"Sayangku, Bang Rud. Akhirnya nyampe juga." sambut Maya tersenyum lebar.
"Lo suruh dia ke sini?" kompak aku dan Milea bertanya pada Maya.
"Iya heheh." sahut Maya nyengir kuda. Haduh, ngapain sih, si Maya pake nyuruh Bang Rudnya ke sini. Makin eneg aja.
"Hay Maya sayang. How are you?" tanya Rudi pada Maya. Lalu mendaratkan bokongnya di kursi. Tentu sebelah Maya. Ya kali, sebelah gue.
"I'm fine honey." balas Maya lembut.
"Hueeeek!" serentak aku dan Milea sama-sama berekspresi muntah.
"Gaya banget lo, Rud. Pake bahasa Inggris segala." celetukku.
"Biar gaul aja, Rin. Maklum ojol kayak aku 'kan juga harus pintar bahasa Inggris. Siapa tahu ntar dapet penumpang bule." jelas Rudi percaya diri.
"Aw, Baby honey. Aku bangga padamu." sahut Maya sambil menyenderkan kepala di bahu Rudi.
"Bule apaan Rud? Bulepotan kali wkwkwk!" ejekku. Tangan Maya mencubit jemariku. "sakit May!"
"Udah-udah, perut lo tadi 'kan laper. Kita pesen makanan yuk." pungkas Milea, lalu mengangkat tangan. "Mbak sini!" panggilnya pada pelayan berbaju khas kafe ini.
Pelayan pun datang lalu menyerahkan buku menu pada Milea.
"Kalian mau pesen apa guys?" tanya Milea sambil fokus menatap buku menu.
"Udahlah samain aja semua. Ntar gue yang bayar." kataku sombong. Maklumlah aku 'kan anak orang kaya.
"Serius lo, Rin? Roman-romannya lu habis menang togel ya?" sahut Maya menyelidik.
"Enak aja, enggak lah. Lo kayak nggak tahu gue aja May. Gue 'kan tajir hahah." aku tertawa lepas. "doain aja lah biar gue menang judi. Ntar kalo menang. Gue traktir kalian di mall deh. Sepuasnya belanja apa aja. Gue yang bayar."
"Oh, oke, Rin siap." balas Maya dengan jari telunjuk dan jempol membentuk huruf O.
"Pesen burgernya empat ya, Mbak. Minumnya lemon tea aja." kata Milea pada pelayan. Lalu mengembalikan buku menu itu.
*
Entah berapa lama menunggu, akhirnya pesanan datang juga.
"Akhirnya datang juga makanannya." kataku, bersiap mengambil sendok di atas meja.
"Bang Rud, sayang. Maya suapin ya?" cecar Maya, hendak menyuapi Bang Rudnya.
"Boleh ...." balas Rudi. Kemudian mulutnya menganga. Mangap maksudnya.
"Haduh, kita jadi obat nyamuk deh. Ya 'kan Mil." aku memutar bola mata malas.
"Iya, Rin. Apa lah daya nasib zomblo sepertiku." ucap Milea memanyunkan bibirnya.
"Udahlah, gue doain lo berjodoh dengan Pak Tarjo ya,"
"Uhuuuk!" Milea terbatuk mendengar ucapanku. "wah, temen apaan lu, Rin? Pake ngedoain gue berjodoh sama Pak Tarjo. Ogah! Nggak sudi gue. Mendingan jadi zomblo seumur hidup dari pada nikah sama dia." ketus Milea panjang lebar. Sambil bergidik.
"Awas tuh doa jadi kenyataan. Nikah aja sana sama Pak Tarjo dia 'kan duda. Belum ada anak lagi. Hahaha." godaku lagi pada Milea.
"Iya, Mil. Mayan 'kan? belum ada anak." sahut Maya. Si Milea semakin terlihat muntap.
"Duda, duda sih, tapi lihat dong. Udah umur setengah abad. Masak iya gue doyan sama aki-aki." sungut Milea dengan wajah merah padam.
Akhirnya semua makanan pindah ke lambung kami masing-masing. Aku beranjak dari tempat duduk dan melenggang ke kasir untuk membayar, tentunya.
"Totalnya semua berapa Mbak?" tanyaku pada penjaga kasir.
"Semua 350 ribu, Mbak." jawab Mbak itu.
"Bisa pake kartu debit 'kan?"
"Bisa Mbak."
Lantas kukeluarkan benda pipih itu dari dompetku. Maklum lagi nggak bawa uang cash.
"Nih, Mbak." kuangsurkan kartu itu padanya. Beberapa detik kemudian ia mengotak-atik mesin electronik itu.
"Kartunya nggak bisa, Mbak." tungkasnya. Mengembalikan kartu itu padaku.
"Ya, udah. Coba yang ini Mbak." kuberikan lagi dua kartu debit yang tersisa di dompetku.
Beberapa saat menunggu.
"Semua nggak bisa, Mbak. Mungkin kartunya terblokir." jelas Mbak berseragam biru itu.
"Masak keblokir sih, Mbak?!" aku kesal dengan keadaan ini. Malunya aku, udah sombong bilang ntraktir mereka. Eh, malah kagak bisa kartunya.
"Lama amat sih, Rin. Bayar gitu aja." ucap Milea berjalan menyusulku. "kenapa muka lo? kayak ikan lohan manyun terus."
"Kartu debit gue nggak bisa digunain. Mungkin diblokir sama Nyokap gue."
"Aduh, kasihan banget lo ya, hahah. Terus yang bayar makanan kita siapa? Kalo kartu lo nggak bisa?" ledek Milea dengan gaya kecentilannya.
"Ya, lo lah. Yang bayar. Gue juga lagi nggak bawa uang cash." sungutku dengan alis bertaut.
"Apa? Gue? Oke, gue bayarin kali ini. Minggir lo!" Milea menyingkirkan tanganku dari meja kasir. "berapa Mbak totalnya?" lanjutnya bertanya sambil membuka dompet.
"350 ribu, Mbak." jawab wanita berbaju biru itu sambil menunjukkan sepotong kertas.
"Nih, gue bayar." cebik Milea. Matanya mendelik ke arahku.
Kumalingkan wajah lalu beranjak meninggalkan Milea, hendak menyusul Maya.
Dari kejauhan terlihat orang-orang berkerumun di sebrang sana. 'ada apa ya?' batinku bertanya.
"Mil, ada apa tuh? Orang-orang pada berkerumun." pekikku pada Milea. Ia telah selesai membayar makanan tadi.
"Iya, Rin. Ada apa ya?"
"Lah, kalo gue tahu. Ngapain gue nanya sama lo Maimunah!"
"heheh, iya, ya."
"Udah, kita ke sana yuk," ajakku.
Aku dan Milea berlari ke arah orang-orang itu.
Ternyata Maya tengah pingsan. Kepalanya di pangku sama si Rudi.
"Maya kenapa, Rud?" tanyaku panik. Sambil berlutut di sisi Maya.
"Nggak tahu, Rin. Tiba-tiba dia pingsan." jawab Rudi sembari memegangi pipi Maya.
"Ya udah, kita bawa Maya ke klinik terdekat. Gue takut dia kenapa-napa." ujarku. Milea dan Rudi kompak mengangguk. "pake mobil gue aja." seruku sambil membantu Rudi mengangkat Maya. Sedangkan Milea tengah membukakan pintu mobil lebih dulu.
*
15 menit dari kafe. Kami berempat sampai di klinik terdekat dari kafe itu. Maya masih diperiksa di dalam ruangan. Sedangkan aku, Milea, dan Rudi menunggu di luar.
Dokter bernama Fany keluar dari ruangan. Sontak kami bertiga mendekatinnya.
"Keadaan Maya baik-baik aja 'kan Dok?" tanya si Rudi gelisah. Aku dan Milea diam menyimak. Tentu dengan perasaan was-was juga.
"Apakah wanita di dalam sudah menikah?" tanya Dokter itu.
"Belum, Dok. Saya pacarnya." terang Rudi.
"Dia hamil." jelas Dokter singkat.
"APA?!" kami bertiga melongo bersama.
Serentak mata elangku dan Milea menatap Rudi tajam.
Pintu bercat putih itu terbuka lebar. Maya keluar sambil memegangi pelipisnya. Lekas aku dan Milea memapah Maya cepat.
Dokter itu geleng-geleng kepala melihat tingkah kami. Ya, mungkin dia kaget. Pasalnya Maya belum menikah. Tapi sudah hamil duluan. Aku saja juga tak percaya, tapi ini nyata.
"Saya akan kasih vitamin buat calon Ibu." kata Dokter. Kedua tangannya menelusup di saku bajunya. Kemudian masuk ke dalan ruangan.
"Mil, lo tebus gih, vitaminnya. Gue akan bawa Maya ke mobil." intruksiku pada Milea. Ia mengangguk cepat seraya mengekori langkah Bu Dokter.
Aku dan Rudi membawa Maya ke mobil. Ia duduk di kursi belakang. Bersisian dengan lelaki tampang pas-pasan itu.
Tak lama menunggu, akhirnya Milea datang menyusul. Ia duduk di sebelahku.
"Rud, Maya, hamil anak lo 'kan?" tanya Milea pada Rudi. Aku mulai menjalankan mobil ini meninggalkan parkiran klinik.
"Nggak tahu, kali aja Maya punya selingkuhan." celetuk Rudi datar. Sontak aku dan Milea sama-sama menghunuskan nafas kasar.
"Apa lo bilang? Jangan ngawur ya, mulut lo. Pake nuduh Maya selingkuh lagi. Lo mau gue pites? Hah!" pekikku. Mataku mendelik mengawasi Rudi dari kaca sepion. Mukanya datar. Tanpa ada sesal atau apa pun.
"Ini anak lo lah, lo lupa? Lo bilang ini cara biar orang tua aku setuju 'kan?" Maya buka suara.
"Astaga! Maya, lo tu kenapa gini sih, nggak ada cara lain apa? Nggak harus ngelakuin hal bodoh begini!" kesalku pada Maya. Aku benar-benar tak menyangka. Jika Maya bisa berbuat senekat ini. Aku tahu, hubungannya dengan Rudi memang tidak disetujui oleh kedua orang tua Maya.
"Iya, May, dosa lo." Milea menimpali dengan gaya bicaranya yang khas.
"Ya, mau gimana lagi? Semua udah terjadi. Pokoknya Bang Rud harus tanggung jawab." elak Maya, sambil bersandar di dada krempeng Rudi.
"Setdah, nih anak. Lo tuh udah dibutain sama cinta ya? Sampe-sampe nekat begini. Orang tua tidak merestui dedek bayi jadi solusi. Bener-bener parah lu May," sanggahku. Semakin melesakan kecepatan mobil membelah jalanan kota.
"Wah, lo dapet kata-kata bijak dari mana Rin?" mulut polos Milea kembali bertanya.
"Dari akun efbenya Mimi, May. Ciuuz deh."
"Oh, Mimi siapa sih? Kayaknya ngetrend banget."
"Baru ngtrend akhir-akhir ini, Mil. Karya dia bagus-bagus. Suer deh." kuacungkan jariku membentuk huruf V.
"Kalian malah bahas orang lain. Nggak mikirin perasaan aku, apa?" protes wanita yang duduk di kursi belakang.
"Ya, elah, May. Enak lo bikin sendiri, susah kita disuruh ikut nanggung. Pikirin aja, noh. Sama bapaknya si jabang bayi." cebikku.
"Udah, diem kalian semua." sungut Maya tak terima.
"Gue anter kalian kemana nih?" tanyaku pada ketiga makhluk yang numpang di mobilku. Eh, mobil Pak Satya tepatnya.
"Anterin, gue ke kafe, Rin. Mau ngambil mobil soalnya." sahut Milea.
"Aku juga, mau ngambil motor." si Rudi menimpali.
Aku tak menjawab. Namun, tetap saja kuantar mereka kembali ke kafe.
*
"Rin, gimana dong?" tanya Maya, saat ia turun di parkiran kafe.
"Apanya yang gimana?" aku bertanya balik.
"Soal ini," Maya menunjuk perut datarnya.
"Suruh, Rudi tanggung jawab lah, minta restu baik-baik sama orang tua lu."
"E-elah, gampang banget lu ngomong. Papa sama Mama gue, tuh. Benci banget sama Bang Rudi." tepis Maya.
"Serah lu deh, May. Tadi lo minta solusi. Udah gue kasih tahu malah nyolot kek kodok. Udah ah, gue mau cabut." kututup kaca mobil. Entah, apa lagi gerutu Maya dan Milea di parkiran sana. Kembali kujalankan mobil berwarna hitam ini menuju jalan pulang. Udah kelamaan juga minjemnya. Dari pagi sampe matahari udah bergeser ke ufuk barat.
*
Mataku menyipit. Melihat seonggok amplop di atas tempat duduk bekas Milea. Saat sudah sampai di garasi mobil rumahnya Pak Satya.
Kubaca seksama. Ini bukan amplop duit. Ya elah, duit mulu dipikiran gue. Ternyata ini surat hasil tes kehamilan milik Maya. Pasti Milea lupa kasih ke Maya deh nih. Kebiasaan tuh anak. Suka lupaan. Sama kayak gue.
Lantas, kumasukan amplop tersebut ke dalam tas slempang yang sering kubawa kemana pun aku pergi.
Lanjut, aku melenggang masuk ke dalam rumah. Sepi. Tak ada orang. Entah pada kemana penghuni rumah ini.
*
Ternyata Pak Satya tengah berada di kamar sambil menonton televisi. Kali ini dia tak memakai kaca matanya.
"Permisi Pak," ucapku, sambil berjalan ke arah lemari untuk mengambil handuk.
"Dari mana aja? Baru pulang." tanyanya menatapku biasa saja.
"Em, habis jalan-jalan. Btw, mobil Bapak enak banget. Nggak bikin nyusruk." kuemban senyum palsu. Ya, biar dia nggak marah. "udah ya, inces Rindu mau mandi dulu." pamitku. Kulemparkan tasku ke atas ranjang. Tak menunggu jawaban darinya. Cepat aku pergi membersihkan diri dari daki yang seharian menempel.
*
Seusai mandi. Kedua netraku membelalak. Pak Satya tengah memegang amplop hasil tes kehamilan milik Maya.
Bersambung....
"Ini punya kamu?" tanya Pak Satya menatapku penuh selidik."Em, itu ... bukan punya saya, Pak. Pak Satya kan tahu sendiri. Kalo tadi pagi saya berdarah. Eh, maksudnya haid." jawabku gugup. Gimana ngejelasinnya? Duh, tuh orang lancang banget sih. Pake buka tas gue segala lagi."Lalu, ini punya siapa? Tadi saya nggak sengaja lihat kertas ini nyembul dari tas kamu. Karena resletingnya kebuka." ujar Pak Satya melangkah mendekatiku.Kok dia bisa baca pikiranku ya? Aneh. Apa ini cuma kebetulan. Karena keteledoranku."Em, itu punya, Maya." jawabku cepat."Apa?!""Ssstt!" kubekap mulut Pak Satya. Padangan kami bersitatap sesaat. Ia melotot kaget. "maaf, Pak. Nggak sengaja." kutarik tanganku dari bibir lelaki ini."Jadi, Maya temen kamu itu, hamil?!""Iya, Pak. Tapi tolong jangan bilang ke siapa-siapa. Pak Satya juga diam aja ya, di kampus." tekanku."Bukannya dia belum menikah ya?" tany
"Tante ngapain sih, narik-narik tangan aku segala?!" cebikku pada wanita berambut ikal ini. Ya, dia Tante Sarah. Ibu tiriku. Yang tiba-tiba muncul bak jalangkung."Ssstt! Diam kamu. Semua ini gara-gara kamu, ya. Lihat tuh si Satya nggak jadi nikah sama Mira. Semua salah kamu!" ketus Tante Sarah, dengan mata melotot hendak melompat dari pelupuknya."Tante kok nyalahin aku sih! Semua karena ketidak sengajaan ya," balasku tak kalah sengit. Memang aku dengan Tante Sarah tak pernah akur. Dia selalu menindasku, jika cerita di bawang merah bawang putih si Ibu tiri jahat. Itu memang benar. Sama seperti wanita ini. Untung saja, dia menikah dengan Papa aku sudah besar. Coba kalo masih piyik, bisa-bisa dijadikan lalapan aku sama nih orang."Apa? Kamu bilang nggak sengaja? Heh Rindu semua karena tingkah kamu yang tengil dan urakan ya, dasar anak tidak punya akhlak kamu." ucap Mak Lampir ini panjang lebar. Dengan mulut pletat-pletot kayak dukun baca m
POV MiraLangit begitu cerah malam ini. Gemintang dan rembulan bersinar saling melengkapi. Hembusan angin malam memainkan ujung jilbabku. Aku terduduk di bangku besi yang dingin. Ditemani rasa rindu pada lelaki tambatan hati, di sana.Lelaki yang bukan milikku, bahkan ia sekarang menjadi iparku. Mengingat kisah kami berdua saat bersama. Dan, malam itu serasa tamparan keras menghantam hati.Antara percaya atau tidak. Tapi itu nyata, malam yang memisahkan kisah cinta kami yang terjalin lima tahun lamanya. Pria itu tengah diadili warga bersama dengan adikku sendiri. Hatiku tercabik, luka kian menganga saat para warga mendesak mereka akan dinikahkan. Memang mereka sama-sama menolak. Namun, tak cukup bukti yang menguatkan. Jangan tanya hatiku saat itu, tentu hancur sehancur-hancurnya. Jujur, aku pun tak percaya Satya melakukan hal tercela itu. Apa lagi dengan adikku sendiri. Apa boleh buat. Ini semua kuanggap takdir. Takdir yang menyayat hatiku dan hidup
Kembali Ke Pov Rindu.Aku meninggalkan rumah Papa dengan jengah. Ditambah nyinyiran dari Mak Lampir tadi. Sungguh membuatku semakin emosi.Dalam perjalanan pulang bersama Pak Satya. Kami berdua hanya saling diam. Dapat kutafsirkan raut wajah Pak Satya yang tertekuk lecek layaknya koran bekas. Eh, julid amat mulutnya.Aku pun juga enggan berbicara. Hanya deru mesin mobil yang mengisi keheningan di antara kami.*Pak Satya langsung membaringkan dirinya di ranjang. Aku yang sekarang bingung.Mau tidur di mana?Tidur di sofa badan sakit semua kayal digebukin orang satu kampung. Kalo tidur sama Pak Satya takut ... ya, takut itulah. Apa lagi?Benar-benar dibuat bingung akan pilihan. Fix, aku tidur di ranjang sama doi. Awas aja kalo dia macam-macam."Mau ngapain?" tanyanya membuka mata. Menyadari, aku tengah mengambil posisi hendak berbaring."Mau tidur lah, mau ngapai lagi?" ketusku.
"Rin, gue harus ngomong apa sama orang tua gue?" tanya Maya saat mobil ini melaju membelah jalanan kota."Gue juga nggak tahu, May. Yang gue pikirin cuma Pak Satya. Gue takut dia dipecat. Kalo gue sendiri di DO dari kampus itu mah, bodo amat. Tapi kalo Pak Satya, dia bisa kehilangan pekerjaannya dong gara-gara gue." jelasku panjang lebar."Terus ... sama kehamilan gue ini gimana, Rin? Nggak mungkin 'kan terus disembunyiin." kata Maya gelisah."Itu ntar gue bantu mikir deh, May. Sekarang lo anterin gue pulang. Empet banget sama hari ini. Pengen ngurung diri di kamar.""Ke rumah yang mana, Rin?""Rumah Pak Satya,""Oke, tapi lo janji ya, bantuin bujuk orang tua gue. Biar mau nerima Bang Rudi.""Iya, iya. Dah ah, lagi males bicara gue." desisku mengerucutkan bibir dengan tangan berkacak di dada.Maya tak bertanya lagi. Ia tahu kalo aku sedang bad mood.*Di rumah Pak Satya.Kulihat mobil ya
"Toni, ngapain lu ke sini?" alisku mendadak menaut melihat siapa yang datang."Aku memang lagi mau makan di sini, Rin. Boleh gabung?" tanya lelaki itu tersenyum lebar."Duduk aja, sini deketan sama aku." lumayan ada si Toni. Nggak jadi obat nyamuk aku di sini."Beneran?""Iya, udah cepet dari pada gue berubah pikiran."Toni pun duduk di sampingku. Pak Satya dan Kak Mira menatap datar. Lagian memang mereka berdua sudah kenal dengan Toni."Ya udah, Kak Mira sama Toni pesan makan aja." ujarku pada Toni dan Kak Mira. Masa iya, aku sama Pak Satya aja yang makan di depan mereka.Kak Mira memesan makanan pada salah satu pelayan yang kebetulan melintas."Rin, aku mau ngomong sama kamu," Toni berkata sambil menatapku lekat."Apa?" jawabku sambil fokus mengunyah makanan di mulutku."Kebetulan di sini ada Mira sama Pak Satya," Toni memandang Kak Mira dan Pak Satya bergantian. "biar m
"Rindu ... kamu bicara apa?""Apa anda kurang jelas dengan yang saya bicarakan?""Saya tidak akan menceraikan kamu dalam waktu sesingkat ini.""Apa jika waktunya sudah seperkian bulan anda akan menceraikan saya? Atau, anda ingin saya semakin dalam mencintai anda. Saya tahu, tak seharusnya saya seperti ini. Tapi saya bukan lah orang yang piawai berbohong. Jika iya, iya, jika tidak ya, tidak. Lebih baik anda buat keputusan sekarang. Jangan biarkan saya lebih tersakiti dengan kedekatan anda dengan Kak Mira." lega hati ini bisa mengatakan sejujurnya."Biarkan waktu yang menjawab semuanya, Rindu," balasnya singkat. Sambil fokus mengemudikan kendaraan roda empat ini.Aku tidak malu, mengatakan cinta terlebih dulu pada seorang lelaki. Bagiku malu itu adalah mengambil hak orang lain. Sedangkan Pak Satya, ia adalah hakku yang halal untukku.Aku juga tidak mengambilnya dari Kak Mira. Semua berjalan atas sekenario Tuhan. Kita seba
Gadis kecil itu menghambur memelukku. Namanya Arin. Kakinya memang bermasalah sejak kecelakaan satu bulan lalu."Kak Rindu, Kakak ke mana aja?" Arin menarik dirinya perlahan mundur. Lalu mendongak mentapku."Kak Rindu sibuk," jawabku sambil mengulum senyum."Dia siapa, Kak?" gadis kecil berkaos putih lusuh ini mengangkat dagunya ke arah Pak Satya."Oh, dia temen Kakak, kenalin ya, namanya Satya," kulirik Pak Satya sesaat. Lelaki berwajah teduh itu juga menyunggingkan senyum."Arin, yuk kita makan sama-sama. Tadi Kakak beli nasi bungkus." titahku. Lantas mengajak ia duduk. Diikuti yang lainnya juga. Termasuk Pak Satya."Nggak Kak, Arin pulang aja, nanti Ibu nyariin. Ini udah mau malam, Kak.""Iya, Kak. Kami juga pulang aja ya, kalau boleh nasinya kita bawa pulang aja." anak-anak yang lain menyahut. Sekilas kulirik mentari yang hampir tenggelam di ujung sana. Benar saja, sebentar lagi akan gelap. Lembayu
Malam Pertama Dengan DosenPart 16"Mira!" Sekarang ganti Pak Satya yang berteriak hingga telinga ini berdengung.Gegas kami berdua berlari menghampiri Kak Mira yang tengah terkulai dengan luka lebam di beberapa bagian tubuhnya. Lebih miris lagi,Kak Mira tak sadarkan diri dengan tubuh setengah telanjang."Kamu kenapa, Mir?! Bangun ...!""Kak, bangun, Kak!"Teriakan kami berdua tak membuahkan hasil. Kak Mira masih terpejam rapat. Kuraih jaket yang sudah terlempar jauh dari posisi Kak Mira. Lalu menutupi tubuhnya menggunakan jaket itu.Pikiran buruk hinggap di kepalaku. Apa Kak Mira korban pemerkos**n?Bicara apa kau Rindu! Jangan aneh-aneh! Batinku bermonolog merutuki diri sendiri."Mir, apa yang terjadi?!" Berulang kali lelaki yang tengah memangku Kak Mira ini mengguncang pundak kakak tiriku. Gurat wajahnya amat terlihat sedih dan cemas."Kita bawa Kak Mira ke rumah sakit sekara
MALAM PERTAMA DENGAN DOSENPART 15Mataku membola, Kak Mira yang tadi duduk di kursi sebelah kemudi sudah tak ada di tempatnya lagi."Kak! Kak Mira!" teriakku nyaring, tak ada jawaban sedikit pun. Kulihat ponsel Kak Mira yang tergelak di atas kursi.Kugapai benda pipih itu dan lantas menyalakan senter.Sebenarnya aku agak ngeri berada di tempat ini sendirian. Di sini sangat sepi, tak ada pemukiman warga, yang ada hanya tanah lapang juga pabrik bekas pembuatan bumbu petis khas daerah sini. Seram juga alasan kenapa pabrik itu bisa non aktif, dulu ada insiden pegawainya tercebur dalam wajan panas yang berisi bumbu petis. Dengar-dengar, pegawai itu tewas dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Semua kulitnya melepuh, itulah yang kudengar dari warga sekitar rumahku juga di media sosial. Karena memang beritanya dulu sangat viral.Bergidik sendiri kedua pundakku merasakan hawa dingin yang menerpa wajah. Lagi pula, Kak Mi
Malam Pertama Dengan DosenBab 14Benar dugaanku, kalau suara itu berasal dari tante Sarah. Memangnya siapa lagi yang gemar mengomel seperti itu, selain dia."Aku mau nginep di rumah ini." kataku santai. Kulintasi wanita ini begitu saja."Apa? Nginep?!" pekiknya heboh. "Mira, kamu ngapain ngajak dia nginep di rumah ini. Nyusahin aja!" tambahnya terdengar memekak di telinga, meski aku sudah memasuki ruang tamu."Ma, inikan rumah Rindu, dia berhak dong tidur di sini." sanggah Kak Mira setengah berteriak.Sembari mengayunkan langkah menuju kamar, tak hentinya dua wanita berstatus Ibu dan anak itu saling adu kata demi kata. Terserah mereka mau apa? Aku tetap fokus melangkah hingga sudah sampai undakkan anak tangga di bagian tengah.Baru teringat soal Papa. Rumah ini sepi, mungkin Papa belum pulang. Pikirku.Karena memang sangat biasa sekali begitu, dari dulu Papa selalu pulang malam. Hingga akhirny
MALAM PERTAMA DENGAN DOSEN Bab 13"Maaf, maaf, nggak sengaja!" Cepat kutarik diri ke belakang agar menjauh dari Pak Satya. Secepat kilat, ia yang tadi membungkuk pun langsung berdiri tegap. Dengan wajah pias dan salah tingkah. Jelaslah, dia salah tingkah. Karena tadi bibirnya dan bibirku tak sengaja bersalaman. Eh, bersentuhan maksudnya. Ini bukan karena sengaja, melainkan sebuah tragedi yang membuat aku akan tersudut dan akan menjadi tersangka lagi."Pasti kamu sengaja 'kan?" tuduhnya dengan mata elang menyorot tajam."Enggak. Pak Satya sih, yang bikin aku kaget." sanggahku tak terima."Iya, iya, saya tahu kok." seulas senyum manis ia sunggingkan. Tak kusangka, jika ia akan semudah itu membiarkan insident tadi berlalu. Jangan-jangan dia juga mulai ada sesuatu nih sama aku. "Rindu, pulang yuk, udah malam." ajaknya lalu melangkahkan kaki menuju mobil."Tungguin!" Kakiku terasa berat untuk beranjak. Mungkin karena masih terpuk
Gadis kecil itu menghambur memelukku. Namanya Arin. Kakinya memang bermasalah sejak kecelakaan satu bulan lalu."Kak Rindu, Kakak ke mana aja?" Arin menarik dirinya perlahan mundur. Lalu mendongak mentapku."Kak Rindu sibuk," jawabku sambil mengulum senyum."Dia siapa, Kak?" gadis kecil berkaos putih lusuh ini mengangkat dagunya ke arah Pak Satya."Oh, dia temen Kakak, kenalin ya, namanya Satya," kulirik Pak Satya sesaat. Lelaki berwajah teduh itu juga menyunggingkan senyum."Arin, yuk kita makan sama-sama. Tadi Kakak beli nasi bungkus." titahku. Lantas mengajak ia duduk. Diikuti yang lainnya juga. Termasuk Pak Satya."Nggak Kak, Arin pulang aja, nanti Ibu nyariin. Ini udah mau malam, Kak.""Iya, Kak. Kami juga pulang aja ya, kalau boleh nasinya kita bawa pulang aja." anak-anak yang lain menyahut. Sekilas kulirik mentari yang hampir tenggelam di ujung sana. Benar saja, sebentar lagi akan gelap. Lembayu
"Rindu ... kamu bicara apa?""Apa anda kurang jelas dengan yang saya bicarakan?""Saya tidak akan menceraikan kamu dalam waktu sesingkat ini.""Apa jika waktunya sudah seperkian bulan anda akan menceraikan saya? Atau, anda ingin saya semakin dalam mencintai anda. Saya tahu, tak seharusnya saya seperti ini. Tapi saya bukan lah orang yang piawai berbohong. Jika iya, iya, jika tidak ya, tidak. Lebih baik anda buat keputusan sekarang. Jangan biarkan saya lebih tersakiti dengan kedekatan anda dengan Kak Mira." lega hati ini bisa mengatakan sejujurnya."Biarkan waktu yang menjawab semuanya, Rindu," balasnya singkat. Sambil fokus mengemudikan kendaraan roda empat ini.Aku tidak malu, mengatakan cinta terlebih dulu pada seorang lelaki. Bagiku malu itu adalah mengambil hak orang lain. Sedangkan Pak Satya, ia adalah hakku yang halal untukku.Aku juga tidak mengambilnya dari Kak Mira. Semua berjalan atas sekenario Tuhan. Kita seba
"Toni, ngapain lu ke sini?" alisku mendadak menaut melihat siapa yang datang."Aku memang lagi mau makan di sini, Rin. Boleh gabung?" tanya lelaki itu tersenyum lebar."Duduk aja, sini deketan sama aku." lumayan ada si Toni. Nggak jadi obat nyamuk aku di sini."Beneran?""Iya, udah cepet dari pada gue berubah pikiran."Toni pun duduk di sampingku. Pak Satya dan Kak Mira menatap datar. Lagian memang mereka berdua sudah kenal dengan Toni."Ya udah, Kak Mira sama Toni pesan makan aja." ujarku pada Toni dan Kak Mira. Masa iya, aku sama Pak Satya aja yang makan di depan mereka.Kak Mira memesan makanan pada salah satu pelayan yang kebetulan melintas."Rin, aku mau ngomong sama kamu," Toni berkata sambil menatapku lekat."Apa?" jawabku sambil fokus mengunyah makanan di mulutku."Kebetulan di sini ada Mira sama Pak Satya," Toni memandang Kak Mira dan Pak Satya bergantian. "biar m
"Rin, gue harus ngomong apa sama orang tua gue?" tanya Maya saat mobil ini melaju membelah jalanan kota."Gue juga nggak tahu, May. Yang gue pikirin cuma Pak Satya. Gue takut dia dipecat. Kalo gue sendiri di DO dari kampus itu mah, bodo amat. Tapi kalo Pak Satya, dia bisa kehilangan pekerjaannya dong gara-gara gue." jelasku panjang lebar."Terus ... sama kehamilan gue ini gimana, Rin? Nggak mungkin 'kan terus disembunyiin." kata Maya gelisah."Itu ntar gue bantu mikir deh, May. Sekarang lo anterin gue pulang. Empet banget sama hari ini. Pengen ngurung diri di kamar.""Ke rumah yang mana, Rin?""Rumah Pak Satya,""Oke, tapi lo janji ya, bantuin bujuk orang tua gue. Biar mau nerima Bang Rudi.""Iya, iya. Dah ah, lagi males bicara gue." desisku mengerucutkan bibir dengan tangan berkacak di dada.Maya tak bertanya lagi. Ia tahu kalo aku sedang bad mood.*Di rumah Pak Satya.Kulihat mobil ya
Kembali Ke Pov Rindu.Aku meninggalkan rumah Papa dengan jengah. Ditambah nyinyiran dari Mak Lampir tadi. Sungguh membuatku semakin emosi.Dalam perjalanan pulang bersama Pak Satya. Kami berdua hanya saling diam. Dapat kutafsirkan raut wajah Pak Satya yang tertekuk lecek layaknya koran bekas. Eh, julid amat mulutnya.Aku pun juga enggan berbicara. Hanya deru mesin mobil yang mengisi keheningan di antara kami.*Pak Satya langsung membaringkan dirinya di ranjang. Aku yang sekarang bingung.Mau tidur di mana?Tidur di sofa badan sakit semua kayal digebukin orang satu kampung. Kalo tidur sama Pak Satya takut ... ya, takut itulah. Apa lagi?Benar-benar dibuat bingung akan pilihan. Fix, aku tidur di ranjang sama doi. Awas aja kalo dia macam-macam."Mau ngapain?" tanyanya membuka mata. Menyadari, aku tengah mengambil posisi hendak berbaring."Mau tidur lah, mau ngapai lagi?" ketusku.