"Mengenalmu seperti takdir baru yang Tuhan sematkan padaku. Mungkinkah aku mengabaikannya, sedang itu terlalu sayang untuk dilewatkan!"
—Yasmin Aurora
——
Namanya Adiraja Haydar. Siswa pindahan dari salah satu SMA lain Jakarta. Wajahnya standar, tidak jelek dan tidak terlalu tampan tapi lumayan untuk ditampilkan di lingkungan ramai. Tidak memalukan! Soal Pelajaran? Tidak terlalu buruk, walau bukan seorang genius seperti Maimunah yang selalu memakai kacamata tebal dan serba culun. Bukan juga seorang idola sekolah seperti Giovano. Bisa dibilang Raja itu serba pas-pasan. Sedikit keunggulan adalah bola matanya yang berwarna cokelat.
Namun, entah mengapa Yasmin begitu tertarik padanya. Cewek yang termasuk primadona sekolah itu terang-terangan mengejar Raja yang merupakan adik kelas. Tidak peduli jika reputasi turun dalam sesaat karena itu, yang terpenting ia bisa mendekati Raja dan mengajak pacaran.
Bagi Yasmin sesederhana itu untuk menjalin hubungan. Namun, bagi Raja, hubungan antara dirinya dengan orang lain itu sesuatu yang sulit. Raja tidak terbiasa bergaul dan membuka diri pada orang asing bahkan pada keluarganya sendiri.
Raja memberi batasan!
"Buset! Lo kesambet apa sih? Senyum lo itu mengerikan!"
Yasmin mendengkus kesal pada sahabatnya yang baru datang itu. Suara Devina itu sangat mengganggu privasinya yang sedang menatap fokus ke arah depan.
"Ini bocah benaran kesambet kali, ya. Gue panggil Maimunah biar dibacakan rumus matematika. Mau lo?"
Tatapan nyalang mendera Devina. Seketika cewek berambut sebahu itu menggaruk telinganya.
"Sialan lo! Yang ada gue makin kesambet, Monyet!"
Kekehan Devina terdengar begitu kuat hingga menjadi bahan tontonan. Sepertinya Devina tidak peduli tempat, mau kantin, mau dalam ruang kelas yang jelas jika itu menurutnya patut ditertawakan maka ia akan melakukan itu.
"Lo juga,, sih. Melamun enggak tahu waktu. Buat jadwal, Nyet!"
"Gue jadikan pepes baru tahu rasa lo, ya! Lo kata gue mau konser pakai jadwal. Kalau ngehalu boleh, tapi jangan sampai terlihat bego."
"Mulut lo pedas amat, Bu. Itu pakai merica?"
"Enggak ah, tapi pakai cinta."
Keduanya tertawa dan lagi tanpa peduli jika beberapa pasang mata mengarah pada mereka.
"Berisik woi! Ini kantin bukan taman hiburan." Seorang siswa cewek menegur mereka. Namun Yasmin dan Devina hanya melirik sekilas lalu tertawa lagi.
"Kalau lo mau tenang di perpus sana!" sahut Yasmin di sela tawanya. "Cabut yuk, Vin. Titik fokus gue udah enggak ada di depan sana."
Devina mengangguk. Meskipun ia tidak tahu titik fokus yang dimaksud oleh Yasmin.
****
"Hai Raja!" Cengiran terpatri di bibir Yasmin. Mendudukkan diri tepat di samping Raja yang tengah menatap ponselnya.
Tidak ada sahutan. Yasmin sadar jika Raja menyumpal telinga menggunakan earphone. Pantas saja tidak ada tanggapan saat ia menyapa.
"Apa yang lo lakukan?" gerutu Raja saat earphone terlepas dari telinganya.
"Melepas earphone. Habis lo cuek sih."
"Ngapain lo ganggu gue mulu? Enggak punya kerjaan lo, ya?"
Nada suara itu terdengar meninggi tapi Yasmin seolah tidak peduli.
"Kerjaan gue banyak kok. Pertama itu memperhatikan lo. Kedua, mengejar lo. Ketiga, memastikan lo enggak melirik cewek lain. Keempat, jatuh cinta sama lo dan—" Kalimat Yasmin terhenti karena Raja menyela.
"Sakit jiwa!"
"Raja, enggak boleh ngomong kasar loh. Entar gue cium baru tahu rasa." Bibir dibuat monyong ke depan seolah akan mencium Raja. Refleks Raja memundurkan badannya ke belakang.
"Ilfil gue sama lo!" kata Raja. Wajahnya benar-benar menampilkan rasa jijik kepada Yasmin. Dan dasar Yasmin yang sama sekali tidak peduli.
"Idih ... Raja sayang. Jangan gitu dong ngomongnya. Entar jatuh cinta loh sama gue. Kan untung di gue."
"Mimpi!"
"Ya Allah. Lo tahu enggak? Bedanya benci sama cinta itu tipis banget, loh, seperti kertas HVS. Kadang lo enggak bisa membedakan ... tahunya eh ... sudah jatuh cinta sama gue."
Raja menggeleng sebagai respons. Sungguh jiwa terguncang bertemu dengan Yasmin. Cewek itu terlalu blak-blakan dan suka sekali mendatangkan emosi seorang Raja. Jika tidak mengingat jenis kelamin mungkin Raja sudah menghadiahi bogem mentah di wajah itu.
Sayangnya, Yasmin itu cewek. Dan Raja menghargai itu, walau cewek di depannya harus dipertimbangkan!
****
“Maimunah!” Yasmin berteriak dari ujung lorong saat melihat cewek berambut cepol dua berjalan di depannya dengan jarak lumayan jauh.
Yang dipanggil menoleh. Namun saat tahu siapa yang memanggil segera mempercepat langkahnya. Yasmin mengembuskan napas kasar. Melihat Maimunah tergesa-gesa membuat dirinya terpaksa menancap gas alias berlari.
“Yak! Maimunah, tunggu gue!” pekik Yasmin. Seperti memiliki kekuatan angin, Yasmin bisa menyusul Maimunah sekilas.
“Apa sih?” Maimunah melepas tangan Yasmin dari lengannya.
“Yaelah, Mai. Santai dong. Gue cuma—“
“Cuma apa?” Maimunah memotong kalimat Yasmin.
“Lo jahat banget sih, Mai. Padahal gue itu cuma minta tolong doang, kok.” Binar mata itu redup dan seolah Yasmin sedang terisak.
“Lo minta tolong apa, sih? Jangan duit! Gue enggak punya.”
“Lo bukan enggak punya duit, tapi itu karena lo pelit.” Bibir Yasmin komat-kamit mendengar kalimat Maimunah. Dasar, orang pelit.
“Lo bilang apa?”
“Santai Sister. Gue enggak ngomong apa-apa, deh. Suer!” Jari membentuk tanda V di depan wajah.
“Kalau lo bohong, gue sumpahi nyungsep!”
“Iya deh. Serah!” Yasmin menghembuskan napas pelan. “Mau bantu gue apa kagak nih? Gue pergi!”
Yang minta tolong Yasmin, yang mengancam mau pergi Yasmin. Lah? Maimunah sendiri bingung dan terpaksa mengangguk sebelum Yasmin benar-benar berlalu.
“Iya, gue bantu. Terus lo mau dibantu apa coba?”
“Gini loh Maimunah. Gue tahu elo emang enggak pernah pacaran. Tapi entah kenapa otak gue ini menjurus ke elo terus.”
Maimunah memutar matanya malas. “Eh, bungkusan lontong ... kalau ngomong yang jelas.”
Tatapan tajam mengarah kepada Maimunah. Seandainya saja Yasmin tidak sedang membutuhkan bantuan si cupu itu, sudah pasti ia akan menyumpahi dengan berbagai sumpah serapah.
Dan dengan terpaksa Yasmin menahan amarahnya. Merendahkan nada bicaranya. “Gue belum selesai bicara, Maimunah,” kata Yasmin kemudian.
“Ya sudah ... buruan ngomong.”
Tarikan napas terdengar lagi dari mulut Yasmin. Ia tersenyum sesaat sebelum memulai bicara, “ini soal cinta dan perasaan. Gue butuh nasihat lo walau lo enggak pernah pacaran!”
Mimik wajah Maimunah memerah. Jelas cewek itu tidak terima dibilang jomlo. Sepertinya Yasmin mencari perkara saja!
“Kadang-kadang nasihat dari orang yang belum pernah pacaran itu lebih manjur dari pada orang yang sering pacaran.”
Yasmin menyalakan api dengan bensin!
“Kadal Ijo! Sialan lo! Lo mau minta bantuan apa menghina gue sih? Minggat lo dari hadapan gue!” Sebelah sepatu sudah di tangan dan siap melemparkan kepada Yasmin.
Buru-buru Yasmin mengambil ancang-ancang. “Kok lo marah sih? Wajah lo itu mirip pakar cinta cuma kisah cinta lo ambyar.”
Maimunah kesal, mengambil sepatu sebelah dan melempar tepat mengenai punggung Yasmin. Tidak ada basa-basi lagi, Yasmin mengambil langkah seribu sebelum sepatu sebelah lagi melayang padanya.
****
“Maimunah gila! Dia pikir punggung gua papan kayu apa? Main lempar saja!” Sepanjang jalan menelusuri lorong menuju kelas, Yasmin menggerutu sembari mengelus punggungnya.
Ia belum bisa terima atas perbuatan Maimunah padanya. Menurutnya itu penindasan walau sebenarnya itu kesalahannya sendiri. Otak Yasmin saja yang terkontaminasi akan ide gila. Bertanya tentang cinta pada orang yang belum pernah pacaran. Sebenarnya Yasmin itu menyelam sambil minum air, bertanya sambil mengusili. Semacam balas dendam! Maimunah sering sekali mengadukannya pada guru karena tidur saat jam pelajaran dan tidak mau peduli saat ada tugas kelompok.
Menggerutu Yasmin terhenti saat netra menangkap sosok Raja yang berjalan sembari membawa beberapa buku. Menumpuk di tangan hingga hanya mata yang tampak. Yasmin mempercepat langkahnya.
1 langkah ... 2 langkah ... 3 langkah ... dan langkah berikutnya sepasang kaki Yasmin tersandung hingga membuatnya jatuh ke depan.
Tidak merasakan sakit sama sekali. Malah terasa sangat empuk dan nyaman. Yasmin betah berlama-lama pada posisi seperti itu.
Namun ....
“Bangun dari tubuh gue!” Suara bariton menyapa rungu Yasmin. Terkesan seksi dan mampu membuat jantung berdetak tidak karuan.
Yasmin melirik dan betapa terkejutnya saat tahu jika ia tengah menimpa Raja. Kenapa otaknya melupakan keberadaan Raja?
“Bangun!” Nada yang terdengar lebih dingin dari sebelumnya. Diucapkan tidak begitu kuat namun mampu membuat bulu kuduk Yasmin meremang.
Buru-buru Yasmin bangkit. Merapikan penampilannya dan tercengir seperti orang bodoh.
“Gue bantu, ya?” tawarnya saat melihat Raja mengumpulkan buku-buku yang berserakan.
Raja melirik dengan tatapan tajam seolah memberi isyarat untuk tidak ikut campur.
“Raja kalau lagi marah kayak singa jantan mau kawin. Takut ... ih...,” kata Yasmin. “Tapi ... gemas. Jadi makin sayang, deh.”
Hanya geleng kepala sebagai respons atas ucapan Yasmin. Raja berpikir jika meladeni Yasmin terus menerus yang ada ia akan gila dan tua sebelum waktunya. Namun, bagaimana bisa ia mengabaikan cewek yang selalu mengganggunya itu?
“Raja ... mau ke mana?”
Yasmin mengikuti langkah Raja yang berjalan di depan.
“Ke rumah sakit jiwa!” teriak Raja tanpa menoleh pada Yasmin.
“Ngapain?” Langkah sedikit dipercepat agar mampu menyamakan langkah Raja.
“Mau kasih tahu kalau pasien mereka kabur.”
Yasmin melihat kanan-kiri. “Mana?” tanya lagi karena tidak menemukan pasien yang dimaksud Raja.
“Elo pasiennya,” tukas Raja sembari melirik bengis ke arah Yasmin.
Bukannya marah, Yasmin malah tersenyum manis. “Sumpah deh, lo itu bikin gemas. KUA yuk ... enggak tahan gue.”
“Gila!” Raja mempercepat langkahnya, meninggalkan Yasmin yang masih mematung di tempat.
“Ya Allah ... bisa khilaf gue lama-lama. Dia itu manis kayak cokelat. Enggak deh, kayak ice cream, Sial! Jadi pengin gue,” monolog Yasmin. “Devina, gue butuh bantuan lo!” teriaknya tanpa peduli jika dianggap seperti orang gila.
Bukankah Yasmin memang sudah gila? Tergila-gila pada Raja.
*****
"Untuk jatuh cinta itu butuh perjuangan! Namun, terkadang ketika hati sudah lelah, apakah masih layak untuk berjuang?"-Yasmin Aurora——"Sumpah ya, Yas. Gue pengin banget sumpahi lo sekarang ini."Yasmin yang tengah menjilat ice cream itu hanya melirik sesaat tanpa berniat menyahut ucapan Devina."Lo kira-kira dong kalau mau ngajak kuliner gitu. Ini bikin malu gue tahu," protes Devina kesal."Kok malu sih? Kan kita enggak telanjang."Itu mulut kenapa asal ceplos saja sih? Devina heran."Yang bilang telanjang siapa, bego?" Devina benar-benar kesal. "Makan ice cream tanpa bawa duit apa enggak malu? Lo kira ini kafe milik nenek gue, apa?"Yasmin menjilat sendok yang masih menempel sisa ice cream. "Mana gue tahu kalau lo enggak bawa duit?""Sialan lo! Jadi gimana nih? Elo juga ... ngapain pakai lupa dompet segala.""Kedip mata saja sama kasirnya. Elo
"Melihatmu dengan amarah yang memuncak, membuat seluruh jiwaku seakan mati rasa!"—Yasmin Aurora——Raja membantingkan buku di meja. Kekesalan sudah mendarah daging dan menjadi ekspresi setiap harinya sejak mengenal Yasmin. Perempuan agresif itu sepertinya tidak ingin membuat jiwanya tenang. Ini pertama kalinya Raja bertemu dengan orang yang selalu mengumbar kata ' nikah' seolah itu hanya sebuah mainan yang bisa dilakukan kapan saja tanpa memikirkan ke depan."Aish!" Dengkusan kasar keluar dari bibir Raja. Mengacak rambutnya frustrasi, lalu setelahnya ia memilih memosisikan kepala di meja dengan kedua lengan sebagai bantalan.Raja tidak menyadari jika kedatangannya beberapa saat lalu telah mencuri perhatian seorang Malvin, teman sebangkunya. Lelaki yang tingginya hampir sama, tetapi terlihat lebih berisi dari Raja itu menatap tanpa berkedip.Bukan karena ia penyuka sesama jenis. Malvin normal b
"Dunia ini terlalu sempit, menyesakkan, hingga dadaku rasanya tak sanggup menampung berjuta rindu yang menyesalkan!"—Yasmin Aurora__"Yas, lo dipanggil Bu Saveta ke kantor tuh."Yasmin yang terlalu fokus selfie, menghentikan aktivitasnya itu dan menatap si empunya suara."Kenapa?" tanya Yasmin bingung. Berharap Naura si pemanggil mempunyai jawaban dari pertanyaan itu."Mana gue tahu!" Naura mengedipkan bahu pertanda tidak tahu. Lalu berlenggang pergi meninggalkan ruang kelas begitu saja.Yasmin menyimpan handphone ke saku rok. Berjalan keluar kelas. Namun sebelumnya, ia sempat mengembuskan napas gusar.Khawatir? Tentu saja. Bu Saveta itu guru bahasa Indonesia yang memberi mereka tugas kelompok. Bisa jadi Maimunah sudah melapor bahwa ia terlambat datang saat berkumpul mengerjakannya."Maimunah!" Yasmin mengacak rambutnya frustrasi. Lagi-lagi dirinya ha
Yasmin membayar ojek online setelah sampai pada tujuannya.Sepi!Itu yang menyambut Yasmin. Tidak ada kegiatan apa pun di sekitar, bahkan tak seorang pun di sana yang menunggunya.Lalu?Yasmin menjilat bibirnya yang kering. Oke, jika seseorang sedang bermain-main dengannya, tidak masalah sama sekali. Ia bisa menghadapi dengan sekali tendang.Hei, jangan tertawa dalam hati. Yasmin pemegang sabuk hitam Taekwondo meskipun ia sudah lama meninggalkan hobinya itu, dan memilih menjadi seorang yang lebih anggun.Yah, kenyataannya Yasmin tidak anggun sama sekali.Lupakan!Yasmin mulai menyusuri area sekitar. Menghubungi nomor Raja, tapi tak ada jawaban sama sekali. Lalu menghubungi nomor asing yang menyuruhnya ke lingkungan sepi saat ini.Terhubung? Jelas. Namun, anehnya tidak ada niatan dari empunya ponsel menyambungkan telepon itu."Aish!" Yasmin memasukka
Raja mengunci bibirnya rapat, sama sekali tak mengeluarkan satu kata. Hanya bunyi tapak kaki yang menyentuh aspal yang terdengar.Sesekali ekor matanya melirik ke Yasmin yang begitu setia menuntunnya berjalan. Cewek genit yang aneh itu begitu telaten dan sabar meskipun langkah Raja terseok-seok karena lututnya terkena tendangan.Sudut bibir Raja terangkat, membentuk segaris senyum saat netranya menangkap bayangan Yasmin yang kesulitan menyingkirkan helai-helai rambut yang menutupi pandangan mata.Ternyata ikat rambut cewek itu terlepas.Dan entah kenapa gerakan Yasmin membuat gejolak dalam hatinya tiba-tiba berdesir, menembus hingga ke pipi dan kemudian mendadak merona."Ikat dulu rambutnya." Raja akhirnya menyerukan suara sedatar mungkin, mencoba menetralkan jantung yang tidak karuan.Yasmin menghentikan langkah, menoleh ke Raja. Keningnya mengerut begitu saja, membuat Raja lagi-lagi tersenyum simpul."Ada apa
Raja mendorong pintu kaca, masuk ke dalam dengan terburu, lalu mendudukkan dirinya tepat di sofa yang tersedia di sana."Mencari Dokter Natasya?"Raja menengadah. Seorang perempuan cantik tengah berbicara padanya.Siapa? Asisten dokter Natasya? Sudah berapa lama ia tak berkunjung ke tempat ini?"Velin. Namaku Velin. Asisten Dokter Natasya, untuk sementara." Sepertinya perempuan cantik itu paham isi otak dan hati Raja.Raja mengangguk. Perempuan cantik bernama Velin itu sangat sopan meskipun ia tahu ada luka yang mendalam yang coba disembunyikan."Dokter Natasya?" tanya Raja. Terdengar ambigu sebenarnya, tapi Velin memahami apa maksud dari pertanyaan itu."Sebentar lagi akan turun. Dia sedang bermeditasi di kamar mandi," sahut Velin pelan.Raja terkekeh mendengar itu. "Baiklah, aku akan menunggu.""Mau minum apa?" tanya Velin."Tidak usah. Gue gak lama. Hanya ko
"Ada dua kemungkinan ketika kamu menyukai seseorang. Satu, jatuh cinta. Dua, ya ... galau!"—Senior itu...?****Raja terbangun dari tidurnya. Merenggangkan otot kaku karena tertidur terlalu lama. You know? Karena bantuan obat penenang yang ia konsumsi tadi malam.Mengerikan sebenarnya. Ia harus selalu berputar pada poros itu saja sejak dulu. Entah sudah berapa lama, yang jelas, ia tak ingin menghitung waktu yang telah mengurungnya dalam dunia sempit dengan dinding kokoh.Raja, menyibak selimut, mendekat pada jendela, guna membuka jendela agar cahaya matahari masuk ke dalam kamarnya. Sejenak, melirik jam digital yang menempel di dinding kamar, jam 11 siang. Cukup suang untuk dikatakan bangun pagi!Peduli setan!Setelah merasa urusan dengan jendela selesai, Raja menuju kamar mandi. Mencuci muka dan gosok gigi. Tidak ada niat mandi karena hari ini ia kan habiskan untuk bermalas-malasan di rumah. Soal papanya, lupak
"Jika pengadilan adalah tempat menjatuhkan vonis, maka aku akan ke sana dengan senang hati. Meminta hakim untuk memvonismu bersalah, karena telah mencuri seluruh perhatianku!” – Yasmin Aurora.“Berada di dekatmu itu seperti mendaki gunung Himalaya, penuh tantangan, tapi terkadang mengasyikkan.” – Adiraja Haydar.****Yasmin membuka pelan pintu kamar Raja, mengintip sedikit melalui celah dan kemudian menghela napas saat ia melihat sang pujaan hati sedang telungkup di atas ranjang. Pakaian yang dikenakan sungguh membuat Seira menelan ludah, bersusah payah untuk memalingkan wajah dari objek yang membuat nafsu nakalnya melejit.Astaga, Raja benar-benar menggodanya. Jika seperti ini bisa saja ia menyeret Jeza ke KUA secepat mungkin, tidak peduli tentang status mereka yang masih pelajar atau hal lainnya.Dia benar-benar tidak tahan melihat tubuh bagian atas Raja yang tidak mengenakan kain penutup, sedang bagian bawah hanya di tutupi menggunakan ce
Yasmin terbangun dari tidur nyenyaknya. Ia merasa heran lantaran saat ini Ia berada di atas ranjang rumah sakit bukan di bangku lagi. Ia menoleh kanan dan kiri, tidak ada Raja sama sekali. Bahkan tiang infus juga tidak berada di tempatnya.Dengan cepat Yasmin turun dari ranjang, berlari keluar mencari suster untuk menanyakan keberadaan Raja. Ia takut jika Raja pergi darinya tanpa pamit sama sekali. Ia tidak ingin Raja kenapa-napa lagi.Yasmin bertemu dengan dua orang suster.“Sus, kalian liat pasien dari bernama Raja? Yang kebetulan dia ditangani oleh Dokter Natasya. Astaga, bagaimana gue mengatakannya, ya?” Yasmin khawatir sendiri.Salah satu suster tersenyum melihat tingkah Yasmin yang seperti itu.“Jangan khawatir. Pasien bernama Raja itu sedang berada di ruangan Dokter Hari bersama Dokter Natasya.”Yasmin lega mendengarnya. “Terima kasih, Sus,” kata Yasmin. “Boleh tahu ruangan Dokter Hari di mana?” tanya Yasmin lagi.“Lurus aja dari sini, baru ada belokan, nah pas belokan itu ada
Keduanya masih terdiam. Cangkir teh Yasmin sudah tandas tanpa sisa, entah kebisuan apa yang terjadi saat ini, Yasmin dan Natasya tidak memahami.Hingga pada akhirnya, Natasya memutuskan untuk mengatakan kenyataan tentang Raja pada Yasmin. Yasmin harus tahu itu pemikiran seorang Natasya sebagai dokter. Bukan apa-apa, ia tidak ingin pasiennya kembali merenggang nyawa karena terlalu lama bertindak dan juga salah prediksi. Cukup seorang Sean yang mengakhiri hidupnya karena kehilangan Velin dalam hidupnya, jangan Raja lagi.“Yasmin,” panggil Natasya.“Ya?” Yasmin menyahut.“Kamu harus tahu sesuatu soal Raja.”“Soal kejiwaan?” tebak Yasmin membuat Natasya terdiam. “Dokter itu spesialis kejiwaan, sudah pasti dokter akan membahas itu pada gue, kan?” tukas Yasmin.Natasya mengedipkan mata sebagai jawaban. “Kamu harus tahu jika Raja itu sakit. Dia itu sakit, Yasmin. Tapi bukan berarti dia gila.”Yasmin tersenyum. “Sakit jiwa yang dokter maksud sudah pasti tentang mental illness, bukan sakit jiw
Langkah memburu terdengar memasuki area lorong rumah sakit. Ya, pemiliknya adalah Natasya, seorang dokter spesialis kejiwaan. Ia sudah lama tidak mampir ke rumah sakit yang dulu pernah menjadi tempatnya mengabdi setelah membuka praktik sendiri. Namun, karena Dokter Hari yang merupakan seniornya dan sering membantunya dulu di rumah sakit ini menelepon dirinya agar datang sesegera mungkin, akhirnya ia memutuskan meninggalkan tempat praktiknya dan datang ke sini.Yang membuat Natasya semakin tergesa-gesa adalah saat Dokter Hari menyebut nama pasien itu, Raja. Bayangan Natasya langsung mengarah kepada Adiraja, pasiennya yang sore tadi datang ke tempat praktik untuk meminta obat.Natasya berharap itu bukan Raja yang ia kenal. Ya, Natasya berharap.Sayangnya, saat ia tiba di ruangan pasien, Natasya kaget bukan main karena kenyataannya adalah Raja yang dimaksud oleh Dokter Hari itu Adiraja si pasien yang i tangani selama ini.Natasya mendekat ke sisi ranjang. Menatap wajah Raja dalam diam da
Raja menendang vas bunga yang terletak di sudut ruangan saat ia melewati menuju ruang makan. Wajahnya memerah lantaran emosi, belum lagi rahangnya yang mengeras dan tangannya yang mengepal kuat. Tidak ada yang bersahabat dari ekspresi seorang Raja yang masih SMA itu. Lebih layak dipandang sebagai orang dewasa yang sedang ingin menguliti mangsanya.Lagi, Raja membuat kegaduhan dengan melemparkan benda berat ke arah lemari kaca yang biasa digunakan untuk menyimpan beberapa buku dan dokumen sang papa. Raj terlalu emosi sehingga segala hal yang menurutnya layak untuk dihancurkan maka akan ia hancurkan detik itu juga.Karen kegaduhan yang ditimbulkan Raja di ruang tamu membuat Viola dan Adam segera berlari ke ruang tamu. Kening keduanya mengerut bersamaan dengan mulut Viola yang menganga. Melirik Adam dan menggigit bibir lantaran yakin jika Raja sudah mengetahui jika yang menjadi saudara tirinya adalah Yasmin. Tidak mungkin bocah remaja itu melakukan tindakan buruk segila ini jika tidak me
Yasmin menelan salivanya susah payah saat kakinya menginjak lantai pekarangan rumah milik kekasih dari bundanya itu. Dalam hati bercampur aduk, antara khawatir, takut, sedih dan juga kecewa berat pada banyak hal. Salah satunya pada bundanya.Pemikiran Yasmin sedari tadi tertuju pada Raja yang entah bagaimana responsnya saat tahu dirinya akan menjadi adik tiri Yasmin. Jujur, Yasmin tidak bisa melepas hatinya pada Raja, ia sudah terlaku mencintai juniornya itu walau kebanyakan orang bilang termasuk sang bunda jika cinta yang dimiliki Yasmin hanya cinta monyet.Persetan dengan pendapat orang lain. Yang harus ia percaya adalah hatinya dan tentu saja Raja yang sudah mengikatnya dengan janji yang penuh ketulusan.Yasmin ingin Raja dalam hidupnya.“Yasmin, buruan!” Viola memanggil Yasmin yang masih melamun di depan pintu.Tidak ada sahutan yang keluar dari mulut Yasmin. Hanya kakinya yang terus berjalan menghampiri sang bunda yang menunggunya.“Jangan berulah apalagi membuat masalah. Ingat b
Raja membuka laci nakas untuk mengambil obat yang selalu ia konsumsi saat depresinya kambuh. Namun, di dalam laci itu hanya menyisakan botol tanpa isi. Tidak ada satu pil pun tersisa. Raja menghela napas kasar dan kembali meraung bersamaan dengan tangannya yang terus memukul lantai.Terduduk di keramik dingin, bersandar pada ranjang. Tangan kanan menarik rambut sedang tangan kiri terus saja bermain di lantai, memukul dan terus memukul.Sekarang bukan hanya dinding yang penuh noda darah, tapi juga lantai. Raja seolah tidak peduli akan itu, bahkan tangannya saja sudah terluka tidak terasa sakit sama sekali, karena luka sebenarnya ada di hati dan perasaannya.“Tuhan, kenapa Engkau hukum aku seperti ini?” Raja terisak.Tidak ada niat menyalahkan Tuhan, hanya saja Raja terlalu lelah menghadapi setip tekanan yang menyerangnya dari dalam.Raja mengambil ponselnya di atas nakas, menekan nomor Yasmin dan saat tersambung, ia langsung memanggil nama Yasmin lirih.“Yasmin ....”Yasmin di ujung te
Viola membantingkan majalah di depan Yasmin yang sedang duduk melentangkan kaki di atas meja kaca. Sempat kaget bahkan sempat memuncratkan cemilan yang sempat masuk ke mulut lantaran Viola melakukannya secara tiba-tiba.“Ada apa, Bun?” tanya Yasmin heran. Ia merasa Viola terlalu kejam padanya belakangan ini.Viola berkacak pinggang. “Bunda sudah bilang ke kamu untuk memutuskan hubunganmu dengan Raja. Kenapa kamu tidak melakukannya?” Viola berucap dengan nada tidak menyenangkan sama sekali.Yasmin menggelengkan kepalanya. “Bun, Yasmin tidak bisa melakukan itu. Yasmin mencintai Raja,” ucap Yasmin memberi pengertian.Viola menatap Yasmin tajam. “Cinta? Anak SMA mana yang mencintai secara tulus dan bertahan lama? Perasaan kalian itu hanya sekedar cinta monyet tidak akan lebih.”Yasmin kembali menggeleng. “Yasmin mencintai Raja bukan hanya sekedar cinta monyet, Bun.” Yasmin juga mencoba memberi penjelasan. “Kenapa bukan Bunda saja yang mengalah demi putri sendiri. Lagian, papa belum lama m
Devina melemparkan tas sekolah di sofa, mendaratkan bokongnya di samping sang mama. Helaan napas terdengar bersamaan kaki yang dientakkan ke lantai.Amara yang melihat itu kaget. Mengalihkan fokusnya pada Devina. “Ada apa, Sayang?” tanyanya penuh kelembutan.Devina menggeleng. Tidak ingin menceritakan permasalahan antara dirinya dan Yasmin. Jika mamanya mendengar, yang ada ia akan dinasihati dan mungkin ... disalahkan, karena memang benar semua karena kesalahannya. Hanya saja Devina ingin menyelesaikan semuanya sendiri.“Sayang, ada apa? Coba katakan ke mama, dong.” Amara menutup majalah yang ia baca. Meletakkan di atas meja lalu menatap fokus wajah putri satu-satunya itu. Ada gurat kesedihan dan kekecewaan di sana. “Mama tahu kalau kamu ada masalah serius. Coba katakan?” Lagi, Amara mencoba membujuk Devina.Devina memeluk sang mama sembari berkata, “Tidak ada, Ma. Perasaan Mama aja kali.” Mencoba menutupi dengan senyum manisnya.Amara mengelus wajah Devina. “Mama tahu kalau kamu boho
Yasmin menatap Raja yang duduk diam di sampingnya. Seperti biasa cowok itu memasang mimik datar, dengan dinding kokoh sebagai pelindung. Namun, bagi Yasmin itu tidak mengapa, toh, Raja sudah membiarkan dirinya masuk ke sana dan mengunci pintu sehingga hanya Yasmin seorang dan tidak ada yang lain.Memang tidak terlalu percaya sebelum Raja mengatakan perasaan padanya, tapi tidak masalah untuk berbangga hati, kan?Sudah 10 menit di taman dekat kompleks rumah Raja, tapi tidak ada percakapan yang terjadi. Keduanya masih terdiam, atau tepatnya, Yasmin menunggu waktu yang tepat untuk mengeluarkan suaranya dan Raja menunggu apa yang Yasmin katakan.“Untuk lo!” Raja menyodorkan kotak kecil berwarna hitam kepada Yasmin.Kening Yasmin mengerut. “Apa ini?” tanyanya sembari mengambil kotak kecil itu.“Hadiah kecil. Anggap aja ini pengikat lo dan gue. Sehingga lo gak akan ninggalin gue apa pun yang terjadi.” Raja menoleh pada Raja. Mengambil kembali kotak itu dan membukanya.Yasmin membulatkan mata