"Terima kasih atas kopinya, Della!"Della tersenyum lalu melanjutkan langlahnya untuk kembali ke kelasnya setelah dia memberikan kopi pesanan ibunya pada supir perusahaan wanita itu. Della kembali secepat yang dia bisa karena dia tidak tahu apa yang akan dilakukan ibunya saat dia tidak ada di sana. Perasaannya semakin tidak enak semakin dekat dia ke ruang kelasnya. Della berusaha tetap tenang, saat dia berharap ibunya tidak akan terlalu marah kali ini. Karena antrian di kedai kopi tadi lumayan panjang, Della terlambat untuk kembali dan hanya bisa diam di luar kelas saat wali kelasnya mulai bicara di depan kelas. Della menatap ibunya dengan khawatir. Ekspresi wanita itu tidak terlalu baik, menandakan bahwa sesuatu yang buruk terjadi ketika dia keluar sebelumnya. Tidak. Della sudah tahu apa yang menyebabkan ibunya sampai bermuka masam begitu. Ibunya sudah tahu dia suka bermain game, semuanya sudah tamat baginya. " ... La!"" ... Della!""Della!"Della terhenyak saat Tamara memanggiln
Della berbaring lelah di kamarnya setelah lelah menangis seorang diri. Sekarang dengan larangan ibunya untuk menginstal game apa pun, Della hanya bisa menatap ke arah langit-langit kamarnya ketika dia sedih atau kesepian. Della bahkan tidak bisa mengadu pada siapa pun. Della merasa dia bisa gila kapan pun saat ini. Sendirian, di kamar besar miliknya. Ting!Della melirik lelah ponselnya. Melihat tingkah ibunya, Della khawatir teman-temannya bertanya tentang apa yang terjadi pada hari ini. Della tidak ingin bicara tentang itu. Namun ketika notifikasi pesan tersebut tidak berhenti juga, Della dengan kesal bangkit untuk mengecek ponselnya. [Austin: Della, apa kamu sudah pulang? Aku mencarimu sejak tadi.][Austin: Tolong maafkan aku. Aku memang salah, aku seharusnya tidak bicara seakan aku paling mengetahui posisimu. Apa kamu baik-baik saja? Aku ingin memberi tahumu sesuatu, tetapi tampaknya aku terlambat.][Austin: Bisakah kamu membalas pesan ini? Aku benar-benar khawatir sekarang. Haru
"Ah, kamu juga datang lebih cepat ternyata."Di dekat gerbang sekolah, Austin ternyata sudah menunggunya dengan pakaian yang cukup santai. Celana jins dan kaus hitam. Bagi Della yang selalu diatur ibunya, Della tidak akan pernah diijinkan untuk menggunakan pakaian seperti itu. Namun tidak diijinkan bukan berarti Della tidak tertarik. Matanya sedikit berbinar, saat dia melihat penampilan tampan Austin. "Aku biasa datang lebih cepat lima belas menit ke pertemuan apa pun," ujar Della menjelaskan. Austin mengangguk. "Aku juga sama," jawabnya. Jika Della di masa lalu yang mendengarnya, dia mungkin tidak akan percaya perkataan itu sama sekali. Namun kini Della sudah lebih mengenal Austin. Gadis itu tahu, Austin sebenarnya pria yang cukup bisa diandalkan dalam berbagai situasi. "Jadi, kamu akan membawaku ke mana? Aku sudah menggunakan waktu liburku yang langka untuk ini."Austin mengusap lehernya dengan perasaan malu saat dia memergoki Della menatapnya dengan senyuman samar di bibirnya. Au
"Bagaimana, menyenangkan bukan?"Della dengan cepat mengangguk setelah dia puas memainkan permainan apa pun yang dia inginkan bersama dengan Austin. Keduanya kini menutup perjalanan mereka dengan pergi ke taman yang letaknya di depan game center, dan menikmati makanan lezat yang mereka beli di sana. "Berbelanja di food truk, makan di luar, dan bersenang-senang di game center. Semua ini benar-benar pengalaman pertamaku yang berharga."Sambil menikmati makanannya sendiri, Della berucap dengan suara lembut. Austin pasti berusaha keras untuk menghiburnya hari ini. Semua perasaan sedih yang menggerogotinya, hilang sempurna khusus untuk hari ini. Walaupun Della sendiri tidak yakin apakah perasaan bahagianya akan tetap sama saat dia kembali, Della bersyukur setidaknya dia bisa menghabiskan waktu menyenangkan bersama dengan Austin. "Terima kasih Austin. Aku benar-benar bersyukur aku pergi denganmu hari ini."Dibalut dengan cahaya senja, Della tampak sangat cantik saat dia tersenyum lebar s
"Selamat pagi Della!"Ketika Della tiba di sekolah ke esokan harinya, teman-temannya segera menyambutnya seperti biasa. "Pagi juga untuk kalian," balas Della sambil tersenyum kecil. Matanya sedikit menggelap saat dia melihat Adam dengan wajah tidak berdosa tetap menyambutnya seperti biasa. Sekarang semuanya telah menjadi jelas bagi Della. Dengan bukti rekaman video yang Austin rekam, misteri tentang dari mana ibunya bisa tahu apa pun yang dia lakukan di sekolah akhirnya bisa terpecahkan dengan sangat mudah. Della tidak pernah tahu bahwa Adam tega melakukan semua itu padanya, bahkan ketika pria itu tahu betapa pengaturnya sang Ibu pada Della selama ini. Jika bukan karena mereka telah berteman sejak keduanya duduk di bangku sekolah menengah pertama, Della tidak akan mau repot berteman dengannya lagi setelah ini. Selama bertahun-tahun, Adam sama sekali tidak terlihat bersalah setelah dia mengadukan segala hal yang Della lakukan pada ibunya. Della pikir Adam adalah teman terdekatnya. Na
"Austin, Della mencarimu!"Pada jam istirahat, Austin benar-benar terkejut saat salah satu teman sekelasnya berteriak saat dia mencapai pintu keluar dari kelas tepat setelah jam istirahat berdering di seluruh penjuru sekolah. Mereka memang cukup dekat sekarang ini. Namun sampai ke titik di mana Della dengan terbuka mendatangi ruang kelasnya, Austin tidak pernah menyangka hubungannya dengan gadis itu akan berkembang sampai secepat ini. Saat Austin bangkit dari tempat duduknya untuk mengkonfirmasi keberadaan Della, pria itu menemukan bahwa gadis itu tengah berdiri di sebelah pintu ruang kelasnya. Della ikut mendongkak saat dia menyadari keberadaan Austin. Saat mata mereka bertatapan, bahkan jika Della terus berusaha terlihat baik-baik saja, gadis itu tetap tidak bisa menyembunyikan perasaan sedihnya di hadapan Austin. "Ingin bicara berdua?" ujar Austin menawarkan dengan suara yang lebih lembut dari biasanya. Della tanpa mengatakan apa pun langsung mengangguk. Keduanya berjalan menyusu
Di arah belakang mereka, Alvin menyapa dengan gugup saat dia melihat Austin berdiri di sisi Della. Ekspresi keduanya langsung berubah setelah kehadiran Alvin. Della terlihat terkejut bercampur heran. Sementara Austin, alisnya langsung berkerut dalam tanda bahwa dia tidak terlalu suka dengan kehadiran Alvin saat ini. "Um, baiklah. Di mana kita harus bicara?"Walaupun Della jelas bingung dengan kedatangan Alvin yang tiba-tiba ingin bicara dengannya, Della berpikir seseorang mungkin menganggu Alvin karena orang-orang banyak mengatakan bahwa Alvin memang sering diganggu oleh siswa lain. Dia memang sudah bukan ketua OSIS lagi saat ini. Namun terhadap semua siswa, Della masih merasa dia memiliki tanggung jawab untuk menolong semua orang. "Di ... Atap? Aku harus bicara padamu. Ini benar-benar penting."Sambil sedikit menunduk, Alvin terus bicara dengan nada gugup. Kerutan di alis Austin semakin dalam saat dia melihat tingkah laku Alvin yang sedikit aneh. Della mungkin tidak tahu. Namun Aus
"Pulanglah Nak. Tidak apa-apa, kamu bisa datang ke sini kapan pun kamu mau di masa depan. Austin akan segera sadar, Bibi percaya itu."Mata Della kembali berkaca-kaca saat dia ingat ibu dari Austin mengantarnya pergi dengan senyum sedih di wajahnya. Untuk ibu yang peduli seperti Erina, melihat anaknya koma tanpa ada kejelasan kapan dia akan bangun pasti telah sangat menghancurkan hatinya. Namun bahkan jika dia sedih, wanita baik itu masih sempat terus-menerus menghibur Della yang ketakutan. Wanita itu berusaha berkali-kali meyakinkan Della bahwa Austin akan baik-baik saja, walaupun dari matanya terlihat bahwa dia sendiri tidak begitu yakin dengan ucapannya. Pada wanita sebaik itu, orang tuanya sangat pantas disebut sebagai pasangan yang tidak punya hati. Mereka hanya mengucapkan kata-kata belasungkawa palsu, sebelum membawa Della pulang dengan cepat. Tindakannya benar-benar memperlihatkan bahwa mereka tidak peduli pada Austin selama Della baik-baik saja. Ah, bukan begitu. Bagi Della,
Di lorong rumah sakit, Della berjalan tergesa-gesa dengan pakaian kelulusannya. Setelah Della mendengar kabar yang diberi tahu oleh Erina, gadis itu tidak bisa menunggu lagi saat dia langsung pergi ke rumah sakit. Sama seperti Erina, mata Della sangat merah ketika dia tidak bisa menghentikan dirinya untuk menangis. Della tidak lagi peduli bahkan jika dia menjadi tontonan orang lain. Della hanya memiliki satu tujuan saat ini. Kakinya terus melangkah, sementara jantungnya berdetak semakin cepat. Sesuai dengan arahan Erina, Della pergi ke ruangan yang berbeda kali ini. Begitu Della memasuki ruangan itu, tangisnya yang tertahan akhirnya pecah juga. Della menangis seperti anak kecil, ketika dia melihat Austin telah membuka mata dan tersenyum saat melihatnya. Melihat bahwa seseorang tampaknya lebih merindukan putranya, Erina memberi kesempatan agar Della menjadi orang pertama yang menghampiri Austin. Wanita itu menangis bahagia, ketika dia melihat senyum di wajah dua remaja yang memiliki t
"Selamat atas kelulusan kalian semua!"Hujan bunga turun dari atas auditorium setelah Darius sebagai kepala sekolah, selesai dengan pidatonya. Semua murid bersorak senang, ketika mereka akhirnya selesai dengan jenjang sekolah menengah atas mereka. Dengan diputarnya lagu perpisahan, masing-masing murid segera berkumpul dengan teman mereka untuk merayakan momen perpisahan mereka. Beberapa dari mereka bahkan ikut menghampiri jajaran guru, dan mengungkapkan ucapan perpisahan mereka dengan tulus. Di auditorium besar itu, Della dikelilingi oleh teman-teman terdekatnya. Baik itu dari rekan OSIS maupun teman sekelasnya, mereka semua mengelilingi Della untuk mengucapkan kata-kata perpisahan mereka. Della membalas ucapan mereka semua dengan tulus. Mereka menghabiskan waktu baik bersama, sampai tatapan Della tiba-tiba jatuh pada seseorang. Setelah perpisahan terakhir mereka, Della memang tidak lagi pernah bicara dengan Adam. Pria itu juga tidak lagi berinisiatif mendekatinya, sehingga mereka m
Hari ini, Della menatap pantulan dirinya dari kaca yang ada di kamarnya. Dengan gaun sederhana berwarna biru muda, Della telah siap untuk menghadiri pernikahan sepupu Austin. Sejujurnya, Della merasa sangat gugup karena akan bertemu dengan anggota Guild Golden Clover untuk pertama kalinya. Namun gadis itu telah bertekad untuk datang, apalagi ketika undangan untuknya dikirim oleh Austin yang tidak sempat memberikan undangan tersebut secara langsung pada hari penusukannya. "Della, Di mana tempat ketua guildmu itu melangsungkan pernikahan? Jika kamu tidak keberatan, Mama bisa mengantarmu ke sana."Ketika Della bertemu dengan sang Ibu begitu dia ingin pergi, wanita itu langsung menawarkan diri untuk mengantar putrinya pergi. Namun Della menggeleng dengan yakin. Della melihat bahwa ibunya sendiri telah siap dengan pakaian kerja. Tanpa perlu bertanya, Della sudah tahu bahwa dia hanya akan menganggu waktu bekerja ibunya jika dia menerima tawaran itu. "Tidak apa-apa, Ma. Aku bisa menggunak
Della menatap sedih Austin yang masih tidak sadarkan diri di ruang ICU. Berhari-hari sudah terlewat semenjak Della tinggal di rumah keluarga Austin. Namun sampai saat ini, Austin tetap tidak juga mau membuka matanya. Hampir setiap hari Della berkunjung, dan kembali tanpa mendapatkan kabar yang baik. Hari ini juga tidak jauh berbeda dari hari yang lain. Della menunggu Austin bangun, sementara Austin tetap memejamkan matanya dengan damai. "Austin, ibumu telah banyak membantuku dalam menyelesaikan masalah yang aku miliki dengan orang tuaku."Dengan suara kecil, Della mulai bicara pada temannya itu. Entah mengapa, Della selalu merasa sangat nyaman saat dia bicara dengan Austin dengan cara seperti ini. Di depan Austin, Della merasa bahwa pria itu tetap mendengarkan semua ucapannya saat dia bicara. Austin ada di sana untuk mendengarkannya, sekalipun pria itu berada dalam kondisi koma saat ini. "Dia memberiku tempat tinggal, dan bertekad untuk membuat orang tuaku merubah pandangannya tenta
Warning! Chapter ini sedikit menyinggung kesehatan mental.Erina berjalan tenang saat dia memasuki restoran terkenal yang secara ajaib sepi untuk hari ini. Seperti yang diharapkan dari keluarga sehebat keluarga Della, bukan hal yang sulit bagi mereka untuk menyewa restoran terkenal selama sehari hanya untuk pertemuan antar orang tua. Seorang pelayan mengantarnya ke salah satu meja, di mana orang tua Della sudah menunggunya bersama dengan adik iparnya, Darius. Sejak awal, Erina memang tidak berharap orang tua Della mau menyambutnya dengan ramah. Namun tatapan dingin yang dia dapatkan setelah dia duduk, benar-benar terlalu tajam untuk Erina abaikan begitu saja. Wanita itu berusaha tersenyum sopan, walaupun kedua orang tua Della sama sekali tidak ingin bertukar keramahan dengannya. "Kami sibuk, jadi biarkan saya bicara langsung pada intinya. Della itu anak kami. Kami yang paling mengetahui apa yang ingin dia lakukan. Jadi kami harap, Anda segera mengembalikan Della ke tangan kami."Men
Kali kedua Della bangun, pemandangan yang asing segera menyambutnya. Ruangan bernuansa biru muda yang indah dan menyenangkan ini jelas tidak sama dengan ruangannya yang dipenuhi oleh buku dan terlihat kaku. Pakaiannya juga terlihat sedikit kebesaran untuk dia gunakan. Tidak lama kemudian, Della akhirnya ingat bahwa dia memang tengah menginap di rumah Austin. Ketika Della yang sudah tenang mengingat perilakunya kemarin, rona merah karena malu segera menjalar ke seluruh wajahnya. Bukan hanya menyusahkan ibu dari Austin, dia juga menunjukan sisi tidak pantasnya pada wanita itu. Della menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kali ini, dia tidak yakin dia memiliki keberanian untuk membuka pintu kamar dan bertemu dengan ibu Austin lagi. "Ah ya ...."Tangan Della perlahan turun saat pundaknya bersandar dengan lesu. Masalah yang lebih serius kini adalah fakta bahwa dia baru saja kabur dari rumah ketika ujian masuk kedokteran tinggal menghitung hari. Bahkan jika dia kembali ke rumahnya sekarang,
"Kamu bilang hasil interogasinya sudah keluar?"Berdiri di depan jendela kamarnya, Erina mendengarkan saat adik iparnya bicara bahwa mereka telah mendapat kemajuan tentang kasus Austin. Di tempatnya sendiri, Darius mengurut hidungnya dengan frustrasi. Setelah dia menunggu seharian untuk hasil interogasi orang yang menusuk keponakannya, hasil yang dia dapat ternyata malah masalah semacam ini. "Memang sudah keluar. Dari bukti rekaman CCTV dan hasil interogasi, sudah dapat dipastikan Alvin memang bersalah dalam kasus ini. Namun alasannya, aku benar-benar tidak percaya keponakanku harus berada di ambang kematian karena alasan semacam itu."Erina diam-diam mengepalkan tangannya saat dia terus mendengarkan ucapan Darius. "Aku siap mendengarkan," ujar Erina dengan yakin. Tatapan seriusnya perlahan-lahan berubah tidak percaya seiring dia mendengarkan penjelasan dari adik iparnya itu. Sama seperti Darius, Erina pada akhirnya ikut menutupi wajahnya dengan frustrasi. Sama seperti pria itu, dia
"Kalau begitu aku akan ke rumah sebentar untuk- Kita akan bicara lagi nanti. Della? Kenapa kamu ada di sini? Orang tuamu. Di mana orang tuamu, Sayang?"Erina yang baru saja keluar dari rumah sakit untuk kembali ke rumahnya dan mengambil beberapa barang yang tertinggal, terkejut saat dia melihat Della kembali dengan pakaian basah dan tengah berdiri kedinginan di depan pintu rumah sakit. Sekalipun giginya bergetar karena kedinginan, gadis itu dengan keras kepala tampaknya menolak untuk masuk dan hanya menatapi gedung rumah sakit tanpa berniat masuk ke dalam. Beberapa suster dan penjaga rumah sakit sudah berusaha membujuk sambil menanyai Della yang hanya terdiam. Namun gadis itu, tetap hanya berdiri seperti patung di lahan depan rumah sakit yang kosong. Melihat tatapan matanya yang redup, Erina tahu ada yang salah dengan gadis tersebut. Tatapan mata Della saat ini mengingatkan Erina pada tatapan mata anaknya sendiri saat kematian suaminya. Sedih, kesepian, bingung, dan takut. Semua pera
"Pulanglah Nak. Tidak apa-apa, kamu bisa datang ke sini kapan pun kamu mau di masa depan. Austin akan segera sadar, Bibi percaya itu."Mata Della kembali berkaca-kaca saat dia ingat ibu dari Austin mengantarnya pergi dengan senyum sedih di wajahnya. Untuk ibu yang peduli seperti Erina, melihat anaknya koma tanpa ada kejelasan kapan dia akan bangun pasti telah sangat menghancurkan hatinya. Namun bahkan jika dia sedih, wanita baik itu masih sempat terus-menerus menghibur Della yang ketakutan. Wanita itu berusaha berkali-kali meyakinkan Della bahwa Austin akan baik-baik saja, walaupun dari matanya terlihat bahwa dia sendiri tidak begitu yakin dengan ucapannya. Pada wanita sebaik itu, orang tuanya sangat pantas disebut sebagai pasangan yang tidak punya hati. Mereka hanya mengucapkan kata-kata belasungkawa palsu, sebelum membawa Della pulang dengan cepat. Tindakannya benar-benar memperlihatkan bahwa mereka tidak peduli pada Austin selama Della baik-baik saja. Ah, bukan begitu. Bagi Della,