Harap bijak dalam membaca, ya, kak.
Happy reading~
***
“Pakai baju ini!” titah Keenan pada Gladys yang masih mematung dengan mata membelalak.
“U-untuk apa?” tanya Gladys.
“Tidak usah banyak bertanya! Pakai saja, di sini, dan sekarang!” tegas laki-laki itu sambil melempar satu stel pakain kerja yang tadi sore baru Gladys dapatkan dari Keenan.
‘Di sini? Sekarang?’
Glek.
Gladys mengigit bibir bawahnya. Dengan perasaan ragu, dia mencoba mengenakan pakaian tersebut. Gladys masih bisa mencium aroma khas dari pakaian yang masih baru.
“Pakai baju begitu?” cibir Keenan. Dia memprotes aksi Gladys yang sedang mengenakan baju di double. Sungguh polosnya gadis itu. “Buka bajumu, baru kamu pakai pakaian itu!” tekan Keenan sambil berkacak pinggang.
Gladys memejamkan matanya. Kenapa sih laki-laki itu selalu menyuruh Gladys membuka
“Berikan tanganmu! Atau aku akan membuatmu kembali merasakan sakit!”Ancaman Keenan kali ini tidak mempan untuk Gladys. Dia merasa kesal dengan perlakuan Keenan malam ini. Selain itu dia juga kesal pada dirinya sendiri. Bisa-bisanya Gladys menikmati permainan itu.“Aku tidak mau! Aku tidak sudi diobati oleh orang yang sudah menyakitiku!” bantah Gladys.“Jadi kamu mau aku sakiti lagi? Atau kamu mau kita melakukan hal itu lagi?” tanya Keenan dengan sedikit menggoda.Gladys langsung menepis tangan Keenan yang mencoba mengusap pipi gadis itu yang basah. Jujur, tadi Gladys menangis karena meratapi kebodohannya.“Jangan sentuh aku!”“Ck!” Keenan berdecak kesal. Gadis ini mulai berani untuk melawannya. Sontak dia langsung menarik tangan Gladys secara paksa.“Aww!” pekik Gladys.“Diam! Jangan pernah membantah ucapanku. Aku hanya ingin mengobati lukamu,”
Mata Gladys masih memindai baju yang terpajang di butik tersebut. Sungguh baju-baju itu terlihat berkilau di mata Gladys. Mungkin karena efek baju mahal juga bermerk, dan Gladys baru pertama kali melihat barang-barang mewah itu.“Ngapain kamu cuman lihat-lihat? Pilih!” perintah Keenan, yang sepertinya sedari tadi memerhatikan Gladys yang sedang terkagum-kagum.“Eh? Aku harus memilih?” tanya Gladys sungkan.“Iya.”Dengan sedikit ragu Gladys mulai memilih pakaian dinasnya. Matanya membelalak ketika melihat harga yang tertera disetiap pakaian itu. Sumpah, harga satu kemeja di sana setara dengan gajinya saat masih bekerja di tempat sebelumnya.Gadis itu menelan salivanya, merasa sungkan untuk memilih pakaian yang harganya terlampau mahal. Bagaimana jika nanti gajinya yang dipotong? Tiba-tiba saja hal itu terbesit dalam benaknya. Jika memang seperti itu, akan sangat amat disayangkan oleh Gladys.“Aku pili
Gladys mengigit bibir bawahnya, tangannya meremas rok navy yang sedang dia kenakan. Kenapa dia tidak memikirkan kemungkinan itu? Padahal dia tahu bagaimana liciknya seorang Keenan Setyawardhana.‘Sial!’Kalau saja ini bukan tempat umum, pasti Gladys akan langsung mengumpat pada manusia tak punya hati yang ada di depannya ini. Bisa-bisanya dia tadi merasa senang dengan perlakuan dari Keenan.Keenan kembali duduk di mejanya, dan tak lama seorang pramusaji datang ke tempat mereka. Menyuguhkan makanan yang tadi dipesan oleh Keenan. Terlihat sushi dengan potongan ikan segar dan beberapa toping lainnya yang nampak berkilau.“Habiskan, aku yakin kamu belum pernah mencicipi makanan berkelas seperti ini,” cela Keenan sembari tersenyum miring.Bibir atas Gladys berkedut. Saat ini dia ingin melempar makanan yang ada di hadapannya ini pada wajah atasannya itu. Keenan melirik ke arah Gladys dan melihat ekspresi sang gadis yang sedang tid
Gladys sedang menyeduh secangkir kopi yang dipesan oleh Keenan tadi. Gadis itu sedikit heran kenapa Keenan menyukai kopi yang rasanya pahit seperti ini. Bagi Gladys yang bukan pencinta kopi, kopi Americano ini terasa sangat pahit jika dibandingkan dengan kopi yang biasa beli di warung.Namun tiba-tiba saja seseorang masuk ke ruangan santai para staff sekretaris perusahaan. Gladys menoleh dan mendapati Gilang di sana. Laki-laki itu tersenyum kepada Gladys dan kemudian ikut menyeduh kopi.“Ngopi, Mas?” tanya Gladys. Gadis ini mencoba untuk menyapa seniornya duluan. Diantara staff sekretaris perusahaan Gladys memang kurang bisa dekat dengan Gilang dan Dea.“Iya, kamu juga?” timpal Gilang tanpa menoleh ke arah Gladys.“Oh, nggak. Ini pesanan Mas Keenan.”Gilang menganggukkan kepalanya dan fokus dengan pekerjaannya. Karena Gladys sudah selesai, akhirnya dia langsung mengangkat nampan yang berisi secangkir kopi.
“Aku akan memasak lagi,” ucap Gladys spontan. Dia langsung membuang omelette yang sudah tak layak untuk dikonsumsi.“Aku sarapan dengan roti panggang saja,” timpal Keenan dingin. “Eh?” Gladys menoleh ke belakang, dan mendapati Keenan yang sedang menyiapkan sarananya sendiri.Buru-buru Gladys menghampiri Keenan. “Biar aku yang menyiapkannya,” ucap Gladys merasa tak enak hati.“Tidak usah. Kamu duduk saja, sarapan denganku,” titah Keenan.“Sarapan denganmu? Ti-tidak usah, aku biasa sarapan di kamarku.” Gladys menolak halus perintah dari Keenan. Akan terasa canggung jika Gladys sarapan bersama laki-laki itu.“Jangan melawan! Kamu lupa kalau segala ucapanku adalah perintah untukmu?”Gladys langsung terdiam ketika mendengar ucapan yang terkesan menyentaknya itu. Dia langsung duduk di meja makan, melihat Keenan yang sedang mempersiapkan sarapan. Dia t
Keenan sedang membaca dan memahami isi file dalam hardisk, yang menjadi peninggalan sang ayah. Namun pikirannya sedikit terganggu. Tiba-tiba saja dia memikirkan gadis yang selama ini tinggal di rumahnya. Walau Erza menjamin bahwa Gladys akan baik-baik saja. Tapi entah kenapa perasaan Keenan mengatakan sebaliknya, sebut saja perasaan khawatir. Lebih tepatnya dia tak ingin miliknya itu terluka bahkan seujung kuku pun. Laki-laki itu langsung menyambar ponselnya dan mengirimkan pesan pada sahabatnya.Keenan: Di mana? Gladys bersamamu, kan? Kamu tidak membiarkan dia bersama staff lain?Setelah mengirimkan pesan itu, dia mencoba fokus kembali pada pekerjaannya. Sialnya, pikiran Keenan kini didominasi oleh Gladys. Beberapa kali dia melirikkan pandangannya ke arah gawai yang terletak tepat di samping mouse yang sedang dia pegang. Tapi Erza belum juga membalas pesannya.Ting.Mendengar notifikasi ponselnya berbunyi Keenan langsung menya
Harap bijak dalam membaca. Happy reading~ *** Akal sehat Gladys benar-benar hilang sekarang. Dia sudah seperti perempuan murahan yang menginginkan sentuhan dari seorang laki-laki. Gladys benar-benar gila sekarang, dia tak bisa menahan hasratnya sendiri. Karena semakin dia berusaha menahannya, maka dorongan itu semakin kuat. Terlebih di sampingnya sedang duduk seorang laki-laki yang benar-benar tampan dan menggoda. Soal bagaimana perlakuan laki-laki itu pada Gladys, tiba-tiba saja dia melupakannya. Saat ini dia tak peduli dengan hal-hal itu. Dia ingin perasaan aneh yang sedari tadi mendorong dirinya ini segera berakhir. “Jangan salahkan aku, karena ini permintaan langsung darimu,” bisik Keenan. Oh, Tuhan! Entah kenapa mendengar bisikan Keenan itu membuat Gladys semakin bergairah. Mata sayunya terus mengikuti pergerakan Keenan. Laki-laki itu turun dari mobil dan membuka pintu lalu menggendong Gladys. M
“Cepat masuk ke kamarmu! Besok kita harus pulang,” perintahnya pada Gladys yang masih terkejut dengan kalimat yang baru saja diucapkan oleh Keenan.“Kenapa kamu selalu seenaknya sih, Keenan?” sergah Gladys. Dia tak langsung menuruti perintah Keenan.“Aku tidak menerima pertanyaan apa pun darimu. Sekarang kamu masuk ke dalam!” perintahnya lagi dengan nada tegas. Sejurus kemudian, Keenan langsung meraih kunci yang sedang dipegang oleh Gladys, membukakan pintu itu dan segera mendorong Gladys dengan paksa.Gladys hampir saja tersungkur. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Keenan langsung menutup pintunya dan mengunci dari luar. Gladys mengepalkan tangannya, lalu memukul pintu dengan keras.“Keenan, buka!” teriaknya dari dalam.“Tak usah melawan. Atau kau ingin hukumanmu besok lebih kejam!” ucap Keenan dari balik pintu. Lalu terdengar suara pintu di samping kamar Gladys di buka dan sedetik kemu
Delapan belas tahun kemudian.... “Raynald. Selamat atas kelulusanmu, ya,” ucap Gladys pada anak pertamanya itu. Raynald Setyawardhana, anak pertama Gladys dan Keenan itu baru saja melangsungkan kelulusannya di bangku SMA. Walau sebenarnya Raynald berstatus anak angkat, tapi Keenan tak keberatan untuk memberikan nama keluarganya pada Raynald. “Terima kasih, Ma,” balas Raynald. Kemudian dia melihat ke arah ayahnya yang sedang berdiri di samping ibunya. “Hebat. Terima kasih sudah terus berusaha untuk menjadi yang terbaik,” puji Keenan pada Raynald. Gladys dan Keenan benar-benar menyanyangi Raynald seperti anak mereka sendiri. Karena bagaimanapun juga, mereka bisa merasakan perasaan terbuang seperti apa. Jadi, sebisa mungkin mereka selalu memberikan kasih sayang pada Raynald. Mereka pun sengaja tidak memberitahukan siapa Raynald sebenarnya. Karena mereka tidak ingin kehilangan anak laki-lakinya itu. “Rayna ke mana?” tanya Raynald.
“Neng Gladys!” panggil Bi Iyah. Gladys yang sedang membaca buku itu pun menoleh ka arah belakang. “Kenapa, Bi?” tanya Gladys. Bi Iyah menghampiri Gladys. Wajahnya itu terlihat sedang kebingungan. “Neng, ikut dulu sama Bibi, yuk!” pintanya. Tak ingin banyak bertanya, Gladys menutup buku dan menyimpannya di atas meja. Kemudian dia beranjak dan mengikuti Bi Iyah. Mereka keluar rumah dan menuju pos penjaga. “Ada apa?” tanya Gladys lagi. Bi Iyah memberikan kode pada dua orang penjaga. Para penjaga itu juga nampak kebingungan. “Ja-jadi gini, Bu,” ucap seorang penjaga yang bernama Beni. “Tadi saya menemukan ini di depan gerbang.” Beni memperlihatkan sebuah keranjang yang sedari tadi dia sembunyikan di belakang badannya. Gladys mengerutkan alisnya. Kemudian dia melangkah dan mendekat untuk melihat isi dari keranjang itu. Terlihat ada kain yang membungkus sesuatu. Saat Gladys mencoba menyingkap sebagian kain itu, matanya seketik
“ Gladys,” panggil Keenan.Gladys yang sedang melakukan perawatan malam pada wajahnya itu langsung menoleh ke arah Keenan. Suaminya itu sedang menyandarkan punggungnya pada sandaran kasur sembari memegang tablet miliknya.“Kenapa?” tanya Gladys.“Kalau udah selesai ke sini. Ada yang ingin aku bicarakan,” ucapnya dengan nada serius.Gladys mengangukkan kepalanya, lalu dia segera menyelesaikan pekerjaannya. Setelah selesai, Gladys langsung menghampiri Keenan, dan duduk bersandar di samping sang suami.“Ada apa?” tanya Gladys. Dia melihat keseriusan dari wajah laki-laki itu.Keenan langsung mendekatkan dirinya pada Gladys. Kemudian melingkarkan tangannya pada perut sang istri. Memeluk Gladys dengan penuh kehangatan.“Kalau aku minta kamu berhenti kerja, gimana?” tanya Keenan pada istrinya itu.Gladys langsung menoleh ke arah Keenan dengan eskpresi terkejut. “Loh, ke
WARNING CONTENT!Harap bijak dalam membaca~Happy reading~***Melihat Gladys benar-benar ketakutan, Keenan tiba-tiba tertawa. “Hahaha. Kamu masih takut?” tanya Keenan. Dia memundurkan sedikit tubuhnya.Gladys hanya diam, dia merasa bingung. Tidak boleh lega dulu, karena Keenan sering sekali berubah suasana hati.Keenan melirik ke arah Gladys yang masih terlihat tegang. Dia kemudian tertawa lagi, sungguh lucu sekali wajah ketakutan istrinya itu. Kemudian dia langsung mengelus puncak kepala Gladys.“Nggak, Sayang. Aku cuman bercanda. Aku sekarang udah nggak mau melakukan hal itu sama kamu,” ucap Keenan.“Bercanda?” tanya Gladys. Dia masih mencoba meyakinkan dirinya terlebih dahulu.Anggukkan kecil menjadi jawaban dari Keenan untuk pertanyaan Gladys. “Iya, bercanda. Aku nggak akan pecat Reza atau menghukum kamu. Aku cuman bercanda,” terangnya.“Bene
“Kenapa kamu repot-repot bawa aku ke sini, sih?” tanya Gladys. Kini Gladys dan Keenan sedang duduk di teras hotel yang mereka tempati. Sembari menikmati sunrise di Maladewa.“Kenapa memangnya?” tanya Keenan. Dia sedang mengalungkan tangannya di pundak Gladys. Duduk di belakang istrinya sembari memeluknya lembut.“Maksudnya Bali juga sudah cukup. Kita nggak usah jauh-jauh ke sini,” ucap Gladys.Keenan menggeleng. “Aku bosen sama Bali, Sayang. Sekali-kali kita main-main di luar negeri tidak masalah, kan?” Keenan meletakkan dagunya di pundak Gladys.Gadis itu menarik sudut bibirnya. “Aku jadi nggak enak. Padahal kerjaanmu lagi banyak banget.”“Ssst! Jangan bilang begitu. Sudah jadi kewajibanku buat membahagiakanmu. Apa pun pasti aku lakukan, Gladys. Dan aku juga ingin menebus semua kesalahanku padamu.”“Ssst!” Gladys menempelkan telunjuknya pada bibir Keenan. &l
“Keenan, kalau kamu sibuk, nggak usah repot-repot harus ke luar negeri gini,” ucap Gladys. Dia sedang sibuk mengemas barang-barang pribadi miliknya dan Keenan ke dalam koper.Laki-laki itu mendekat pada istrinya. Kemudian dia melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Gladys, memeluk sang istri dari belakang.“Aku nggak sibuk, Sayang. Lagi pula kita kan belum berbulan madu,” timpal Keenan. Laki-laki itu kini mengecup tengkuk Gladys.Seketika Gladys merasa geli dan menghentikkan aktivitasnya. Dia mencoba melepaskan pelukan Keenan dan kemudian berbalik menatap sang suami.“Kemarin, kan, di Bali udah. Lagian kita udah hampir setengah tahun menikah. Masa masih bahas bulan madu segala.”“Itu bukan bulan madu. Kemarin kita ke Bali sambil kerja. Sekarang aku cuman pengin berdua sama kamu. Nggak ada tuh mikirin yang namanya kerjaan.” Keenan mengusap pipi Gladys lembut.Satu bulan setelah mereka menikah
“Mama?” ucap Keenan. Sedetik kemudian Gladys pun dibuat terkejut dengan sosok perempuan yang sedang bersama Giselle. “Ibu?” katanya. “Halo, Keenan dan Gladys,” sapa Anita sambil tersenyum pada kedua anaknya itu. Buru-buru Keenan dan Gladys menghampiri wanita itu. “Mama sudah dengar, kalau selama ini Anita lah yang merawat Gladys. Terima kasih sekali lagi,” kata Giselle pada Anita. Jujur saja, sebenarnya dulu hubungan mereka tak berjalan baik. Bagaimanapun juga Giselle tak suka ketika dimadu oleh suaminya. “Sama-sama. Terima kasih sudah menjaga anakku juga.” Anita tersenyum dan menundukkan kepalanya. “Tapi kenapa Mama bisa di sini?” Keenan tiba-tiba menyela pembicaraan dua wanita itu. “Sejak kapan Mama Giselle tahu keberadaan Mama?” imbuhnya. “Mama tahu dari Excel, dia benar-benar menceritakan semuanya. Makanya Mama mencoba membawa Mamamu ke sini,” jawab Giselle. “Dan mulai hari ini Anita akan tinggal di sini bersama Mama.” Alis
“Sedang apa kalian di sini?” Seorang laki-laki bertanya dengan penuh rasa kecurigaan. Sontak Gladys mematung di hadapan laki-laki itu. Sedangkan Keenan dia berjalan dengan santai, lantas merangkul Gladys.“Sedang makan siang. Ya … ziarah. Untuk apa bertanya begitu?” timpal Keenan kesal.Laki-laki itu mendengus. “Tumben sekali. Biasanya kamu tidak peduli,” balasnya lagi.“Ngomong-omong, setelah kamu berziarah aku tunggu di tempat parkir. Ada yang harus aku bicarakan,” ucap Keenan. Kemudian dia berlalu meninggalkan laki-laki itu menuju parkiran.Ya! Keenan harus menyelesaikan juga masalah dengan Aidan. Rasanya dia juga harus meminta maaf, walau dia tidak mungkin untuk jujur pada laki-laki itu. Namun, dia harus meminta maaf atas kesalah pahamannya selama ini.Keenan dan Gladys menunggu di dalam mobil. Tak lama kemudian mata Keenan menatap sosok Aidan. Lalu dia keluar dari mobil dan menghampirinya.
Sesuai dengan rencana Keenan, pagi ini mereka berdua; Keenan dan Gladys pergi menuju tempat peristirahatan terakhir Andrean, Adrian, dan juga Nathan. Entah kenapa Gladys merasa senang, karena Keenan sudah menyadari kesalahannya. Untuk orang seperti Keenan, tentu itu adalah suatu hal yang patut diapresiasi dan kalau bisa membuat syukuran.“Loh, kok? Bukannya kita mau ke makam Om Andrean?” tanya Gladys bingung. Pasalnya Keenan kini mengemudikan mobilnya ke arah yang berlawanan.“Udah diem aja. Aku yang pegang kemudi, kamu ikut aja,” timpal Keenan. Gladys pun terdiam, dia tiba-tiba memikirkan hal yang tidak-tidak. Bagaimana jika Keenan berubah pikiran? Laki-laki seperti dia kan tidak bisa ditebak?Namun, saat mobil mereka memasuki sebuah jalanan kecil, Gladys mengerutkan keningnya. Dia mencoba mengintip dari jendela mobil. Jalanan kecil ini seperti akan membawa mereka ke sebuah tempat yang sepi.Benar saja mereka mendatangi sebuah tem