Gladys sedang merapikan barangnya, hari ini dia sudah diizinkan pulang oleh dokter. Antara senang dan tidak, itu lah yang sedang dirasakan Gladys sekarang. Senang, karena dia bisa pulang dan melanjutkan aktivitas seperti biasa. Tidak, karena … itu adalah rumah Keenan.
Tiba-tiba saja dia mengingat kembali obrolan dengan Erza malam itu. Laki-laki itu berpesan kepada Gladys untuk sabar menghadapi Keenan. Dia juga berpesan, sebisa mungkin Gladys harus bisa membuat Keenan merubah pandangannya tentang perempuan. Tapi entah kenapa Gladys tak yakin bisa melakukan hal itu.
“Sudah berkemas?”
Gladys tersentak dan langsung menoleh ke belakang. Lalu dia mendapati sang dokter yang datang ke ruangannya. Di belakang dokter itu berdiri laki-laki yang dia kenal.
“Sudah, Dok,” ucap Gladys sambil mengangukkan kepalanya. Dia melirikkan matanya pada Keenan. Syukurlah, sepertinya mood laki-laki itu sedang baik.
“Baiklah kalau begitu,
Maaf. Satu kata yang sangat jarang keluar dari mulut Keenan. Dia merasa muak ketika harus mengucapkan kata tersebut. Alasannya, karena sedari kecil dia selalu mengeluarkan kata maaf hampir setiap hari. Padahal dia tak pernah melakukan sebuah kesalahan, tapi dia harus berkata demikian jika sang ibu mulai memarahinya.Namun hari itu, entah kenapa Keenan bisa mengucapkan kata terlarang tersebut, pada gadis yang beberapa bulan ini jadi objek pemuas hobi gilanya. Dia sendiri sempat berpikir apa dirinya gila? Tapi saat melihat kondisi Gladys yang pingsan dan tak berdaya, dia merasa bahwa perlakuannya ini salah. Dan sudah saatnya dia mengucapkan satu kata yang sudah lama tidak dia katakan.“Ekhm … kamu sudah selesai?” tanya Keenan sedikit salah tingkah. Dia mencoba menutupi rasa senangnya, karena Gladys sudah mau memaafkannya.“Eh?” Gladys terheran. “Selesai apa?”“Sarapan,” jawab Keenan sekenanya.Gl
Sudah lebih dari satu bulan Gladys harus menjalani kehidupan wajib lapor setiap saat pada Keenan. Awalnya memang terasa berat, tapi lama kelamaan dia terbiasa. Lagi pu;a apa sih kegiatan Gladys? Setiap harinya saja Gladys harus berada di sisi Keenan. Bahkan saat ada tugas ke Bandung untuk mengontrol projek kerjasama, Gladys pun diwajibkan ikut.Tapi sudah satu bulan juga Keenan tak melakukan hal aneh pada Gladys. Jika diperhatikan lagi, laki-laki itu bisa sedikit lebih baik pada Gladys. Semoga saja sikapnya berubah dan selalu seperti ini. Gladys pun akan sebisa mungkin untuk tidak membuat laki-laki itu marah.“Mas Erza, ini apa?” tanya Gladys yang melihat sepucuk undangan di meja kerjanya.“Oh itu undangan untukmu. Minggu depan ada pesta ulang tahun Pak Adrian, mantan CEO perusahaan ini,” jawab Erza.“Pak Adrian? Ayahnya Mas Aidan? Berarti Pamannya Mas Keenan?”Erza menjentikkan jarinya. “Iya. Acaranya ming
Satu tamparan keras mendarat di pipi laki-laki bermanik hitam. Saking keras tamparan itu, suaranya sampai menggema di ruang kerjanya. Pipi laki-laki itu kini terasa panas. Dia meraba pipi yang baru saja mendapatkan tamparan dari gadis yang sedang berdiri dengan menatap tajam ke arahnya.Keenan membuka mulut dan mengetatkan rahang. Beraninya gadis itu menampar keras pipi mlusnya. Sampai pipinya itu kini terdapat cap lima jari dari perempuan itu.“Jangan pernah menghina ibuku! Aku tak akan segan membunuhmu, kalau kamu berani menghina ibuku lagi!” ancam Gladys yang matanya membara, seolah ada api yang berkobar pada tatapan matanya itu. Kemudian perempuan itu pergi meninggalkan ruang kerja Keenan.“Gladys! Diam di tempat!” teriak Keenan. Namun sayang, Gladys benar-benar tak menghiraukannya. Gadis itu membukakan pintu ruang kerja Keenan dan membantingnya dengan keras.“Oh, shit!” umpat Keenan sambil meninju ke bawah dengan k
Untung Aidan datang diwaktu yang tepat. Jika tidak, mungkin gadis yang sedang dirangkul olehnya ini sudah terjatuh. Di tatapnya wajah gadis yang sampai saat ini masih menjadi penghuni di hatinya. Gadis itu nampak pucat, dan tatapan matanya pun lemah.“Gladys, are you ok?” tanya Aidan khawatir.Gadis itu balas menatap Aidan dengan tatapan lemahnya. Mereka bertatapan selama beberapa detik. Sampai akhirnya sang gadis tersadar dan mencoba berdiri melepaskan rangkulan Aidan.“Ah, Maaf. Aku baik-baik saja,” jawab Gladys lemah. Dia berbohong. Gladys sedang tidak baik-baik saja, kepalanya masih pusing dan kakinya masih terasa lemah untuk menopang badannya yang kecil itu.“Sepertinya kamu sedang tidak baik-baik, saja. Biar ku bantu duduk di sana,” ucap Aidan khawatir. Laki-laki itu tidak bisa dibohongi, dia sudah mengenal Gladys beberapa tahun.“Nggak papa, aku bisa sendiri, Aidan,” timpal Gladys yang tak ingi
“Gladys, kenapa?” tanya Erza yang langsung menghampiri Gladys.Gladys mengangkat tangannya, memberikan isyarat bahwa dia baik-baik saja. “Aku tidak apa-apa,” jawabnya yang kemudian menggelengkan kepalanya. Mencoba untuk menahan rasa sakitnya. Setidaknya ini tidak sesakit tadi, jadi Gladys masih bisa menahannya.“Serius?” Erza mencoba memastikan.Gladys mengangguk sambil tersenyum. “Iya. Maaf membuat Mas Erza khawatir,” ucap Gladys.“Kamu duduk saja. Sepertinya kamu terlalu lelah bekerja.” Tiba-tiba saja laki-laki berjas abu-abu itu berucap pada Gladys.Gladys tersenyum menyapa laki-laki itu. “Ah, iya, Pak. Mohon maaf atas ketidak nyamanannya,” ucap Gladys merasa tak enak pada laki-laki itu.Jika dilihat dari penampilannya yang sangat rapi, pasti laki-laki itu adalah tamu penting atasannya. Apalagi dia datang bersama dengan Erza. Tapi siapa?“Tadi siapa namam
“Pak Tony, kita kembali saja,” ucap Keenan pada supirnya, mereka berdua sedang dalam perjalanan menuju tempat pertemuan.“Eh? Kembali ke rumah maksudnya, Mas?” tanya Pak Tony sambil melirik pada kaca spion yang ada di atas.“Iya.”“Tapi acara Mas Keenan bagaimana?”“Tidak usah banyak bicara. Saya bilang kembali ke rumah!” sentak Keenan yang tak suka jika perintahnya tak segera dilakukan.Pak Tony tersentak, dia mengangguk pelan sambil menelan salivanya kasar. “Ba-baik, Mas. Mohon maaf.” Seketika Pak Tony langsung membanting kemudinya dan putar arah.Pikiran Keenan sekarang tidak tenang. Rasa gelisah menjalar dalam dirinya. Dia mengkhawatirkan kondisi Gladys. Tadi gadis itu terlihat sangat pucat sekali. Dari pada nanti dia menyesal, jadi Keenan memutuskan untuk membatalkan agendanya malam ini.Saat mobil milik Keenan sampai di beranda rumahnya, buru-buru laki
“Ini untukmu,” kata Keenan sambil memberikan dua buah jinjingan berwarna putih pada Gladys.Gladys melirik ke arah Keenan dengan tatapan sinis. ‘Apa ini? Hadiah?’ Gladys mendengus kesal. Untuk apa laki-laki itu repot-repot memberikan dua buah totebag yang sepertinya berisi barang mewah.“Kenapa kamu menatapku seperti itu? Dasar perempuan tidak tahu terima kasih!” Keenan menyindir.“Terima kasih, tapi aku tidak butuh!” timpal Gladys yang kemudian pergi dari ruang makan dan hendak kembali ke kamarnya. Dia baru saja menyelesaikan makan malamnya.“Kamu akan membutuhkannya,” sergah Keenan.Gladys berdecih dan tak menghiraukan Keenan. Namun tangan laki-laki itu menarik bahu Gladys, sehingga membuat gadis itu berbalik ke arahnya.“Aku bilang kamu akan membutuhkannya!” Keenan menegaskan lagi kalimatnya barusan.“Untuk apa? Aku tidak butuh barang mewah darimu. Itu ak
“Selamat datang, Keenan,” sambut Adrian saat melihat keponakan kesayangannya itu datang. “Dan selamat datang, Gladys,” imbuhnya sambil melihat ke arah gadis berbalut dress berwarna lilac.“Selamat malam, Pak Adrian,” ucap Gladys sambil memberikan senyuman manisnya.“Kamu cantik. Kamu mirip seseorang yang ku kenal,” celetuk Adrian.“Eh, siapa Pak?” tanya Gladys penasaran.Keenan berdecih. “Tidak usah menggoda sekretarisku, Om. Dasar anak dan bapak sama saja,” sindir Keenan kesal.Gladys langsung menyikut Keenan. Sungguh tidak sopan berkata demikian pada orang yang jauh lebih tua. Terlebih itu adalah anggota keluarganya sendiri.“Hahaha.” Adrian tertawa ketika mendengar sindiran yang dilayakan Keenan untuknya. “Tenang saja, aku tidak akan merekrut dia untuk jadi asistenku, Keenan. Tapi mungkin, aku bisa merekrut dia menjadi calon menantuku,” tambah
Delapan belas tahun kemudian.... “Raynald. Selamat atas kelulusanmu, ya,” ucap Gladys pada anak pertamanya itu. Raynald Setyawardhana, anak pertama Gladys dan Keenan itu baru saja melangsungkan kelulusannya di bangku SMA. Walau sebenarnya Raynald berstatus anak angkat, tapi Keenan tak keberatan untuk memberikan nama keluarganya pada Raynald. “Terima kasih, Ma,” balas Raynald. Kemudian dia melihat ke arah ayahnya yang sedang berdiri di samping ibunya. “Hebat. Terima kasih sudah terus berusaha untuk menjadi yang terbaik,” puji Keenan pada Raynald. Gladys dan Keenan benar-benar menyanyangi Raynald seperti anak mereka sendiri. Karena bagaimanapun juga, mereka bisa merasakan perasaan terbuang seperti apa. Jadi, sebisa mungkin mereka selalu memberikan kasih sayang pada Raynald. Mereka pun sengaja tidak memberitahukan siapa Raynald sebenarnya. Karena mereka tidak ingin kehilangan anak laki-lakinya itu. “Rayna ke mana?” tanya Raynald.
“Neng Gladys!” panggil Bi Iyah. Gladys yang sedang membaca buku itu pun menoleh ka arah belakang. “Kenapa, Bi?” tanya Gladys. Bi Iyah menghampiri Gladys. Wajahnya itu terlihat sedang kebingungan. “Neng, ikut dulu sama Bibi, yuk!” pintanya. Tak ingin banyak bertanya, Gladys menutup buku dan menyimpannya di atas meja. Kemudian dia beranjak dan mengikuti Bi Iyah. Mereka keluar rumah dan menuju pos penjaga. “Ada apa?” tanya Gladys lagi. Bi Iyah memberikan kode pada dua orang penjaga. Para penjaga itu juga nampak kebingungan. “Ja-jadi gini, Bu,” ucap seorang penjaga yang bernama Beni. “Tadi saya menemukan ini di depan gerbang.” Beni memperlihatkan sebuah keranjang yang sedari tadi dia sembunyikan di belakang badannya. Gladys mengerutkan alisnya. Kemudian dia melangkah dan mendekat untuk melihat isi dari keranjang itu. Terlihat ada kain yang membungkus sesuatu. Saat Gladys mencoba menyingkap sebagian kain itu, matanya seketik
“ Gladys,” panggil Keenan.Gladys yang sedang melakukan perawatan malam pada wajahnya itu langsung menoleh ke arah Keenan. Suaminya itu sedang menyandarkan punggungnya pada sandaran kasur sembari memegang tablet miliknya.“Kenapa?” tanya Gladys.“Kalau udah selesai ke sini. Ada yang ingin aku bicarakan,” ucapnya dengan nada serius.Gladys mengangukkan kepalanya, lalu dia segera menyelesaikan pekerjaannya. Setelah selesai, Gladys langsung menghampiri Keenan, dan duduk bersandar di samping sang suami.“Ada apa?” tanya Gladys. Dia melihat keseriusan dari wajah laki-laki itu.Keenan langsung mendekatkan dirinya pada Gladys. Kemudian melingkarkan tangannya pada perut sang istri. Memeluk Gladys dengan penuh kehangatan.“Kalau aku minta kamu berhenti kerja, gimana?” tanya Keenan pada istrinya itu.Gladys langsung menoleh ke arah Keenan dengan eskpresi terkejut. “Loh, ke
WARNING CONTENT!Harap bijak dalam membaca~Happy reading~***Melihat Gladys benar-benar ketakutan, Keenan tiba-tiba tertawa. “Hahaha. Kamu masih takut?” tanya Keenan. Dia memundurkan sedikit tubuhnya.Gladys hanya diam, dia merasa bingung. Tidak boleh lega dulu, karena Keenan sering sekali berubah suasana hati.Keenan melirik ke arah Gladys yang masih terlihat tegang. Dia kemudian tertawa lagi, sungguh lucu sekali wajah ketakutan istrinya itu. Kemudian dia langsung mengelus puncak kepala Gladys.“Nggak, Sayang. Aku cuman bercanda. Aku sekarang udah nggak mau melakukan hal itu sama kamu,” ucap Keenan.“Bercanda?” tanya Gladys. Dia masih mencoba meyakinkan dirinya terlebih dahulu.Anggukkan kecil menjadi jawaban dari Keenan untuk pertanyaan Gladys. “Iya, bercanda. Aku nggak akan pecat Reza atau menghukum kamu. Aku cuman bercanda,” terangnya.“Bene
“Kenapa kamu repot-repot bawa aku ke sini, sih?” tanya Gladys. Kini Gladys dan Keenan sedang duduk di teras hotel yang mereka tempati. Sembari menikmati sunrise di Maladewa.“Kenapa memangnya?” tanya Keenan. Dia sedang mengalungkan tangannya di pundak Gladys. Duduk di belakang istrinya sembari memeluknya lembut.“Maksudnya Bali juga sudah cukup. Kita nggak usah jauh-jauh ke sini,” ucap Gladys.Keenan menggeleng. “Aku bosen sama Bali, Sayang. Sekali-kali kita main-main di luar negeri tidak masalah, kan?” Keenan meletakkan dagunya di pundak Gladys.Gadis itu menarik sudut bibirnya. “Aku jadi nggak enak. Padahal kerjaanmu lagi banyak banget.”“Ssst! Jangan bilang begitu. Sudah jadi kewajibanku buat membahagiakanmu. Apa pun pasti aku lakukan, Gladys. Dan aku juga ingin menebus semua kesalahanku padamu.”“Ssst!” Gladys menempelkan telunjuknya pada bibir Keenan. &l
“Keenan, kalau kamu sibuk, nggak usah repot-repot harus ke luar negeri gini,” ucap Gladys. Dia sedang sibuk mengemas barang-barang pribadi miliknya dan Keenan ke dalam koper.Laki-laki itu mendekat pada istrinya. Kemudian dia melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Gladys, memeluk sang istri dari belakang.“Aku nggak sibuk, Sayang. Lagi pula kita kan belum berbulan madu,” timpal Keenan. Laki-laki itu kini mengecup tengkuk Gladys.Seketika Gladys merasa geli dan menghentikkan aktivitasnya. Dia mencoba melepaskan pelukan Keenan dan kemudian berbalik menatap sang suami.“Kemarin, kan, di Bali udah. Lagian kita udah hampir setengah tahun menikah. Masa masih bahas bulan madu segala.”“Itu bukan bulan madu. Kemarin kita ke Bali sambil kerja. Sekarang aku cuman pengin berdua sama kamu. Nggak ada tuh mikirin yang namanya kerjaan.” Keenan mengusap pipi Gladys lembut.Satu bulan setelah mereka menikah
“Mama?” ucap Keenan. Sedetik kemudian Gladys pun dibuat terkejut dengan sosok perempuan yang sedang bersama Giselle. “Ibu?” katanya. “Halo, Keenan dan Gladys,” sapa Anita sambil tersenyum pada kedua anaknya itu. Buru-buru Keenan dan Gladys menghampiri wanita itu. “Mama sudah dengar, kalau selama ini Anita lah yang merawat Gladys. Terima kasih sekali lagi,” kata Giselle pada Anita. Jujur saja, sebenarnya dulu hubungan mereka tak berjalan baik. Bagaimanapun juga Giselle tak suka ketika dimadu oleh suaminya. “Sama-sama. Terima kasih sudah menjaga anakku juga.” Anita tersenyum dan menundukkan kepalanya. “Tapi kenapa Mama bisa di sini?” Keenan tiba-tiba menyela pembicaraan dua wanita itu. “Sejak kapan Mama Giselle tahu keberadaan Mama?” imbuhnya. “Mama tahu dari Excel, dia benar-benar menceritakan semuanya. Makanya Mama mencoba membawa Mamamu ke sini,” jawab Giselle. “Dan mulai hari ini Anita akan tinggal di sini bersama Mama.” Alis
“Sedang apa kalian di sini?” Seorang laki-laki bertanya dengan penuh rasa kecurigaan. Sontak Gladys mematung di hadapan laki-laki itu. Sedangkan Keenan dia berjalan dengan santai, lantas merangkul Gladys.“Sedang makan siang. Ya … ziarah. Untuk apa bertanya begitu?” timpal Keenan kesal.Laki-laki itu mendengus. “Tumben sekali. Biasanya kamu tidak peduli,” balasnya lagi.“Ngomong-omong, setelah kamu berziarah aku tunggu di tempat parkir. Ada yang harus aku bicarakan,” ucap Keenan. Kemudian dia berlalu meninggalkan laki-laki itu menuju parkiran.Ya! Keenan harus menyelesaikan juga masalah dengan Aidan. Rasanya dia juga harus meminta maaf, walau dia tidak mungkin untuk jujur pada laki-laki itu. Namun, dia harus meminta maaf atas kesalah pahamannya selama ini.Keenan dan Gladys menunggu di dalam mobil. Tak lama kemudian mata Keenan menatap sosok Aidan. Lalu dia keluar dari mobil dan menghampirinya.
Sesuai dengan rencana Keenan, pagi ini mereka berdua; Keenan dan Gladys pergi menuju tempat peristirahatan terakhir Andrean, Adrian, dan juga Nathan. Entah kenapa Gladys merasa senang, karena Keenan sudah menyadari kesalahannya. Untuk orang seperti Keenan, tentu itu adalah suatu hal yang patut diapresiasi dan kalau bisa membuat syukuran.“Loh, kok? Bukannya kita mau ke makam Om Andrean?” tanya Gladys bingung. Pasalnya Keenan kini mengemudikan mobilnya ke arah yang berlawanan.“Udah diem aja. Aku yang pegang kemudi, kamu ikut aja,” timpal Keenan. Gladys pun terdiam, dia tiba-tiba memikirkan hal yang tidak-tidak. Bagaimana jika Keenan berubah pikiran? Laki-laki seperti dia kan tidak bisa ditebak?Namun, saat mobil mereka memasuki sebuah jalanan kecil, Gladys mengerutkan keningnya. Dia mencoba mengintip dari jendela mobil. Jalanan kecil ini seperti akan membawa mereka ke sebuah tempat yang sepi.Benar saja mereka mendatangi sebuah tem