Aya hanya diam, memandang serius pada tablet yang berada di tangan. Gadis itu sedari tadi sibuk membaca, dan melihat beberapa video mengenai kasus yang tengah dihadapi Pras. Sesekali tangan kirinya memijat pelipisnya yang sangat penat. Karena sesungguhnya, Aya masih tidak diperbolehkan berpikir terlalu keras.
Sudah seminggu Aya sadar dari koma, dan yang dilihatnya setiap hari hanyalah Asa. Sang kakak itupun sudah menyampaikan sebuah kenyataan bahwa Aya mengalami keguguran. Tapi, Asa tidak menuntut banyak penjelasan akan hal itu. Asa mengerti kalau kondisi otak, serta tubuh Aya harus menyesuaikan diri dengan keadaan secara perlahan.
Asa memutuskan untuk tidak mengabari keluarganya mengenai perihal Aya. Ia juga meminta Nando untuk merahasiakannya, karena ada hal yang harus Asa bicarakan perlahan dengan gadis itu.
“Aku bilang jangan pake otakmu itu untuk berpikir terlalu keras. Rilex, Ay. We’ll fix it, step by step, one by one.” Kata Asa yang masu
Kepulan asap putih itu membumbung tinggi, setelah Yasa menghembuskan napasnya dengan panjang. Belum sempat gumpalan asap itu menghilang, Yasa kembali menghisap dalam-dalam lintingan putih yang terselip di sela jari tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya masih setia menggenggam erat, gelas yang berisi macchiato yang sudah beranjak dingin.Terhitung lebih dua bulan sudah, dirinya tidak mendengar kabar apapun mengenai Aya. Bintang memilih tidak mengatakan hal apapun kepadanya. Begitupun Elo, yang juga tidak bisa melangkahi Bintang untuk menjawab tentang keadaan Aya, juga tempat gadis itu di rawat.Semenjak kecelakaan tersebut, Yasa sibuk merutuki dirinya karena telah kehilangan sebuah janin yang tidak bersalah. Jika saja … yah, hanya kata itu yang berputar di benak Yasa. Jika saja, Yasa tidak skeptis, mungkin dirinya dan Aya bisa menjalin sebuah hubungan yang lebih serius. Jika saja, Yasa bisa jujur dengan perasaannya sendiri, mungkin saja, janin itu saat ini su
Zetta menutup kasar laptop yang berada dipangkuannya, saat Astro masuk ke dalam kamar. Meletakkan benda persegi panjang itu di nakas samping tempat tidur. Ia beranjak menghampiri Astro dan berhenti tepat di depan pria itu denga melipat tangan di depan dada.“Dua bulan, ini sudah dua bulan lebih dari hari kamu ngelamar aku, tapi kamu selalu memundurkan tanggal pernikahan kita dengan berbagai alasan. Apa yang terjadi sebenarnya? aku gak mau denger alasan Om Bintang yang masih pusing mikirin Aya yang koma, Cakra yang begini, Tante Dai yang begitu dan alasan lain yang menurutku cuma mengada-ada!”“Aku gak pernah mengada-ada. Semua yang aku bilang itu fakta, Aya koma, Cakra sempat masuk rumah sakit karena tipes, Tante Dai juga sakit. Di mana letak salahnya?” Astro menarik dasinya dengan kasar, lalu melewati Zetta dan duduk di tepi ranjang. Pria itu membuka kancing kemeja putihnya satu persatu, setelah membuka jasnya.“Coba kamu pikir, di
Seluruh keluarga yang berada di kediaman Pras, beserta para pelayan hanya bisa melongo bahagia, saat melihat Aya melenggang memasuki rumah. Bagi pelayan wanita, mereka tidak akan sungkan, untuk langsung memeluk gadis itu. Karena sekali lagi, Aya memang seramah itu kepada siapapun. Namun, bagi pelayan pria, mereka hanya memberi ucapan selamat atas kesembuhannya dan harus bersikap sopan, jika tidak ingin dilempar ke jalan oleh Pras.Kaisar dan Eila yang sudah berada di Jakarta lebih dahulu, sejak Pras tersandung kasus juga turut berbahagia. Kesembuhan Aya dalam situasi seperti ini bak sebuah oase di gurun gersang.Apalagi Sinar, wanita itu tidak berhenti mengucap syukur dengan genangan air mata.“Maafin bunda, Ay … maafin bunda.” Hanya kalimat itu yang selalu diulang oleh Sinar saat memeluk tubuh sang putri dengan erat. Wanita itu seakan tidak rela untuk melepaskan satu-satunya anak perempuan yang dimilikinya. Sekaligus merasa bersalah atas semu
Sudah seminggu Aya di Jakarta, tapi selama itu pula tidak ada yang mengetahui keberadaannya. Aya meminta semua orang agar tidak memberitahukan keberadaannya di rumah, karena sebuah alasan kesehatan. Setidaknya itu yang Aya katakan.Aya tidak ingin ada yang mengganggu istirahatnya, dengan kedatangan para tamu dari pihak Bintang maupun Elo yang hanya akan mengganggu pemulihan tubuhnya.Dan benar saja, selama berada di rumah, hal yang dilakukan gadis itu dari bangun tidur sampai menutup mata hanyalah makan. Aya hanya mau makan masakan bundanya. Bukan bermaksud untuk merepotkan, tapi, Aya benar-benar merindukan makanan buatan bundanya.Sadar dari koma dan berada di Singapura, serta kerap memakan makanan rumah sakit, membuat lidahnya terasa kelu. Alasan lainnya, Aya ingin sang bunda juga makan bersamanya, agar bobot tubuh wanita itu bisa kembali seperti semula. Aya sangat mengerti kalau bundanya itu pasti sangatlah tertekan.“Kapan mau bilang papa, kalau
Ujung pump heel setinggi 7 senti itu menghentak pelan, pada lantai teras Pengadilan Negeri. Rambut ikal yang sudah dipotong di bawah bahu, dengan warna ash lilac itu, berayun elegan memasuki ruang persidangan. Tidak banyak yang melihatnya, karena seluruh pusat perhatian kini tertuju pada Pras yang tengah mengajukan pledoi*.Ruang sidang nampak penuh dengan wartawan. Aya melihat ada beberapa korespenden dari luar negeri, yang juga meliput sidang. Maniknya kini berhenti, pada sosok pengacara muda yang duduk di deretan jaksa penuntut. Seketika itu juga hatinya terasa remuk, mengingat kembali semua yang diperbuat dan dikatakan pria itu.Karena tidak menemukan tempat duduk, Aya memilih berdiri di pojokan. Meskipun ia melihat sang bunda dan keluarga lainnya ada pada kursi deretan depan, Aya tidak menghampirinya.Aya tidak jadi mampir ke DailYou untuk mengambil beberapa baju, sepatu serta tas dari butik ibu sambungnya. Ia mampir ke butik lain dengan berbagai macam pert
“Jadi, kamu yang namanya Yasa.” Aya bertanya antusias dengan manik berbinar. Ia memajukan kursi dan mencondongkan tubuh, saat keduanya sudah berada di kafetaria pengadilan negeri. Setelah bertemu sang bunda sesuai perinta Pras, Aya langsung menyelinap pergi ke kafetaria. Beralasan kalau ia lapar dan ingin makan di sana.“Kamu beneran gak ingat sama aku?” Yasa juga melakukan hal yang sama, memajukan kursi dan mencondongkan tubuh ke arah Aya. Keduanya duduk berhadapan dengan meja persegi sebagai pemisahnya.“Aku ingat semuanya, tapi, aku gak ingat sama kamu.” Aya memiringkan kepala, meneliti pria yang memang benar seperti gambaran sang bunda. Jika Yasa memakai cambang seperti Bima, dan memakai keffiyah, pria itu benar-benar akan terlihat seperti pangeran arab. “Jadi, apa hubungan kita?”“One nigth stand, dan kamu hamil anakku, terus keguguran.”Yasa berusaha berkata jujur di sini. Ia tidak ingin me
Dengan mata terpejam Astro menyugar surainya kebelakang. Bintang meminta Astro untuk datang ke rumah pria itu, seusai semua pekerjaannya selesai. Dari nada bicara Bintang, Astro tahu ada yang tidak beres. Firasatnya mengatakan kalau Aya telah mengatakan sesuatu pada Bintang.Benar saja. Air muka Bintang terlihat suram, saat Daisy menyuruh Astro untuk masuk ke ruang kerja pria itu. Lantas, tanpa berbasa basi, Bintang langsung mengkonfrontasi Astro dengan berbagai pertanyaan.“Ada di mana kamu tanggal 19 April?”“19 April?” Astro mengingat-ingat sembari mengeluarkan ponselnya. Sebenarnya tidak perlu melakukan hal itu karena Astro ingat itu hari apa. “Aku di Bandung, Pa. Bukannya papa sudah tahu? Hari itu papa pergi ke Bali sekeluarga.”Apa Aya berbohong? Bintang membatin.“Kapan kamu pulang dari sana?” tanya Bintang lagi.Insting pengacaranya berkata, kalau Aya telah menceritakan kejadia
Asa memarkirkan land rovernya sembarangan di tepi jalan raya, tidak jauh dari komplek townhouse milik Bintang. Ia memukul keras setir mobil dan mengumpat sejadi-jadinya.Sedangkan Aya, hanya bisa meluruhkan titik bening tanpa suara setelah keluar dari rumah Bintang. Jelas saja hatinya semakin tercabik, sang papa lebih percaya dengan sandiwara Astro daripada putrinya sendiri. Astro juga sukses memecah belah hubungan hangat antara dirinya dan Bintang.“Aku sudah duga kalau itu anak cowok sialan itu, tapi aku gak tahu kalau kamu diperkosa sama dia.” Asa menarik tangan Aya agar menatapnya. “Kapan? Dan kenapa kamu gak pernah cerita sama sekali?”Aya menggeleng, hatinya masih tidak ingin bercerita apapun saat ini.“Aya …” panggil Asa dengan lembut lalu menangkup wajah sang adik yang sudah basah dan mengusapnya dengan ibu jari. “Apa karena itu, kamu pengen pindah ke Singapur waktu itu?”Aya mengangguk
Yasa meraup separuh wajahnya, menatap bocah lima tahun yang kini tengah merengek untuk ikut pergi dengannya, ke dokter kandungan. “Papi sama mami gak lama, mainlah sama Aga. Nanti, Papi beliin burger.” “NO BURGER.” Aya yang baru muncul dari dalam dan mendengar percakapan suaminya dan putra sulungnya itu sontak memasang wajah galak. Berhenti diantara kedua lelakinya itu lalu melipat tangan di atas perut yang sudah membuncit. Kehamilan ketiganya saat ini memasuki usia 5 bulan, dan hari ini, adalah jadwal untuk memeriksakan kandungannya. Mereka juga tidak sabar dan sangat penasaran untuk mengetahui jenis kelaminnya. Karena anak kedua mereka lagi-lagi berjenis kelamin laki-laki, dan diberi nama Telaga Dananjaya. Maka, keduanya berharap kalau yang ketiga ini, akan berjenis kelamin perempuan. “Why not?” protes Gara ikut melipat kedua tangannya di depan dada dengan bibir mungil yang mengerucut kecil. Mengikuti sikap sang mami yang ditunjukkan kepadanya.
Yasa terhenyak dan bangkit seketika. Terduduk sebentar lalu berlari ke kamar mandi. Terlihat sang istri yang tengah berlutut, menunduk seraya membuang semua isi perutnya ke dalam kloset duduk. Yasa yakin sekali kalau hari masih subuh, meskipun ia belum melihat jarum jam sama sekali.Bergegas menghampir Aya dan membantu untuk menyingkap rambut lalu memijat tengkuk sang istri. “Ke dokter ajalah, Mi. Udah dua hari begini terus.”Aya hanya bisa mengangguk pasrah kali ini. Menurut pada saran sang suami. Padahal dari kemarin, Aya sudah berencana akan mengunjungi Pras, tapi karena tubuhnya tiba-tiba drop, maka Aya membatalkannya.“Coba diinget-inget lagi, dua hari yang lalu habis makan apaan bisa sampai begini.”Tubuh Aya menegak, menyudahi kegiatan yang membuat tubuhnya lemas selama dua hari ini. Lalu bersandar pada sisi dinding kamar mandi untuk menetralkan napasnya. Seraya mengusap bibir dengan punggung tangan. Merasa tidak sanggup, un
Kedua orang yang dulunya pernah saling menyayangi dan berbagi segalanya itu, kini masih terdiam. Bintang memilih untuk masuk ke dalam dan duduk di ruang tengah. Memutuskan untuk memberi kedua anaknya itu kebebasan, untuk mengeluarkan semua yang ada di dalam kepala. Dan, ia hanya mengawasi jikalau ada hal yang tidak diinginkan terjadi. Namun tetap berharap semua akan baik-baik saja.Bintang sudah percaya penuh dengan keduanya. Mereka sudah tahu batasan mereka. Dan untuk Astro, Bintang tahu pasti, kalau pada dasarnya, pria itu sangat baik. Aster hanya salah dalam mendoktrin otaknya sedari kecil, hingga rasa benci itu tumbuh tanpa mengetahui semua alasan yang ada di baliknya.“Kata papa, Kak Astro mau jual rumah?” Akhirnya, Aya jugalah yang membuka topik pembicaraan. Tidak nyaman dengan perasaan canggung, yang kali ini mendera keduanya.Aya tidak mau mengungkit tentang kepindahan Astro ke Surabaya. Karena yang telah direncanakan kakak sepupunya itu, sud
Hanya senyum datar dan kekehan garing yang sedari tadi dilontarkan oleh Yasa, sepanjang ia menanggapi ocehan Lex serta Elo. Setelah diberi waktu untuk berpikir selama 24 jam oleh Sinar, dan juga demi Gara, akhirnya Yasa menandatangani surat perjanjian yang telah disodorkan kepadanya. Ada tiga buah salinan asli yang harus ditandatangani. Yang nantinya, surat tersebut akan pegang oleh Yasa, Sinar dan juga Lex, orang kepercayaan Pras. Entah kenapa Yasa tiba-tiba yakin, kalau keseluruhan ini, adalah rencana pria yang masih saat ini masih mendekam di penjara. Setelah semua selesai, Sinar menyunggingkan senyum kecilnya. Memandang puas pada berkas yang sudah berada di tangan. Untung saja, kan, ia menceritakan semuanya kepada Pras, hingga terciptalah sebuah perjanjian yang jika dipikirkan lagi, secara keseluruhan semua terlihat hanya menguntungkan pihak Sinar. Dengan adanya perjanjian tersebut, Pras bisa menilai, sejauh mana kesungguhan Yasa terhadap pernikahannya de
Pump heel setinggi 3 senti itu, berjalan mundur beberapa langkah dengan pelan. Menoleh, pada pria yang asik duduk di sofa lobi sembari menunduk. Ibu jari pria itu sibuk bergerak pada ponsel yang dipegang secara horisontal. Fix! Lagi-lagi pria itu pasti tengah sibuk dengan gamenya.“Nando!” panggil Sinar yang berdiri tidak jauh dari ponakannya itu. Tadinya, setelah keluar dari ruangan Elo, Sinar hendak pergi ruangannya. Namun diurungkan, hatinya yang memanas karana bertemu Yasa, membuat Sinar ingin pergi ke rooftop bar yang berada di gedung perkantoran. Menyesap sesuatu yang dingin, untuk mendamaikan kepala sekaligus hatinya.“Eh, Bunda di sini?” tanya Nando terlihat salah tingkah. Pria itu mengusap tengkuknya sebentar sembari menghampiri Sinar. Meraih tangan wanita dan mencium punggung tangannya. “Lagi ngapain, Bund? Asa mana?”“Ya kerja, lah kamu ngapain di sini?”“Aku … aku mau ketemu Asa.&rdq
Aya tersenyum canggung. Sebuah perasaan yang tidak pernah ada selama ini ketika bertemu dengan Tara, kini muncul. Rasa tidak nyaman karena mungkin, yang akan dikatakannya bisa menyakiti hati Tara. Selama ini, pria itu sudah terlalu baik untuknya. Meskipun terkadang sedikit sarkas, tapi Aya tahu, kalau di dalam sudut hati Tara, pria itu sangat menyayangi Aya juga Gara.“Tara …” Aya menggantung kalimatnya sejenak untuk menarik napas. Di kamar, ia sudah mengemasi pakaian yang selama ini diperolehnya dari Tara. Juga ada box bayi, pakaian Gara, dan segala keperluan Aya yang kesemuanya disediakan oleh pria itu ketika masih tinggal di vila. Sungguh, Aya berutang banyak pada Tara, dan pada akhirnya, ia belum mampu membalasnya. Justru malah hanya meninggalkan luka.Selama ini, Aya belum menyadari sepenuhnya kalau hatinya sudah tertambat pada Yasa. Aya pikir, kehidupan cintanya masih berpusat pada Astro, namun ia salah. Rasa sakit yang begitu menusuk ketika be
Yasa meneguk ludah hingga berulang kali. Melihat putranya menyesap ASI langsung dari tempatnya, membuat Yasa hanya bisa menggigit jari. Berbulan-bulan tidak melihat dan menikmati tubuh sang istri, membuat pusat dirinya memberontak. Dan, Yasa tidak mau tahu, setelah Gara selesai, maka dirinya juga harus mendapatkan giliran. “Apa, Gara kalau minum ASI …” Yasa kembali menelan ludah, maniknya sedari tadi hanya terfokus pada bibir sang putra yang bergerak lahap menyesap penuh puncak dada istrinya. “Gara kenapa?” tanya Aya memecah lamunan Yasa dalam sekejab. “Oh, itu, kalau minum ASI, apa selalu lama seperti ini?” “Tergantung, gak tentu juga sih. Suka-suka dia aja.” Wajah Yasa terlihat semringah ketika melihat Gara melepaskan bibirnya mungilnya. Namun sejurus kemudian, wajahnya kembali tertekuk ketika Aya hanya memindahkan posisi tubuh Gara untuk menyesap di tempat satunya. “Apa harus dua-duanya gitu dia minum?” decak Yasa sedikit sewot. Bel
Lidahnya benar-benar kelu, tidak mampu menjawab pertanyaan Yasa. Aya membuang wajah tidak punya keberanian untuk menatap Yasa. Tidak juga mampu untuk beranjak dari duduknya, karena Yasa memegang erat kunci sabuk pengaman yang menyilang pada tubuh bagian depannya.“Di mana dia, Ay?”Jantung Yasa berdegub membingungkan. Tidak mampu menjelaskan, seperti apa perasaannya saat ini. Ada rasa takut, gembira, cemas, dan juga kesal yang bercampur jadi satu. Sudut hatinya mengatakan bahwa anak itu ada, dan terlahir ke dunia. Tapi, kenapa Aya justru tidak mengatakan hal apapun pada dirinya.“Cahaya …” Yasa meraih dagu runcing Aya agar menghadap ke arahnya. Berusaha mengeluarkan kata selunak mungkin, meskipun ada lonjakan emosi yang ingin menuntut sang istri agar segera memberi penjelasan kepadanya. “Apa dia di dalam?”Bibir Aya terkatup. Seharusnya, ia bisa mencegah tangan Yasa agar tidak menjelajahi tubuhnya. Tapi di lain s
Aster menghampiri putranya yang baru saja menghempaskan tubuh di atas ranjang, setelah pulang dari kantor. Pria itu sudah tidak pernah lagi, menjejakkan kaki di unit apartemennya. Selalu pulang ke rumah sang mama dan menjadikan Aster sebagai tempat bercerita tentang kegiatannya, setiap hari.Aster menepuk paha putranya yang berbaring di ranjang. Kedua kakinya masih menjuntai ke bawah dan raut wajahnya sangat lelah.“Apa, tawaran kemarin sudah kamu terima?”“Belum,” Astro meletakkan kedua tangan di balik kepalanya sebagai bantal, menerawang kosong menatap langit-langit kamarnya. “Kalau aku terima, Mama pasti kesepian, aku gak bisa datang sewaktu-waktu ke Jakarta.”Aster menggeser sedikit bokongnya, agar bisa melihat wajah Astro. “Kalau Mama ikut kamu, gimana? apa kamu keberatan?”“Mama serius?” Astro bangkit dan keduanya kini duduk saling berhadapan. “Yakin mau ikut ke Surabaya? dan &