“Kamu gak mandi?” tanya Yasa yang baru keluar dari kamar mandi dengan mengusap surai basahnya menggunakan handuk kecil. “Bukannya, bentar lagi Bunda sama Asa datang.”
Tubuh polos Aya yang berbalut selimut, dan tergolek lelah di ranjang itu hanya menggeleng. Menatap punggung Yasa yang menjauh memasuki walk in closet untuk mengambil baju ganti dan memakainya. Aya tidak sempat menyiapkan pakaian untuk sang suami, karena sedari pagi, Yasa selalu saja ‘menempel’ padanya.
Tidak berselang lama, Yasa keluar dengan pakaian kasual seperti biasanya. Jeans dan kemeja lengan pendek. Style Yasa ketika bekerja memang sesantai itu, karena ia bukanlah pegawai tetap di sebuah kantor, yang mengharuskannya berpakaian formal setiap saat.
“Apa mau aku mandiin lagi?” Yasa kembali bertanya lalu menimpa Aya yang masih betah bergelung di ranjang.
“Jauh sana.” Aya menyingkirkan wajah Yasa, yang hendak kembali mera
Setelah semua kesepakatan telah terjalin dengan Asa. Beberapa hari setelahnya, keduanya kembali membuat janji temu untuk menandatangani beberapa dokumen. Namun kali ini Aya memutuskan untuk bertemu di sebuah restoran Itali. Entah mengapa, Aya ingin sekali memakan lasagna diikuti dengan gelato sebagai hidangan penutup.“Aku tinggal, gak usah lirik-lirik cowok lain.” pesan Yasa. “Inget, kalau sudah punya suami yang gantengnya kayak pangeran Arab.”Sepasang suami istri itu kompak terkekeh geli. Kembali teringat percakapan mereka sebelum tidur tadi malam. Aya menyampaikan bahwa Sinar pernah mengatakan kalau Yasa mirip dengan pangeran Arab.“Aku perlihara cambang, ya!” Yasa memutar kaca spion tengah untuk menghadapnya. Sementara itu, jemari Yasa sibuk mengusap sepanjang garis rahangnya. Menebak-nebak, kira-kira seperti apa wajahnya jika membiarkan bulu-bulu halus itu tumbuh di sekitar rahang.“Gak mau ah!” Aya me
Sudah pukul 9 malam, namun, Elo masih saja terus mengajak Yasa berbicara panjang lebar di ruang tengah. Padahal, Yasa sudah ingin membawa Aya pulang. Kembali bergelung dengan sang istri dalam satu selimut. Menghabiskan dinginnya malam dalam curahan peluh penuh cinta.“Ayah, udahan ngobrolnya, aku mau pulang.” ujar Aya yang baru saja keluar dari kamar Arana. “Kasihan ibu, udah ngantuk. Uti aja udah siap-siap mau tidur.”Elo berdecih geli, melihat Aya yang langsung duduk di samping Yasa. Menjatuhkan kepalanya pada lengan sang suami.“Ayah sama ibu itu tidurnya malem. Bilang aja kalian buru-buru pulang karena mau bikin bayi.”Ai yang juga menyusul Aya dan baru keluar dari kamar Arana tertawa geli. Wanita paruh baya itu menjatuhkan tubuhnya di samping Elo. Ikut menyandarkan kepala ke lengan sang suami, seperti Aya.“Udah biarin aja, biar kita cepat dapet cucu.” setelah menatap Elo, tatapan Ai berpindah pa
Sumpah demi apapun, saat ini, kelopak mata Yasa masih sangatlah berat. Namun, sang istri tercinta sudah menggoyang-goyangkan tubuhnya, agar segera bangkit dari sofabed yang berada di ruang tengah rumah Asa.“Sepuluh menit, beb.” tawar Yasa yang sempat membuka mata sekilas, untuk melihat jam yang terpaku di dinding. Setelah itu, Yasa kembali menutup mata, karena ia baru memejamkannya kira-kira tiga jam yang lalu. Mereka berdua benar-benar mengeksplorasi tiap sudut rumah Asa dengan beradu desah, yang menggema di setiap ruang, karena minimnya perabotan yang ada.“Tapi aku laper, banget!”Dengan berat Yasa membuka kelopak matanya. Melihat ke arah jendela dan belum terlihat bias mentari yang masuk melalui celahnya. “Burger tadi malam udah habis?” tanyanya lalu melihat sang istri.Aya yang tengah duduk di tepi sofabed mengangguk dengan bibir yang mengerucut.“Hotdog?”“Udah habis semua, dan&nbs
Entah sudah berapa kali Elo melihat Aya menguap, saat pria paruh baya itu menjelaskan semua sistem keredaksian di Network. Jelas banyak perbedaan yang akan Aya dapatkan, karena kinerja stasiun televisi jelas berbeda dengan media cetak.“Habis lembur sampai jam berapa, semalam, Ay? Jam segini masih ngantuk aja.”Aya kembali menguap sambil memangku wajahnya dengan tangan kiri. Menatap Elo yang duduk bersebrangan dengan sayu. “Ayah, ih. Gak usah ditanyain coba, kayak gak pernah muda.”“Pernahlah.” Elo tetap bersikap santai. “Tapi, tahu waktu. Kalau waktunya kerja ya kerja. Totalitas! Gak menye-menye gini. Kalau bawahan aja, sudah ayah hukum kamu itu.”“Untung aja bukan.” cengir Aya sejenak, kemudian air mukanya berubah sendu. “Yah …”“Apa? mau pulang? Mau tidur?”Aya menggeleng. “Putusan sidang papi … Lusa. Kira-kira, dihukum berapa lama?&rdq
Sepanjang perjalanan menunju apartement, kalimat Andra selalu saja terngiang-ngiang di kepala Aya. Dan benar saja, setelah melihat jadwal bulanan pada aplikasi yang telah diinstal pada ponselnya, Aya terlambat.Ada berbagai rasa, yang membuncah di dada. Meskipun belum pasti hasilnya, tapi tanda-tanda yang ada, sudah merujuk ke arah sana.“Yas … mampir apotek bentar ya.” celetuknya tiba-tiba.“Mau beli apa? kamu sakit? apanya yang sakit? kita ke dokter aja sekalian?”Manik Aya langsung berputar jengah, sekaligus merasa beruntung memiliki suami seperti Yasa. Meskipun terkadang sifatnya bisa sangat berlebihan.“Emang kalau mampir ke apotek harus sakit gitu?” protes Aya tidak ingin Yasa mengetahui semuanya sampai hasilnya benar-benar akurat. Aya hanya tidak ingin mengecewakan sang suami yang terlihat sangat mendambakan seorang anak.“Yaa gak gitu, emang mau beli apa?”“Cuma vita
Begitu pintu mobil sudah tertutup rapat, baik di sebelah kiri maupun kanannya. Yasa langsung berteriak lantang meluapkan kebahagiaannya. Pagi ini, keduanya langsung pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kehamilan Aya. Sebagai pasangan pengantin yang terhitung baru menikah, dan langsung diberi karunia yang begitu cepat, hal itu merupakan anugrah yang sangat luar biasa. Tanpa ragu Yasa mencondongkan tubuh ke kursi penumpang di sebelahnya, lalu meraih tengkuk sang istri dan menciumnya begitu dalam. “Makasih.” Ucap Yasa setelah mengurai ciuman tersebut. “Makasih sudah mau terima aku, dan mau mengandung anakku untuk yang kedua kali.” “Tapi, Yasmm …” Yasa tahu apa yang akan diungkapkan istrinya itu. Karenanya, ia langsung membungkam bibir Aya agar tidak meneruskan kalimatnya. Yasa tidak peduli, siapa, ayah dari janin yang dulu sempat dikandung istrinya. Karena dari lubuk hatinya yang paling dalam, Yasa yakin kalau itu adalah anaknya. Bukan anak da
Hari pertama Pras menginap di hotel prodeo, Aya meminta kepada Yasa agar mereka dapat menginap di rumah untuk menemani sang bunda. Ayapun meminta izin agar bisa tidur berdua dengan Sinar. Hanya malam ini, untuk menemani sang bunda yang pasti akan merasakan sebuah kekosongan secara tiba-tiba, karena tidak ada Pras di sisinya. Sekali lagi, Aya mengutuk Astro untuk semua yang dilakukan kepada keluarganya. Aya merasa sangat beruntung memiliki suami seperti Yasa. Suaminya itu, sangat pengertian dan selalu saja menuruti kemauannya. Yaa, meskipun nantinya, Yasa akan terus menempel dan meminta haknya hingga berulang kali. “Sayang …” Yasa menepuk sisi ranjang yang kosong, meminta Aya yang baru saja selesai mandi untuk duduk di sampingnya. Wajah Yasa terlihat serius. “Kenapa?” Aya yang sudah memakai piyama tidurnya itu langsung duduk dan menyandar pada pelukan sang suami dengan manja. “Papamu barusan nelpon.” pelukan yang tadinya erat, kini terasa melon
“No … no, no, no!” tolak Yasa. Kepala pria itu mengeleng berulang kali saat mendengar sang istri hendak terjun langsung mengelola Network. Yasa sangat yakin kalau Aya tidak kekurangan nafkah lahir, maupun batin yang berlebih darinya. Jadi, Aya tidak punya alasan untuk kembali bekerja, sedangkan semua-semua sudah dicukupi oleh Yasa. “Kenapa, no?” manik Aya memicing tajam. “Sayang, dengar baik-baik.” Yasa menyeret coffe table yang berada tepat di depan Aya dan mendudukinya. Memegang kedua telapak tangan istrinya itu dengan menatap tegas. “Kamu, HA-MIL. Dan aku gak akan kasih izin kamu kerja, dalam kondisi hamil seperti ini.” “Aku hamil, bukan sakit.” sanggah Aya. “Di luar sana, banyak ibu-ibu hamil yang perutnya udah segede gaban tapi masih aja seliweran buat kerja, kenapa aku gak boleh? Lagian, hamilku gak repot, aku sehat gak ada keluhan apapun.” “Cahaya, sebagian dari mereka melakukan itu karena tuntutan hidup, sebuah keterpaksaan demi sesuap nasi da
Yasa meraup separuh wajahnya, menatap bocah lima tahun yang kini tengah merengek untuk ikut pergi dengannya, ke dokter kandungan. “Papi sama mami gak lama, mainlah sama Aga. Nanti, Papi beliin burger.” “NO BURGER.” Aya yang baru muncul dari dalam dan mendengar percakapan suaminya dan putra sulungnya itu sontak memasang wajah galak. Berhenti diantara kedua lelakinya itu lalu melipat tangan di atas perut yang sudah membuncit. Kehamilan ketiganya saat ini memasuki usia 5 bulan, dan hari ini, adalah jadwal untuk memeriksakan kandungannya. Mereka juga tidak sabar dan sangat penasaran untuk mengetahui jenis kelaminnya. Karena anak kedua mereka lagi-lagi berjenis kelamin laki-laki, dan diberi nama Telaga Dananjaya. Maka, keduanya berharap kalau yang ketiga ini, akan berjenis kelamin perempuan. “Why not?” protes Gara ikut melipat kedua tangannya di depan dada dengan bibir mungil yang mengerucut kecil. Mengikuti sikap sang mami yang ditunjukkan kepadanya.
Yasa terhenyak dan bangkit seketika. Terduduk sebentar lalu berlari ke kamar mandi. Terlihat sang istri yang tengah berlutut, menunduk seraya membuang semua isi perutnya ke dalam kloset duduk. Yasa yakin sekali kalau hari masih subuh, meskipun ia belum melihat jarum jam sama sekali.Bergegas menghampir Aya dan membantu untuk menyingkap rambut lalu memijat tengkuk sang istri. “Ke dokter ajalah, Mi. Udah dua hari begini terus.”Aya hanya bisa mengangguk pasrah kali ini. Menurut pada saran sang suami. Padahal dari kemarin, Aya sudah berencana akan mengunjungi Pras, tapi karena tubuhnya tiba-tiba drop, maka Aya membatalkannya.“Coba diinget-inget lagi, dua hari yang lalu habis makan apaan bisa sampai begini.”Tubuh Aya menegak, menyudahi kegiatan yang membuat tubuhnya lemas selama dua hari ini. Lalu bersandar pada sisi dinding kamar mandi untuk menetralkan napasnya. Seraya mengusap bibir dengan punggung tangan. Merasa tidak sanggup, un
Kedua orang yang dulunya pernah saling menyayangi dan berbagi segalanya itu, kini masih terdiam. Bintang memilih untuk masuk ke dalam dan duduk di ruang tengah. Memutuskan untuk memberi kedua anaknya itu kebebasan, untuk mengeluarkan semua yang ada di dalam kepala. Dan, ia hanya mengawasi jikalau ada hal yang tidak diinginkan terjadi. Namun tetap berharap semua akan baik-baik saja.Bintang sudah percaya penuh dengan keduanya. Mereka sudah tahu batasan mereka. Dan untuk Astro, Bintang tahu pasti, kalau pada dasarnya, pria itu sangat baik. Aster hanya salah dalam mendoktrin otaknya sedari kecil, hingga rasa benci itu tumbuh tanpa mengetahui semua alasan yang ada di baliknya.“Kata papa, Kak Astro mau jual rumah?” Akhirnya, Aya jugalah yang membuka topik pembicaraan. Tidak nyaman dengan perasaan canggung, yang kali ini mendera keduanya.Aya tidak mau mengungkit tentang kepindahan Astro ke Surabaya. Karena yang telah direncanakan kakak sepupunya itu, sud
Hanya senyum datar dan kekehan garing yang sedari tadi dilontarkan oleh Yasa, sepanjang ia menanggapi ocehan Lex serta Elo. Setelah diberi waktu untuk berpikir selama 24 jam oleh Sinar, dan juga demi Gara, akhirnya Yasa menandatangani surat perjanjian yang telah disodorkan kepadanya. Ada tiga buah salinan asli yang harus ditandatangani. Yang nantinya, surat tersebut akan pegang oleh Yasa, Sinar dan juga Lex, orang kepercayaan Pras. Entah kenapa Yasa tiba-tiba yakin, kalau keseluruhan ini, adalah rencana pria yang masih saat ini masih mendekam di penjara. Setelah semua selesai, Sinar menyunggingkan senyum kecilnya. Memandang puas pada berkas yang sudah berada di tangan. Untung saja, kan, ia menceritakan semuanya kepada Pras, hingga terciptalah sebuah perjanjian yang jika dipikirkan lagi, secara keseluruhan semua terlihat hanya menguntungkan pihak Sinar. Dengan adanya perjanjian tersebut, Pras bisa menilai, sejauh mana kesungguhan Yasa terhadap pernikahannya de
Pump heel setinggi 3 senti itu, berjalan mundur beberapa langkah dengan pelan. Menoleh, pada pria yang asik duduk di sofa lobi sembari menunduk. Ibu jari pria itu sibuk bergerak pada ponsel yang dipegang secara horisontal. Fix! Lagi-lagi pria itu pasti tengah sibuk dengan gamenya.“Nando!” panggil Sinar yang berdiri tidak jauh dari ponakannya itu. Tadinya, setelah keluar dari ruangan Elo, Sinar hendak pergi ruangannya. Namun diurungkan, hatinya yang memanas karana bertemu Yasa, membuat Sinar ingin pergi ke rooftop bar yang berada di gedung perkantoran. Menyesap sesuatu yang dingin, untuk mendamaikan kepala sekaligus hatinya.“Eh, Bunda di sini?” tanya Nando terlihat salah tingkah. Pria itu mengusap tengkuknya sebentar sembari menghampiri Sinar. Meraih tangan wanita dan mencium punggung tangannya. “Lagi ngapain, Bund? Asa mana?”“Ya kerja, lah kamu ngapain di sini?”“Aku … aku mau ketemu Asa.&rdq
Aya tersenyum canggung. Sebuah perasaan yang tidak pernah ada selama ini ketika bertemu dengan Tara, kini muncul. Rasa tidak nyaman karena mungkin, yang akan dikatakannya bisa menyakiti hati Tara. Selama ini, pria itu sudah terlalu baik untuknya. Meskipun terkadang sedikit sarkas, tapi Aya tahu, kalau di dalam sudut hati Tara, pria itu sangat menyayangi Aya juga Gara.“Tara …” Aya menggantung kalimatnya sejenak untuk menarik napas. Di kamar, ia sudah mengemasi pakaian yang selama ini diperolehnya dari Tara. Juga ada box bayi, pakaian Gara, dan segala keperluan Aya yang kesemuanya disediakan oleh pria itu ketika masih tinggal di vila. Sungguh, Aya berutang banyak pada Tara, dan pada akhirnya, ia belum mampu membalasnya. Justru malah hanya meninggalkan luka.Selama ini, Aya belum menyadari sepenuhnya kalau hatinya sudah tertambat pada Yasa. Aya pikir, kehidupan cintanya masih berpusat pada Astro, namun ia salah. Rasa sakit yang begitu menusuk ketika be
Yasa meneguk ludah hingga berulang kali. Melihat putranya menyesap ASI langsung dari tempatnya, membuat Yasa hanya bisa menggigit jari. Berbulan-bulan tidak melihat dan menikmati tubuh sang istri, membuat pusat dirinya memberontak. Dan, Yasa tidak mau tahu, setelah Gara selesai, maka dirinya juga harus mendapatkan giliran. “Apa, Gara kalau minum ASI …” Yasa kembali menelan ludah, maniknya sedari tadi hanya terfokus pada bibir sang putra yang bergerak lahap menyesap penuh puncak dada istrinya. “Gara kenapa?” tanya Aya memecah lamunan Yasa dalam sekejab. “Oh, itu, kalau minum ASI, apa selalu lama seperti ini?” “Tergantung, gak tentu juga sih. Suka-suka dia aja.” Wajah Yasa terlihat semringah ketika melihat Gara melepaskan bibirnya mungilnya. Namun sejurus kemudian, wajahnya kembali tertekuk ketika Aya hanya memindahkan posisi tubuh Gara untuk menyesap di tempat satunya. “Apa harus dua-duanya gitu dia minum?” decak Yasa sedikit sewot. Bel
Lidahnya benar-benar kelu, tidak mampu menjawab pertanyaan Yasa. Aya membuang wajah tidak punya keberanian untuk menatap Yasa. Tidak juga mampu untuk beranjak dari duduknya, karena Yasa memegang erat kunci sabuk pengaman yang menyilang pada tubuh bagian depannya.“Di mana dia, Ay?”Jantung Yasa berdegub membingungkan. Tidak mampu menjelaskan, seperti apa perasaannya saat ini. Ada rasa takut, gembira, cemas, dan juga kesal yang bercampur jadi satu. Sudut hatinya mengatakan bahwa anak itu ada, dan terlahir ke dunia. Tapi, kenapa Aya justru tidak mengatakan hal apapun pada dirinya.“Cahaya …” Yasa meraih dagu runcing Aya agar menghadap ke arahnya. Berusaha mengeluarkan kata selunak mungkin, meskipun ada lonjakan emosi yang ingin menuntut sang istri agar segera memberi penjelasan kepadanya. “Apa dia di dalam?”Bibir Aya terkatup. Seharusnya, ia bisa mencegah tangan Yasa agar tidak menjelajahi tubuhnya. Tapi di lain s
Aster menghampiri putranya yang baru saja menghempaskan tubuh di atas ranjang, setelah pulang dari kantor. Pria itu sudah tidak pernah lagi, menjejakkan kaki di unit apartemennya. Selalu pulang ke rumah sang mama dan menjadikan Aster sebagai tempat bercerita tentang kegiatannya, setiap hari.Aster menepuk paha putranya yang berbaring di ranjang. Kedua kakinya masih menjuntai ke bawah dan raut wajahnya sangat lelah.“Apa, tawaran kemarin sudah kamu terima?”“Belum,” Astro meletakkan kedua tangan di balik kepalanya sebagai bantal, menerawang kosong menatap langit-langit kamarnya. “Kalau aku terima, Mama pasti kesepian, aku gak bisa datang sewaktu-waktu ke Jakarta.”Aster menggeser sedikit bokongnya, agar bisa melihat wajah Astro. “Kalau Mama ikut kamu, gimana? apa kamu keberatan?”“Mama serius?” Astro bangkit dan keduanya kini duduk saling berhadapan. “Yakin mau ikut ke Surabaya? dan &