"Untuk jatuh cinta itu butuh perjuangan! Namun, terkadang ketika hati sudah lelah, apakah masih layak untuk berjuang?"
-Yasmin Aurora
——
"Sumpah ya, Yas. Gue pengin banget sumpahi lo sekarang ini."
Yasmin yang tengah menjilat ice cream itu hanya melirik sesaat tanpa berniat menyahut ucapan Devina.
"Lo kira-kira dong kalau mau ngajak kuliner gitu. Ini bikin malu gue tahu," protes Devina kesal.
"Kok malu sih? Kan kita enggak telanjang."
Itu mulut kenapa asal ceplos saja sih? Devina heran.
"Yang bilang telanjang siapa, bego?" Devina benar-benar kesal. "Makan ice cream tanpa bawa duit apa enggak malu? Lo kira ini kafe milik nenek gue, apa?"
Yasmin menjilat sendok yang masih menempel sisa ice cream. "Mana gue tahu kalau lo enggak bawa duit?"
"Sialan lo! Jadi gimana nih? Elo juga ... ngapain pakai lupa dompet segala."
"Kedip mata saja sama kasirnya. Elo 'kan jago soal merayu," saran Yasmin.
Sudut bibir Devina naik. Kekesalannya semakin menjadi. Ia lupa bahwa sahabatnya itu sedikit gila.
"Kasirnya cewek, Monyet!"
"Sorry. Gue kira cowok." Yasmin terkekeh pelan.
"Jadi gimana? Mikir dong! Masa iya kita cuci piring buat bayar ice cream?"
"Ide bagus. Tapi elo aja, ya."
Perdebatan kecil itu akhirnya mencapai pada klimaks. Keduanya memilih kabur dengan cara sembunyi-sembunyi. Namun, niat itu tidak terwujud karena seseorang datang dan mendudukkan diri di bangku kosong.
"Bersenang-senang?" Pertanyaan itu lebih mirip seperti ejekan menurut Yasmin.
Yasmin memutar bola matanya malas. Ia sangat malas berurusan dengan Giovano.
"Kalau iya, kenapa? Masalah buat lo?" ketus Yasmin. Ia sempat mendapatkan cubitan kecil di pinggang dan pelakunya tentu saja Devina.
"Enggak masalah sih. Cuma nanya aja kok. Jangan baper gitu dong."
"Giovano, mantan gue tersayang tapi bohong, siapa sih yang baper? Elo kali!"
"Gue? Baper? Mimpi kali." Giovano memasang mimik angkuh.
"Ya sudah kalau lo enggak baper. Santai dong." Yasmin tersenyum manis. "Devina, yuk pulang. Gerah gue lama-lama di sini."
Devina mengangguk.
"Bayari ice cream gue ya. Kebetulan lupa bawa duit kes," celetuk Yasmin.
Giovano hanya menganga, kemudian mendengus pelan setelah mencerna kalimat Yasmin barusan. Lagi-lagi mantan pacarnya itu bikin emosi bercampur aduk.
Marah pun akan percuma. Karena kedua manusia tanpa malu itu telah menghilang dari pandangan mata. Dan terpaksa, ia harus melunasi makanan milik orang lain.
****
"Bunda pulang jam berapa?" Yasmin mengekori perempuan cantik yang tengah mengotak atik ponsel.
"Mungkin jam sembilan. Jangan tunggu Bunda. Makan saja sendiri." Viola berucap tanpa melirik Yasmin sama sekali.
Yasmin mengangguk pasrah. "Bunda pulang, 'kan?"
Viola mengalihkan fokus pada Yasmin. "Kalau acara cepat selesai, Bunda akan pulang. Intinya, jangan tunggu Bunda."
Jawaban yang diberikan Viola tidak memuaskan hati Yasmin sama sekali tapi mau bagaimana lagi jika itu sudah diucapkan. Sebagai anak, dirinya hanya bisa patuh. Walau sebenarnya ia menginginkan hal lain.
Semacam kasih sayang.
Bundanya terlalu sibuk bekerja dan berkumpul bersama teman-teman arisan, bahkan lupa bahwasanya ia memiliki anak yang butuh perhatian. Yasmin butuh materi tapi jika boleh jujur, ia lebih butuh kasih sayang.
Namun, Bundanya tidak memberi apa yang sepantasnya diterima anak seusianya.
"Bunda hati-hati ya." Hanya kalimat itu yang Yasmin ucapkan saat Viola masuk ke dalam mobil.
Tidak ada sahutan sama sekali. Viola sibuk menyalakan mobil lalu setelah itu meninggalkan pekarangan rumah mewah mereka.
Sebulir air mata merembes dari netra Yasmin. Untuk kesekian kalinya, ia ditinggal oleh bunda dan lebih memilih menghabiskan waktu di luar rumah.
Yasmin sudah lupa kapan terakhir kali ia makan bersama Viola. Mungkin setahun yang lalu, saat ayahnya masih hidup.
"Ayah, Yasmin rindu."
****
Yasmin menghentikan jari-jarinya yang bermain di atas keyboard laptopnya saat suara deru mobil terdengar dan berhenti di depan rumahnya. Dengan buru-buru, ia menuju jendela, menyibakkan sedikit gorden dan mengintip ke luar lewat jendela kaca.
Mata fokus pada titik target. Seorang yang berjenis kelamin laki-laki keluar dari dalam mobil, dan disusul oleh seorang perempuan. Yasmin menajamkan penglihatannya, lantas kemudian tersenyum sendu. Perempuan itu adalah bundanya.
Yasmin memalingkan tubuhnya saat lelaki itu mendaratkan kecupan di kening sang perempuan. Jari-jari Yasmin mengepal dan sejurus air matanya jatuh.
Entah kenapa hatinya terasa sakit melihat adegan romantis itu.
Dengan sangat perlahan, Yasmin berjalan ke ranjangnya dan melemparkan diri ke atasnya. Ia sangat malas untuk lanjut mengerjakan tugas sekolahnya. Memilih tidur, apalagi jarum jam sudah menunjuk pada angka 10 malam.
"Yasmin."
Panggilan dari luar kamar bersamaan ketukan di pintu, membuat Yasmin membuka mata. Niat untuk membuka pintu tidak ada sama sekali, ia hanya menatap fokus ke sana.
"Jangan berpura-pura tidur."
Suara itu seperti biasa, datar tanpa kelembutan di dalamnya. Yasmin benci itu!
"Mama bawakan kue cokelat kesukaanmu. Mama letak di depan pintu. Ambil sekarang sebelum tikus yang menikmati."
Lalu, hening setelahnya. Tidak ada suara dari luar. Yasmin menghela napas, selalu seperti ini. Apa susahnya bundanya itu masuk ke dalam kamar dan memberikannya dengan lembut penuh kasih sayang?
Yasmin menyibak selimut, turun dari ranjang lalu berjalan menuju pintu. Secara pelan membuka pintu, mengintip ke luar dan sudut bibirnya naik saat melihat kotak kue cokelat.
Ia segera mengambil lalu menutup pintu kembali. Dan berbalik menuju ranjang. Yasmin membuka kotak kue itu. Air matanya mengalir lantaran kue cokelat itu mengingatkannya pada almarhum ayahnya.
Yasmin mengambil ponselnya, masuk ke aplikasi Facebook dan membuat postingan singkat.
"Kue cokelat atau kenangan?"
Ia tidak menunggu komentar sama sekali. Karena setelah membuat postingan, Yasmin langsung keluar dari aplikasi Facebook.
*****
"Seperti gemerencik hujan yang jatuh tepat pada dedaunan, menjadi rindu lalu berubah sendu"
—Yasmin Aurora
——
Devina menggeram kesal lantaran kegiatannya mengutak atik ponselnya terganggu karena tangan jahil Yasmin. Ingin rasanya sumpah serapah terlontarkan seandainya mereka bukan berada di perpustakaan saat ini.
"Asem banget tuh muka." Yasmin berbisik tepat di telinga Devina.
Devina menarik napas cukup panjang dan menghembuskan tepat di wajah Yasmin. Sungguh ia sangat kesal pada Yasmin yang mengganggu aktivitasnya pada ponsel mewah berwarna pink itu.
"Bau, Monyet!" pekik Yasmin tertahan. "Lo makan apa sih tadi? Bangkai buaya, ya?" tambahnya sembari menutup hidung.
Sekilas Devina melirik Yasmin. "Bukan bangkai buaya yang gue makan tadi."
"Terus?"
"Bangkai manusia. Puas lo?" seru Devina. Ia kembali melanjutkan fokus pada ponselnya.
"Lo ngapain sih? Itu bola mata bisa copot kalau lo melotot kayak gitu," tegur Yasmin. Tatapan menjurus pada wajah Devina, menelisik begitu dalam seolah ia adalah detektif kriminal yang sedang menginterogasi tersangka.
Devina menengadah. "Biasalah, menggombali anak orang."
"Kali ini siapa lagi? Feri? Atau Wahyu?"
Devina menggeleng lantas menunjukkan foto seorang lelaki yang tidak memakai atasan hanya menggunakan celana training berwarna hitam pekat. Yasmin menelan ludahnya saat netranya menangkap otot perut yang sempurna layaknya roti sobek, kotak-kotak yang terbagi enam bagian.
"Gila! Itu roti sobek harganya berapa? Ambyar hati gue." Dengan susah payah Yasmin menelan ludahnya.
Dengan cepat Devina menarik ponselnya dari pandangan Yasmin. Ia takut jika sahabatnya itu kerasukan setan gara-gara foto hot Revin, si tetangga barunya.
"Itu iler dihapus. Berceceran," goda Devina.
"Sialan lo," gerutu Yasmin lantas membersihkan area bibir hingga ke dagu.
Devina menahan senyum. Ia berhasil mengerjai Yasmin dalam hitungan detik.
"Itu siapa sih? Kok gantengnya lumayan?"
Netra cokelat Devina membulat. Lumayan? Yang benar saja? Revin itu ganteng, sempurna dan hot. Mata Yasmin sepertinya katarak. "Lumayan? Mau kepala lo gue tebas pake kawat giginya Maimunah?"
Bulu roma Yasmin merinding mendengar nama Maimunah. Masih teringat jelas d otak saat sebelah sepatu murid genius itu mendarat di punggungnya.
"Terjangkit virus rabies gue."
Senyum Devina mengembang. Ia selalu berhasil mengancam Yasmin menggunakan nama Maimunah. Padahal cewek berkacamata itu sama sekali tidak ada hubungannya pada pembahasan mereka. Namun, selalu terbawa dan sukses membuat Maimunah semakin gencar mengadukan mereka pada guru.
"Ngomong-ngomong, itu cowok siapa sih? Gebetan baru lo?" Yasmin menelisik wajah Devina. Dan kenyataan mengatakan ada sesuatu di antara keduanya.
"Namanya Revin, tetangga baru." Senyum semringah terpancar di wajah Devina.
Yasmin mengangguk, paham betul apa otak sahabatnya itu. "Dan gue yakin sekarang lo lagi melancarkan aksi rayu merayu."
Kini giliran Devina yang mengangguk. "Lo emang sahabat terbaik gue. Lo bisa nebak segala hal tentang gue."
Yasmin mendecit. Terlihat jelas senyum tipis terpatri. Apa pun keputusan Devina, dalam bentuk yang jelas atau tidak, Yasmin selalu berada di pihak sahabatnya itu.
"Jangan mendekat ke area Revin! Gue kirim lo ke neraka!" peringat Devina saat menangkap mimik Yasmin yang tersenyum mencurigakan.
Yasmin menepuk jidat Devina. Dan cewek berambut pendek sebahu itu mengaduh kesakitan.
"Gila lo ya? Sakit!"
"Lah, salah lo juga, prasangka buruk banget jadi manusia." Yasmin menjeda kalimatnya sekedar menelan ludah, "... lagian takdir gue itu sudah jelas di depan mata. Raja!"
Ada yang beda saat Yasmin mengucapkan nama adik kelasnya itu. Binar kebahagiaan tertera jelas di netranya.
Apa ia sudah jatuh cinta terlalu dalam?
"Lo kalau mimpi jangan ketinggian. Lo kira itu cowok mau sama lo?"
"Kenapa enggak?" Alis Yasmin naik sebelah.
Devina menarik napas. Fokus pada Yasmin dan mengabaikan ponselnya yang berulang kali berdering karena pesan masuk.
"Gue bisa nebak, Raja itu cowok yang suka sama cewek kalem dan pendiam. Sedang lo? Agresif plus centil minta ampun."
Bibir Yasmin mengerucut. Pernyataan yang di keluarkan oleh Devina membuatnya kesal bukan main.
"Devina, ini zaman milenial, so ... tidak masalah kalau cewek lebih agresif dari cowok. Bukannya lo sama gue itu sama saja?"
Devina terdiam. Apa yang dikatakan Yasmin itu benar, mereka berdua tidak ada bedanya. Sama-sama agresif!
"Eh, lo berdua bisa diam enggak sih? Ini perpus bukan diskotek. Jangan berisik!" tegur salah satu murid cewek yang merasa terganggu dengan Yasmin dan Devina.
Keduanya tersadar. Yasmin melirik ke seluruh ruangan, dan gilanya semua mata tertuju pada mereka. Terlalu asyik gibah sampai lupa tempat.
"Maaf," cicit Devina. Segera menarik tangan Yasmin untuk mengajak keluar dari sana. " Cabut yuk."
Yasmin mengangguk. Mengikuti langkah Devina yang terus menyeretnya keluar dari perpus.
****
Yasmin melepas ikatan rambut saat netranya menangkap bayangan Raja yang duduk di bawah pohon Akasia. Senyum mengembang sempurna bersamaan dengan langkah kaki yang menuju ke arah idaman hati.
Dengan perlahan tanpa menimbulkan suara segera duduk di samping Raja. Yasmin memfokuskan atensinya pada cowok yang sedang terpejam itu. Memuaskan mata dan hati untuk memandang tanpa perlawanan.
Seketika wajah Yasmin memanas dan ia yakin telah memerah layaknya tomat. Dalam keadaan seperti ini saja, tubuhnya bereaksi begitu cepat apalagi jika Raja telah menjadi miliknya.
Tangan tidak tinggal diam, bergerak perlahan menyingkirkan rambut yang menutupi kening Raja, kemudian beralih ke hidung yang mancung mengikuti bentuk, seolah Yasmin sedang melukis di atas kanvas.
Namun, saat tangan menuju ke area bibir, Yasmin terdiam, menelisik bibir penuh yang sedikit memerah itu. Dengan susah payah ia menelan salivanya! Sepertinya otak mesum menguasai dalam sesaat. Yasmin membasahi bibirnya, kemudian memperkecil jarak antara wajahnya dan Raja.
Sedikit lagi bibir itu mendarat di kening mulus Raja seandainya mata itu tidak terbuka. Refleks Yasmin mundur hingga membuatnya tersungkur ke belakang.
"Lo ngapain? Mesum ya?" Raja melontarkan pertanyaan sarkastis. Jangan lupa mata yang menatap tajam, menelisik ke arah Yasmin dari atas kepala hingga ujung kaki.
Yasmin yang telah berdiri dari posisi tersungkurnya menepuk rok bagian belakang. Pipi menggembung bersamaan dengan dengusan kasar yang keluar dari mulut.
"Siapa yang mesum?" elak Yasmin tidak terima atas tuduhan yang Raja layangkan.
"Elo!" Jelas, padat dan tidak bisa disanggah. Namun bukan Yasmin kalau mengalah begitu saja.
"Enak saja kalau ngomong." Yasmin berkacak pinggang di depan Raja.
Raja membetulkan posisi duduknya. Senyum simpul tertera jelas di sudut bibirnya. "Jadi apa namanya kalau bukan mesum?"
"Pokoknya gue enggak mesum!" elak Yasmin.
Raja menaikkan sebelah alisnya. "Mana ada maling mau ngaku? Kalau ngaku penjara penuh."
Yasmin menggeram tertahan. Dia tidak suka dengan tuduhan yang dilemparkan oleh Raja. Walau kenyataannya bibirnya hampir menyentuh jidat Raja, tadinya. Tapi ... itu tidak membuktikan kalau ia mesum, bukan?
"Raja mau ke mana?" tanyanya saat Raja berjalan menjauh.
Raja memutar tubuhnya ke belakang, menatap horor pada Yasmin yang mendekat. "Ke neraka!"
Senyum Yasmin mengembang. Ia menyamakan langkahnya dengan Raja yang berjalan sedikit lebih cepat darinya. "Lo makin lama makin menggemaskan. Sumpah!" Jari membentuk huruf di depan wajah. "Nikah saja yuk. Biar halal! Jadi pas sayang-sayang, enggak ada iblis yang nyasar." Yasmin menggandeng tangan Raja.
Raja menahan napas. Seluruh wajah memerah karena amarah sudah mencapai pada garis batas. Rasanya, Raja ingin sekali memelintir leher Yasmin agar berhenti merecoki hidupnya yang tenang. Sialnya, ia tidak mampu melakukannya. Bagaimana pun, hatinya tak mampu menyakiti seorang perempuan.
Seandainya saja ia bisa melakukannya?
"Gue serius, Raja. Kita nikah yuk. Terus kita bikin anak. Em ... sepasang saja biar adil. Nanti anak-anak, kita kasih nama Princess sama King." Yasmin bertutur panjang lebar, mengeluarkan segala sesuatu yang ada di hati dan pikirannya.
Lupa jika Raja tidak pernah ikut berpartisipasi dalam ide gilanya itu.
Mendengar kalimat yang keluar dari mulut Yasmin membuat Raja spontan berhenti. Mengusap wajahnya frustrasi. Menghadapi Yasmin itu sungguh menguras otak dan ototnya. Ia kira perempuan yang asal usulnya tidak ia tahu itu akan menyerah mengganggunya jika diabaikan. Tapi nyatanya tidak menyerah.
Malah semakin merecoki dengan tingkah lebih mengesalkan lagi.
"Sakit lo!" Mimik wajah marah terlukis jelas. Raja sudah terlalu muak.
Yasmin tersenyum semringah. Tidak pernah peduli pada ekspresi yang ditampilkan Raja. Bagi Yasmin itu hanya sekedar gertakan.
"Gue memang sakit Raja. Dan itu karena lo," kata Yasmin. "Jadi gue butuh obat. Dan obatnya itu juga elo."
"Gila!"
"Raja, jangan sering katai gue gila. Entar lo tergila-gila sama gue lagi. Gue mah, ikhlas saja. Malah syukur alhamdulillah."
Raja menggeleng. Tidak ada yang bisa lagi ia lakukan lagi untuk menghentikan aksi Yasmin mengganggunya.
Percuma saja, Yasmin itu terlalu agresif dan Raja benci itu!
*****
"Melihatmu dengan amarah yang memuncak, membuat seluruh jiwaku seakan mati rasa!"—Yasmin Aurora——Raja membantingkan buku di meja. Kekesalan sudah mendarah daging dan menjadi ekspresi setiap harinya sejak mengenal Yasmin. Perempuan agresif itu sepertinya tidak ingin membuat jiwanya tenang. Ini pertama kalinya Raja bertemu dengan orang yang selalu mengumbar kata ' nikah' seolah itu hanya sebuah mainan yang bisa dilakukan kapan saja tanpa memikirkan ke depan."Aish!" Dengkusan kasar keluar dari bibir Raja. Mengacak rambutnya frustrasi, lalu setelahnya ia memilih memosisikan kepala di meja dengan kedua lengan sebagai bantalan.Raja tidak menyadari jika kedatangannya beberapa saat lalu telah mencuri perhatian seorang Malvin, teman sebangkunya. Lelaki yang tingginya hampir sama, tetapi terlihat lebih berisi dari Raja itu menatap tanpa berkedip.Bukan karena ia penyuka sesama jenis. Malvin normal b
"Dunia ini terlalu sempit, menyesakkan, hingga dadaku rasanya tak sanggup menampung berjuta rindu yang menyesalkan!"—Yasmin Aurora__"Yas, lo dipanggil Bu Saveta ke kantor tuh."Yasmin yang terlalu fokus selfie, menghentikan aktivitasnya itu dan menatap si empunya suara."Kenapa?" tanya Yasmin bingung. Berharap Naura si pemanggil mempunyai jawaban dari pertanyaan itu."Mana gue tahu!" Naura mengedipkan bahu pertanda tidak tahu. Lalu berlenggang pergi meninggalkan ruang kelas begitu saja.Yasmin menyimpan handphone ke saku rok. Berjalan keluar kelas. Namun sebelumnya, ia sempat mengembuskan napas gusar.Khawatir? Tentu saja. Bu Saveta itu guru bahasa Indonesia yang memberi mereka tugas kelompok. Bisa jadi Maimunah sudah melapor bahwa ia terlambat datang saat berkumpul mengerjakannya."Maimunah!" Yasmin mengacak rambutnya frustrasi. Lagi-lagi dirinya ha
Yasmin membayar ojek online setelah sampai pada tujuannya.Sepi!Itu yang menyambut Yasmin. Tidak ada kegiatan apa pun di sekitar, bahkan tak seorang pun di sana yang menunggunya.Lalu?Yasmin menjilat bibirnya yang kering. Oke, jika seseorang sedang bermain-main dengannya, tidak masalah sama sekali. Ia bisa menghadapi dengan sekali tendang.Hei, jangan tertawa dalam hati. Yasmin pemegang sabuk hitam Taekwondo meskipun ia sudah lama meninggalkan hobinya itu, dan memilih menjadi seorang yang lebih anggun.Yah, kenyataannya Yasmin tidak anggun sama sekali.Lupakan!Yasmin mulai menyusuri area sekitar. Menghubungi nomor Raja, tapi tak ada jawaban sama sekali. Lalu menghubungi nomor asing yang menyuruhnya ke lingkungan sepi saat ini.Terhubung? Jelas. Namun, anehnya tidak ada niatan dari empunya ponsel menyambungkan telepon itu."Aish!" Yasmin memasukka
Raja mengunci bibirnya rapat, sama sekali tak mengeluarkan satu kata. Hanya bunyi tapak kaki yang menyentuh aspal yang terdengar.Sesekali ekor matanya melirik ke Yasmin yang begitu setia menuntunnya berjalan. Cewek genit yang aneh itu begitu telaten dan sabar meskipun langkah Raja terseok-seok karena lututnya terkena tendangan.Sudut bibir Raja terangkat, membentuk segaris senyum saat netranya menangkap bayangan Yasmin yang kesulitan menyingkirkan helai-helai rambut yang menutupi pandangan mata.Ternyata ikat rambut cewek itu terlepas.Dan entah kenapa gerakan Yasmin membuat gejolak dalam hatinya tiba-tiba berdesir, menembus hingga ke pipi dan kemudian mendadak merona."Ikat dulu rambutnya." Raja akhirnya menyerukan suara sedatar mungkin, mencoba menetralkan jantung yang tidak karuan.Yasmin menghentikan langkah, menoleh ke Raja. Keningnya mengerut begitu saja, membuat Raja lagi-lagi tersenyum simpul."Ada apa
Raja mendorong pintu kaca, masuk ke dalam dengan terburu, lalu mendudukkan dirinya tepat di sofa yang tersedia di sana."Mencari Dokter Natasya?"Raja menengadah. Seorang perempuan cantik tengah berbicara padanya.Siapa? Asisten dokter Natasya? Sudah berapa lama ia tak berkunjung ke tempat ini?"Velin. Namaku Velin. Asisten Dokter Natasya, untuk sementara." Sepertinya perempuan cantik itu paham isi otak dan hati Raja.Raja mengangguk. Perempuan cantik bernama Velin itu sangat sopan meskipun ia tahu ada luka yang mendalam yang coba disembunyikan."Dokter Natasya?" tanya Raja. Terdengar ambigu sebenarnya, tapi Velin memahami apa maksud dari pertanyaan itu."Sebentar lagi akan turun. Dia sedang bermeditasi di kamar mandi," sahut Velin pelan.Raja terkekeh mendengar itu. "Baiklah, aku akan menunggu.""Mau minum apa?" tanya Velin."Tidak usah. Gue gak lama. Hanya ko
"Ada dua kemungkinan ketika kamu menyukai seseorang. Satu, jatuh cinta. Dua, ya ... galau!"—Senior itu...?****Raja terbangun dari tidurnya. Merenggangkan otot kaku karena tertidur terlalu lama. You know? Karena bantuan obat penenang yang ia konsumsi tadi malam.Mengerikan sebenarnya. Ia harus selalu berputar pada poros itu saja sejak dulu. Entah sudah berapa lama, yang jelas, ia tak ingin menghitung waktu yang telah mengurungnya dalam dunia sempit dengan dinding kokoh.Raja, menyibak selimut, mendekat pada jendela, guna membuka jendela agar cahaya matahari masuk ke dalam kamarnya. Sejenak, melirik jam digital yang menempel di dinding kamar, jam 11 siang. Cukup suang untuk dikatakan bangun pagi!Peduli setan!Setelah merasa urusan dengan jendela selesai, Raja menuju kamar mandi. Mencuci muka dan gosok gigi. Tidak ada niat mandi karena hari ini ia kan habiskan untuk bermalas-malasan di rumah. Soal papanya, lupak
"Jika pengadilan adalah tempat menjatuhkan vonis, maka aku akan ke sana dengan senang hati. Meminta hakim untuk memvonismu bersalah, karena telah mencuri seluruh perhatianku!” – Yasmin Aurora.“Berada di dekatmu itu seperti mendaki gunung Himalaya, penuh tantangan, tapi terkadang mengasyikkan.” – Adiraja Haydar.****Yasmin membuka pelan pintu kamar Raja, mengintip sedikit melalui celah dan kemudian menghela napas saat ia melihat sang pujaan hati sedang telungkup di atas ranjang. Pakaian yang dikenakan sungguh membuat Seira menelan ludah, bersusah payah untuk memalingkan wajah dari objek yang membuat nafsu nakalnya melejit.Astaga, Raja benar-benar menggodanya. Jika seperti ini bisa saja ia menyeret Jeza ke KUA secepat mungkin, tidak peduli tentang status mereka yang masih pelajar atau hal lainnya.Dia benar-benar tidak tahan melihat tubuh bagian atas Raja yang tidak mengenakan kain penutup, sedang bagian bawah hanya di tutupi menggunakan ce
Itulah hidup, selalu diterpa masalah dan gelintir cobaan lain. Kadang, orang yang tersenyum semanis madu belum tentu bahagia. Bisa saja, si tokoh sedang menutupi segala kepedihan hatinya membagi tawa. Tidak ingin yang lain tahu seberapa tersiksanya ia pada kehidupan yang dijalani saat ini.Yasmin adalah salah satunya. Dunianya kacau sebenarnya. Ada luka mendalam yang ia tutupi dengan segala tingkah konyol. Mengusili teman sekelasnya bukan karena ingin mencari masalah, tapi sebenarnya dirinya mencari perhatian.Mungkin hanya Devina satu-satunya orang yang paham akan tingkah laku keusilan Yasmin. Bahkan Viola saja tidak pernah mampu memahami apa yang dirasakan putrinya itu. Devina bisa diandalkan dalam hal menebak hati seseorang sedalam apa pun itu masalah. Mungkin karena keduanya memiliki sifat yang sama. Bedanya, Devina terlahir dengan keluarga yang utuh dan sayang padanya.Sedangkan Yasmin? Ah, ia dulunya juga baik-baik saja, tapi setelah ayahnya meninggal dalam kecelakaan semua ber
Yasmin terbangun dari tidur nyenyaknya. Ia merasa heran lantaran saat ini Ia berada di atas ranjang rumah sakit bukan di bangku lagi. Ia menoleh kanan dan kiri, tidak ada Raja sama sekali. Bahkan tiang infus juga tidak berada di tempatnya.Dengan cepat Yasmin turun dari ranjang, berlari keluar mencari suster untuk menanyakan keberadaan Raja. Ia takut jika Raja pergi darinya tanpa pamit sama sekali. Ia tidak ingin Raja kenapa-napa lagi.Yasmin bertemu dengan dua orang suster.“Sus, kalian liat pasien dari bernama Raja? Yang kebetulan dia ditangani oleh Dokter Natasya. Astaga, bagaimana gue mengatakannya, ya?” Yasmin khawatir sendiri.Salah satu suster tersenyum melihat tingkah Yasmin yang seperti itu.“Jangan khawatir. Pasien bernama Raja itu sedang berada di ruangan Dokter Hari bersama Dokter Natasya.”Yasmin lega mendengarnya. “Terima kasih, Sus,” kata Yasmin. “Boleh tahu ruangan Dokter Hari di mana?” tanya Yasmin lagi.“Lurus aja dari sini, baru ada belokan, nah pas belokan itu ada
Keduanya masih terdiam. Cangkir teh Yasmin sudah tandas tanpa sisa, entah kebisuan apa yang terjadi saat ini, Yasmin dan Natasya tidak memahami.Hingga pada akhirnya, Natasya memutuskan untuk mengatakan kenyataan tentang Raja pada Yasmin. Yasmin harus tahu itu pemikiran seorang Natasya sebagai dokter. Bukan apa-apa, ia tidak ingin pasiennya kembali merenggang nyawa karena terlalu lama bertindak dan juga salah prediksi. Cukup seorang Sean yang mengakhiri hidupnya karena kehilangan Velin dalam hidupnya, jangan Raja lagi.“Yasmin,” panggil Natasya.“Ya?” Yasmin menyahut.“Kamu harus tahu sesuatu soal Raja.”“Soal kejiwaan?” tebak Yasmin membuat Natasya terdiam. “Dokter itu spesialis kejiwaan, sudah pasti dokter akan membahas itu pada gue, kan?” tukas Yasmin.Natasya mengedipkan mata sebagai jawaban. “Kamu harus tahu jika Raja itu sakit. Dia itu sakit, Yasmin. Tapi bukan berarti dia gila.”Yasmin tersenyum. “Sakit jiwa yang dokter maksud sudah pasti tentang mental illness, bukan sakit jiw
Langkah memburu terdengar memasuki area lorong rumah sakit. Ya, pemiliknya adalah Natasya, seorang dokter spesialis kejiwaan. Ia sudah lama tidak mampir ke rumah sakit yang dulu pernah menjadi tempatnya mengabdi setelah membuka praktik sendiri. Namun, karena Dokter Hari yang merupakan seniornya dan sering membantunya dulu di rumah sakit ini menelepon dirinya agar datang sesegera mungkin, akhirnya ia memutuskan meninggalkan tempat praktiknya dan datang ke sini.Yang membuat Natasya semakin tergesa-gesa adalah saat Dokter Hari menyebut nama pasien itu, Raja. Bayangan Natasya langsung mengarah kepada Adiraja, pasiennya yang sore tadi datang ke tempat praktik untuk meminta obat.Natasya berharap itu bukan Raja yang ia kenal. Ya, Natasya berharap.Sayangnya, saat ia tiba di ruangan pasien, Natasya kaget bukan main karena kenyataannya adalah Raja yang dimaksud oleh Dokter Hari itu Adiraja si pasien yang i tangani selama ini.Natasya mendekat ke sisi ranjang. Menatap wajah Raja dalam diam da
Raja menendang vas bunga yang terletak di sudut ruangan saat ia melewati menuju ruang makan. Wajahnya memerah lantaran emosi, belum lagi rahangnya yang mengeras dan tangannya yang mengepal kuat. Tidak ada yang bersahabat dari ekspresi seorang Raja yang masih SMA itu. Lebih layak dipandang sebagai orang dewasa yang sedang ingin menguliti mangsanya.Lagi, Raja membuat kegaduhan dengan melemparkan benda berat ke arah lemari kaca yang biasa digunakan untuk menyimpan beberapa buku dan dokumen sang papa. Raj terlalu emosi sehingga segala hal yang menurutnya layak untuk dihancurkan maka akan ia hancurkan detik itu juga.Karen kegaduhan yang ditimbulkan Raja di ruang tamu membuat Viola dan Adam segera berlari ke ruang tamu. Kening keduanya mengerut bersamaan dengan mulut Viola yang menganga. Melirik Adam dan menggigit bibir lantaran yakin jika Raja sudah mengetahui jika yang menjadi saudara tirinya adalah Yasmin. Tidak mungkin bocah remaja itu melakukan tindakan buruk segila ini jika tidak me
Yasmin menelan salivanya susah payah saat kakinya menginjak lantai pekarangan rumah milik kekasih dari bundanya itu. Dalam hati bercampur aduk, antara khawatir, takut, sedih dan juga kecewa berat pada banyak hal. Salah satunya pada bundanya.Pemikiran Yasmin sedari tadi tertuju pada Raja yang entah bagaimana responsnya saat tahu dirinya akan menjadi adik tiri Yasmin. Jujur, Yasmin tidak bisa melepas hatinya pada Raja, ia sudah terlaku mencintai juniornya itu walau kebanyakan orang bilang termasuk sang bunda jika cinta yang dimiliki Yasmin hanya cinta monyet.Persetan dengan pendapat orang lain. Yang harus ia percaya adalah hatinya dan tentu saja Raja yang sudah mengikatnya dengan janji yang penuh ketulusan.Yasmin ingin Raja dalam hidupnya.“Yasmin, buruan!” Viola memanggil Yasmin yang masih melamun di depan pintu.Tidak ada sahutan yang keluar dari mulut Yasmin. Hanya kakinya yang terus berjalan menghampiri sang bunda yang menunggunya.“Jangan berulah apalagi membuat masalah. Ingat b
Raja membuka laci nakas untuk mengambil obat yang selalu ia konsumsi saat depresinya kambuh. Namun, di dalam laci itu hanya menyisakan botol tanpa isi. Tidak ada satu pil pun tersisa. Raja menghela napas kasar dan kembali meraung bersamaan dengan tangannya yang terus memukul lantai.Terduduk di keramik dingin, bersandar pada ranjang. Tangan kanan menarik rambut sedang tangan kiri terus saja bermain di lantai, memukul dan terus memukul.Sekarang bukan hanya dinding yang penuh noda darah, tapi juga lantai. Raja seolah tidak peduli akan itu, bahkan tangannya saja sudah terluka tidak terasa sakit sama sekali, karena luka sebenarnya ada di hati dan perasaannya.“Tuhan, kenapa Engkau hukum aku seperti ini?” Raja terisak.Tidak ada niat menyalahkan Tuhan, hanya saja Raja terlalu lelah menghadapi setip tekanan yang menyerangnya dari dalam.Raja mengambil ponselnya di atas nakas, menekan nomor Yasmin dan saat tersambung, ia langsung memanggil nama Yasmin lirih.“Yasmin ....”Yasmin di ujung te
Viola membantingkan majalah di depan Yasmin yang sedang duduk melentangkan kaki di atas meja kaca. Sempat kaget bahkan sempat memuncratkan cemilan yang sempat masuk ke mulut lantaran Viola melakukannya secara tiba-tiba.“Ada apa, Bun?” tanya Yasmin heran. Ia merasa Viola terlalu kejam padanya belakangan ini.Viola berkacak pinggang. “Bunda sudah bilang ke kamu untuk memutuskan hubunganmu dengan Raja. Kenapa kamu tidak melakukannya?” Viola berucap dengan nada tidak menyenangkan sama sekali.Yasmin menggelengkan kepalanya. “Bun, Yasmin tidak bisa melakukan itu. Yasmin mencintai Raja,” ucap Yasmin memberi pengertian.Viola menatap Yasmin tajam. “Cinta? Anak SMA mana yang mencintai secara tulus dan bertahan lama? Perasaan kalian itu hanya sekedar cinta monyet tidak akan lebih.”Yasmin kembali menggeleng. “Yasmin mencintai Raja bukan hanya sekedar cinta monyet, Bun.” Yasmin juga mencoba memberi penjelasan. “Kenapa bukan Bunda saja yang mengalah demi putri sendiri. Lagian, papa belum lama m
Devina melemparkan tas sekolah di sofa, mendaratkan bokongnya di samping sang mama. Helaan napas terdengar bersamaan kaki yang dientakkan ke lantai.Amara yang melihat itu kaget. Mengalihkan fokusnya pada Devina. “Ada apa, Sayang?” tanyanya penuh kelembutan.Devina menggeleng. Tidak ingin menceritakan permasalahan antara dirinya dan Yasmin. Jika mamanya mendengar, yang ada ia akan dinasihati dan mungkin ... disalahkan, karena memang benar semua karena kesalahannya. Hanya saja Devina ingin menyelesaikan semuanya sendiri.“Sayang, ada apa? Coba katakan ke mama, dong.” Amara menutup majalah yang ia baca. Meletakkan di atas meja lalu menatap fokus wajah putri satu-satunya itu. Ada gurat kesedihan dan kekecewaan di sana. “Mama tahu kalau kamu ada masalah serius. Coba katakan?” Lagi, Amara mencoba membujuk Devina.Devina memeluk sang mama sembari berkata, “Tidak ada, Ma. Perasaan Mama aja kali.” Mencoba menutupi dengan senyum manisnya.Amara mengelus wajah Devina. “Mama tahu kalau kamu boho
Yasmin menatap Raja yang duduk diam di sampingnya. Seperti biasa cowok itu memasang mimik datar, dengan dinding kokoh sebagai pelindung. Namun, bagi Yasmin itu tidak mengapa, toh, Raja sudah membiarkan dirinya masuk ke sana dan mengunci pintu sehingga hanya Yasmin seorang dan tidak ada yang lain.Memang tidak terlalu percaya sebelum Raja mengatakan perasaan padanya, tapi tidak masalah untuk berbangga hati, kan?Sudah 10 menit di taman dekat kompleks rumah Raja, tapi tidak ada percakapan yang terjadi. Keduanya masih terdiam, atau tepatnya, Yasmin menunggu waktu yang tepat untuk mengeluarkan suaranya dan Raja menunggu apa yang Yasmin katakan.“Untuk lo!” Raja menyodorkan kotak kecil berwarna hitam kepada Yasmin.Kening Yasmin mengerut. “Apa ini?” tanyanya sembari mengambil kotak kecil itu.“Hadiah kecil. Anggap aja ini pengikat lo dan gue. Sehingga lo gak akan ninggalin gue apa pun yang terjadi.” Raja menoleh pada Raja. Mengambil kembali kotak itu dan membukanya.Yasmin membulatkan mata