“Ada masalah dengan Aya, Pa?”
Bintang sampai lupa kalau ada Astro sedari tadi di rumahnya. Baru tersadar ketika pria itu menegurnya, setelah mengakhiri pembicaraan dengan Asa di telepon.
“Oh, Astro.” Bintang menghampiri Astro yang berdiri di ujung undakan teras. “Kamu ada perlu sama papa?” tanyanya tanpa menjawab pertanyaan Astro kepadanya.
“Ada, tapi sepertinya papa lagi ada masalah urgent.”
Bintang mengangguk kemudian menghela. “Apa bisa ditunda? Papa mau ke rumah Om El dulu.”
“Well, yaa, urusanku gak urgent, aku bisa ke sini lagi nanti malam.”
“Oke.” Bintang menepuk bahu Astro sekilas, kemudian melewatinya untuk masuk ke dalam rumah dan berpamitan terlebih dahulu kepada sang istri untuk pergi ke rumah Elo.
Sedangkan Astro yang masih terpaku di teras, sibuk bertanya dalam hati. Ada apa dengan adik sepupunya itu? kenapa Bintang sampai bertanya tentang keberadaan Aya kepada Asa?
Apa Aya kabur dari rumah? Ini pasti berka
“Nar, apa kamu gak terlalu kejam, misahin Aya yang lagi hamil sama suaminya?” tanya Flora setelah berbasa basi bertukar cerita panjang lebar lewat telepon. “Orang hamil itu butuh suami loh, Nar. Butuh keluarga, butuh bundanya juga. Tapi ini malah kamu lempar ke Surabaya.” Sinar menghela di ujung sana. “Aku gak tega sebenarnya,” terdiam sejenak untuk kembali menarik napas. “Satu yang belum aku ceritain sama kamu, kalau Aya sempat nekat bunuh diri, tapi dia malah koma selama dua bulan.” Flora ternganga, lalu bangkit terduduk dan bersila di atas ranjang. Mengerjab-ngerjab saat melihat sang suami keluar dari kamar mandi dengan memakai kaos oblong dan celana pendek. “Bunuh diri? koma?” Dahi Langit berkerut, menghampiri sang istri dan duduk di sampingnya. Menempelkan telinganya pada ponsel yang menempel di telinga Flora. “Ya,” hela Sinar. “Karena itu aku takut, Ra. Kalau dia di sini, nanti yang ada dia tertekan, stress, diam-diam depresi dan memutus
Astro terdiam, memasang raut wajah setenang mungkin. Tidak pernah terbersit sedikitpun kalau Bintang juga menyuruh Yasa untuk datang ke rumahnya malam ini. Bersamaan dengan kedatangan Astro yang sudah dijanjikan pagi tadi. Ketiga pria itu duduk terpisah jarak di ruang tamu mengelilingi sebuah meja persegi yang terbuat dari kayu, “Jadi, apa yang kalian berdua ributkan sampai-sampai Bunda Sinar memutuskan mengirim Aya keluar negeri!” Setidaknya, itu yang Bintang dengar dari Sinar, bahwa Aya saat ini berada di luar negeri, untuk menenangkan diri. Dan Bintang sangat yakin kalau putrinya itu berada di Singapura meskipun tidak tahu dimana tepatnya. Karena menurut pemikiran Bintang, Sinar tidak mungkin ceroboh dengan menempatkan Aya bersama Kaisar dan Eila. Hal tersebut sangat mudah ditebak dan Yasa pastinya sudah akan menemukan istrinya jika seperti itu. Kedua alis Astro sedikit tersentak sebentar, tidak ingin keterkejutannya telalu ketara. Rupanya
“Bundaaa, pinjam hape.” Jemari Sinar yang tengah menari di atas keyboard itupun berhenti sejenak. Mengangkat wajah untuk menatap Rendra yang bersandar pada bingkai kusen di bibir pintu. Anak bontot Sinar itu masih menggenggam ponsel miliknya ditangan. “Emang hapemu kenapa?” Sinar menatap tajam sebentar lalu kembali mengetikkan sesuatu di layar laptopnya, di ruang kerja yang biasa dipakai oleh Pras. “Pulsanya habis, aku mau telpon Rama sebentar.” ujarnya mulai melancarkan misi dari Yasa. “Aku mau nginap di rumahnya.” “M-bangkingmu dibuat apa? langsung isi pulsa kan bisa dari sana.” Begitulah kalau berdebat dengan sang bunda, tidak akan pernah menang. “Inet lagi gangguan, jaringan muter-muter dari tadi.” “Gak tuh,” balas Sinar. “Bunda pake wifi dari tadi lancar-lancar aja.” Jleb! Rendra masuk ke ruang kerja sembari memikirkan sebuah alasan logis, untuk menyanggah perkataan bundanya yang tidak lagi menolehnya sama sekali.
Pagi itu, Yasa tidak menginjakkan kaki ke rumah Bintang, seperti yang pria itu perintahkan. Karena jelang tengan malam, ia mendapati chat dari Rendra yang memberikannya beberapa informasi. Yasa yakin, semua yang dikirim oleh Rendra merupakan petunjuk, di mana istrinya saat ini tengah berada. Untuk itu, Yasa membeli ponsel beserta nomor baru untuk menghubungi nomor asing yang sudah diberi oleh Rendra. Flora …, Siapa Flora? Yasa tidak pernah sekalipun mendengar Aya bercerita tentang wanita bernama Flora. Dan, tidak ada satupun nomor dari dengan kode luar negeri yang dihubungi oleh Sinar. Tangan Yasa tremor. Jantungnya berdetak tidak menentu, saat hendak mendial nomor tanpa nama yang telah dikirim oleh adik iparnya. Hembusan napas yang menghentak, berkali-kali ia buang untuk menetralkan seluruh panca indranya agar tenang. Dengan kegugupan yang mendera, akhirnya Yasa menekan nomor yang dimaksud. Meletakkan ponselnya pada telinga,
Manik Astro teralihkan pada seorang gadis, yang terlihat menunggu giliran untuk masuk ke dalam mobil. Astro dan beberapa rekan kerja, termasuk Kurt, tengah berkeliling untuk mencari parkiran di basement sebuah pusat perbelanjaan. Sudah dua hari Astro berada di Surabaya, dan besok siang, akan kembali lagi ke Jakarta karena semua urusan kontrak dengan Caretoo sudah selesai. “Aku ada urusan bentar, pinjam Pak Joko, kalian duluan aja.” “Mau ke mana?” tanya Kurt pada Astro yang sudah keluar dari pintu belakang, namun kembali masuk ke kursi depan, di samping pengemudi. “Ada urusan sebentar.” kembali mengulangi perkataannya barusan, Astro menepuk bahu Joko, supir perusahaan yang bertugas mengantar mereka berkeliling ketika di Surabaya. “Ayo Pak!” “Mau ke mana, Mas?” tanya Joko menginjak kembali gasnya dengan perlahan. “Keluar aja dulu, ngikutin orang.” Manik Astro berpendar ke sana kemari. “Naah itu, Pak. mobilio putih di depan! Ikutin tapi j
Berkali-kali Astro memandang rumah yang pintunya terbuka lebar itu, dari dalam mobil. Mentari terlihat semakin meninggi, tapi dirinya masih saja sibuk menarik napas dalam-dalam dan menghelanya. Tidak tahu apa yang akan dibicarakan ketika nanti bertemu dengan Aya. “Mas, ayo! Kapan ketemunya kalau di dalam mobil terus!” Seruan Joko itu, mendadak memecah lamunan Astro. Ia pun menegakkan tubuh untuk meregangkan semua saraf ototnya yang kaku. Astro berdehem sejenak untuk menetralisir semua rasa. “Pak Joko, tunggu di sini bentar ya, saya gak lama.” “Lama juga gak papa, Mas. Sante ae! wong libur kok.” Sudut bibir Astro tertarik datar, kemudian keluar dan langsung menuju ke depan pintu rumah untuk menekan bel. Karena hunian cluster yang didatanginya memang tidak ada yang memakai pagar dari ujung ke ujung. “Sebentaar …” Soera yang sibuk di dapur, berjalan ke luar sambil berteriak. Kemudian tertegun sejenak melihat sosok yang begitu membuatnya t
Putus asa karena Aya tidak kunjung keluar, dan mau berbicara dengannya. Ditambah, dengan sikap seorang gadis galak yang semakin menyudutkannya. Akhirnya Astro menyerah, mungkin yang dilakukannya saat ini sangat menjatuhkan harga dirinya. Tapi Astro tahu, kalau hal itu tidak akan pernah sebanding dengan apa yang telah dilakukannya kepada Aya. Merenggut sebuah kehormatan yang tidak akan pernah bisa kembali seutuhnya. Luka yang diberinya mungkin akan terus membekas seumur hidupnya. Astro membuang napas dengan pipi yang menggembung. Tubuhnya merosot dengan kedua kaki yang menekuk ke belakang. Astro berlutut di depan pintu. Membuang seluruh ego dan rasa malunya. Pada dasarnya Astro merupakan pria yang lurus, punya satu cinta yang hanya ditujukan kepada Zetta. Selalu bersikap jujur dan adil dalam menggeluti profesinya. Namun, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Semua kebaikan tersebut selalu akan tetap berdampingan dengan sebuah nafsu, yang bisa saja menj
Kedua pria itu saling melempar pandang dengan sengit. Keramahan yang dulu selalu tercipta, kini sudah pergi entah kemana. Saling menuduh dan melempar argumen untuk saling menyalahkan pun sempat terjadi. Mungkin kalau tidak ada Langit yang menengahi, keduanya pasti sudah baku hantam. Yasa tentu saja menumpukan semua kesalahannya kepada Astro. Kalau Astro tidak datang menemu Aya, hal seperti ini tidak akan pernah terjadi. Sedangkan Astro, menyalahkan Yasa karena tidak becus dan tidak pantas menjadi suami Aya. Pikiran Yasa yang sempit itulah, yang membuat Sinar akhirnya menjauhkan Aya, dari suami seperti Yasa. Flora akhirnya keluar dari ruangan VVIP tempat Aya dirawat setelah mendapatkan penangan cepat dari dokter. Wanita itu menggeleng, memandang ketiga pria yang berdiri tegang untuk menunggu kabar, dengan bergantian. “Aya gak mau ketemu kalian berdua sama sekali,” telunjuk Flora mengarah pada Yasa dan Astro secara bergantian. “Dan Tante harap patuhi it
Yasa meraup separuh wajahnya, menatap bocah lima tahun yang kini tengah merengek untuk ikut pergi dengannya, ke dokter kandungan. “Papi sama mami gak lama, mainlah sama Aga. Nanti, Papi beliin burger.” “NO BURGER.” Aya yang baru muncul dari dalam dan mendengar percakapan suaminya dan putra sulungnya itu sontak memasang wajah galak. Berhenti diantara kedua lelakinya itu lalu melipat tangan di atas perut yang sudah membuncit. Kehamilan ketiganya saat ini memasuki usia 5 bulan, dan hari ini, adalah jadwal untuk memeriksakan kandungannya. Mereka juga tidak sabar dan sangat penasaran untuk mengetahui jenis kelaminnya. Karena anak kedua mereka lagi-lagi berjenis kelamin laki-laki, dan diberi nama Telaga Dananjaya. Maka, keduanya berharap kalau yang ketiga ini, akan berjenis kelamin perempuan. “Why not?” protes Gara ikut melipat kedua tangannya di depan dada dengan bibir mungil yang mengerucut kecil. Mengikuti sikap sang mami yang ditunjukkan kepadanya.
Yasa terhenyak dan bangkit seketika. Terduduk sebentar lalu berlari ke kamar mandi. Terlihat sang istri yang tengah berlutut, menunduk seraya membuang semua isi perutnya ke dalam kloset duduk. Yasa yakin sekali kalau hari masih subuh, meskipun ia belum melihat jarum jam sama sekali.Bergegas menghampir Aya dan membantu untuk menyingkap rambut lalu memijat tengkuk sang istri. “Ke dokter ajalah, Mi. Udah dua hari begini terus.”Aya hanya bisa mengangguk pasrah kali ini. Menurut pada saran sang suami. Padahal dari kemarin, Aya sudah berencana akan mengunjungi Pras, tapi karena tubuhnya tiba-tiba drop, maka Aya membatalkannya.“Coba diinget-inget lagi, dua hari yang lalu habis makan apaan bisa sampai begini.”Tubuh Aya menegak, menyudahi kegiatan yang membuat tubuhnya lemas selama dua hari ini. Lalu bersandar pada sisi dinding kamar mandi untuk menetralkan napasnya. Seraya mengusap bibir dengan punggung tangan. Merasa tidak sanggup, un
Kedua orang yang dulunya pernah saling menyayangi dan berbagi segalanya itu, kini masih terdiam. Bintang memilih untuk masuk ke dalam dan duduk di ruang tengah. Memutuskan untuk memberi kedua anaknya itu kebebasan, untuk mengeluarkan semua yang ada di dalam kepala. Dan, ia hanya mengawasi jikalau ada hal yang tidak diinginkan terjadi. Namun tetap berharap semua akan baik-baik saja.Bintang sudah percaya penuh dengan keduanya. Mereka sudah tahu batasan mereka. Dan untuk Astro, Bintang tahu pasti, kalau pada dasarnya, pria itu sangat baik. Aster hanya salah dalam mendoktrin otaknya sedari kecil, hingga rasa benci itu tumbuh tanpa mengetahui semua alasan yang ada di baliknya.“Kata papa, Kak Astro mau jual rumah?” Akhirnya, Aya jugalah yang membuka topik pembicaraan. Tidak nyaman dengan perasaan canggung, yang kali ini mendera keduanya.Aya tidak mau mengungkit tentang kepindahan Astro ke Surabaya. Karena yang telah direncanakan kakak sepupunya itu, sud
Hanya senyum datar dan kekehan garing yang sedari tadi dilontarkan oleh Yasa, sepanjang ia menanggapi ocehan Lex serta Elo. Setelah diberi waktu untuk berpikir selama 24 jam oleh Sinar, dan juga demi Gara, akhirnya Yasa menandatangani surat perjanjian yang telah disodorkan kepadanya. Ada tiga buah salinan asli yang harus ditandatangani. Yang nantinya, surat tersebut akan pegang oleh Yasa, Sinar dan juga Lex, orang kepercayaan Pras. Entah kenapa Yasa tiba-tiba yakin, kalau keseluruhan ini, adalah rencana pria yang masih saat ini masih mendekam di penjara. Setelah semua selesai, Sinar menyunggingkan senyum kecilnya. Memandang puas pada berkas yang sudah berada di tangan. Untung saja, kan, ia menceritakan semuanya kepada Pras, hingga terciptalah sebuah perjanjian yang jika dipikirkan lagi, secara keseluruhan semua terlihat hanya menguntungkan pihak Sinar. Dengan adanya perjanjian tersebut, Pras bisa menilai, sejauh mana kesungguhan Yasa terhadap pernikahannya de
Pump heel setinggi 3 senti itu, berjalan mundur beberapa langkah dengan pelan. Menoleh, pada pria yang asik duduk di sofa lobi sembari menunduk. Ibu jari pria itu sibuk bergerak pada ponsel yang dipegang secara horisontal. Fix! Lagi-lagi pria itu pasti tengah sibuk dengan gamenya.“Nando!” panggil Sinar yang berdiri tidak jauh dari ponakannya itu. Tadinya, setelah keluar dari ruangan Elo, Sinar hendak pergi ruangannya. Namun diurungkan, hatinya yang memanas karana bertemu Yasa, membuat Sinar ingin pergi ke rooftop bar yang berada di gedung perkantoran. Menyesap sesuatu yang dingin, untuk mendamaikan kepala sekaligus hatinya.“Eh, Bunda di sini?” tanya Nando terlihat salah tingkah. Pria itu mengusap tengkuknya sebentar sembari menghampiri Sinar. Meraih tangan wanita dan mencium punggung tangannya. “Lagi ngapain, Bund? Asa mana?”“Ya kerja, lah kamu ngapain di sini?”“Aku … aku mau ketemu Asa.&rdq
Aya tersenyum canggung. Sebuah perasaan yang tidak pernah ada selama ini ketika bertemu dengan Tara, kini muncul. Rasa tidak nyaman karena mungkin, yang akan dikatakannya bisa menyakiti hati Tara. Selama ini, pria itu sudah terlalu baik untuknya. Meskipun terkadang sedikit sarkas, tapi Aya tahu, kalau di dalam sudut hati Tara, pria itu sangat menyayangi Aya juga Gara.“Tara …” Aya menggantung kalimatnya sejenak untuk menarik napas. Di kamar, ia sudah mengemasi pakaian yang selama ini diperolehnya dari Tara. Juga ada box bayi, pakaian Gara, dan segala keperluan Aya yang kesemuanya disediakan oleh pria itu ketika masih tinggal di vila. Sungguh, Aya berutang banyak pada Tara, dan pada akhirnya, ia belum mampu membalasnya. Justru malah hanya meninggalkan luka.Selama ini, Aya belum menyadari sepenuhnya kalau hatinya sudah tertambat pada Yasa. Aya pikir, kehidupan cintanya masih berpusat pada Astro, namun ia salah. Rasa sakit yang begitu menusuk ketika be
Yasa meneguk ludah hingga berulang kali. Melihat putranya menyesap ASI langsung dari tempatnya, membuat Yasa hanya bisa menggigit jari. Berbulan-bulan tidak melihat dan menikmati tubuh sang istri, membuat pusat dirinya memberontak. Dan, Yasa tidak mau tahu, setelah Gara selesai, maka dirinya juga harus mendapatkan giliran. “Apa, Gara kalau minum ASI …” Yasa kembali menelan ludah, maniknya sedari tadi hanya terfokus pada bibir sang putra yang bergerak lahap menyesap penuh puncak dada istrinya. “Gara kenapa?” tanya Aya memecah lamunan Yasa dalam sekejab. “Oh, itu, kalau minum ASI, apa selalu lama seperti ini?” “Tergantung, gak tentu juga sih. Suka-suka dia aja.” Wajah Yasa terlihat semringah ketika melihat Gara melepaskan bibirnya mungilnya. Namun sejurus kemudian, wajahnya kembali tertekuk ketika Aya hanya memindahkan posisi tubuh Gara untuk menyesap di tempat satunya. “Apa harus dua-duanya gitu dia minum?” decak Yasa sedikit sewot. Bel
Lidahnya benar-benar kelu, tidak mampu menjawab pertanyaan Yasa. Aya membuang wajah tidak punya keberanian untuk menatap Yasa. Tidak juga mampu untuk beranjak dari duduknya, karena Yasa memegang erat kunci sabuk pengaman yang menyilang pada tubuh bagian depannya.“Di mana dia, Ay?”Jantung Yasa berdegub membingungkan. Tidak mampu menjelaskan, seperti apa perasaannya saat ini. Ada rasa takut, gembira, cemas, dan juga kesal yang bercampur jadi satu. Sudut hatinya mengatakan bahwa anak itu ada, dan terlahir ke dunia. Tapi, kenapa Aya justru tidak mengatakan hal apapun pada dirinya.“Cahaya …” Yasa meraih dagu runcing Aya agar menghadap ke arahnya. Berusaha mengeluarkan kata selunak mungkin, meskipun ada lonjakan emosi yang ingin menuntut sang istri agar segera memberi penjelasan kepadanya. “Apa dia di dalam?”Bibir Aya terkatup. Seharusnya, ia bisa mencegah tangan Yasa agar tidak menjelajahi tubuhnya. Tapi di lain s
Aster menghampiri putranya yang baru saja menghempaskan tubuh di atas ranjang, setelah pulang dari kantor. Pria itu sudah tidak pernah lagi, menjejakkan kaki di unit apartemennya. Selalu pulang ke rumah sang mama dan menjadikan Aster sebagai tempat bercerita tentang kegiatannya, setiap hari.Aster menepuk paha putranya yang berbaring di ranjang. Kedua kakinya masih menjuntai ke bawah dan raut wajahnya sangat lelah.“Apa, tawaran kemarin sudah kamu terima?”“Belum,” Astro meletakkan kedua tangan di balik kepalanya sebagai bantal, menerawang kosong menatap langit-langit kamarnya. “Kalau aku terima, Mama pasti kesepian, aku gak bisa datang sewaktu-waktu ke Jakarta.”Aster menggeser sedikit bokongnya, agar bisa melihat wajah Astro. “Kalau Mama ikut kamu, gimana? apa kamu keberatan?”“Mama serius?” Astro bangkit dan keduanya kini duduk saling berhadapan. “Yakin mau ikut ke Surabaya? dan &