Suara ketukan pintu juga salam dari seseorang dengan suara berat membuat Chika beranjak bangun perlahan dari pembaringan. Ia tak tahu siapa yang datang bertamu pagi-pagi sekali itu. Tapi, kalau bukan pemilik kontrakan, biasanya tetangga yang datang untuk meminta tolong.
Entah itu karena ingin meminta sedikit air galon, dengan alasan galonnya belum sempat diisi ulang. Kadang juga meminjam charger, dengan alasan charger-nya ketinggalan di tempat kerja. Dan banyak lagi.
Namun, yang dilihat Chika saat membuka pintu bukanlah pemilik kontrakan mau pun tetangga kontrakan. Melainkan seorang lelaki tegap dengan perawakan tinggi putih dan bersih. Pakaiannya rapi, seperti orang kaya kebanyakan. Sepatu juga mengkilap, seperti tertimpa minyak.
Chika seketika tersenyum lebar begitu tahu kalau yang datang ke kontrakannya itu ternyata Bryan. Pasalnya, sedari tadi Chika saling berbalas pesan dengan lelaki di hadapannya itu. Bahkan, Bryan bilang kalau dirinya batu saja sampai di
“Aku nggak pernah merasakan hal semacam ini sebelumnya. Apa mungkin kalau aku beneran jatuh cinta sama Chika?”Sepanjang menjelajahi setiap sudut bibir kekasihnya, Bryan terus saja menatap wajah Chika yang seolah pasrah. Dalam hatinya bergumam tentang sebuah rasa yang ia sendiri belum pernah merasakan gejolak juga debar selain hanya nafsu semata saat berciuman.Dieratkannya pelukan yang Bryan lakukan sedari tadi. Ia bahkan terpejam lagi, setelah sedari menatap wajah polos Chika. Gadis dalam dekapannya itu terenyak sampai membuka mata yang sedari tadi terpejam saking asyiknya terbawa suasana romantis mereka.Jika tadi Bryan yang menatap penuh rasa terhadap Chika, sekarang giliran Chika yang menatap lekat wajah kekasihnya itu dengan perasaan dipenuhi pertanyaan. “Apakah benar kalau dirinya ini mencintai aku? Tuluskah, atau hanya sekadar melampiaskan hasrat yang sebenarnya sama sekali tak tepat?” batinnya tanpa mengalihkan tatapan, juga tanp
“Chika nggak ngampus?”Di kantin, setelah Azka dan Maya menyelesaikan jam pelajarannya, mereka mulai membahas Chika. Pasalnya, Azka memang tak melihat gadis itu sejak pagi. Namun, tatapannya itu enggan mengarah pada Maya. Azka terus saja melihat ke sekitar.Maya yang tak menginginkan pembahasan perihal Chika pun berdecak seraya menyeruput minumannya. Dalam hati bahkan ia meracau, kalau Azka benar-benar keterlaluan. “Yang ada di hadapannya aku. Tapi, yang ditanyain si Chika. Yang di hadapannya juga aku. Tapi, yang dilihatnya justru orang lain. Astaga! Dia ini benar-benar menguji kesabaranku.”“Ditanya juga!” ucap Azka kembali. Karena Chika sudah menjadi kekasih bosnya, Azka memang menjadi jauh lebih segan untuk mengirim pesan, apalagi jika hanya sekadar menanyakan masuk kuliah atau tidaknya. Itu kenapa, ia terpaksa bertanya pada Maya. Meski, tidak adanya Chika di sana, memanglah sudah pasti jawabannya. Namun, Azka ingin mengeta
Hening seketika menguasai ruang berukuran tiga meter persegi, di mana hanya ada Bryan dan Chika di dalamnya, saat Bryan benar-benar sudah mencapai puncaknya kepuasan. Chika bergeming, masih dalam posisi sama. Dengan mulut penuh juga, sebelum akhirnya Bryan yang menuntunnya untuk menarik diri.Chika menelan ludah bercampur cairan asin yang memenuhi mulutnya dengan susah payah. Ia juga menyeka kedua sudut bibirnya itu sebelum kemudian Bryan membantunya menyapu cairan bening yang sedari tadi meluncur dari kedua sudut matanya.“Kamu nangis, Yang?” Bryan bersuara pelan sekali seraya menuntun Chika untuk kembali duduk sampingnya. “Maafin aku,” sambungnya, seraya menyapu sisa-sisa air mata di pipi Chika. “Kamu pasti nggak suka—“Belum sempat Bryan menyelesaikan kata-katanya, Chika menggeleng sembari meletakkan telunjuknya itu di bibir Bryan. “Bukan. Bukan karena itu.”“Lalu?” Bryan pun menatap Chi
Setelah melewati waktu hanya berdua saja, Bryan yang merasa perutnya lapar itu pun mengajak Chika untuk makan di luar. Lagi pula, diam di kontrakan membuatnya kepanasan. Panas yang tak lain karena lagi-lagi tergoda oleh setiap gerak-gerik Chika. Bahkan, hanya dengan melihat senyum Chika, Bryan merasa sangat ingin menciumnya. Sampai di sebuah restoran cina yang lumayan jauh dari lokasi kontrak Chika, Bryan pun langsung memesankan beberapa porsi makanan untuk mereka santap. Chika yang tak pernah menginjakkan kakinya di restoran seperti itu selain dengan Bryan pun hanya mengangguk saja, setuju dengan apa yang dipesankan Bryan. Sementara itu, tak jauh dari tempatnya Chika dan Bryan duduk, sekumpulan wanita sedang asyik mengobrol seraya menikmati hidangan makan siang mereka. Saat salah satu di antaranya bicara, yang lain mendengarkan sambil tertawa-tawa kecil dan riang. Silih berganti bercerita, perihal pasangannya masing-masing. “Kita semua udah cerita. Sekarang
“Emang brengsek si Bryan!” umpat Mika, seraya merangkul Monika yang terguguk sambil menangkup wajahnya rapat-rapat. Sebenarnya Monika malu saat melabrak Bryan. Tapi, demi untuk membongkar kebusukannya di hadapan semua orang, gadis yang tak lagi perawan itu mampu menahan setiap tatap yang mengarah heran padanya. Bahkan, saat Bryan justru menghinanya, Monika tetap berdiri tegak di sana. Hanya saja, setelah Bryan pergi, kekuatan yang diciptakan Monika seolah runtuh perlahan. Tubuhnya itu tiba-tiba melemas dan hampir tumbang kalau saja Mika tak sigap menahannya. Lantas, Monika pun tersedu sedan di pundak temannya itu. “Dia benar-benar pecundang! Karena lelaki sejati, tak mungkin mempermalukan apalagi sampai melukai perasaan seorang wanita.” Mika kembali mengumpat. Bahkan ia sampai mengepal kuat, saking gemas dan ingin melayangkannya pada Bryan jika saja lelaki yang dibenci olehnya itu tak kabur. Ia kemudian menenangkan dirinya dulu, sebelum akhirnya berus
Dengan langkah kesal Bryan keluar dari mobilnya. Buru-buru ia pun membuka pintu untuk Chika yang juga masih merasa kesal terhadap kekasihnya itu. Sebenarnya Bryan bingung, sedari tadi dirinya tak juga mendapatkan ide untuk beralasan pada Chika.Diedarkannya pandangan, Chika melihat ke sekeliling. Rumah yang dikunjunginya itu benar-benar terlihat luar biasa di matanya. Bagaimana tidak? Lebih dari dua puluh tahun dirinya hidup di kampung, di mana rumahnya hanya memiliki empat ruangan. Dua kamar, satu ruang keluarga, dan satu lagi kamar mandi beserta dapur.Chika berdecak kagum begitu melihat bentuk rumahnya saja. Lebih kagum lagi, saat pandangannya disuguhi keindahan taman. Ada begitu banyak jenis tanaman bunga di sana. Pijakannya pun berumput dengan tinggi dan warna serupa. Rata dan hijau.Sesenang itu perasaan Chika saat hanya melihat rumah bagian depannya saja. Bahkan, ia sampai terbengong saking terhipnotis oleh kemewahannya. Juga lupa akan tujuan datang ke sa
“Jadi, lu udah resmi jadian sama dia? Serius?”Di kantin, saat jam istirahat, Maya begitu antusias menanyai Chika tentang kisah asmara temannya itu dengan seorang lelaki tajir yang dikenalkan Azka, tempo lalu. Namanya Briyan. Namun, Maya tak mengira, kalau Chika akan tertarik secepat itu. Bahkan, Maya tak percaya kalau Chika sudah berhasil menggaet Briyan.Santai, Chika pun menganggukkan kepalanya itu sebagai jawaban. Ia mengakui pengakuannya adalah benar. Bahwa, ia memang sudah meresmikan hubungannya dengan Briyan, sejak tiga hari lalu. Tepatnya saat Valentine.Ditenggaknya minuman dalam gelas sampai habis, kemudian Chika menyeka bibir seksinya itu dengan punggung tangan perlahan-lahan. Ia merasa begitu beruntung, juga percaya diri karena sudah berhasil menggaet seorang lelaki tampan dan juga tajir. Padahal, jauh sebelum itu, paling bagus pacarnya hanya seorang pegawai pabrik. Ia juga pernah menjalin hubungan dengan seorang guru. Namun
Diiringi senyum semeringah, Briyan yang sengaja datang untuk memberi kejutan pada Chika pun menghampiri kekasihnya itu. Lantas, kedua tangan yang Briyan sembunyikan di balik punggung, seketika ia tunjukkan bersamaan dengan sebuket bunga mawar merah merona, lengkap dengan beberapa batang cokelat di dalamnya.Katanya, “Sore, Sayang. Aku telat jemput nggak? Atau ... malah kecepatan?”Pertanyaannya itu pun sukses membuat Chika terharu biru. Dia benar-benar merasa di atas awan sekarang. Sampai-sampai, Chika tak dapat menyembunyikan rona bahagia di pipinya yang tirus. Bahkan, refleks, tubuhnya bergerak kegirangan. Membuat Maya yang berdiri di sampingnya menyikut Chika agar bersikap anggun.“Jadi cewek itu kudu kalem. Jan ganjen kek begitu!” bisik Maya, menasihati Chika yang mendadak ganjen bin labai.“Iya-iya!” balas Chika, sama berbisik. Kemudian, gadis yang memakai gaun merah selutut itu pun melangkah maju. “Aku masih ada satu kelas lagi, Yang. Kamu ke
Dengan langkah kesal Bryan keluar dari mobilnya. Buru-buru ia pun membuka pintu untuk Chika yang juga masih merasa kesal terhadap kekasihnya itu. Sebenarnya Bryan bingung, sedari tadi dirinya tak juga mendapatkan ide untuk beralasan pada Chika.Diedarkannya pandangan, Chika melihat ke sekeliling. Rumah yang dikunjunginya itu benar-benar terlihat luar biasa di matanya. Bagaimana tidak? Lebih dari dua puluh tahun dirinya hidup di kampung, di mana rumahnya hanya memiliki empat ruangan. Dua kamar, satu ruang keluarga, dan satu lagi kamar mandi beserta dapur.Chika berdecak kagum begitu melihat bentuk rumahnya saja. Lebih kagum lagi, saat pandangannya disuguhi keindahan taman. Ada begitu banyak jenis tanaman bunga di sana. Pijakannya pun berumput dengan tinggi dan warna serupa. Rata dan hijau.Sesenang itu perasaan Chika saat hanya melihat rumah bagian depannya saja. Bahkan, ia sampai terbengong saking terhipnotis oleh kemewahannya. Juga lupa akan tujuan datang ke sa
“Emang brengsek si Bryan!” umpat Mika, seraya merangkul Monika yang terguguk sambil menangkup wajahnya rapat-rapat. Sebenarnya Monika malu saat melabrak Bryan. Tapi, demi untuk membongkar kebusukannya di hadapan semua orang, gadis yang tak lagi perawan itu mampu menahan setiap tatap yang mengarah heran padanya. Bahkan, saat Bryan justru menghinanya, Monika tetap berdiri tegak di sana. Hanya saja, setelah Bryan pergi, kekuatan yang diciptakan Monika seolah runtuh perlahan. Tubuhnya itu tiba-tiba melemas dan hampir tumbang kalau saja Mika tak sigap menahannya. Lantas, Monika pun tersedu sedan di pundak temannya itu. “Dia benar-benar pecundang! Karena lelaki sejati, tak mungkin mempermalukan apalagi sampai melukai perasaan seorang wanita.” Mika kembali mengumpat. Bahkan ia sampai mengepal kuat, saking gemas dan ingin melayangkannya pada Bryan jika saja lelaki yang dibenci olehnya itu tak kabur. Ia kemudian menenangkan dirinya dulu, sebelum akhirnya berus
Setelah melewati waktu hanya berdua saja, Bryan yang merasa perutnya lapar itu pun mengajak Chika untuk makan di luar. Lagi pula, diam di kontrakan membuatnya kepanasan. Panas yang tak lain karena lagi-lagi tergoda oleh setiap gerak-gerik Chika. Bahkan, hanya dengan melihat senyum Chika, Bryan merasa sangat ingin menciumnya. Sampai di sebuah restoran cina yang lumayan jauh dari lokasi kontrak Chika, Bryan pun langsung memesankan beberapa porsi makanan untuk mereka santap. Chika yang tak pernah menginjakkan kakinya di restoran seperti itu selain dengan Bryan pun hanya mengangguk saja, setuju dengan apa yang dipesankan Bryan. Sementara itu, tak jauh dari tempatnya Chika dan Bryan duduk, sekumpulan wanita sedang asyik mengobrol seraya menikmati hidangan makan siang mereka. Saat salah satu di antaranya bicara, yang lain mendengarkan sambil tertawa-tawa kecil dan riang. Silih berganti bercerita, perihal pasangannya masing-masing. “Kita semua udah cerita. Sekarang
Hening seketika menguasai ruang berukuran tiga meter persegi, di mana hanya ada Bryan dan Chika di dalamnya, saat Bryan benar-benar sudah mencapai puncaknya kepuasan. Chika bergeming, masih dalam posisi sama. Dengan mulut penuh juga, sebelum akhirnya Bryan yang menuntunnya untuk menarik diri.Chika menelan ludah bercampur cairan asin yang memenuhi mulutnya dengan susah payah. Ia juga menyeka kedua sudut bibirnya itu sebelum kemudian Bryan membantunya menyapu cairan bening yang sedari tadi meluncur dari kedua sudut matanya.“Kamu nangis, Yang?” Bryan bersuara pelan sekali seraya menuntun Chika untuk kembali duduk sampingnya. “Maafin aku,” sambungnya, seraya menyapu sisa-sisa air mata di pipi Chika. “Kamu pasti nggak suka—“Belum sempat Bryan menyelesaikan kata-katanya, Chika menggeleng sembari meletakkan telunjuknya itu di bibir Bryan. “Bukan. Bukan karena itu.”“Lalu?” Bryan pun menatap Chi
“Chika nggak ngampus?”Di kantin, setelah Azka dan Maya menyelesaikan jam pelajarannya, mereka mulai membahas Chika. Pasalnya, Azka memang tak melihat gadis itu sejak pagi. Namun, tatapannya itu enggan mengarah pada Maya. Azka terus saja melihat ke sekitar.Maya yang tak menginginkan pembahasan perihal Chika pun berdecak seraya menyeruput minumannya. Dalam hati bahkan ia meracau, kalau Azka benar-benar keterlaluan. “Yang ada di hadapannya aku. Tapi, yang ditanyain si Chika. Yang di hadapannya juga aku. Tapi, yang dilihatnya justru orang lain. Astaga! Dia ini benar-benar menguji kesabaranku.”“Ditanya juga!” ucap Azka kembali. Karena Chika sudah menjadi kekasih bosnya, Azka memang menjadi jauh lebih segan untuk mengirim pesan, apalagi jika hanya sekadar menanyakan masuk kuliah atau tidaknya. Itu kenapa, ia terpaksa bertanya pada Maya. Meski, tidak adanya Chika di sana, memanglah sudah pasti jawabannya. Namun, Azka ingin mengeta
“Aku nggak pernah merasakan hal semacam ini sebelumnya. Apa mungkin kalau aku beneran jatuh cinta sama Chika?”Sepanjang menjelajahi setiap sudut bibir kekasihnya, Bryan terus saja menatap wajah Chika yang seolah pasrah. Dalam hatinya bergumam tentang sebuah rasa yang ia sendiri belum pernah merasakan gejolak juga debar selain hanya nafsu semata saat berciuman.Dieratkannya pelukan yang Bryan lakukan sedari tadi. Ia bahkan terpejam lagi, setelah sedari menatap wajah polos Chika. Gadis dalam dekapannya itu terenyak sampai membuka mata yang sedari tadi terpejam saking asyiknya terbawa suasana romantis mereka.Jika tadi Bryan yang menatap penuh rasa terhadap Chika, sekarang giliran Chika yang menatap lekat wajah kekasihnya itu dengan perasaan dipenuhi pertanyaan. “Apakah benar kalau dirinya ini mencintai aku? Tuluskah, atau hanya sekadar melampiaskan hasrat yang sebenarnya sama sekali tak tepat?” batinnya tanpa mengalihkan tatapan, juga tanp
Suara ketukan pintu juga salam dari seseorang dengan suara berat membuat Chika beranjak bangun perlahan dari pembaringan. Ia tak tahu siapa yang datang bertamu pagi-pagi sekali itu. Tapi, kalau bukan pemilik kontrakan, biasanya tetangga yang datang untuk meminta tolong.Entah itu karena ingin meminta sedikit air galon, dengan alasan galonnya belum sempat diisi ulang. Kadang juga meminjam charger, dengan alasan charger-nya ketinggalan di tempat kerja. Dan banyak lagi.Namun, yang dilihat Chika saat membuka pintu bukanlah pemilik kontrakan mau pun tetangga kontrakan. Melainkan seorang lelaki tegap dengan perawakan tinggi putih dan bersih. Pakaiannya rapi, seperti orang kaya kebanyakan. Sepatu juga mengkilap, seperti tertimpa minyak.Chika seketika tersenyum lebar begitu tahu kalau yang datang ke kontrakannya itu ternyata Bryan. Pasalnya, sedari tadi Chika saling berbalas pesan dengan lelaki di hadapannya itu. Bahkan, Bryan bilang kalau dirinya batu saja sampai di
“Gue tau kalau lu khawatir sama si Chika. Tapi, sorry. Gue nggak mungkin diam dan biarin lu yang kasih perhatian sama dia. Secara, dia pacar gue, kan?”Masih di perjalanan, Bryan yang duduk di kursi samping Azka pun mulai membahas soal Chika, setelah sedari tadi yang diucapkannya itu selalu tentang pekerjaan. Pekerjaan yang melelahkan, sehingga ia membutuhkan begitu banyak hiburan. Salah satunya ya dengan jalan-jalan bersama pacar.Azka yang juga sedari tadi hanya menyimak itu pun mengangguk lagi. Kali ini sembari menimpali. “Nggak apa-apa, sih, Bos. Lagian emang benar kalau lu yang lebih berhak, ketimbang gue. Gue juga sadar diri. Selain cuman sopir lu, gue yang kenalin lu sama Chika, kan? Jadi, it’s oke lah. Jangan khawatir.”Padahal, dalam hatinya bergejolak rasa cemburu juga menyesal. Niat hati hanya ingin mengenalkan Chika untuk menjadi teman bosnya saja, Chika justru tergoda sampai mau menjadi kekasih Bryan dalam
Seperti sore tadi, Azka mau pun Maya sangat menikmati setiap sentuhan. Keduanya bahkan tak lagi merasakan kecanggungan atau keraguan. Azka terus melumat sampai akhirnya ia benar-benar merasa puas.“Turunlah!” katanya, setelah menarik diri dari ciuman yang dimulainya sendiri. “Kita perlu menemani Chika sebentar sampai bos gue mau pulang.”“Sekarang sudah jam sebelas malam. Kalian nggak boleh lama-lama. Takutnya ada yang datang dan mikir kita lagi ngapain.” Nur pun menimpalinya terlebih dulu sebelum hendak turun.“Kita memang sudah ngapa-ngapain barusan. Nggak usahlah ditutup-tutupi!” timpal Azka juga, sebelum akhirnya ia pun turun lebih dulu.Maya yang mendengarnya pun seketika tersenyum senang. Ia pikir, apa yang dikatakan Azka adalah fakta kalau temannya itu mau membuka hati. “Yes! Apa gue bilang, lama-lama lu pasti mikir kalau gue layak dipertahankan bukan?” batinnya seraya menyusul turun. Kemu