keduanya berjalan bersisian tanpa bergandengan tangan mengingat profesionalisme kerja yang mereka tunjukkan. Meski Evangeline sudah pergi dari sana sangat lama, ternyata karyawan Radhika masih banyak yang mengenali.
"Mrs Evangeline!" sapa seorang karyawan.
Tentu saja sapaan itu membuat Devan dan Evangeline menghentikan langkah dan langsung ikut balik menyapa.
"How are you?"
"I am fine." Evangeline mengulas senyum dan ada rasa canggung.
"Do you want to meet Mr. Radhika (Apakah Anda ingin bertemu Tuan Radhika)?" tanya karyawan itu.
Evangeline menoleh sekilas pada Devan, lantas menjelaskan. "Yes, because I have business. This is my boss! (Ya, karena saya punya urusan bisnis. Ini bosku!)" jawab Evangeline seraya memperkenalkan Devan pada karyawan mantan suaminya itu.
Devan hanya tersenyum kecil ketika melihat karyawan Radhika mengulas senyum dan sedikit membungkukkan badan unt
Evangeline meminta izin Devan ke kamar mandi sebentar setelah rapat selesai. Ia kini tengah membasuh tangan setelah selesai ke kamar kecil."Bagaimana kabarmu?"Evangeline langung menoleh ke arah sumber suara di mana Catherine berjalan menghampiri dirinya."Sangat baik," jawab Evangeline yang kemudian kembali menatap cermin.Catherine sudah berdiri di samping Evangeline, ada rasa bersalah yang kembali menggelayuti hati ketika kembali melihat temannya itu."Angel, soal kejadian dulu aku ingin--" Catherine berhenti bicara karena Evangeline memotongnya dengan cepat."Aku sudah lupa, lagi pula kini itu bukan urusanku lagi. Aku sudah bahagia dan tidak perlu lagi membahasnya."Evangeline bersikap dingin pada Catherine, mengibaskan kedua tangan yang basah di atas wastafel sebelum mengambil tisu. Ia berjalan hendak meninggalkan Catherine yang tertegun karena ucapannya, tapi berhenti sejenak dan mengatakan hal lainnya."Aku dengar kalia
"Ada apa, hah?" tanya Devan yang merasa cemas.Devan merasakan pelukan Evangeline semakin erat, bahkan terasa basah di dada. Hingga langsung memegang kedua lengan Evangeline untuk melihat apakah istri menangis."Kenapa menangis?" tanya Devan, jemari mengusap buliran kristal bening yang luruh di wajah Evangeline."Tidak ada, aku hanya tidak mau datang ke pernikahan Radhika, bukan karena aku belum bisa melepas, tapi lebih karena aku tidak mau bertemu ibunya," jawab Evangeline, hingga kemudian memilih duduk di tepian ranjang, mengusap wajah berulang kali.Devan cukup terkejut mendengar jawaban Evangeline, hingga ikut duduk di sebelah."Apa ibunya jahat padamu?" tanya Devan mencoba menyelami masalah yang sedang dirasakan Evangeline."Entah bisa dibilang jahat atau tidak, yang jelas wanita itu tidak pernah menyukaiku sama sekali," jawab Evangeline dengan kepala menunduk.Devan cukup mengerti perasaan Evangeline, hingga akhirnya merengkuh p
Catherine yang ternyata saat itu juga berada di Mall, tampak mengedarkan pandangan mencari seseorang yang ternyata adalah ibu Radhika. Ia dan wanita itu memang datang ke pusat perbelanjaan untuk membeli sesuatu. Catherine mencari hingga melihat calon mertuanya itu berada di toko aksesoris, tapi saat akan mendekat, baru sadar kalau ada Evangeline di sana. Hingga Catherine pun memilih mendekat perlahan dan mendengarkan apa yang dibicarakan oleh mereka.Catherine mendengar dan melihat apa yang dilakukan ibu Radhika, bahkan saat wanita itu sengaja menendang gelang yang akan dipungut Evangeline. Hingga Catherin melihat mata Evangeline yang berkaca ketika ibu Radhika membisikkan sesuatu. "Apakah hubungan mama dan Evangeline memang tidak baik? Atau karena Evangeline dianggap jahat karena meminta cerai?" Catherine bertanya-tanya dalam hati.Evangeline memejamkan mata sekilas, menahan air mata yang akan luruh, hatinya terasa hancur mengetahui fakta yang tidak diketahuinya selam
Radhika menyetir mobil seraya berpikir, mengingat cerita Catherine membuatnya ingat akan pertama kali ketika menjalin hubungan dengan Evangeline saat kuliah dulu. Ibunya begitu menentang, mengingat jika dulu Evangeline kuliah sambil bekerja, ibu menganggap kalau Evangeline adalah gadis miskin dan tidak setara dengan keluarganya."Apakah selama ini mama memang tidak pernah menyukai Ivi? Meskipun pernah mengatakan kalau akan menerima? Apakah sebenarnya mama memang tidak pernah menerima?" Radhika bertanya-tanya sendiri, mencoba menerka dari kepingan ingatan ketika Evangeline bertemu ibu."Tapi, jika mama tidak pernah baik, kenapa Ivi tak pernah bicara?"Radhika melajukan mobil hingga menuju hotel tempat ayah dan ibunya menginap. Entah kenapa hatinya tergerak untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi setelah Catherine bercerita.Radhika berjalan di koridor hingga kamar kedua orangtuanya, melihat kalau pintu kamar itu tidak tertutup rapat."Mama se
Evangeline termangu memikirkan ucapan ibu Radhika. Ia hanya masih tidak habis pikir kenapa mantan mertuanya itu selalu jahat padanya, apa salah jika dirinya hanyalah seorang anak yatim?Evangeline menghela napas kasar, hingga memejam sekilas untuk menenangkan pikiran hingga mendengar suara bel kamar."Ah, dia sudah pulang." Evangeline melebarkan senyum, ingin segera mengetahui apakah kontrak perusahaan sudah selesai diurus sehingga mereka bisa segera pergi dari sana.Evangeline bergegas berjalan menuju pintu dan membuka, tapi terlihat begitu terkejut ketika melihat siapa yang berdiri di depannya."Ka, kenapa kamu ke sini?" tanya Evangeline bingung melihat Radhika ke sana.Tanpa kata, Radhika menarik tangan Evangeline, membawa mantan istrinya itu dalam dekapan."Maaf, maaf. Kenapa kamu tidak pernah memberitahuku?" tanya Radhika yang sudah memeluk erat tubuh Evangeline.Evangeline terkesiap ketika Radhika memeluknya begitu saja, juga te
Devan baru saja selesai membahas masalah kontrak kerjasama dengan bagian legal perusahaan Radhika. Ia membaca pesan Evangeline yang mengatakan kalau sudah kembali ke hotel."Terima kasih sudah meluangkan waktu Anda," ucap bagian legal perusahaan Radhika."Sama-sama."Devan pun memilih berpamitan dan ingin segera kembali ke hotel untuk memberitahu kepada Evangeline jika mereka bisa segera pergi ke Rio-Brazil.Catherine tampak cemas karena Radhika tak kunjung memberi kabar atau kembali, hingga wanita itu memutuskan untuk mencari keberadaan Radhika sebab ponsel tidak bisa dihubungi.Saat berjalan di lobi, Catherine melihat Devan yang sedang berjalan ke arah pintu utama, hingga wanita itu berpikir sesuatu."Tuan Devan!" panggil Catherine yang kemudian berjalan cepat menghampiri suami Evangeline.Devan menoleh ke arah sumber suara yang memanggil, hingga melihat Catherine yang berjalan ke arahnya. Devan mengenali Catherine karena Evangeline
Catherine mengantar Radhika pulang, untuk membantu mengobati luka calon suaminya itu."Apa yang kamu lakukan, hah?" Catherine ingin sekali memukul Radhika karena kelakuan pria itu, tapi tidak tega karena wajah Radhika sudah babak belur oleh Devan.Radhika tidak menjawab pertanyaan Catherine, memilih diam dan memasang wajah datar."Mari batalkan pernikahan ini!" ajak Catherine yang membuat Radhika langsung menatap."Aku tahu kamu masih sangat mencintai Angel. Meski aku menginginkan pernikahan ini, tapi aku juga tidak mau pernikahan terpaksa," ujar Catherine kemudian.Radhika masih tak berkata-kata, hanya mendengarkan apa yang diucapkan eh Catherine."Apa yang kamu perbuat hari ini, tentu akan membuatnya membencimu. Kenapa kamu melakukannya?" tanya Catherine.Radhika masih enggan bicara, memilih memalingkan wajah saat Catherine mengoles obat ke wajahnya."Karena aku menyesal. Menyesal tidak pernah tahu kepedihannya, aku pikir dia
Berbekal info dari temannya, ibu Radhika tahu tempat menginap Evangeline, mendatangi dan langsung melabrak mantan menantunya itu."Apa kamu tidak ada habisnya menggoda putraku, hah?" Ibu Radhika menjambak rambut Evangeline."Aghh!" Evangeline memekik karena kulit kepalanya terasa perih saat tertarik."Kenapa kamu terus menggodanya? Kenapa terus mengusik hidupnya? Dan aku begitu bodoh, seharusnya bukan Radhika yang aku buat tidur dengan Catherine, tapi kamu yang aku buat tidur dengan pria lain agar Radhika jijik dan tidak mau lagi denganmu!" Ibu Radhika melepas rambut Evangeline dengan mendorong hingga membuat istri Devan itu terjatuh di lantai.Evangeline menahan sakit yang teramat dalam, kenapa mantan mertuanya itu tidak ada habisnya membenci, sedangkan Evangeline sudah berusaha pergi.Radhika dan Catherine yang menyusul ibu, begitu terkejut ketika mendengar pengakuan tak langsung ibunya."Apa yang Mama katakan?" teriak Radhika yang emosi d
Setelah memantapkan hati, akhirnya Anira memutuskan untuk pergi. Hari itu Kenan dan keluarganya datang untuk berpamitan dengan Anira, setelah sebelumnya mendapat kabar dari Evangeline dan Devan. "Jangan lupakan kami," ucap Angel yang ingin melepas Anira. Anira mengangguk kemudian memeluk Angel, tak bisa berkata-kata karena dirinya begitu sedih meninggalkan keluarga itu. "Sering hubungi kami, oke!" pinta Angel lagi sebelum melepas pelukan. Anira lagi-lagi hanya mengangguk, sebelum kemudian beralih menatap Kenan yang sudah menatapnya sejak tadi. "Aku akan menunggumu kembali, Nira." Kenan langsung memeluk Anira, membuat gadis itu terkejut. Anira membalas pelukan Kenan, bahkan mengusap punggung pemuda itu karena tahu jika Kenan sama beratnya melepas. "Aku sangat menyayangimu, jangan lupakan aku," lirih Kenan sebelum melepas pelukan. Anira merasa jantungnya berdegup dengan cepat ketika Kenan mengucapkan kata itu, entah kenap
"Kamu tidak akan pergi, 'kan!" Kalandra bicara empat mata dengan Anira di kamar gadis itu. Ia menatap Anira yang duduk di tepian ranjang."Aku tidak tahu." Anira menjawab pertanyaan Kalandra seraya menundukkan kepala.Wanita yang bicara dengan Evangeline adalah ibu kandung Anira, setelah sekian tahun wanita itu datang dan ingin membawa Anira karena merasa berhak atas gadis itu."Nggak, aku nggak izinin kamu pergi!" Kalandra langsung memegang kedua lengan Anira, bahkan tanpa sengaja mencengkeram begitu erat."Al, sakit!" pekik Anira mencoba melepas tangan Kalandra dari lengannya.Kalandra berlutut di depan Anira, menggenggam kedua telapak tangan gadis itu begitu erat, kedua bola matanya terlihat berkaca."Jangan pergi, Nira. Aku mohon," pinta Kalandra.Anira terlihat bingung, setelah sekian tahun dia tidak tahu siapa orangtua kandungnya, serta bagaimana mereka, haruskah dia melewatkan kesempatan bersama orangtuanya."Aku bingung
"Apa maksudnya itu, hah?" Kalandra mendorong Kenan ke tembok.Kenan yang baru saja mengantar Anira ke kelas, cukup terkejut saat Kalandra langsung menarik dan membawanya ke samping gedung sekolah."Kamu kenapa sih, Al?" tanya Kenan bingung, apalagi ketika menatap amarah di mata saudaranya itu. Ia mengusap lengan yang sakit karena terbentur dinding."Apa maksudmu menciumnya?" Kalandra ternyata melihat dari jauh saat Kenan menangkup wajah Anira. Ia melihat punggung Kenan di mana saudaranya itu memiringkan kepala.Kenan terkejut mendengar pertanyaan Kalandra, tak menyangka jika saudaranya itu melihat."Al, dengar dulu--" Kenan ingin menjelaskan, tapi terhenti karena Kalandra yang tiba-tiba memukulnya tepat di pipi, membuatnya sampai memalingkan wajah."Apa kamu kira, karena dekat dengannya maka bisa membuatmu sesuka hati menciumnya? Aku tidak setuju kamu bersikap seperti itu padanya!" Kalandra yang sudah terpancing emosi, tak bisa berpikiran je
Kenan berada di kamarnya setelah Kalandra dan Anira pulang. Ia menatap bingkai yang terdapat di meja belajarnya. Di sana terdapat foto dirinya, Anira, dan Kalandra.Kenan tiba-tiba menggelengkan kepala dengan senyum kecil di wajah, merasa lucu dengan hal yang dipikirkannya sekarang."Apa itu senyum-senyum sendiri?" tanya Angel yang ternyata melihat adiknya itu duduk melamun. Ia pun lantas berjalan masuk dan menghampiri Kenan.Kenan menoleh Angel yang kini sudah berdiri bersandar meja belajarnya."Siapa yang tersenyum?" Kenan mengelak dari pertanyaan sang kakak."Jangan bohong! Jelas-jelas tadi aku melihatmu tersenyum," ucap Angel."Hah, terserahlah." Kenan masih tidak mau mengakui. Ia malah membuka buku seakan ingin mengabaikan sang kakak.Angel menatap Kenan, seperti mengetahui sesuatu dari pandangan sang adik."Ke, apa kamu menyukai Anira?" tanya Angel tiba-tiba.Kenan langsung berhenti membalikkan buku saat mendengar
Kalandra tidak jadi belajar karena kasihan dengan Anira. Ia pun meminta sopir untuk menjemput mereka. Dalam perjalanan pulang, Kalandra hanya diam, membuat Anira sedikit merasa heran."Kamu baik-baik saja, Al?" tanya Anira.Kalandra tersadar dari lamunan, kemudian menoleh ke arah Anira yang duduk di sampingnya."Aku tidak apa-apa," jawab remaja itu, mencoba mengulas senyum.Anira mengangguk karena Kalandra sudah mengatakan jika tidak apa-apa, mereka pun kembali menatap aspal jalanan.Sebenarnya Kalandra sedang memikirkan percakapannya dengan Kenan beberapa waktu lalu, saat Kenan sedang berganti pakaian.Di kamar tamu, beberapa waktu lalu."Ke, boleh aku tanya sesuatu?" Kalandra berdiri di samping pintu kamar mandi tempat Kenan berganti pakaian."Tanya saja!" Suara Kenan terdengar dari dalam kamar mandi."Aku melihat, akhir-akhir ini kamu sangat memperhatikan Nira. Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?" tanya Kala
Angel sangat terkejut saat melihat Anira tercebur ke kolam. Saat ingin melompat, ternyata Kenan sudah melompat duluan. Angel pun akhirnya menunggu di tepian dengan wajah panik.Kalandra meraih handuk yang tergantung di kursi, lantas berjongkok begitu melihat Kenan membawa Anira ke tepian, ia langsung menarik Anira keluar dari kolam, serta menutup tubuh gadis itu menggunakan handuk.Anira sangat ketakutan, itu karena dirinya trauma. Sejak kejadian banjir itu, tenggelam adalah mimpi buruk untuknya. Kejadian di masa kecil itu, ternyata melekat di hati dan pikiran gadis itu.Kenan keluar dari kolam, kemudian langsung mendekat ke arah Wira dan mendorong teman kakaknya itu. Membuat beberapa teman Angel terkejut dan panik karena takut ada perkelahian."Kenapa kamu mendorongnya, hah?" Kenan murka dengan kejadian yang menimpa Anira, menyalahkan Wira seakan tak takut dengan pemuda yang lebih dewasa darinya itu."Siapa yang mendorong? Dia terpeleset!" Bela Wi
Sore itu Anira dan Kalandra pergi ke rumah Kenan. Anira ke sana karena Kalandra yang mengajak, dua remaja itu ingin mengerjakan tugas."Rumah Kenan ramai amat?" tanya Anira ketika melihat beberapa mobil terparkir di halaman rumah."Palingan teman-teman Ica. Kata Kenan, tante dan om lagi ke luar kota, makanya di rumah bebas. Biasa kalau Ica suka ngundang teman kalau tidak ada om dan tante," jawab Kalandra seraya turun dari mobil, mereka diantar sopir.Anira hanya mengangguk, kemudian keluar dari mobil bersama Kalandra.Saat masuk, Anira melihat ke arah samping rumah, di mana kolam renang terlihat ramai dengan muda-mudi. Sepertinya Angel mengadakan pesta kolam renang."Nira!" panggil Angel saat melihat Anira."Kak!" sapa Anira sopan."Mau belajar?" tanya Angel. Ia membawa nampan berisi softdrink dan camilan."Ya, Al yang ingin belajar bersama Kenan," jawab Anira. "Apa mau aku bantu?" tanya Anira kemudian saat melihat Angel kerepo
Tahun demi tahun pun berlalu. Evangeline dan Devan menjalani hidup penuh kebahagiaan. Adanya Kalandra dan Anira, membuat hidup keduanya begitu sempurna.Kalandra kini hampir menginjak umur enam belas tahun, sedangkan Anira baru menginjak umur delapan belas tahun, gadis itu tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sama seperti tahun sebelumnya, Anira satu sekolah dengan Kalandra dan Kenan. Evangeline dan Milea memang sengaja menyekolahkan mereka bersama, agar ketiganya bisa terus saling menjaga."Nira! Dasiku di mana?" Kalandra berteriak dari kamarnya. Remaja itu sibuk mencari dasi sekolahnya.Anira yang baru saja selesai bersiap, lantas menyusul Kalandra begitu mendengar suara pemuda itu."Bukannya di laci kamar ganti, Al! Kenapa kamu suka lupa?" Anira yang baru masuk kamar, langsung berjalan ke arah kamar ganti.Kalandra sendiri hanya tersenyum melihat Anira yang langsung masuk ke kamar begitu dipanggil.Anira mengambilkan dasi Kaland
Hari berikutnya, Kalandra terpaksa tak ke sekolah karena kondisinya. Siang itu Kenan pulang bersama Anira dijemput Milea, Kenan ingin menjenguk Kalandra."Apa Al baik-baik saja?" tanya Kenan saat berada di mobil bersama Anira."Ya, hanya karena masih pusing, makanya dia tidak berangkat," jawab Anira dengan senyum kecil di wajah.Kenan mengangguk, kemudian memilih duduk dengan tenang bersama Anira, sampai mobil mereka sampai di rumah Evangeline.--Di rumah Evangeline, Kalandra terlihat kesepian karena berada di kamar sendirian."Ma, aku bosan," ucap Kalandra ketika melihat Evangeline masuk kamar."Nonton televisi kalau bosan," balas Evangeline santai. Wanita itu masuk membawa makanan dan minum untuk Kalandra.Kalandra mencebikkan bibir, tahu akan bosan di rumah sendirian, tentu dia akan memilih berangkat ke sekolah bersama Anira, meskipun kepala masih terasa pening.Evangeline meletakkan nampan ke atas nakas, seb