Mobil yang mereka tumpangi pun terhenti di area parkiran rumah Irin.
Dante baru tahu jelas jika rumah Irin jauh lebih mewah dan besar dari rumah kedua orang tuanya.
Dante memarkirkan mobilnya di parkiran rumah milik kedua orang tua Irin.
Untuk pergi dari gerbang ke parkiran saja harus menggunakan mobil atau motor jika tak ingin kelelahan.
Dante menepuk pelan pipi Irin, hingga Irin pun menggeliat.
Dante pun terkekeh, ia melihat Irin seperti kucing yang baru bangun tidur.
"Kamu kok ketawa sih?"
"Kamu kaya kucing baru bangun tidur,"
"Ish," Irin mencebikkan bibirnya.
"Turun, udah sampe nih,"
Irin pun mengedarkan pandangannya, dan benar saja, mereka telah sampai di rumah orang tua Irin.
"Ayo, Dante… kita masuk, aku udah kangen sama bunda." Ucap Irin girang.
Dante pun tersenyum, senyuman tulus.
Ia pun mengikuti langkah kaki Irin.
Mereka di sambut hangat oleh Rosmi -- bunda Irin.
"Bunda," pekik Irin yang berlari dan menghambur peluk pada sang bunda.
"Ah, anak bunda… kangen banget bunda sama kamu,"
"Irin juga, kangen banget sama bunda, sama ayah,"
"Hm, kamu bahagia banget, ada apa nih?"
"Ih, kan ketemu bunda," elak Irin mencari alasan.
Rosmi menatap Dante dan tersenyum,
"Dante,"
Dante pun membungkuk dan memeluk ibu mertuanya.
"Bunda, apa kabar?"
"Baik, kalian baik-baik aja kan?"
"Baik kok, Bun." Sambung Irin sebelum Dante menjawabnya.
"Ah, syukurlah. Ayo cepat masuk,"
Mereka pun masuk dengan berjalan beriringan.
"Ayah mana, Bun?"
"Ayah di ruang kerja, coba kamu temui. Kemarin ayah nggak bisa tidur mikirin kamu," Rosmi mengusap lembut kepala putrinya.
"Irin juga nggak bisa tidur tuh, Bun. Nggak tau kenapa, gulang guling aja terus,"
"Eh?"
"Bener itu, Irin?" tanya Rosmi bingung menatap wajah Irin.
"Nggak usah di pikirin ya, Bun. Irin. Ke ruang kerja ayah dulu," Irin memgecup pipi sang bunda lalu menarik lengan Dante untuk mengikuti langkah kakinya.
Dante hanya melihat sekeliling dengan raut kagum, benar-benar menakjubkan isi dalam rumah Irin.
Irin mengetuk pintu ruang kerja sang ayah.
Tok
Tok
Tok
"Masuk," ucap Arman dari dalam sana.
Irin pun membuka pintu ruang kerja sang ayah, dan berlari girang.
"Ayah,"
"Heght…" tubuh sang ayah tertekan beban berat saat Irin melompat di pangkuan sang ayah.
Dante sedikit terkejut, karena Irin yang ia lihat sekarang persis seperti Irin yang dulu masih menjalin hubungan dengannya sebagai kekasih.
"Astaga, anak ayah…" Arman mengusap punggung putrinya.
"Irin kangen,"
"Ayah pun sama,"
"Ini hari minggu, kenapa ayah masih sibuk kerja?"
"Terus ngapain kalau nggak kerja?"
"Ya… ngerjain bunda misalnya,"
Dante menahan tawanya, jawaban Irin benar-benar membuatnya ingin menyemburkan tawa.
Arman terkekeh mendengar jawaban Irin.
"Kamu ini ada-ada aja, --- Dante?" sapa Arman yang baru melihat disana ada Dante.
Dante pun mengangguk dan tersenyum,
"Ayah,"
"Duduk,"
Dante pun mengangguk dan duduk di kursi yang telah ada disana.
"Turun dong, malu sama Dante."
Irin mencebikkan bibirnya, namun ia tetap turun dari pangkuan sang ayah.
"Ayah, ___ "
"Sebentar, ayah mau tanya sama kamu."
"Huh, apa?"
"Kemarin kamu udah ketemu sama Rexa?"
"Udah kok, Rexa bawa Irin ke mall,"
"Bulan depan juga jangan lupa,"
"Ayah," tegur Irin menatap sang ayah, ia takut jika Dante mengetahuinya.
Arman pun menghela napas kasar,
"Okay, ayah diam."
Irin pun tersenyum lebar,
"Dante, kita ke kamar yuk, aku mau kasih liat kamar aku yang sekarang,"
Dante pun mengangguk,
"Ayah, kita ke kamar dulu ya?"
"Iya, ajak Dante berkeliling di rumah kita, sayang."
"Siap, ayah.."
Dante pun mengikuti langkah kaki Irin, entah hanya perasaan-nya saja atau lain, jika Arman menatapnya dengan tatapan tak suka.
"Irin," panggil Dante membuat Irin menggumam.
"Hm?"
"Ayah lo nggak suka sama gue?"
"Oh ya, sok tau kamu,"
"Hm…" Dante membuang pikiran negatifnya.
Hingga sampailah mereka di kamar Irin, Dante benar-benar merasa aneh.
Kamar Irin benar-benar tertutup rapat.
Tak ada jendela yang terbuka, hanya kaca besar dan Dante tahu, jika kaca itu kaca yang tidak mudah untuk di pecahkan.
Bahkan lemari pakaian yang terlihat biasa saja, tanpa adanya cermin.
Kamar yang hanya di penuhi dinding kokoh, ranjang yang berukuran sedang terlihat biasa saja.
"I-ini kamar kamu?" Tanya Dante yang mulai mengubah cara bicaranya.
Irin pun mengangguk pelan,
"Serius?"
"Iya, ini kamar aku. Apa ada yang salah?"
Dante menggelengkan kepalanya, ia benar-benar tak menyangka jika Irin telah berubah.
"Apa ayahmu udah nggak mau kasih kamu kemewahan,"
Irin pun terkekeh,
"Bukan, tapi karena aku bandel, jadi ya...begini,"
"Maksudnya?" Dante semakin tak mengerti.
"Udah deh, jangan bawel. Sini duduk,"
Dante pun duduk di sebelah Irin.
"Suatu saat kamu pasti tau segalanya tentang aku, aku yang sekarang nggak seperti aku yang dulu. Dan semoga kamu akan mengerti dengan keadaan aku yang begini,"
"Apa sih maksud kamu?"
Irin menggelengkan kepalanya, ia tak bisa mengatakan yang sebenarnya pada Dante.
Irin takut jika Dante akan jauh semakin membencinya.
"Dante, maafin aku," Irin pun mulai menangis di hadapan Dante, tangisan tulus kehilangan.
Dante pun ikut merasakan sesak, tangisan Irin terdengar sangat pilu.
"Udah jangan nangis, nggak usah cengeng."
"Aku cengeng dari dulu kan, tapi keadaan menyuruh aku untuk kuat,"
Irin memeluk tubuh Dante.
"Biarin aku meluk kamu kaya gini, aku kangen kamu." Ucap Irin yang kini berada di pelukan Dante.
Tangan Dante terulur untuk mengusap punggung Irin.
Tatapan Dante menajam, ia benar-benar muak dengan sikap berpura-pura Irin saat ini.
Tangan Dante mengepal erat saat mengingat yang sudah lalu.
"Aku ke kamar kecil dulu,"
"Oke, aku tunggu di bawah ya."
Dante pun mengangguk, Irin keluar dari kamar dan Dante merasa shock saat melihat kamar mandi milik Irin.
Hanya ada satu ember kecil untuk menampung air dan toilet jongkok.
"Ini beneran kamar Irin?"
"Apa dia tertekan?"
Dante pun segera membuang air kecil, ia keluar dari kamar Irin.
Dante mendapati Irin yang sedang tertawa cekikikan bersama seorang laki-laki seumuran dengannya.
"Alex, kamu harus cepet nikah, biar nggak di siram air lagi sama ayah pas tidur,"
"Ya aku harusnya nikah sama kamu, malah kamunya nikah duluan,"
Irin pun masih tertawa, dan ia tersadar saat Dante ternyata sudah berdiri tak jauh dari mereka.
"Dante, sini…"
Dante pun mendekat saat Irin memanggilnya.
"Alex, kenalan dulu. Ini Dante, dan Dante ini Alex. Orang kepercayaan ayah,"
"Dante,"
"Alex,"
Dante dan Alex pun berjabat tangan, tangan mereka saling menggenggam erat dan saling menatap tajam.
"Ih, udah dong. Kok kalian jadi mesra sih,"
Irin pun tertawa saat melihat mereka seakan tersadar, mereka saling melepaskan jabatan tangan dan memutus tatapan mereka.
"Alex, aku mau keliling rumah dulu ya,"
"Iya, hati-hati ya?"
"Iya, bawel."
Irin pun kembali menarik lengan Dante yang sedari tadi terus mengikuti langkah kakinya.
Mata Dante terfokus pada sebuah batu nisan yang terlihat sangat terawat dengan di tumbuhi bunga-bunga di sekelilingnya.
"Rin, itu makan siapa?"
Irin tersentak, ia pun nampak gugup.
"I-itu, makam ___ "
"Irin, Dante…"
Irin menghela napas lega saat sang bunda memanggil mereka.
"Kalian makan siang dulu gih, bunda udah masak kesukaan Irin,"
"Iya, Bun. Ayo, kasian bunda udah capek masak,"
Dante pun menuruti keinginan Irin.
Dan akhirnya, Dante pun melupakan tentang makam tadi.
Mereka pun melanjutkan makan siang, dan tak lama setelah itu mereka berpamitan untuk pulang.
Karena tak mungkin jika mereka menginap, rumah kedua orang tua Irin jauh dari kantor Dante.
"Irin, mau beli apa buat makan malam nanti?"
"Eum, terserah. Aku ngikut kamu aja,"
Dante pun mengangguk,
"Delive aja kalo gitu,"
***
Sesampainya di rumah, Irin pun berlari kecil karena sudah tak tahan sejak tadi menahan diri untuk membuang air kecil.
"Huh, leganya…" ucap Irin yang kini baru saja keluar dari kamar mandi.
Ia terkejut saat melihat Dante tengah menatapnya dengan tatapan yang sulit untuk di artikan.
"Dante?"
"Ah, ya?" Dante pun tersadar saat Irin memanggilnya.
"Kamu mau kopi atau teh?"
"Teh aja, ya teh…"
"Okay, tunggu sebentar."
Dante tersenyum remeh, ia yakin jika Irin tak bisa melakukan semua itu.
Dan, ia terkejut saat melihat ternyata Irin bisa melakukan hal itu.
"Ini, tapi masih panas…"
"Makasih,"
"Oh ya, Dante… kamu tau, sudah sangat lama aku nggak dibolehin datang ke dapur di rumah bunda, aku di kurung."
Dante terkejut mendengar pengakuan Irin,
"Apa bunda dan ayah jahat sama kamu?"
Irin pun terkekeh,
"Nggak sama sekali, justru mereka selalu memperjuangkan aku."
"Kenapa kamu dikurung?"
"Itu karena aku bandel," jawab Irin sekenanya.
"Pasti sering ganti pasangan ya?" Cletuk Dante membuat Irin sedikit terkejut.
"Pasangan? Pacaran aja aku suka sekali, yaitu cuma sama kamu." Jelas Irin
"Benarkah?"
"Terserah kamu mau menyimpulkan seperti apa, itu semua hak kamu. Aku udah nggak peduli dengan semua perkataan orang,"
"Maksud kamu?"
"Nggak ada, kamu cukup begini sama aku. Kamu bisa makin benci kalo kamu tau, atau mungkin kamu akan menjauh dari aku, sama kaya mereka semua."
"Mereka, siapa mereka?"
"Orang-orang di sekitarku, keluarga besar ayah sama bunda. Mereka semua ngejauh dari aku,"
"Karena apa?"
"Kamu udah pesan makanan?" tanya Irin mencoba mengalihkan pembicaraan.
Dante terdiam, ia sangat paham jika Irin berusaha untuk mengubah topik pembicaraan mereka.
"Dante?" Panggil Irin membuat Dante kembali tersadar.
"Ah, ya… belum, kamu aja yang pesan."
"Okay, aku pesan pake hp aku."
Dante pun mengangguk,
"Rin, boleh aku tanya sesuatu?"
"Hm, apa?"
"Kenapa kamar kamu ___ "
"Udah ya, jangan di bahas. Kalo kamu tau, nanti aku dikira gila lagi,"
Dante terkejut mendengar jawaban yang di sertai kekehan kecil dari Irin.
"Nggak lucu,"
Irin tersenyum tipis,
Tak lama kemudian bel rumah mereka berbunyi.
"Itu pasti kurir, biar aku aja yang ambil," Irin pun tersenyum.
Irin merasa jika Dante telah berubah, Irin pun akan mencoba untuk merubah dirinya agar lebih baik.
Agar ia bisa menjadi istri yang bertanggung jawab pada suaminya.
Selang beberapa menit, Dante pun mendekati Irin dan terlihat membawa dua box makanan instan.
"Kamu beli salad buah aja?"
Irin pun mengangguk,
"Aku udah lama nggak makan nasi malam-malam,"
"Oh ya? Kenapa?"
"Diet,"
"Kurus gitu masih diet?"
Irin pun terkekeh,
"Menurut kamu, aku kurus?"
"Ya,"
"Hm, ya udahlah. Nggak masalah kok,"
"Ayo, kita makan. Selamat makan, my hubby…"
Dante tersenyum tipis dan mengangguk, hati kecil Dante tak menyetujui jika Irin adalah wanita yang jahat, namun itulah kenyataannya di mata Dante.
Irin adalah wanita jahat yang berkedok manusia berparas cantik.
"Dante, kenapa melamun?"
"Ah, nggak kok. Aku baru ingat, ada tugas kantor yang belum aku selesaikan,"
"Oh ya, nanti coba aku bantu ya?"
"Memangnya kamu bisa?"
"Ngeremehin, ih…"
"Ya, kan kamu nggak pernah kerja."
"Dih, sok tau kamu. Aku kerja di kantor ayah, aku sering bantuin ayah. Tapi, semenjak ___ " Irin memejamkan matanya sejenak, lalu menghirup napasnya dalam-dalam, dan membuangnya perlahan. Dante menatap Irin bingung.
"Kamu, kenapa?"
"A..ku, nggak apa-apa."
"Hm, jadi semenjak apa?"
"Ah, lupakan. Nanti aku beneran bantuin kamu deh, kamu pasti puas sama hasil kerja aku."
"Hm, coba aja.. kalo hasilnya bikin tekor aku jitak kamu,"
Irin pun tertawa saat mendengar ucapan Dante.
"Iya, iya. Aku bakal bawa hoki, nggak bakal bikin rugi."
"Ngomong-ngomong, kenapa kamu sering susah tidur?"
"Ah, itu… karena aku insom,"
"Sejak?"
Sejak aku kehilangan orang yang aku sayang, batin Irin menjawab.
"Sejak aku insom dong," jawab Irin dengan gurauan.
Dante pun tak menggubris ucapan Irin, ia pun mulai melanjutkan makannya hingga mereka pun telah selesai.
Kini, saatnya Dante dan Irin mulai mengerjakan tugas kantor Dante.
"Coba, kasih tau aku, mana yang belum kamu selesaikan?" Desak Irin yang membuat Dante sedikit bingung.
"Ini, coba kamu cek. Ini rangkuman data keuangan dan rencana kedepan untuk pengembangan perusahaan,"
"Eum, perusahaan kamu dalam bidang batu permata ya?"
"Ya, dan rencananya akan membuat cabang perusahaan batu permata, tapi aku bingung ambil dimana lokasinya yang cocok,"
"Kalo menurut aku, kamu ambil tempat dimana tempat itu yang padat penduduk, dan disana apapun sulit di jangkau,"
"Hm, terus? Belum tentu mereka berminat untuk membeli batu permata,"
"Benar. Tapi, menurut aku, sebaiknya kamu membeli lahan atau menyewanya disana, kamu buat mall."
"Eh?"
"Begini, kalo kamu buat mall disana, pasti warga sana akan senang dan bangga karena memiliki tingkat kemajuan di kota mereka, meskipun kota mereka pelosok, tapi mereka nggak ketinggalan jaman?"
Bener juga, ya. Batin Dante,
Dante mengangguk-angguk mengerti,
"Dan, kamu tau… aku udah punya rencana di salah satu kota yang termasuk pelosok di sini,"
"Oh ya, rencana apa?"
"Ah, aku ingin membuat panti asuhan dan beberapa bangunan sekolah gratis untuk anak-anak yang membutuhkan perlakuan khusus, seperti SLB, misalnya."
"Itu ide yang bagus, semoga niatmu terwujud. Dan terimakasih untuk sarannya, aku akan memikirkan matang-matang."
Irin pun mengangguk,
"Ini mau langsung di tulis atau?"
"Biarkan aja, besok aku suruh orang kantor yang nulis. Sebaiknya kita tidur, udah jam sebelas malam."
"Eh, kok cepet sih?"
Dante pun terkekeh, dia menarik lengan Irin untuk masuk ke dalam kamar mereka.
"Kenapa kamar-kamar selain kamar kita pintunya di kunci rapat?"
"Iya, ini ulah ibu sama ayah,"
"Kamu jangan ngadi-ngadi deh,"
"Aku serius,"
"Oh ya, tapi kenapa?"
"Udah, jangan bawel. Aku ngantuk,"
Dante pun mulai merebahkan tubuhnya, dengan Irin yang masih duduk di tepi ranjang.
"Dante, gosok gigi dulu."
"Bawel,"
Irin terpekik, saat tubuhnya di tarik oleh Dante dan membuatnya terjatuh dalam pelukan Dante.
Dante pun mengusap lembut punggung Irin, hingga perlahan Irin pun tertidur.
…
Tbc
Dante mencium aroma masakan gosong dari dapur, ia mulai membuka matanya dan berjalan ke arah dapur."Irin?""D-dante,""Kenapa?""M-maaf, tadi aku niatnya mau bikin sarapan buat kamu, tapi aku lupa,""Lupa?""Lupa kalo aku nggak bisa masak," cicit Irin pelan yang membuat Dante terbahak."Udah, udah. Nanti makan di kantor aja,""Eh, terus aku gimana?""Kamu ya urus sendiri,""Eh?" Irin menatap Dante, memerjapkan matanya pelan.Dante pun terkekeh dan mencubit hidung Irin,"Aw, sakit…""Bercanda,""Ah, kirain kamu sengaja mau bikin aku mati kelaparan,""Ya, kalo bisa.""Huh?"Dante tersenyum miring,"Mendingan kamu siap-siap, ikut aku ke kantor.""Eh, beneran?"
Dante membawa Irin ke sebuah mall."Dante, kenapa kita kesini?""Ya, kamu harus ikut aku nanti malam,""Eh, kemana?""Aku mendapatkan undangan pernikahan dari kolega ku,""Ho, baiklah.""Kamu cari dress sesuai keinginan mu dan setelah itu kita ke salon,""Kenapa ke salon?""Kamu nggak ada make up, selama ini aku cuma liat parfum, dan polesan bibir aja,"Irin tersenyum tipis,"Aku nggak suka make up sekarang,""Kenapa? Ada apa?""Udah deh, nggak usah banyak tanya. Ayo, cepat cari dress buat aku.""Kamu cari yang gimana?""Hm, lengan panjang dan terusan panjang.""Ini?"Irin menoleh dan menatap Dante yang sudah menegang dress terusan panjang berwarna peach, yang di hiasi oleh berlian-berlian kecil dibagika
malam ini, dante tidur dengan gelisah.rasa penasaran terus saja menghantuinyadilihatnya irin yang sudah terlelap tenang. dante mengusap lembut kepala iridante menarik lengannya yang di jadikan bantalan oleh irin, lalu berjalan keluar dan menuju kamar khusus untuk minuman alkohol koleksinydante pun mengambil satu botol minuman yang beralkohol sedangia menenggak langsung hingga tandas setengah boto"sialan, gara-gara dia gue jadi nggak bisa tidur"gue benci berpura-pura, gue benci sama lo, ini demi nyokap gue, demi nyokap gue, arghdante mengusap wajahnya kasadante terpekik saat mendengar suara irin berteriak"hei, berhenti… tolong dengarkan aku, hei"aku mohon, hiks… berhenti, dengarkan penjelasan dariku, hiks… hiks."rexa, kejar dia, alex kejar dia hiks… hiks."berhenti, berhenti,
Sesuai rencana, Irin pun mengenakan long dress berlengan panjang. Sebenarnya Dante memiliki rasa penasaran tinggi, mengapa Irin memakai dress yang selalu tertutup saat ini.Dante pun teringat bekas luka di bahu dan punggung Irin.Kini, mereka telah sampai di rumah kedua orang tua Irin.Mereka berencana untuk pergi bersama."Ayah, bunda udah siap?""Udah dong, sayang… eh, kok kamu pakai dress ini lagi?""Maaf, Bun, Irin nggak mau aku ajak pergi buat cari dress lagi,"Irin pun terkekeh,"Maaf ya, dress ini bagus. Aku suka,"Dan, mereka pun mengerti dengan keinginan Irin.Dante pun membukakan pintu mobil untuk Irin. Ayah dan ibu mertuanya menggunakan mobil lain, yang dikemudikan oleh supir."Dante, kamu nggak capek ya nyetir sendiri?"&nbs
Dante pun sampai di kantornya dan langsung mendapati beberapa berkas menumpuk di mejanya.Berkas dari sang kakak yang ingin menjalin kerjasama dengannya.Dengan seenaknya, sang kakak malah ingin Dante menandatangani surat kerjasama di enam cabang cafe miliknya.Dante pikir, Darren hanya memintanya untuk di satu tempat, nyatanya justru enamlah yang ingin di jalin kerjasamanya."Ini sih pemerasan namanya. Sialan banget," gerutu Dante yang melihat berkas di hadapannya.Lalu
Setelah menempuh jarak yang cukup jauh dan sangat memakan waktu, akhirnya Dante sampai di Amerika, dan bayangan Irin terus menghantui pikirannya.Dante pun tengah bersiap untuk melakukan tugasnya. Ia tak sempat menghubungi istrinya saat ini.Jadi, ia langsung berangkat ke kantor cabang.Namun, saat di kantor cabang, ia langsung mendatangi Rere divisi keuangan yang ada disana.Rere, adalah gadis yang dipilih langsung oleh ayah Dante untuk menjadi karyawan lemparan dari Indonesia ke kantor cabang di Amerika, itu karena cara kerjanya yang memuaskan."Wah, ada mantan," goda Rere dengan gaya sensual.Dante hanya meliriknya sinis."Gue kesini nggak ada urusan sama lo, tapi gue kesini karena ada kepentingan yang harus gue urus,""Ah, itu masalah kecil. Aku udah urus kok," ucap Rere yang kini mengusap dada bidang Dante.
"Lo, br*ngsek!" Ucap Dante kasar dengan menjambak rambut Irin."A..apa maksud kamu, Dante?"Mata Irin sudah berkaca-kaca dan air mata perlahan mengalir di pipinya."Lo, kan yang minta nyokap bokap lo buat maksa kita nikah,"Irin menggelengkan kepalanya, ia tak mengerti maksud Dante."A..aku nggak ngerti maksud, kamu.""Jangan berpura-pura, bodoh! Argh," Dante mendorong kasar tubuh Irin, hingga ia terjatuh terlentang di ranjang."Sial, kalian mengancam orang tuaku,""Besok pagi, kita pulang. Dan, lo bakal gue kurung di rumah, nggak ada siapapun yang boleh nemuin lo, termasuk orang tua lo,"Seminggu kemudian, Dante sedang duduk di ruang kerjanya, lalu menyeringai, di otaknya Dante memiliki niat terselubung, ia benar-benar muak dengan sikap sok baik Irin.Bahkan, Dante sudah beberapa kali memergoki Irin pergi dengan laki-laki ber
Dante menguap saat setelah membuka matanya, menatap ranjang sudah tak ada Irin di sana.Sejenak ia menyesali perbuatannya tadi malam, namun itulah jalan yang harus ia ambil, ia ingin bebas.Dante terdiam sejenak, lalu ia pun teringat jika ia memiliki rapat penting pagi ini, ia harus segera mandi dan membersihkan diri, ia berdiri dan berjalan menuju pintu kamar mandi."Woi, buka… cepetan, gue mau mandi!" Teriak Dante dari depan pintu kamar mandi.Namun tak ada jawaban, hanya hening, tak ada suara air ataupun tanda-tanda kehidupan."Irin, buka pintunya. Gue mau ke kantor!"Teriak Dante lagi.Hingga satu menit, masih tak ada jawaban, Dante membuka pintu yang ternyata tak di kunci.Dante pun berjalan masuk, ia terpekik saat melihat bak mandi penuh dengan warna merah."Irin," teriaknya histeris.
"Epilog."Beberapa hari kemudian setelah kepergian Irin.Tampak Irin, terlihat berjalan di dalam suatu gedung bersama Reylan dan kemudian menaiki sebuah Lift.Ketika Lift itu terbuka, terlihat dengan cepat seluruh karyawan yang ada di dalam ruangan tersebut menyambut dengan memberikan salam kepada dirinya."Selamat pagi, Ketua Komisaris." Teriak seluruh para Karyawan menyambut Irin.Irin, hanya terlihat tersenyum lalu berjalan menuju ke dalam ruangannya diikuti oleh Reylan di belakang dirinya.Terdengar Irin, berkata kepada Reylan."Apakah semua para Investor telah hadir?" Tanya Irin."Sudah, mereka telah menunggu anda di ruangan rapat sekarang." Jawab Reylan."Bagus sekali, Kita akan selesaikan ini semua dengan cepat." Sahut Irin.&he
"Kenangan Reylan Bagian Akhir."Semua mata pun menatap terkejut dengan apa yang diucapkan oleh Aslan, lalu terdengar Reylan dan Andressa sedikit menahan tawa,"Ckckck…" suara tawa.Reylan sambil menepuk bahu Andressa berkata,"Sungguh lucu sekali adikmu ini sobat. Ckckck…" Ujar Reylan."Ckckck… Aslan, Dia ini masih saja sama seperti dahulu. Pandai sekali berbicara yang tidak masuk akal." Sahut Andressa."Dia itu konyol dan cerdas. sama sekali seperti dirimu sobatku, ckckck…" Ucap Reylan.Mike dan Veve pun, terlihat sedikit menahan tawa dan terdengar berkata,"Pacarku, teman kamu ini sungguh sungguh unik, ya! Hahaha…" Ujar Veve."Begitulah, Aslan. Ternyata dia masih saja tetap sama seperti dahulu, hahaha…" Sahut Mike.&nbs
"Kenangan Reylan Bagian IX." Masih di dalam sebuah Cafe. Beberapa waktu yang lalu kembali terdengar perdebatan antara mereka. "Cukup, kalian semua diamlah!" Teriak Ayahnya Bos Alex. Mereka semua pun dengan seketika tertunduk diam ketika mendengar teriakan dari ayahnya Bos Alex. "Tuan, baiklah kami akan melakukannya." Ucap Ayahnya Bos Alex. Seketika mereka, Bos Alex dan kawan kawan terkejut dengan keputusan tersebut. "Ayah, apa yang telah kamu katakan, kenapa kamu terlalu mengikuti kemauan mereka! biar bagaimanapun kita adalah orang terkaya di kota ini! Tidak cukupkah dengan permintaan maaf kami ini!" Sergah Bos Alex. "Benar, Paman!" Sahut salah satu dari teman Bos Alex, tidak setuju. Dengan cepat wajah Bos Alex, terkena tamparan dari a
"Kenangan Reylan Bagian VIII."Tampak senang dari raut wajah Bos Alex, lalu terdengar beberapa orang bersuara,"Mampus kau! Rasakanlah jika berani berurusan denganku, maka kehancuran yang akan kau terima, bedebah!" Teriak Bos Alex."Hahaha… akhirnya akan mati juga bocah ini, kita lihat saja sehebat apa dia atau hanya mampu membual saja!" Ujar teman Bos Alex."Palingan nanti dia akan merengek dan memohon belas ampun dari kita semua. Namun, semua itu sudah terlambat." Ucap teman Bos Alex, lainnya."Hei, Nak! Kita lihat apakah gayamu itu seimbang dengan kemampuanmu. Kalian semua serang dia sekarang!" Sahut Ayahnya Bos Alex.Dari jauh Reylan melihat Aslan yang sedang dikepung oleh beberapa orang, lalu memberitahu kepada Andressa,"Teman, lihatlah! Disana adikmu sedang dalam masalah." Ucap Reylan kepada Andre
"Kenangan Reylan Bagian VII."Beberapa waktu kemudian.Terlihat dari arah jalanan di luar cafe tersebut, tampak beberapa mobil sedan berdatangan dan keluarlah segerombol orang dari dalam mobil itu, lalu berjalan masuk menuju cafe.Terdengar Andressa bertanya kepada Reylan,"Ada apa ini? Sebenarnya apa yang telah terjadi, hingga banyak sekali orang yang datang ke dalam cafe?" Tanya Andressa, pelan.Reylan dengan wajah sedikit terkejut seperti orang berpikir dia lalu menjawab,"Oh ya, bukankah Aslan, adikmu saat ini juga sedang ada di dalam cafe tersebut, Andressa! Sebaiknya kita segera melihat ke dalam, aku seperti merasa sesuatu hal buruk akan terjadi padanya." Jawab Reylan."Apa maksudmu itu, Teman?" Tanya Andressa, kembali."Sudahlah, sebaiknya kita sekarang cepat bergegas masuk ke dalam
"Kenangan Reylan Bagian VI."Terlihat Aslan, berjalan menuju orang orang yang sedang berdebat itu.Hingga akhirnya dia Aslan, berada di belakang pria besar itu lalu berkata, "Mike."Perlahan pria besar itu pun menoleh ke arah Aslan yang berada di belakang.Dengan mata yang membesar pria itu tampak terlihat terkejut dan berkata, "Aslan!""Hey… apakah kau ini beneran, Aslan?" Teriak Pria besar yang dipanggil Mike itu sambil kedua tangannya menggenggam kedua bahu Aslan."Bodoh… memang kau pikir siapa aku ini! Apakah kamu tidak yakin bahwa aku ini adalah Aslan?" Tanya Aslan."Hahaha… kapan kau kembali, ketua? Sudah lama sekali kita tidak bertemu." Jawab Mike."Sekarang sudah yakin kau, bahwa aku ini adalah Aslan. Hahaha… baru saja aku datang ke kota ini pria bodoh. Oh iya ada apa
"Kenangan Reylan Bagian V."Di Suatu tempat yang ramai.Tampak Aslan, terlihat baru saja datang lalu memarkirkan sepeda motornya di depan cafe.Terlihat Reylan muda bersama Andressa duduk bersama menoleh ke arah Aslan yang berjalan ke arah mereka berdua.Terdengar Aslan berkata,"Maaf, aku terlambat." Ujar Aslan, sambil tersenyum berjalan ke arah Andressa yang langsung berdiri dan menyambutnya."Tidak masalah adikku, selamat datang." Sahut Andressa, langsung berpelukan menyambut Aslan."Perkenalkan ini adalah Eko, teman kecilku waktu di asrama. Namun, kini telah berganti nama setelah bersama keluarga barunya." Ujar Andressa kepada Aslan."Lalu sobatku, perkenalkanlah dia adalah adikku, Aslan." Ucap Andressa, memperkenalkan.Langsung saja terlihat Reylan/Eko mengulurkan salah satu tan
"Kenangan Reylan Bagian IV."Di Tempat yang lain Pria Botak berbadan besar bersama pria berambut dikuncir dan Pria Tampan berdasi sedang mengadakan suatu pertemuan bersama di sebuah Cafe tempat makan yang sangat mewah."Apakah kalian berdua telah mendengar informasinya" Tanya Pria Tampan Berdasi."Apa maksudmu Leon, Apa kau fikir hanya kau saja yang mempunyai mata mata" Ucap Pria berkuncir."Bukan begitu maksud aku Bob" Ucap Pria Tampan Berdasi yang diketahui bernama Leon."Lalu apa maksudmu" Ucap Pria berkuncir yang telah diketahui bernama Bob."Sudahlah kalian selalu saja bertengkar dengan hal kecil, Apakah kalian telah lupa dengan pesan ketua selama ini coba untuk kali ini saja kita kita meributkan hal kecil seperti itu" Ucap Pria Botak berbadan besar yang bernama Doski.Tampak Bob dan Leon terdiam tanda paham dengan apa
"Kenangan Reylan Bagian III."Di dalam ruangan rumah Arman, keadaan masih terlihat tegang.Terlihat Reylan, kembali tersadar. Kemudian terdengar suara orang berbicara,"Apa maksudmu! Jangan kamu membawa terus menerus nama, Tuan Muda Omega!" Teriak Kira, membentak Irin."Benar, itu lain urusannya! Beginikah balasanmu untuk keluarga yang telah membesarkanmu! Dasar wanita tidak tahu diuntung!" Sahut Mike."Bukan begitu, bibi. Aku bukan bermaksud melawanmu atau kalian semua. Hanya saja, aku berpikir ini adalah masalahku sendiri. Tak layak, jika kalian semua terus saja selalu mencampuri kehidupanku dengan Dante!" Jawab Irin."Apa! Kamu bilang kami, mencampuri hidupmu dan Dante. Suami bodoh yang sudah mencoreng nama baik keluarga besar kita ini!" Ujar Kira, kembali melanjutkan."Apakah kamu pikir, kami semua melakukan ini semata-m