Share

Bab 5

Penulis: Nurja
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-01 19:42:09

"Ini punya kamu?" tanya Pak Satya menatapku penuh selidik. 

"Em, itu ... bukan punya saya, Pak. Pak Satya kan tahu sendiri. Kalo tadi pagi saya berdarah. Eh, maksudnya haid." jawabku gugup. Gimana ngejelasinnya? Duh, tuh orang lancang banget sih. Pake buka tas gue segala lagi. 

"Lalu, ini punya siapa? Tadi saya nggak sengaja lihat kertas ini nyembul dari tas kamu. Karena resletingnya kebuka." ujar Pak Satya melangkah mendekatiku. 

Kok dia bisa baca pikiranku ya? Aneh. Apa ini cuma kebetulan. Karena keteledoranku. 

"Em, itu punya, Maya." jawabku cepat. 

"Apa?!"

"Ssstt!" kubekap mulut Pak Satya. Padangan kami bersitatap sesaat. Ia melotot kaget. "maaf, Pak. Nggak sengaja." kutarik tanganku dari bibir lelaki ini. 

"Jadi, Maya temen kamu itu, hamil?!" 

"Iya, Pak. Tapi tolong jangan bilang ke siapa-siapa. Pak Satya juga diam aja ya, di kampus." tekanku. 

"Bukannya dia belum menikah ya?" tanyanya lagi.

"Belum, Pak. Nah itu, yang bikin saya kasihan sama Maya."

"Terus gimana nasib dia?"

"Saya nggak tahu, Pak. Semoga pacarnya mau tanggung jawab. Awas aja kalo pacarnya Maya nggak mau tanggung jawab. Mau saya penggal kepalanya." kukepalkan tanganku erat. 

"Oh, ya udah. Nih suratnya." Pak Satya mengembalikan kertas itu padaku. Tanpa bertanya lebih rinci lagi. 

Pak Satya melangkah menuju rak buku koleksinya. Sedangkan aku ... aku masih sibuk menata hati. Eh, menata rambut yang basah seusai keramas maksudnya. 

Aku berkutat di depan cermin. Memandangi wajah ini. Menyisir rambut,  lalu memakai make up tipis. Selesai. Tak perlu riasan yang aneh-aneh. Aku sudah terlihat cantik. Dengan setelan celana jeans berwarna biru, kaos lengan panjang bergambar tengkorak. Sedikit metal kali ya. Wkwkwk. 

Aku mendekati Pak Satya yang tengah duduk di sofa. Ingatan tentang kartu debit itu muncul di kepalaku. Oke, aku akan segera mengurusnya. 

"Pak Satya ... bisa tolong anterin aku ke rumah Papa nggak?" celetukku, menghentikan aktifitasnya membaca buku.

"Memangnya ada apa? Apa kamu mau pindah rumah?" balasnya datar. Haduh, sekonyong-konyong bener nih orang. Ngusir apa bertanya? Sad amat. 

"Mau ambil motor, Pak." 

"Oh, ya udah. Ayo, keburu malam nanti." ia menutup lembar  bukunya. Seraya berdiri dan menyambar jaket di gantungan. 

Aku mengekor dari belakang. 

*

"Ayo makan malam dulu." ajak Mama mertua. Saat aku dan Pak Satya menginjak undakan anak tangga paling bawah. 

"Iya, Ma." tanggap Pak Satya. Aku mengangguk dan ikut melenggang ke ruang makan. 

Papa mertua sudah duduk dan menunggu di sana. Mantu macam apa aku? Nama kedua mertuaku saja tidak tahu. Parah beud. 

Aku dan Pak Satya duduk bersisihan. Untuk pertama kalinya aku ikut makan bersama keluarga ini. Ada rasa canggung menggangguku. 

"Gimana kuliahmu, Rin?" Papa mertua buka suara. Kukira dia angkuh, ternyata tidak. Seulas senyum khas terbit dari bibirnya. 

"Baik kok, Pa." balasku tersenyum manis.

"Pak, Bu, saya besok mau pulang kampung. Bu Indah sama Pak Martin kan mau umroh." ujar Bibik di sela acara makan kami. Oh, jadi mereka mau umroh. Kalo, Bibik pulang kampung. Lalu aku ... di rumah berdua dengan Pak Satya dong? Wah-wah bahaya ini.

"Iya, Bik. Tapi pulangnya setelah kami berangkat ya," timpal Mama, sambil menyuapkan nasi ke mulutnya. 

"Iya, Bu. Saya ke belakang dulu." pamit Bibik. Lantas ia pergi ke arah kamarnya.

"Satya, kamu jagain Rindu ya, kalo kami pergi." ucap Mama mengerling nakal. 

"Ngapain jagain dia? Udah gede juga." cebik Pak Satya. Sebelum ia meneguk air di gelasnya. Aku mendelik tajam.

"Jangan gitu, Sat. Dia istri kamu sekarang. Sudah sewajibnya menjaga istri." Papa berkata. Sungguh, hanggat suasana makan malam seperti ini, sudah lama aku rindukan. Semejak Mama meninggal dan Papa menikah lagi. Ah, semua membuat hatiku tersayat. Jika mengingat itu. 

"Iya, Pa." dengan berat Pak Satya berucap. Aku yakin, dia terpaksa mengiyakan.

Seusai makan malam kami. Aku dan lelaki kanebo kering ini pamit untuk pergi ke rumahku.

*

Langit yang indah malam ini. Gugusan bintang bertaburan di atas sana, udara dingin menyapa bersama lalu lalang kendaraan yang ramai memenuhi jalan raya. Hanya lagu Nissa Sabyan yang mengalun merdu menjadi penengah di keheningan kami berdua di dalam mobil. Sesekali Pak Satya terlihat ikut bernyanyi meski lirih terdengar sambil fokus menyetir. 

'Kerjain ah,' batinku berkata. Entahlah, jiwa usilku lagi ingin mencuat. 

Dengan cepat, jemariku mengganti musik pada dasboard mobil. Tentu Pak Satya melihatku heran. 

"Kenapa diganti musiknya?" tanyanya. 

Aku belum menjawab. Lantas memutar lagu Alan Walker berjudul faded dengan bas tinggi memenuhi rongga mobil ini. 

Baru tanganku mengangkat ke atas untuk ikut larut dalam lantunan musik. Tangan Pak Satya mematikan audio ini. Menyebalkan. 

"Kok dimatiin sih?" tanyaku mencebik. 

"Harusnya aku tuh yang tanya sama kamu. Kenapa musik menentramkan hati malah kamu matiin. Pake diganti musik DJ luar negeri segala lagi." racaunya tanpa melihatku. 

"Suka-suka gue lah," balasku cuek. 

"Oh, aku tahu. Kuping kamu panas 'kan? Denger lagu religi." ia tersenyum kecil. 

"Sembarangan, lo kira gue setan apa?" tanggapku memalingkan wajah. 

"Gitu aja ngambek." ia semakin melebarkan senyuman. Oh, jangan biarkan hatiku meleleh. Tunggu-tunggu, tadi doi ngomongnya aku, kamu, loh. Kayak ada rasa gimana gitu. Biasanya 'kan selalu pake kata SAYA kok tadi enggak. Biarin deh, biar lebih akrab. 

"Enggak, siapa yang ngambek?" ini nih, saat mulut dan hati tidak bisa bekerja sama. Hati menyuruh diam. Sedangkan mulut menanggapi semaunnya.

Pak Satya tak menjawab. Seketika, dalam mobil ini mendadak senyap. Hingga aku dan ia sampai di rumah mewah bernuansa putih dan gold mendominasi. 

Ia membunyikan klakson. Semenit kemudian pintu pagar terbuka. Tentu yang membuka pembantuku di rumah ini. Ya kali, kebuka sendiri. 

Pak Satya memarkirkan mobilnya di luar pagar. Aku dan dia berjalan beriringan untuk masuk menuju rumah. 

"Eh, Non Rindu ke sini." sambut wanita bernama Bik Marni ART di rumah ini. 

"Iya, Bik." jawabku saat melintasi beliau. Dan segera kutarik tangan Pak Satya dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Doi, manut saja. 

"Pa! Papa!" aku berteriak. Tak ada satupun penghuni rumah ini yang menyahut. "Bang Sat, lo tunggu sini ya, gue mau ke kamar ngambil kunci motor." pintaku pada Pak Satya. Ia duduk di sofa ruang tamu. Sedangkan aku melenggang menuju kamarku yang letaknya di lantai atas. 

Kupercepat langkahku agar lekas sampai kamar yang kurindukan. Merebahkan tubuh ini sejenak di kasur. Nyaman sekali hingga membuatku malas beranjak. 

Mata ini terus memandangi ke seluruh penjuru ruangan. Kucari kontak motor yang biasanya tergelak di atas nakas. Namun, benda kecil itu tak kunjung kutemukan. Semua lemari sudah kuobrak-abrik. Tak kunjung menemukan benda itu. 

Pikiranku tertuju pada Tante Sarah, Ibu tiriku. Gegas aku keluar dari kamar dan mencari sosok wanita menyebalkan itu.

"Tan! Tante! Kak! Kak Mira!" beberapa kali aku memanggil. Tak ada sahutan juga. Aku teringat Pak Satya, tadi dia 'kan duduk di ruang tamu. Kok sekarang nggak ada. 

Mataku celingukan mencari lelaki bergelar suami itu. Di mana dia? 

Sayup-sayup terdengar orang berbincang dari taman samping. Aku mendekat dan mengendap di balik kaca gorden. Menguping pembicaraan yang barusan terdengar. Ternyata di sana Pak Satya tengah bersitatap dengan Kak Mira. 

"Mir, kamu masih mencintai aku 'kan?" tanya Pak Satya sambil memegang kedua bahu Kak Mira. Padangan mereka beradu, saling menatap penuh rasa. Mungkin mereka Rindu. Atau entahlah, aku tak mampu menyebutnya.

"Sat, lupain semuanya. Kamu sekarang Adik iparku. Aku akan berusaha menghapus semua kisah kita." lirih Kak Mira. Air bening berlolosan membasahi kedua pipinya. 

"Nggak bisa, Mir. lima tahun kita menjalin hubungan. Itu nggak sebentar, dan aku ... aku masih sangat mencintai kamu." tekan lelaki itu penuh penghayatan. Telinga ini terus menyimak dengan baik.

"Lalu, bagaimana dengan Rindu? Dia istri kamu sekarang. Stop Sat, biarkan semua berlalu. Belajarlah untuk mencintai adikku. Jangan kecewakan dia." cetus Kak Mira. Terlihat jelas isak tangisnya semakin menjadi. 

"Nggak, Mir. Sampe kapan pun cuma kamu yang ada di hati aku. Aku nggak akan pernah bisa mencintai Rindu. Hatiku hanya milikmu selamanya." ucapan Pak Satya sukses memporak-porandakan hatiku. Hatiku terasa tergores dengan belati tajam. Bahkan mungkin akan menancap lebih dalam. 

Pak Satya merengkuh Kak Mira dalam dekapannya. Tangan kekarnya mengelus jilbab berwarna pink yang Kak Mira kenakan. 

'Semua salahku. Aku hanya jadi pengahalang untuk kebahagiaan mereka. Apakah salah? Jika mulai ada setitik rasa pada hati ini. Ah, semua terasa sakit menghujam relung hati. Mereka sangat serasi. Kak Mira Dokter dan Pak Satya Dosen. Sedangkan aku ... aku hanya remahan ciki sisa lebaran. Udah remuk mlempem lagi. Sebegitu tragisnyakah kisah rumah tanggaku.' batinku, sakit. 

"Mir, aku belum menyentuh Rindu. Kamu percaya ya, sama aku. Aku akan berjuang untuk cinta kita." kembali Pak Satya berucap. 

Kak Mira mendongak menatap lamat Pak Satya. Kedua nentra itu bertemu, berkobar saling bertaut penuh harap. 

"Cukup, Sat. Tinggalkan aku. Mungkin setelah ini kita tidak akan bertemu lagi." pungkas Kak Mira. Ia menarik dirinya menjauh dan membelakangi Pak Satya. 

Tiba-tiba saja ada yang menyeretku menjauh dari kaca tempatku menguping tadi. Hingga melipir di dekat tembok pembatas taman dan ruang keluarga. 

Bersambung.... 

Bab terkait

  • My First Night   Bab 6

    "Tante ngapain sih, narik-narik tangan aku segala?!" cebikku pada wanita berambut ikal ini. Ya, dia Tante Sarah. Ibu tiriku. Yang tiba-tiba muncul bak jalangkung."Ssstt! Diam kamu. Semua ini gara-gara kamu, ya. Lihat tuh si Satya nggak jadi nikah sama Mira. Semua salah kamu!" ketus Tante Sarah, dengan mata melotot hendak melompat dari pelupuknya."Tante kok nyalahin aku sih! Semua karena ketidak sengajaan ya," balasku tak kalah sengit. Memang aku dengan Tante Sarah tak pernah akur. Dia selalu menindasku, jika cerita di bawang merah bawang putih si Ibu tiri jahat. Itu memang benar. Sama seperti wanita ini. Untung saja, dia menikah dengan Papa aku sudah besar. Coba kalo masih piyik, bisa-bisa dijadikan lalapan aku sama nih orang."Apa? Kamu bilang nggak sengaja? Heh Rindu semua karena tingkah kamu yang tengil dan urakan ya, dasar anak tidak punya akhlak kamu." ucap Mak Lampir ini panjang lebar. Dengan mulut pletat-pletot kayak dukun baca m

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-02
  • My First Night   Bab 7 Pov Mira

    POV MiraLangit begitu cerah malam ini. Gemintang dan rembulan bersinar saling melengkapi. Hembusan angin malam memainkan ujung jilbabku. Aku terduduk di bangku besi yang dingin. Ditemani rasa rindu pada lelaki tambatan hati, di sana.Lelaki yang bukan milikku, bahkan ia sekarang menjadi iparku. Mengingat kisah kami berdua saat bersama. Dan, malam itu serasa tamparan keras menghantam hati.Antara percaya atau tidak. Tapi itu nyata, malam yang memisahkan kisah cinta kami yang terjalin lima tahun lamanya. Pria itu tengah diadili warga bersama dengan adikku sendiri. Hatiku tercabik, luka kian menganga saat para warga mendesak mereka akan dinikahkan. Memang mereka sama-sama menolak. Namun, tak cukup bukti yang menguatkan. Jangan tanya hatiku saat itu, tentu hancur sehancur-hancurnya. Jujur, aku pun tak percaya Satya melakukan hal tercela itu. Apa lagi dengan adikku sendiri. Apa boleh buat. Ini semua kuanggap takdir. Takdir yang menyayat hatiku dan hidup

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-02
  • My First Night   Bab 8

    Kembali Ke Pov Rindu.Aku meninggalkan rumah Papa dengan jengah. Ditambah nyinyiran dari Mak Lampir tadi. Sungguh membuatku semakin emosi.Dalam perjalanan pulang bersama Pak Satya. Kami berdua hanya saling diam. Dapat kutafsirkan raut wajah Pak Satya yang tertekuk lecek layaknya koran bekas. Eh, julid amat mulutnya.Aku pun juga enggan berbicara. Hanya deru mesin mobil yang mengisi keheningan di antara kami.*Pak Satya langsung membaringkan dirinya di ranjang. Aku yang sekarang bingung.Mau tidur di mana?Tidur di sofa badan sakit semua kayal digebukin orang satu kampung. Kalo tidur sama Pak Satya takut ... ya, takut itulah. Apa lagi?Benar-benar dibuat bingung akan pilihan. Fix, aku tidur di ranjang sama doi. Awas aja kalo dia macam-macam."Mau ngapain?" tanyanya membuka mata. Menyadari, aku tengah mengambil posisi hendak berbaring."Mau tidur lah, mau ngapai lagi?" ketusku.

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-02
  • My First Night   Bab 9

    "Rin, gue harus ngomong apa sama orang tua gue?" tanya Maya saat mobil ini melaju membelah jalanan kota."Gue juga nggak tahu, May. Yang gue pikirin cuma Pak Satya. Gue takut dia dipecat. Kalo gue sendiri di DO dari kampus itu mah, bodo amat. Tapi kalo Pak Satya, dia bisa kehilangan pekerjaannya dong gara-gara gue." jelasku panjang lebar."Terus ... sama kehamilan gue ini gimana, Rin? Nggak mungkin 'kan terus disembunyiin." kata Maya gelisah."Itu ntar gue bantu mikir deh, May. Sekarang lo anterin gue pulang. Empet banget sama hari ini. Pengen ngurung diri di kamar.""Ke rumah yang mana, Rin?""Rumah Pak Satya,""Oke, tapi lo janji ya, bantuin bujuk orang tua gue. Biar mau nerima Bang Rudi.""Iya, iya. Dah ah, lagi males bicara gue." desisku mengerucutkan bibir dengan tangan berkacak di dada.Maya tak bertanya lagi. Ia tahu kalo aku sedang bad mood.*Di rumah Pak Satya.Kulihat mobil ya

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-02
  • My First Night   Bab 10 Penolakan

    "Toni, ngapain lu ke sini?" alisku mendadak menaut melihat siapa yang datang."Aku memang lagi mau makan di sini, Rin. Boleh gabung?" tanya lelaki itu tersenyum lebar."Duduk aja, sini deketan sama aku." lumayan ada si Toni. Nggak jadi obat nyamuk aku di sini."Beneran?""Iya, udah cepet dari pada gue berubah pikiran."Toni pun duduk di sampingku. Pak Satya dan Kak Mira menatap datar. Lagian memang mereka berdua sudah kenal dengan Toni."Ya udah, Kak Mira sama Toni pesan makan aja." ujarku pada Toni dan Kak Mira. Masa iya, aku sama Pak Satya aja yang makan di depan mereka.Kak Mira memesan makanan pada salah satu pelayan yang kebetulan melintas."Rin, aku mau ngomong sama kamu," Toni berkata sambil menatapku lekat."Apa?" jawabku sambil fokus mengunyah makanan di mulutku."Kebetulan di sini ada Mira sama Pak Satya," Toni memandang Kak Mira dan Pak Satya bergantian. "biar m

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-04
  • My First Night   Bab 11 Lembayung Senja

    "Rindu ... kamu bicara apa?""Apa anda kurang jelas dengan yang saya bicarakan?""Saya tidak akan menceraikan kamu dalam waktu sesingkat ini.""Apa jika waktunya sudah seperkian bulan anda akan menceraikan saya? Atau, anda ingin saya semakin dalam mencintai anda. Saya tahu, tak seharusnya saya seperti ini. Tapi saya bukan lah orang yang piawai berbohong. Jika iya, iya, jika tidak ya, tidak. Lebih baik anda buat keputusan sekarang. Jangan biarkan saya lebih tersakiti dengan kedekatan anda dengan Kak Mira." lega hati ini bisa mengatakan sejujurnya."Biarkan waktu yang menjawab semuanya, Rindu," balasnya singkat. Sambil fokus mengemudikan kendaraan roda empat ini.Aku tidak malu, mengatakan cinta terlebih dulu pada seorang lelaki. Bagiku malu itu adalah mengambil hak orang lain. Sedangkan Pak Satya, ia adalah hakku yang halal untukku.Aku juga tidak mengambilnya dari Kak Mira. Semua berjalan atas sekenario Tuhan. Kita seba

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-06
  • My First Night   Bab 12. Senja Lebih Indah Dari Pelangi

    Gadis kecil itu menghambur memelukku. Namanya Arin. Kakinya memang bermasalah sejak kecelakaan satu bulan lalu."Kak Rindu, Kakak ke mana aja?" Arin menarik dirinya perlahan mundur. Lalu mendongak mentapku."Kak Rindu sibuk," jawabku sambil mengulum senyum."Dia siapa, Kak?" gadis kecil berkaos putih lusuh ini mengangkat dagunya ke arah Pak Satya."Oh, dia temen Kakak, kenalin ya, namanya Satya," kulirik Pak Satya sesaat. Lelaki berwajah teduh itu juga menyunggingkan senyum."Arin, yuk kita makan sama-sama. Tadi Kakak beli nasi bungkus." titahku. Lantas mengajak ia duduk. Diikuti yang lainnya juga. Termasuk Pak Satya."Nggak Kak, Arin pulang aja, nanti Ibu nyariin. Ini udah mau malam, Kak.""Iya, Kak. Kami juga pulang aja ya, kalau boleh nasinya kita bawa pulang aja." anak-anak yang lain menyahut. Sekilas kulirik mentari yang hampir tenggelam di ujung sana. Benar saja, sebentar lagi akan gelap. Lembayu

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-07
  • My First Night   Bab 13 Kehadiran Kakak Tiriku

    MALAM PERTAMA DENGAN DOSEN Bab 13"Maaf, maaf, nggak sengaja!" Cepat kutarik diri ke belakang agar menjauh dari Pak Satya. Secepat kilat, ia yang tadi membungkuk pun langsung berdiri tegap. Dengan wajah pias dan salah tingkah. Jelaslah, dia salah tingkah. Karena tadi bibirnya dan bibirku tak sengaja bersalaman. Eh, bersentuhan maksudnya. Ini bukan karena sengaja, melainkan sebuah tragedi yang membuat aku akan tersudut dan akan menjadi tersangka lagi."Pasti kamu sengaja 'kan?" tuduhnya dengan mata elang menyorot tajam."Enggak. Pak Satya sih, yang bikin aku kaget." sanggahku tak terima."Iya, iya, saya tahu kok." seulas senyum manis ia sunggingkan. Tak kusangka, jika ia akan semudah itu membiarkan insident tadi berlalu. Jangan-jangan dia juga mulai ada sesuatu nih sama aku. "Rindu, pulang yuk, udah malam." ajaknya lalu melangkahkan kaki menuju mobil."Tungguin!" Kakiku terasa berat untuk beranjak. Mungkin karena masih terpuk

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-17

Bab terbaru

  • My First Night   Bab 16 Bukan Salahku

    Malam Pertama Dengan DosenPart 16"Mira!" Sekarang ganti Pak Satya yang berteriak hingga telinga ini berdengung.Gegas kami berdua berlari menghampiri Kak Mira yang tengah terkulai dengan luka lebam di beberapa bagian tubuhnya. Lebih miris lagi,Kak Mira tak sadarkan diri dengan tubuh setengah telanjang."Kamu kenapa, Mir?! Bangun ...!""Kak, bangun, Kak!"Teriakan kami berdua tak membuahkan hasil. Kak Mira masih terpejam rapat. Kuraih jaket yang sudah terlempar jauh dari posisi Kak Mira. Lalu menutupi tubuhnya menggunakan jaket itu.Pikiran buruk hinggap di kepalaku. Apa Kak Mira korban pemerkos**n?Bicara apa kau Rindu! Jangan aneh-aneh! Batinku bermonolog merutuki diri sendiri."Mir, apa yang terjadi?!" Berulang kali lelaki yang tengah memangku Kak Mira ini mengguncang pundak kakak tiriku. Gurat wajahnya amat terlihat sedih dan cemas."Kita bawa Kak Mira ke rumah sakit sekara

  • My First Night   Bab 15. Malam Mencekam

    MALAM PERTAMA DENGAN DOSENPART 15Mataku membola, Kak Mira yang tadi duduk di kursi sebelah kemudi sudah tak ada di tempatnya lagi."Kak! Kak Mira!" teriakku nyaring, tak ada jawaban sedikit pun. Kulihat ponsel Kak Mira yang tergelak di atas kursi.Kugapai benda pipih itu dan lantas menyalakan senter.Sebenarnya aku agak ngeri berada di tempat ini sendirian. Di sini sangat sepi, tak ada pemukiman warga, yang ada hanya tanah lapang juga pabrik bekas pembuatan bumbu petis khas daerah sini. Seram juga alasan kenapa pabrik itu bisa non aktif, dulu ada insiden pegawainya tercebur dalam wajan panas yang berisi bumbu petis. Dengar-dengar, pegawai itu tewas dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Semua kulitnya melepuh, itulah yang kudengar dari warga sekitar rumahku juga di media sosial. Karena memang beritanya dulu sangat viral.Bergidik sendiri kedua pundakku merasakan hawa dingin yang menerpa wajah. Lagi pula, Kak Mi

  • My First Night   Bab 14 Hilangnya Kak Mira

    Malam Pertama Dengan DosenBab 14Benar dugaanku, kalau suara itu berasal dari tante Sarah. Memangnya siapa lagi yang gemar mengomel seperti itu, selain dia."Aku mau nginep di rumah ini." kataku santai. Kulintasi wanita ini begitu saja."Apa? Nginep?!" pekiknya heboh. "Mira, kamu ngapain ngajak dia nginep di rumah ini. Nyusahin aja!" tambahnya terdengar memekak di telinga, meski aku sudah memasuki ruang tamu."Ma, inikan rumah Rindu, dia berhak dong tidur di sini." sanggah Kak Mira setengah berteriak.Sembari mengayunkan langkah menuju kamar, tak hentinya dua wanita berstatus Ibu dan anak itu saling adu kata demi kata. Terserah mereka mau apa? Aku tetap fokus melangkah hingga sudah sampai undakkan anak tangga di bagian tengah.Baru teringat soal Papa. Rumah ini sepi, mungkin Papa belum pulang. Pikirku.Karena memang sangat biasa sekali begitu, dari dulu Papa selalu pulang malam. Hingga akhirny

  • My First Night   Bab 13 Kehadiran Kakak Tiriku

    MALAM PERTAMA DENGAN DOSEN Bab 13"Maaf, maaf, nggak sengaja!" Cepat kutarik diri ke belakang agar menjauh dari Pak Satya. Secepat kilat, ia yang tadi membungkuk pun langsung berdiri tegap. Dengan wajah pias dan salah tingkah. Jelaslah, dia salah tingkah. Karena tadi bibirnya dan bibirku tak sengaja bersalaman. Eh, bersentuhan maksudnya. Ini bukan karena sengaja, melainkan sebuah tragedi yang membuat aku akan tersudut dan akan menjadi tersangka lagi."Pasti kamu sengaja 'kan?" tuduhnya dengan mata elang menyorot tajam."Enggak. Pak Satya sih, yang bikin aku kaget." sanggahku tak terima."Iya, iya, saya tahu kok." seulas senyum manis ia sunggingkan. Tak kusangka, jika ia akan semudah itu membiarkan insident tadi berlalu. Jangan-jangan dia juga mulai ada sesuatu nih sama aku. "Rindu, pulang yuk, udah malam." ajaknya lalu melangkahkan kaki menuju mobil."Tungguin!" Kakiku terasa berat untuk beranjak. Mungkin karena masih terpuk

  • My First Night   Bab 12. Senja Lebih Indah Dari Pelangi

    Gadis kecil itu menghambur memelukku. Namanya Arin. Kakinya memang bermasalah sejak kecelakaan satu bulan lalu."Kak Rindu, Kakak ke mana aja?" Arin menarik dirinya perlahan mundur. Lalu mendongak mentapku."Kak Rindu sibuk," jawabku sambil mengulum senyum."Dia siapa, Kak?" gadis kecil berkaos putih lusuh ini mengangkat dagunya ke arah Pak Satya."Oh, dia temen Kakak, kenalin ya, namanya Satya," kulirik Pak Satya sesaat. Lelaki berwajah teduh itu juga menyunggingkan senyum."Arin, yuk kita makan sama-sama. Tadi Kakak beli nasi bungkus." titahku. Lantas mengajak ia duduk. Diikuti yang lainnya juga. Termasuk Pak Satya."Nggak Kak, Arin pulang aja, nanti Ibu nyariin. Ini udah mau malam, Kak.""Iya, Kak. Kami juga pulang aja ya, kalau boleh nasinya kita bawa pulang aja." anak-anak yang lain menyahut. Sekilas kulirik mentari yang hampir tenggelam di ujung sana. Benar saja, sebentar lagi akan gelap. Lembayu

  • My First Night   Bab 11 Lembayung Senja

    "Rindu ... kamu bicara apa?""Apa anda kurang jelas dengan yang saya bicarakan?""Saya tidak akan menceraikan kamu dalam waktu sesingkat ini.""Apa jika waktunya sudah seperkian bulan anda akan menceraikan saya? Atau, anda ingin saya semakin dalam mencintai anda. Saya tahu, tak seharusnya saya seperti ini. Tapi saya bukan lah orang yang piawai berbohong. Jika iya, iya, jika tidak ya, tidak. Lebih baik anda buat keputusan sekarang. Jangan biarkan saya lebih tersakiti dengan kedekatan anda dengan Kak Mira." lega hati ini bisa mengatakan sejujurnya."Biarkan waktu yang menjawab semuanya, Rindu," balasnya singkat. Sambil fokus mengemudikan kendaraan roda empat ini.Aku tidak malu, mengatakan cinta terlebih dulu pada seorang lelaki. Bagiku malu itu adalah mengambil hak orang lain. Sedangkan Pak Satya, ia adalah hakku yang halal untukku.Aku juga tidak mengambilnya dari Kak Mira. Semua berjalan atas sekenario Tuhan. Kita seba

  • My First Night   Bab 10 Penolakan

    "Toni, ngapain lu ke sini?" alisku mendadak menaut melihat siapa yang datang."Aku memang lagi mau makan di sini, Rin. Boleh gabung?" tanya lelaki itu tersenyum lebar."Duduk aja, sini deketan sama aku." lumayan ada si Toni. Nggak jadi obat nyamuk aku di sini."Beneran?""Iya, udah cepet dari pada gue berubah pikiran."Toni pun duduk di sampingku. Pak Satya dan Kak Mira menatap datar. Lagian memang mereka berdua sudah kenal dengan Toni."Ya udah, Kak Mira sama Toni pesan makan aja." ujarku pada Toni dan Kak Mira. Masa iya, aku sama Pak Satya aja yang makan di depan mereka.Kak Mira memesan makanan pada salah satu pelayan yang kebetulan melintas."Rin, aku mau ngomong sama kamu," Toni berkata sambil menatapku lekat."Apa?" jawabku sambil fokus mengunyah makanan di mulutku."Kebetulan di sini ada Mira sama Pak Satya," Toni memandang Kak Mira dan Pak Satya bergantian. "biar m

  • My First Night   Bab 9

    "Rin, gue harus ngomong apa sama orang tua gue?" tanya Maya saat mobil ini melaju membelah jalanan kota."Gue juga nggak tahu, May. Yang gue pikirin cuma Pak Satya. Gue takut dia dipecat. Kalo gue sendiri di DO dari kampus itu mah, bodo amat. Tapi kalo Pak Satya, dia bisa kehilangan pekerjaannya dong gara-gara gue." jelasku panjang lebar."Terus ... sama kehamilan gue ini gimana, Rin? Nggak mungkin 'kan terus disembunyiin." kata Maya gelisah."Itu ntar gue bantu mikir deh, May. Sekarang lo anterin gue pulang. Empet banget sama hari ini. Pengen ngurung diri di kamar.""Ke rumah yang mana, Rin?""Rumah Pak Satya,""Oke, tapi lo janji ya, bantuin bujuk orang tua gue. Biar mau nerima Bang Rudi.""Iya, iya. Dah ah, lagi males bicara gue." desisku mengerucutkan bibir dengan tangan berkacak di dada.Maya tak bertanya lagi. Ia tahu kalo aku sedang bad mood.*Di rumah Pak Satya.Kulihat mobil ya

  • My First Night   Bab 8

    Kembali Ke Pov Rindu.Aku meninggalkan rumah Papa dengan jengah. Ditambah nyinyiran dari Mak Lampir tadi. Sungguh membuatku semakin emosi.Dalam perjalanan pulang bersama Pak Satya. Kami berdua hanya saling diam. Dapat kutafsirkan raut wajah Pak Satya yang tertekuk lecek layaknya koran bekas. Eh, julid amat mulutnya.Aku pun juga enggan berbicara. Hanya deru mesin mobil yang mengisi keheningan di antara kami.*Pak Satya langsung membaringkan dirinya di ranjang. Aku yang sekarang bingung.Mau tidur di mana?Tidur di sofa badan sakit semua kayal digebukin orang satu kampung. Kalo tidur sama Pak Satya takut ... ya, takut itulah. Apa lagi?Benar-benar dibuat bingung akan pilihan. Fix, aku tidur di ranjang sama doi. Awas aja kalo dia macam-macam."Mau ngapain?" tanyanya membuka mata. Menyadari, aku tengah mengambil posisi hendak berbaring."Mau tidur lah, mau ngapai lagi?" ketusku.

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status