Diiringi senyum semeringah, Briyan yang sengaja datang untuk memberi kejutan pada Chika pun menghampiri kekasihnya itu. Lantas, kedua tangan yang Briyan sembunyikan di balik punggung, seketika ia tunjukkan bersamaan dengan sebuket bunga mawar merah merona, lengkap dengan beberapa batang cokelat di dalamnya.
Katanya, “Sore, Sayang. Aku telat jemput nggak? Atau ... malah kecepatan?”
Pertanyaannya itu pun sukses membuat Chika terharu biru. Dia benar-benar merasa di atas awan sekarang. Sampai-sampai, Chika tak dapat menyembunyikan rona bahagia di pipinya yang tirus. Bahkan, refleks, tubuhnya bergerak kegirangan. Membuat Maya yang berdiri di sampingnya menyikut Chika agar bersikap anggun.
“Jadi cewek itu kudu kalem. Jan ganjen kek begitu!” bisik Maya, menasihati Chika yang mendadak ganjen bin labai.
“Iya-iya!” balas Chika, sama berbisik. Kemudian, gadis yang memakai gaun merah selutut itu pun melangkah maju. “Aku masih ada satu kelas lagi, Yang. Kamu kenapa nggak ngabarin dulu coba? Kan, aku bisa kasih tau jam pulang.”
“Bukan kejutan kalau aku kasih tahu mau datang ke sini. Tapi, karena aku sudah terlanjur datang, nggak apa-apa deh aku tunggu. Cuman sejam, kan? Atau ... dua jam?” tanya Briyan, seraya menyodorkan buket yang dibawanya itu pada Chika.
“Nggak sampai dua jam, sih. Tapi, tetep aja lama. Kamu sebaiknya pulang, Yang. Nggak apa-apa, kok. Aku biasa pulang sendiri dari dulu,” balas Chika sembari meraih buket dan menghidunya sekejap. Ia sangat menyukai bunga mawar. Itu kenapa, hatinya teramat senang.
“Nggak apa-apa. Aku juga udah biasa nunggu, kok.” Briyan malah bergurau sebelum akhirnya menyuruh Chika untuk segera meninggalkannya di sana. “Belajar yang bener!” lanjutnya. Sebagai kekasih, Briyan merasa perlu untuk mengingatkan Chika juga. Meski sebenarnya, ia belum benar-benar menyematkan hatinya pada gadis berambut lurus itu.
“Siap komandan!” timpal Chika, yang setelah itu, kemudian menggandeng tangan Maya untuk segera pergi dari sana. Saking semangat, terus saja Chika tertawa-tawa pelan. Sesekali, dia pun menengok untuk memastikan kekasihnya di belakang. Briyan masih di tempatnya. Kekasihnya itu bahkan melambai tiap kali Chika menoleh.
“Astaga! Gadis itu,” gumam Briyan sambil tersenyum lebar. Karena untuk pertama kali menjalin asmara dengan gadis kuliahan, itu pun baru masuk setahun lalu, Briyan merasa dirinya justru terbawa menjadi kekanak-kanakan. Padahal, hubungan mereka baru terhitung hari.
Briyan menggeleng diiringi seringai tipis dari bibirnya. Lantas, setelah jejak Chika dan Maya tak lagi dilihatnya, ia berbalik untuk kembali ke dalam mobil. Di sana, ia hendak menunggu Chika. Namun, baru saja hendak melangkah, kehadiran Azka benar-benar mengejutkannya.
“Astaga, Ka!” umpat Briyan seraya mengelus dada. “Untung nggak jantungan gue!” lanjutnya, yang seketika menarik dan mengembuskan napas ke udara. Briyan juga menggeleng, begitu Azka justru terbahak menertawakannya. “Malah ketawa dia. Gue santet juga lu!”
“Ampun, Bos!” Azka pun berusaha menghentikan tawanya, sampai menunduk dengan kedua tangan bertumpu pada lutut. Lantas berdiri tegak dalam sekejap. “Gue perhatiin, lu beneran naksir juga ternyata sama si Chika. Ahaha. Dia emang cantik, sih. Incaran gue juga sebenarnya.”
“Dih! Gosah genit-genit. Awas aja lu, pecat!” ancam Briyan, di mana dirinya adalah bos Azka sejak dua tahun terakhir. Namun, karena Azka sudah dianggapnya sebagai teman juga saudara, Briyan tak pernah sungguh-sungguh dengan ucapan yang sering kali dilontarkannya itu.
Seketika, kedua mata Azka pun langsung menyipit sambil berucap, “Bos kan cuman melampiaskan perasaan yang dicompang-camping Adinda. Nggak apa-apa lah nanti aku yang pungut itu si Chika.”
“Ngaco!” seloroh Briyan setelahnya. “Jangan bahas itu di sini bloon! Ketahuan Chika, mampus gue.”
“Halah. Sejak kapan, bos gue ini takut ma cewek? Lu pacarin Chika pan cuman buat manas-manasin Adinda. Ngapain juga meski takut? Dari awal udah begitu niatnya.” Azka pun tertawa sembari memperhatikan sekitar. Karena sebenarnya, dia juga takut kalau Chika sampai tahu niat bosnya itu.
Sebagai sahabat, tak seharusnya Azka menyerahkan Chika pada lelaki yang jelas-jelas cuman ingin sekedar main-main. Tapi, karena takut dipecat, ia pun terpaksa mengabulkan keinginan bosnya itu saat minta dikenalkan dengan Chika.
“Halah!” ujar Briyan. Mendengar Azka bicara perihal busuk niatnya itu membuat ia malas berlama-lama di sana. “Dahlah. Gue mo ngaso dulu. Lu gosah ikut!”
“Lah, GR. Sapa pula mau ikut. Dah!” timpal Azka sembari meninggalkan Briyan lebih dulu. Bahkan, ia masih sempat tertawa-tawa saat menyusul teman-teman satu kelasnya yang lain.
“Astaga, ini anak. Kalau aja dah nggak gue anggap teman, habis lu gue pecat. Jadi sopir kok berani ngetawain majikan. Ya, gila!”
Sembari menggeleng-geleng nggak jelas, Briyan pun melanjutkan langkah yang tadi sempat terhenti. Dia buru-buru pergi ke tempat parkir untuk menunggu Chika di sana saja, daripada di dalam. Pikirnya, di luar ia bisa bebas menyulut rokok.
Setibanya di samping mobil, Briyan pun menyandarkan punggungnya itu di bagian pintu depan, samping kanan. Lantas, sebelah tangannya itu merogoh saku celana. Diambilnya sebungkus rokok. Kemudian ia menyulutnya dengan korek api.
Diisapnya dalam-dalam rokok tersebut sembari mengedarkan pandangan. Briyan melihat begitu banyak perubahan di sana, tempat di mana beberapa tahun silam, dirinya menempuh pendidikan di kampus itu. Mulai dari tempat parkir yang kian meluas. Juga ruangan yang dulunya belum sebanyak itu, sekarang sudah memenuhi lahan kampus itu sendiri.
Dirasa-rasa, waktu belajar Chika masih satu jam lebih lagi. Itu artinya, Briyan masih harus berpanas-ria demi menunggu Chika. Namun, karena gerah, Briyan pun masuk ke mobil untuk menikmati AC dalam mobilnya itu.
“Gue macarin Chika emang cuman buat memanas-manasi Adinda. Dan, gue belum sempat bikin Adinda panas. Jadi, sebaiknya lu sabar dulu, Bro. Belum saatnya lu bahas tentang berakhirnya hubungan gue sama Chika. Gue, bahkan belum melakukan apa-apa.”
Senyum sinis pun menyeringai dari bibir lelaki keturunan Jawa-Sunda itu. Briyan rasa, Azka terlalu terburu-buru. Merasa jauh lebih nyaman ketimbang di luar mobil, Briyan pun memejamkan matanya cepat. Lantas ia bersandar di sandaran kursi, dengan kedua tangan yang ia tarik ke belakang kepala, sebagai bantal. Briyan menghela napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan.
“Harusnya, kalau lu ada rasa sama si Chika, ya nggak usah dikenalin ke gue. Heran!” batinnya, merasa aneh karena sikap Azka yang seolah-olah tiba-tiba peduli terhadap Chika. Padahal, Azka sendiri yang menjebloskan Chika ke dalam kandang singa.
.
Meninggalkan Briyan lebih dulu, Azka pun berlari-lari menuju kelas yang harus dimasukinya selama satu sampai dua jam ke depan. Wajahnya semeringah, meski canggung karena tiba-tiba menyadari sesuatu. Azka pikir, tak seharusnya ia memberikan Chika pada bosnya yang memang kerap bermain-main dengan banyak wanita.Senyum yang tadi semeringah, tiba-tiba menghilang begitu melihat tawa Chika di dalam kelas yang hendak ia lewati. Gadis yang ia suka sejak enam bulan terakhir itu tampak bahagia saat bicara dengan Maya. Sementara dirinya, justru sudah dengan sengaja memasukkan Chika ke dalam kandang singa.Ya, kandang singa. Sebab, karena ketidakyakinannya terhadap perasaan yang Azka punya, ia justru memilih jalan keliru. Azka tahu kalau bosnya itu adalah seorang lelaki nakal. Tapi, demi mendapatkan perhatian lebih dari Chika, Azka rela memungut Chika setelah Briyan mencampakkan gadis pujaannya nanti.“Maaf,” gumamnya sera
Berdecak, karena tak dapat mengejar Maya, Chika pun akhirnya memilih untuk diam sebentar. Ia pikir, ia harus menghubungi Briyan sebelum memutuskan pulang ke rumah. Namun, baru saja Chika merogoh ponsel dari tas selendang yang dipakainya, suara klakson lagi-lagi membuat kaget.Namun, kagetnya kali ini membuat Chika berakhir kegirangan. Sebab, mobil yang sekarang ada di hadapannya itu adalah mobil orang yang sedang ia cari dan tunggu-tunggu. Briyan. Kekasihnya itu, bahkan sudah turun dan berjalan menghampirinya lebih dulu.“Maaf, Sayang. Aku pergi ke Minimarket dulu barusan. Haus,” katanya sambil menyengir lebar. Lantas, Briyan pun meraih kedua tangan Chika dalam sekejap. Bahkan, sampai membuat Chika terkejut karena terbengong. “Maaf, ya,” bujuknya.“Kenapa nggak ngasih tahu aku dulu? Kan, bisa ... bilang mau keluar bentar git
Setelah lebih dari lima menit menikmati lengkung merah jambu milik kekasihnya itu, Briyan belum juga berniat untuk menarik diri. Terlebih, Chika sama sekali tak melakukan penolakan apa pun selain hanya diam dan seolah pasrah. Perlahan, Briyan pun membuka mata yang sedari tadi terpejam. Ia melihat ketenangan, setelah tadi hanya ada gurat gugup di wajah Chika. Semakin yakinlah dia, kalau Chika sudah benar-benar menjatuhkan hati terhadapnya.Perlahan pula, Briyan pun menyusupkan kedua tangannya itu ke balik punggung Chika. Niat hati, ia pun ingin menyusupkan tangannya itu ke balik baju yang Chika pakai. Namun, baru saja telapak tangannya itu menyentuh punggung, Chika langsung terenyak.
“Galak bener temen gue yang satu ini. Mentang-mentang gue nggak datang sama Chika, terus lu sombong gitu sama gue? Ish! Biasa aja kali. Santui. Lagian, salah lu juga. Ngapain ngenalin Chika sama bos lu itu? Padahal, gue tahu kalau lu juga suka, kan, sama dia?”Padahal, Maya yang baru saja datang itu masih di depan pintu. Ia belum masuk sama sekali. Tapi, mulutnya susah nyerocos setengah ngebut kalau disamakan dengan kendaraan beroda empat. Ia juga tertawa-tawa tak jelas sampai membuat Azka keheranan.“Nggak jelas lu! Dahlah, kalau mau ngajak ribut mending lu balik, deh. Gue lagi nggak mood terima tamu. Nggak mood ngobrol. Nggak mood ngapa-ngapain, apalagi sama lu!” ujar Azka seraya hendak menutup pintu.Namun, karena lengah, Azka justru kecolongan saat Maya memilih menerobos masuk daripada pergi dari rumah kontrakan temannya itu. Bahkan, ia yang lelah setelah sedikit berjalan-jalan sepulang kuliah, langsung melempar tubuh tinggi sedangnya itu
“Suka?”Setelah semua hidangan makan sore mereka terhidang di meja, Bryan pun menanyakan perihal menu makanan di restoran milik bibinya itu. Ayam bakar utuh bumbu barbeque, ikan bakar saus rujak nanas, dan sambal goreng lengkap dengan lalapan-nya tampak masih mengepul juga segar. Belum lagiChika menggeleng. Namun, itu bukan karena dirinya tak suka dengan hidangan tersebut. Melainkan karena tergiur dan tak sabar ingin segera menyantap juga menikmatinya sampai kenyang.“Suka,” katanya sambil menyengir lebar. “Tapi, apa nggak kebanyakan ini, Yang? Kita cuman makan berdua loh?” sambung Chika yang seketika mengingat Maya. Ia dan temannya itu bahkan, harus menunggu satu bulan untuk bisa menikmati makanan seenak dan semahal itu.“Nggaklah. Makannya nggak usah pakai nasi aja, gimana?” usul Bryan.Dia yang menjaga kekekaran tubuhnya itu memang jarang sekali menyantap nasi. Paling-palin
Azka tahu kalau yang dilakukannya pada Maya adalah sesuatu yang salah. Namun, ia tetap melakukannya tanpa merasa takit atau berdosa. Ia pikir, yang dilakukannya adalah apa yang diinginkan Mayan. Ia sama sekali tak meminta atau memaksa.Bahkan, jika diulang, Maya lah yang memulainya. Maya lah yang memancingnya. Ia hanya terbawa arus, sampai akhirnya terseret jauh sampai berani melakukannya sesuatu yang tak pernah dilakukannya pada gadis mana pun.Azka yang baru saja menyelesaikan hasrat dalam dirinya itu menarik diri dari tubuh wanita di hadapannya. Tanpa kata atau pun apa, ia langsung melengos pergi ke kamar mandi untuk segera membersihkan dirinya dari keringat. Barangkali, guyuran air dapat menyapu amarahnya yang masih saja berputar dalam kepala. Dan, itu masih saja tentang Chika.Sementara itu, Maya yang juga tak merasa takit sama sekali dengan tindakannya, kemudian duduk seraya beringsut turun. Satu persatu ia ambil pakaian yang berceceran di lantai untuk seg
“Aih, ngos-ngosan gitu. Kenapa?”Di ruang belakang, tempat di mana para karyawan beristirahat, Chika yang baru saja menyimpan tasnya itu dalam loker mengernyit heran saat melihat Maya. Temannya itu menundukkan tubuhnya, dengan kedua tangan bertumpu pada lutut. Sementara deru napasnya terdengar cukup keras, sehingga dapat dipastikan, kalau Maya sedang dalam keadaan capek.Gadis di hadapan Chika itu pun mengangkat wajahnya cepat. Ia masih mengos-ngosan sampai mulutnya maju mundur dengan membentuk sebuah huruf O. Susah paya ia menelan ludah juga sebelum akhirnya berdiri tegak sambil menghela dan membuang napas panjang.“Gue takut telat. Makanya, barusan gue lari dari depan. Mana nggak sempat mandi gue. Kan, asem!” jawabnya sembari mengangkat kedua tangan. Kemudian, ia mencium keteknya sendiri, bergantian. “Tuh, kan ... bau asem!” Ia ngomel sendiri.“Dih! Jorok banget, sih, lu? Lagian, bukannya tadi lu pulang lebih du
“Nanti gue kasih tau!” bisik Maya pada temannya itu. Sengaja agar Chika merasa penasaran. Sementara ia sendiri, kemudian sibuk mekayani pembeli. Tak peduli saat Chika menyikut dan membujuknya untuk bercerita sekarang. Maya tetap tak mau.“Astaga! Lu udah bikin gue penasaran, abis itu ditinggal! Ya, kali!” umpatnya seiring bibir cemberut. Karena pemberi masih saja berdatangan, Chika pun terpaksa abai meski rasa penasarannya berputar-putar dalam bayangan. Sampai-sampai Chika tak merasa konsen.“Yang semangat dong! Sekarang, mending lu cerita tentang makan sore lu sama si Bryan. Seru nggak?” Maya pun kembali memancing Chika untuk bicara, setelah sebelumnya merajuk.“Nanti aja gue ceritain. Sibuk gini!” timpalnya, balas mengatakan apa Yang dikatakan Maya. Chika yang masih cemberut itu seketika menarik kedua sudut bibir, berusaha tersenyum ranah pada pembeli saat kembali mulai melayani.
Dengan langkah kesal Bryan keluar dari mobilnya. Buru-buru ia pun membuka pintu untuk Chika yang juga masih merasa kesal terhadap kekasihnya itu. Sebenarnya Bryan bingung, sedari tadi dirinya tak juga mendapatkan ide untuk beralasan pada Chika.Diedarkannya pandangan, Chika melihat ke sekeliling. Rumah yang dikunjunginya itu benar-benar terlihat luar biasa di matanya. Bagaimana tidak? Lebih dari dua puluh tahun dirinya hidup di kampung, di mana rumahnya hanya memiliki empat ruangan. Dua kamar, satu ruang keluarga, dan satu lagi kamar mandi beserta dapur.Chika berdecak kagum begitu melihat bentuk rumahnya saja. Lebih kagum lagi, saat pandangannya disuguhi keindahan taman. Ada begitu banyak jenis tanaman bunga di sana. Pijakannya pun berumput dengan tinggi dan warna serupa. Rata dan hijau.Sesenang itu perasaan Chika saat hanya melihat rumah bagian depannya saja. Bahkan, ia sampai terbengong saking terhipnotis oleh kemewahannya. Juga lupa akan tujuan datang ke sa
“Emang brengsek si Bryan!” umpat Mika, seraya merangkul Monika yang terguguk sambil menangkup wajahnya rapat-rapat. Sebenarnya Monika malu saat melabrak Bryan. Tapi, demi untuk membongkar kebusukannya di hadapan semua orang, gadis yang tak lagi perawan itu mampu menahan setiap tatap yang mengarah heran padanya. Bahkan, saat Bryan justru menghinanya, Monika tetap berdiri tegak di sana. Hanya saja, setelah Bryan pergi, kekuatan yang diciptakan Monika seolah runtuh perlahan. Tubuhnya itu tiba-tiba melemas dan hampir tumbang kalau saja Mika tak sigap menahannya. Lantas, Monika pun tersedu sedan di pundak temannya itu. “Dia benar-benar pecundang! Karena lelaki sejati, tak mungkin mempermalukan apalagi sampai melukai perasaan seorang wanita.” Mika kembali mengumpat. Bahkan ia sampai mengepal kuat, saking gemas dan ingin melayangkannya pada Bryan jika saja lelaki yang dibenci olehnya itu tak kabur. Ia kemudian menenangkan dirinya dulu, sebelum akhirnya berus
Setelah melewati waktu hanya berdua saja, Bryan yang merasa perutnya lapar itu pun mengajak Chika untuk makan di luar. Lagi pula, diam di kontrakan membuatnya kepanasan. Panas yang tak lain karena lagi-lagi tergoda oleh setiap gerak-gerik Chika. Bahkan, hanya dengan melihat senyum Chika, Bryan merasa sangat ingin menciumnya. Sampai di sebuah restoran cina yang lumayan jauh dari lokasi kontrak Chika, Bryan pun langsung memesankan beberapa porsi makanan untuk mereka santap. Chika yang tak pernah menginjakkan kakinya di restoran seperti itu selain dengan Bryan pun hanya mengangguk saja, setuju dengan apa yang dipesankan Bryan. Sementara itu, tak jauh dari tempatnya Chika dan Bryan duduk, sekumpulan wanita sedang asyik mengobrol seraya menikmati hidangan makan siang mereka. Saat salah satu di antaranya bicara, yang lain mendengarkan sambil tertawa-tawa kecil dan riang. Silih berganti bercerita, perihal pasangannya masing-masing. “Kita semua udah cerita. Sekarang
Hening seketika menguasai ruang berukuran tiga meter persegi, di mana hanya ada Bryan dan Chika di dalamnya, saat Bryan benar-benar sudah mencapai puncaknya kepuasan. Chika bergeming, masih dalam posisi sama. Dengan mulut penuh juga, sebelum akhirnya Bryan yang menuntunnya untuk menarik diri.Chika menelan ludah bercampur cairan asin yang memenuhi mulutnya dengan susah payah. Ia juga menyeka kedua sudut bibirnya itu sebelum kemudian Bryan membantunya menyapu cairan bening yang sedari tadi meluncur dari kedua sudut matanya.“Kamu nangis, Yang?” Bryan bersuara pelan sekali seraya menuntun Chika untuk kembali duduk sampingnya. “Maafin aku,” sambungnya, seraya menyapu sisa-sisa air mata di pipi Chika. “Kamu pasti nggak suka—“Belum sempat Bryan menyelesaikan kata-katanya, Chika menggeleng sembari meletakkan telunjuknya itu di bibir Bryan. “Bukan. Bukan karena itu.”“Lalu?” Bryan pun menatap Chi
“Chika nggak ngampus?”Di kantin, setelah Azka dan Maya menyelesaikan jam pelajarannya, mereka mulai membahas Chika. Pasalnya, Azka memang tak melihat gadis itu sejak pagi. Namun, tatapannya itu enggan mengarah pada Maya. Azka terus saja melihat ke sekitar.Maya yang tak menginginkan pembahasan perihal Chika pun berdecak seraya menyeruput minumannya. Dalam hati bahkan ia meracau, kalau Azka benar-benar keterlaluan. “Yang ada di hadapannya aku. Tapi, yang ditanyain si Chika. Yang di hadapannya juga aku. Tapi, yang dilihatnya justru orang lain. Astaga! Dia ini benar-benar menguji kesabaranku.”“Ditanya juga!” ucap Azka kembali. Karena Chika sudah menjadi kekasih bosnya, Azka memang menjadi jauh lebih segan untuk mengirim pesan, apalagi jika hanya sekadar menanyakan masuk kuliah atau tidaknya. Itu kenapa, ia terpaksa bertanya pada Maya. Meski, tidak adanya Chika di sana, memanglah sudah pasti jawabannya. Namun, Azka ingin mengeta
“Aku nggak pernah merasakan hal semacam ini sebelumnya. Apa mungkin kalau aku beneran jatuh cinta sama Chika?”Sepanjang menjelajahi setiap sudut bibir kekasihnya, Bryan terus saja menatap wajah Chika yang seolah pasrah. Dalam hatinya bergumam tentang sebuah rasa yang ia sendiri belum pernah merasakan gejolak juga debar selain hanya nafsu semata saat berciuman.Dieratkannya pelukan yang Bryan lakukan sedari tadi. Ia bahkan terpejam lagi, setelah sedari menatap wajah polos Chika. Gadis dalam dekapannya itu terenyak sampai membuka mata yang sedari tadi terpejam saking asyiknya terbawa suasana romantis mereka.Jika tadi Bryan yang menatap penuh rasa terhadap Chika, sekarang giliran Chika yang menatap lekat wajah kekasihnya itu dengan perasaan dipenuhi pertanyaan. “Apakah benar kalau dirinya ini mencintai aku? Tuluskah, atau hanya sekadar melampiaskan hasrat yang sebenarnya sama sekali tak tepat?” batinnya tanpa mengalihkan tatapan, juga tanp
Suara ketukan pintu juga salam dari seseorang dengan suara berat membuat Chika beranjak bangun perlahan dari pembaringan. Ia tak tahu siapa yang datang bertamu pagi-pagi sekali itu. Tapi, kalau bukan pemilik kontrakan, biasanya tetangga yang datang untuk meminta tolong.Entah itu karena ingin meminta sedikit air galon, dengan alasan galonnya belum sempat diisi ulang. Kadang juga meminjam charger, dengan alasan charger-nya ketinggalan di tempat kerja. Dan banyak lagi.Namun, yang dilihat Chika saat membuka pintu bukanlah pemilik kontrakan mau pun tetangga kontrakan. Melainkan seorang lelaki tegap dengan perawakan tinggi putih dan bersih. Pakaiannya rapi, seperti orang kaya kebanyakan. Sepatu juga mengkilap, seperti tertimpa minyak.Chika seketika tersenyum lebar begitu tahu kalau yang datang ke kontrakannya itu ternyata Bryan. Pasalnya, sedari tadi Chika saling berbalas pesan dengan lelaki di hadapannya itu. Bahkan, Bryan bilang kalau dirinya batu saja sampai di
“Gue tau kalau lu khawatir sama si Chika. Tapi, sorry. Gue nggak mungkin diam dan biarin lu yang kasih perhatian sama dia. Secara, dia pacar gue, kan?”Masih di perjalanan, Bryan yang duduk di kursi samping Azka pun mulai membahas soal Chika, setelah sedari tadi yang diucapkannya itu selalu tentang pekerjaan. Pekerjaan yang melelahkan, sehingga ia membutuhkan begitu banyak hiburan. Salah satunya ya dengan jalan-jalan bersama pacar.Azka yang juga sedari tadi hanya menyimak itu pun mengangguk lagi. Kali ini sembari menimpali. “Nggak apa-apa, sih, Bos. Lagian emang benar kalau lu yang lebih berhak, ketimbang gue. Gue juga sadar diri. Selain cuman sopir lu, gue yang kenalin lu sama Chika, kan? Jadi, it’s oke lah. Jangan khawatir.”Padahal, dalam hatinya bergejolak rasa cemburu juga menyesal. Niat hati hanya ingin mengenalkan Chika untuk menjadi teman bosnya saja, Chika justru tergoda sampai mau menjadi kekasih Bryan dalam
Seperti sore tadi, Azka mau pun Maya sangat menikmati setiap sentuhan. Keduanya bahkan tak lagi merasakan kecanggungan atau keraguan. Azka terus melumat sampai akhirnya ia benar-benar merasa puas.“Turunlah!” katanya, setelah menarik diri dari ciuman yang dimulainya sendiri. “Kita perlu menemani Chika sebentar sampai bos gue mau pulang.”“Sekarang sudah jam sebelas malam. Kalian nggak boleh lama-lama. Takutnya ada yang datang dan mikir kita lagi ngapain.” Nur pun menimpalinya terlebih dulu sebelum hendak turun.“Kita memang sudah ngapa-ngapain barusan. Nggak usahlah ditutup-tutupi!” timpal Azka juga, sebelum akhirnya ia pun turun lebih dulu.Maya yang mendengarnya pun seketika tersenyum senang. Ia pikir, apa yang dikatakan Azka adalah fakta kalau temannya itu mau membuka hati. “Yes! Apa gue bilang, lama-lama lu pasti mikir kalau gue layak dipertahankan bukan?” batinnya seraya menyusul turun. Kemu