Harap bijak dalam membaca chapter ini, ya.
Happy reading~
***
Keenan mengunci pintu besi itu dan melihat Gladys yang mulai ketakutan melihat tempat ini. Dia menyeringai puas, ini lah akibatnya jika Gladys sering melawan pada Keenan. Namun di satu sisi, dia merasa senang akhirnya bisa membawa Gladys ke tempat ini.
“Keenan, tempat apa ini?” tanya Gladys gemetar, matanya menatap sekeliling ruangan.
Ruangan ini hampir mirip dengan tempat pertama kali sang gadis di sekap. Tapi … tempat ini lebih terlihat menyeramkan. Di pojok ruangan, dia melihat sebuah ranjang. Selain itu terdapat peralatan aneh yang menggantung di dinding ruangan itu. Gladys menyipitkan matanya, mencoba menatap ke arah benda aneh itu. Oh, Tuhan! Apa itu? Kenapa ada ... ah, Gladys tak sanggup untuk melihatnya lagi. Buru-buru dia memejamkan matanya.
Keenan tak menjawab, dia menghampiri Gladys dengan membawa beberapa tali berwarna mer
Karena terlalu asyik dengan tubuh Gladys, sampai-sampai dia melupakan satu hal yang penting. Padahal Keenan tak melakukan aktivitas di atas ranjang bersama Gladys, tapi tubuhnya itu memang membuat Keenan candu. Sayangnya Keenan harus meninggalkan karya seni yang baru saja dia buat itu. Agak sedikit kesal, tapi tamunya ini sangat penting dan tak mungkin dia lewatkan begitu saja.Suara hentakan sepatu pantofel yang sedang dikenakan oleh Keenan mendominasi ruangan besar dan kosong itu. Dia baru saja masuk ke sebuah ruangan yang tepat berada di depan ruang Gladys berada. Terdapat dua orang laki-laki di sana. Satu orang berdiri dengan mengenakan kemeja berwarna hitam. Sedangkan yang satunya lagi sedang berlutut dengan posisi tangan terikat dan kepala tertutup kain.“Selamat siang, Mas. Maafkan jika saya mengganggu Anda,” ucap laki-laki yang sedang berdiri itu dengan rasa tak enak.Keenan tersenyum sungging sambil mengibaskan tangannya. Laki-laki itu hanya
Gladys membuka matanya secara perlahan. Dengan pandangannya yang masih kabur, dia berusaha memindai sekelilingnya. Tempat yang terasa asing baginya. Kemudian dia mendapati seseorang tertidur tepat di tepi ranjang.“Keenan?” gumam Gladys, saat dia yakin orang yang tidur di sampingnya itu adalah laki-laki yang tadi mengikatnya dengan tak berperasaan.Seketika hati Gladys bergejolak panas. Dia masih tidak terima dengan perlakuan Keenan padanya. Ingin rasanya menikam laki-laki ini sekarang juga. Tapi … Gladys tak mempunyai keberanian untuk menyakiti seseorang.Gadis itu masih memandangi wajah Keenan yang masih tertidur. Ternyata laki-laki bengis itu sangat polos ketika tertidur. Sungguh, jika orang yang tidak tahu bagaimana tabiat Keenan aslinya, pasti akan mengira bahwa laki-laki ini adalah laki-laki yang hangat dan baik.Untuk sepersekian detik Gladys pun terpesona dengan visul Keenan. Kulit wajah Keenan terlihat sangat terawat untuk ukur
“Ah, sial!” gerutu Gladys sambil mengacak rambutnya. Perasaannya kini tak tenang, mungkin lebih tepatnya dia sedang merasa ketakutan.Sekarang sudah pukul delapan, tapi Keenan tak kunjung datang ke rumah sakit. Gladys ingat betul, tadi Keenan bilang akan pulang sebentar ke rumah. Tapi … sekarang sudah hampir tiga jam dan dia belum juga datang ke rumah sakit.Eh, sebentar. Kenapa Gladys mengharapkan kedatangan Keenan? Padahal bagus bukan jika laki-laki itu tidak ada di dekatnya. Mengingat perlakuan Keenan padanya hari ini cukup membuatnya terkejut. Selama 23 tahun hidupnya, dia belum pernah dipermalukan seperti tadi.Tapi … entah kenapa disaat seperti ini Gladys mengharapkan Keenan ada di sampingnya. Apalagi saat tadi laki-laki itu meminta maaf padanya. Hati Gladys terasa hangat mendengar satu kata maaf yang keluar dari mulut laki-laki berengsek itu. Kata maaf yang terdengar sangat tulus walau terkesan malu-malu. Dan Gladys, bisa merasak
“Sedang apa kamu di sini?” tanya Keenan pada laki-laki yang sedang bersama dengan Gladys. “Menemani Gladys. Tadi dia meneleponku dan meminta untuk menemaninya,” ucap laki-laki itu santai. Keenan melirik ke arah Gladys, seolah meminta penjelasan dari gadis itu. Gladys tersentak ketika ditatap dingin oleh Keenan. “Anu … aku menelepon Mas Erza soalnya kamu tidak mengangkat teleponku,” ucap Gladys sedikit ragu. “Benarkan? Dia yang menelponku, tenang saja aku tidak macam-macam padanya kok,” timpal Erza. “Kenapa kamu tidak sabar menungguku datang?” Keenan kini sudah berdiri di depan Gladys dan Erza yang sedang duduk di sofa. Perasaannya sedikit kesal ketika mendapati Gladys bersama dengan laki-laki lain. Walaupun gadis itu bersama dengan sahabatnya yang sudah dia percaya. “Karena aku terlalu takut sendirian di sini. Dan bayangkan kalau aku menunggumu? Kamu baru datang jam segini, yang ada aku keburu mati ketakutan,” dengus Gladys kesal
Gladys sedang merapikan barangnya, hari ini dia sudah diizinkan pulang oleh dokter. Antara senang dan tidak, itu lah yang sedang dirasakan Gladys sekarang. Senang, karena dia bisa pulang dan melanjutkan aktivitas seperti biasa. Tidak, karena … itu adalah rumah Keenan.Tiba-tiba saja dia mengingat kembali obrolan dengan Erza malam itu. Laki-laki itu berpesan kepada Gladys untuk sabar menghadapi Keenan. Dia juga berpesan, sebisa mungkin Gladys harus bisa membuat Keenan merubah pandangannya tentang perempuan. Tapi entah kenapa Gladys tak yakin bisa melakukan hal itu.“Sudah berkemas?”Gladys tersentak dan langsung menoleh ke belakang. Lalu dia mendapati sang dokter yang datang ke ruangannya. Di belakang dokter itu berdiri laki-laki yang dia kenal.“Sudah, Dok,” ucap Gladys sambil mengangukkan kepalanya. Dia melirikkan matanya pada Keenan. Syukurlah, sepertinya mood laki-laki itu sedang baik.“Baiklah kalau begitu,
Maaf. Satu kata yang sangat jarang keluar dari mulut Keenan. Dia merasa muak ketika harus mengucapkan kata tersebut. Alasannya, karena sedari kecil dia selalu mengeluarkan kata maaf hampir setiap hari. Padahal dia tak pernah melakukan sebuah kesalahan, tapi dia harus berkata demikian jika sang ibu mulai memarahinya.Namun hari itu, entah kenapa Keenan bisa mengucapkan kata terlarang tersebut, pada gadis yang beberapa bulan ini jadi objek pemuas hobi gilanya. Dia sendiri sempat berpikir apa dirinya gila? Tapi saat melihat kondisi Gladys yang pingsan dan tak berdaya, dia merasa bahwa perlakuannya ini salah. Dan sudah saatnya dia mengucapkan satu kata yang sudah lama tidak dia katakan.“Ekhm … kamu sudah selesai?” tanya Keenan sedikit salah tingkah. Dia mencoba menutupi rasa senangnya, karena Gladys sudah mau memaafkannya.“Eh?” Gladys terheran. “Selesai apa?”“Sarapan,” jawab Keenan sekenanya.Gl
Sudah lebih dari satu bulan Gladys harus menjalani kehidupan wajib lapor setiap saat pada Keenan. Awalnya memang terasa berat, tapi lama kelamaan dia terbiasa. Lagi pu;a apa sih kegiatan Gladys? Setiap harinya saja Gladys harus berada di sisi Keenan. Bahkan saat ada tugas ke Bandung untuk mengontrol projek kerjasama, Gladys pun diwajibkan ikut.Tapi sudah satu bulan juga Keenan tak melakukan hal aneh pada Gladys. Jika diperhatikan lagi, laki-laki itu bisa sedikit lebih baik pada Gladys. Semoga saja sikapnya berubah dan selalu seperti ini. Gladys pun akan sebisa mungkin untuk tidak membuat laki-laki itu marah.“Mas Erza, ini apa?” tanya Gladys yang melihat sepucuk undangan di meja kerjanya.“Oh itu undangan untukmu. Minggu depan ada pesta ulang tahun Pak Adrian, mantan CEO perusahaan ini,” jawab Erza.“Pak Adrian? Ayahnya Mas Aidan? Berarti Pamannya Mas Keenan?”Erza menjentikkan jarinya. “Iya. Acaranya ming
Satu tamparan keras mendarat di pipi laki-laki bermanik hitam. Saking keras tamparan itu, suaranya sampai menggema di ruang kerjanya. Pipi laki-laki itu kini terasa panas. Dia meraba pipi yang baru saja mendapatkan tamparan dari gadis yang sedang berdiri dengan menatap tajam ke arahnya.Keenan membuka mulut dan mengetatkan rahang. Beraninya gadis itu menampar keras pipi mlusnya. Sampai pipinya itu kini terdapat cap lima jari dari perempuan itu.“Jangan pernah menghina ibuku! Aku tak akan segan membunuhmu, kalau kamu berani menghina ibuku lagi!” ancam Gladys yang matanya membara, seolah ada api yang berkobar pada tatapan matanya itu. Kemudian perempuan itu pergi meninggalkan ruang kerja Keenan.“Gladys! Diam di tempat!” teriak Keenan. Namun sayang, Gladys benar-benar tak menghiraukannya. Gadis itu membukakan pintu ruang kerja Keenan dan membantingnya dengan keras.“Oh, shit!” umpat Keenan sambil meninju ke bawah dengan k
Delapan belas tahun kemudian.... “Raynald. Selamat atas kelulusanmu, ya,” ucap Gladys pada anak pertamanya itu. Raynald Setyawardhana, anak pertama Gladys dan Keenan itu baru saja melangsungkan kelulusannya di bangku SMA. Walau sebenarnya Raynald berstatus anak angkat, tapi Keenan tak keberatan untuk memberikan nama keluarganya pada Raynald. “Terima kasih, Ma,” balas Raynald. Kemudian dia melihat ke arah ayahnya yang sedang berdiri di samping ibunya. “Hebat. Terima kasih sudah terus berusaha untuk menjadi yang terbaik,” puji Keenan pada Raynald. Gladys dan Keenan benar-benar menyanyangi Raynald seperti anak mereka sendiri. Karena bagaimanapun juga, mereka bisa merasakan perasaan terbuang seperti apa. Jadi, sebisa mungkin mereka selalu memberikan kasih sayang pada Raynald. Mereka pun sengaja tidak memberitahukan siapa Raynald sebenarnya. Karena mereka tidak ingin kehilangan anak laki-lakinya itu. “Rayna ke mana?” tanya Raynald.
“Neng Gladys!” panggil Bi Iyah. Gladys yang sedang membaca buku itu pun menoleh ka arah belakang. “Kenapa, Bi?” tanya Gladys. Bi Iyah menghampiri Gladys. Wajahnya itu terlihat sedang kebingungan. “Neng, ikut dulu sama Bibi, yuk!” pintanya. Tak ingin banyak bertanya, Gladys menutup buku dan menyimpannya di atas meja. Kemudian dia beranjak dan mengikuti Bi Iyah. Mereka keluar rumah dan menuju pos penjaga. “Ada apa?” tanya Gladys lagi. Bi Iyah memberikan kode pada dua orang penjaga. Para penjaga itu juga nampak kebingungan. “Ja-jadi gini, Bu,” ucap seorang penjaga yang bernama Beni. “Tadi saya menemukan ini di depan gerbang.” Beni memperlihatkan sebuah keranjang yang sedari tadi dia sembunyikan di belakang badannya. Gladys mengerutkan alisnya. Kemudian dia melangkah dan mendekat untuk melihat isi dari keranjang itu. Terlihat ada kain yang membungkus sesuatu. Saat Gladys mencoba menyingkap sebagian kain itu, matanya seketik
“ Gladys,” panggil Keenan.Gladys yang sedang melakukan perawatan malam pada wajahnya itu langsung menoleh ke arah Keenan. Suaminya itu sedang menyandarkan punggungnya pada sandaran kasur sembari memegang tablet miliknya.“Kenapa?” tanya Gladys.“Kalau udah selesai ke sini. Ada yang ingin aku bicarakan,” ucapnya dengan nada serius.Gladys mengangukkan kepalanya, lalu dia segera menyelesaikan pekerjaannya. Setelah selesai, Gladys langsung menghampiri Keenan, dan duduk bersandar di samping sang suami.“Ada apa?” tanya Gladys. Dia melihat keseriusan dari wajah laki-laki itu.Keenan langsung mendekatkan dirinya pada Gladys. Kemudian melingkarkan tangannya pada perut sang istri. Memeluk Gladys dengan penuh kehangatan.“Kalau aku minta kamu berhenti kerja, gimana?” tanya Keenan pada istrinya itu.Gladys langsung menoleh ke arah Keenan dengan eskpresi terkejut. “Loh, ke
WARNING CONTENT!Harap bijak dalam membaca~Happy reading~***Melihat Gladys benar-benar ketakutan, Keenan tiba-tiba tertawa. “Hahaha. Kamu masih takut?” tanya Keenan. Dia memundurkan sedikit tubuhnya.Gladys hanya diam, dia merasa bingung. Tidak boleh lega dulu, karena Keenan sering sekali berubah suasana hati.Keenan melirik ke arah Gladys yang masih terlihat tegang. Dia kemudian tertawa lagi, sungguh lucu sekali wajah ketakutan istrinya itu. Kemudian dia langsung mengelus puncak kepala Gladys.“Nggak, Sayang. Aku cuman bercanda. Aku sekarang udah nggak mau melakukan hal itu sama kamu,” ucap Keenan.“Bercanda?” tanya Gladys. Dia masih mencoba meyakinkan dirinya terlebih dahulu.Anggukkan kecil menjadi jawaban dari Keenan untuk pertanyaan Gladys. “Iya, bercanda. Aku nggak akan pecat Reza atau menghukum kamu. Aku cuman bercanda,” terangnya.“Bene
“Kenapa kamu repot-repot bawa aku ke sini, sih?” tanya Gladys. Kini Gladys dan Keenan sedang duduk di teras hotel yang mereka tempati. Sembari menikmati sunrise di Maladewa.“Kenapa memangnya?” tanya Keenan. Dia sedang mengalungkan tangannya di pundak Gladys. Duduk di belakang istrinya sembari memeluknya lembut.“Maksudnya Bali juga sudah cukup. Kita nggak usah jauh-jauh ke sini,” ucap Gladys.Keenan menggeleng. “Aku bosen sama Bali, Sayang. Sekali-kali kita main-main di luar negeri tidak masalah, kan?” Keenan meletakkan dagunya di pundak Gladys.Gadis itu menarik sudut bibirnya. “Aku jadi nggak enak. Padahal kerjaanmu lagi banyak banget.”“Ssst! Jangan bilang begitu. Sudah jadi kewajibanku buat membahagiakanmu. Apa pun pasti aku lakukan, Gladys. Dan aku juga ingin menebus semua kesalahanku padamu.”“Ssst!” Gladys menempelkan telunjuknya pada bibir Keenan. &l
“Keenan, kalau kamu sibuk, nggak usah repot-repot harus ke luar negeri gini,” ucap Gladys. Dia sedang sibuk mengemas barang-barang pribadi miliknya dan Keenan ke dalam koper.Laki-laki itu mendekat pada istrinya. Kemudian dia melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Gladys, memeluk sang istri dari belakang.“Aku nggak sibuk, Sayang. Lagi pula kita kan belum berbulan madu,” timpal Keenan. Laki-laki itu kini mengecup tengkuk Gladys.Seketika Gladys merasa geli dan menghentikkan aktivitasnya. Dia mencoba melepaskan pelukan Keenan dan kemudian berbalik menatap sang suami.“Kemarin, kan, di Bali udah. Lagian kita udah hampir setengah tahun menikah. Masa masih bahas bulan madu segala.”“Itu bukan bulan madu. Kemarin kita ke Bali sambil kerja. Sekarang aku cuman pengin berdua sama kamu. Nggak ada tuh mikirin yang namanya kerjaan.” Keenan mengusap pipi Gladys lembut.Satu bulan setelah mereka menikah
“Mama?” ucap Keenan. Sedetik kemudian Gladys pun dibuat terkejut dengan sosok perempuan yang sedang bersama Giselle. “Ibu?” katanya. “Halo, Keenan dan Gladys,” sapa Anita sambil tersenyum pada kedua anaknya itu. Buru-buru Keenan dan Gladys menghampiri wanita itu. “Mama sudah dengar, kalau selama ini Anita lah yang merawat Gladys. Terima kasih sekali lagi,” kata Giselle pada Anita. Jujur saja, sebenarnya dulu hubungan mereka tak berjalan baik. Bagaimanapun juga Giselle tak suka ketika dimadu oleh suaminya. “Sama-sama. Terima kasih sudah menjaga anakku juga.” Anita tersenyum dan menundukkan kepalanya. “Tapi kenapa Mama bisa di sini?” Keenan tiba-tiba menyela pembicaraan dua wanita itu. “Sejak kapan Mama Giselle tahu keberadaan Mama?” imbuhnya. “Mama tahu dari Excel, dia benar-benar menceritakan semuanya. Makanya Mama mencoba membawa Mamamu ke sini,” jawab Giselle. “Dan mulai hari ini Anita akan tinggal di sini bersama Mama.” Alis
“Sedang apa kalian di sini?” Seorang laki-laki bertanya dengan penuh rasa kecurigaan. Sontak Gladys mematung di hadapan laki-laki itu. Sedangkan Keenan dia berjalan dengan santai, lantas merangkul Gladys.“Sedang makan siang. Ya … ziarah. Untuk apa bertanya begitu?” timpal Keenan kesal.Laki-laki itu mendengus. “Tumben sekali. Biasanya kamu tidak peduli,” balasnya lagi.“Ngomong-omong, setelah kamu berziarah aku tunggu di tempat parkir. Ada yang harus aku bicarakan,” ucap Keenan. Kemudian dia berlalu meninggalkan laki-laki itu menuju parkiran.Ya! Keenan harus menyelesaikan juga masalah dengan Aidan. Rasanya dia juga harus meminta maaf, walau dia tidak mungkin untuk jujur pada laki-laki itu. Namun, dia harus meminta maaf atas kesalah pahamannya selama ini.Keenan dan Gladys menunggu di dalam mobil. Tak lama kemudian mata Keenan menatap sosok Aidan. Lalu dia keluar dari mobil dan menghampirinya.
Sesuai dengan rencana Keenan, pagi ini mereka berdua; Keenan dan Gladys pergi menuju tempat peristirahatan terakhir Andrean, Adrian, dan juga Nathan. Entah kenapa Gladys merasa senang, karena Keenan sudah menyadari kesalahannya. Untuk orang seperti Keenan, tentu itu adalah suatu hal yang patut diapresiasi dan kalau bisa membuat syukuran.“Loh, kok? Bukannya kita mau ke makam Om Andrean?” tanya Gladys bingung. Pasalnya Keenan kini mengemudikan mobilnya ke arah yang berlawanan.“Udah diem aja. Aku yang pegang kemudi, kamu ikut aja,” timpal Keenan. Gladys pun terdiam, dia tiba-tiba memikirkan hal yang tidak-tidak. Bagaimana jika Keenan berubah pikiran? Laki-laki seperti dia kan tidak bisa ditebak?Namun, saat mobil mereka memasuki sebuah jalanan kecil, Gladys mengerutkan keningnya. Dia mencoba mengintip dari jendela mobil. Jalanan kecil ini seperti akan membawa mereka ke sebuah tempat yang sepi.Benar saja mereka mendatangi sebuah tem