Seandainya ia tak melakukan kecurangan pada Mad.
Seandainya ia tak melakukan kecerobohan dimasa lalu.Seandainya ia dulu mencintai Yatty dengan cara yang benar. Mungkin ini semua takkan pernah terjadi. Tapi sayang waktu terus berputar maju dan tak bisa untuk mundur walau hanya sedetik.“Maafkan aku, maaf. Aku memang salah, aku memang egois. Pergilah, jaga Edran baik-baik. Carilah pendamping yang kamu cintai dengan tulus. Mad bunuh aku sekarang, aku sudah siap menghadapi kematianku” ucap Edeve dengan tegas.“Ed—“Dorr“EDEVE!!” pekik Yatty saat melihat suaminya sudah tak berdaya, kepalanya tertembak oleh Mad.“Ed.... Hiks hiks” Yatty mengguncang tubuh Edeve yang masih terikat di kursi.“Terima kasih sudah berbaik hati untuk membebaskan ku dan juga Edran” ucap Yatty dan melangkah untuk keluar gudang, namun langkahnya terhenti ketika Mad mengucapkan hal yang membuat hatinya menjadi sangat takut.“Berani kau melaporkan polisi, nyawamu dan anakmu akan melayang sebelum aku masuk penjara” desis Mad dengan tatapan tajamnya.Yatty hanya menggeleng sebagai jawaban tanpa berniat menoleh kearah Mad dan melanjutkan langkahnya untuk keluar gudang. Yatty melihat anaknya yang sedang asyik memakan camilan sambil menonton televisi diruang tamu. Edran berlari kearah Yatty dan memeluk kaki Yatty.“Mom darimana? Edran panggil dari tadi” ucap Edran dengan polos sambil mendongak kearah Yatty.“Mom... Emmm mom” Yatty bingung ingin menjawab apa kepada putranya, akankah ia beritahu bahwa Dady nya telah dibunuh oleh seorang mafia kejam? Tidak! Ed masih terlalu sangat kecil untuk mengetahui itu semua.“Mom, ada apa? Kenapa mom gugup sekali? Mom sakit?” tanya Edran dengan raut wajah yang khawatir.Yatty berjongkok dihadapan Edran untuk menyamakan tingginya dan mengusap pipi gembil milik Edran“Tidak sayang, mom sehat kok” ucap Yatty dengan senyuman dan mencium pipi gembil Edran.“Apa aku bisa percaya padamu mom?”“Kenapa tidak?”“Bajumu banyak sekali noda darah mom. Itu darah siapa?” tanya Edran dengan polos.“Ini darah ti—“ ucapan Yatty terpotong saat tiba-tiba Mad datang sambil memasukkan tangannya ke saku celananya.“Itu darah Dady mu” ucap Mad dengan dingin“Darah Dady? Kenapa dengan Dady? Apa Dady terluka Mom?” tanya Edran dengan mata berkaca-kaca seperti ini menangis.“Dadymu—““Dady mu terbunuh” lagi-lagi Mad menyela ucapan Yatty. Edran sudah merintikkan air mata, anak mana yang tak menangis ketika ayahnya terbunuh? Kecuali, dia yang tak menyayangi ayahnya dan menginginkan ayahnya pergi.“No!!! Mom, paman ini bohongkan? Dady have promise with me for buy play station for me” teriak Edran dengan air mata yang sudah deras di pipinya.“Sstt tenanglah sayang” ucap Yatty dengan merangkul putranya penuh sayang. Tidak hanya Edran yang merasa kehilangan, namun dirinya pun sama. Sama merasakan kehilangan seseorang yang ia cintai. Edran melepaskan pelukan Yatty dan berlari meninggalkan Yatty yang sedari tadi memanggilnya.“Kenapa kamu mengatakan itu semua pada Edran?” tanya Yatty dengan sinis.“Lebih cepat, lebih baik” balas Mad dengab santai. Tiba-tiba Edran datang dengan sebilah pisau dapur, Yatty terkejut dengan apa yang dilakukan Edran, Edran menggores tangan putih mulusnya dengan pisau.“EDRAN!!! APA YANG KAU LAKUKAN?” pekik Yatty dan menggenggam tangan Edran yang memegang pisau dan hendak digoreskan pada denyut nadinya.Edran memberontak dan Yatty tetap merangkulnya dengan erat.“Lepaskan mom, lepaskan Edran!!! I want together with Dady” ucap Ed dengan teriakannya.“Edran tenanglah sayang, tenang” bisik Yatty. Edran sudah tenang dan tidak memberontak lagi, namun masih dapat didengar isakkan tangisannya. Yatty melepaskan pelukannya dan mengambil pisau ditangan Edran lalu membuangnya. Yatty menangkup wajah merah Edran akibat menangis.“Setelah Dady yang meninggalkan Momy, apakah Edran juga berniat meninggalkan Momy sendirian?” ucap Yatty dengan lembut.“Apakah Edran juga tega membiarkan Momy hidup sendiri, tanpa Dady dan Edran?” sambung Yatty. Edran hanya menggeleng dan menangkup wajah Yatty.“No mom, Edran tidak akan meninggalkan mom sendirian, Edran akan menggantikan posisi Dady untuk menjaga Momy” balas Edran dengan polos, lalu memeluk Yatty dengan sangat erat.“Good Boy” bisik Yatty sambil mencium puncak kepala Edran.Mad menyaksikan semuanya yang dilakukan Anak dan Istri Edeve. Mad tersenyum miring saat melihat Edran menggoreskan pisau ditangannya, Edeve mewariskan sifatnya pada Edran.“Gaston!!” teriak Mad dengan suara kerasnya. Gaston datang dengan menunduk hormat.“Ya tuan?” tanya Gaston“Siapkan helikopternya, kita akan kembali ke Italy sekarang." ucap Mad dan melenggang pergi meninggalkan Yatty dan Edran yang diam mematung melihat dirinya.Gaston mulai mengarahkan anak buahnya untuk bersiap-siap. Gaston sendiri bingung dengan tuannya, Mad bilang akan selama 3 hari di America. Namun sebelum sehari Mad sudah mengajakanya kembali. Gaston pikir, tuannya akan jalan-jalan dahulu mengunujungi negara bebas ini, namun pikirannya salah. Mad tetaplah Mad, yang tak menyukai jalan-jalan, baginya hanya membuang waktu berharganya.Mad sudah berada di dalam heli, dengan perlahan heli mulai menaikan ketinggian dan melaju meninggalkan mansion milik Edeve. Mad juga tak habis pikir, sudah sering kali ia ditipu dengan bertransaksi menggunakan uang palsu. Mad memandangi awan gelap dimalam hari, tiba-tiba wajah cantik milik Oliv terngiang penuh dipikirannya. Perlahan Mad menarik sudut bibirnya dan membentuk sebuah lengkungan senyuman.“Gadis nakal, berani sekali kau mengusik pikiranku” guman Mad dengan senyumannya.Olivya sedang menonton televisi dengan camilan kentang di pangkuannya. Rasa gemetar dalam dirinya begitu kentara saat ia melihat berita ditelevisi yang menunjukkan korban pembunuhan yang sangat sadis yaitu ulah Mad.“Seorang korban ditemukan tewas dimansion rumahnya sendiri. Diduga korban tersebut adalah seorang mafia yang menjadi buronan para polisi. Walaupun ia menjadi buronan polisi tapi tetap saja polisi akan menyelidiki kasus pembunuhan ini...”“Setelah hasil otopsi keluar, mafia tersebut tewas dengan tiga peluru yang bersarang diotaknya dan banyak sekali luka sayat di sekujur tubuhnya. Polisi tetap menyelidiki kasus ini, karena pembunuh tersebut sangat main bersih” ucap reporter tersebut. Olivya mengehela nafas gusar, sejak dua hari yang lalu, ada korban pembunuhan juga yaitu sama korbannya seorang mafia.Apakah pembunuhnya seorang mafia? Batin Olivya sambil melamun dan menggigit ujung kukunya.“Ahhh, kenapa para mafia suka sekali membunuh? Aku sangat trauma pada seorang mafia. Karena mafia lah, aku hidup sebatang kara” ucap Oliv dengan sendu. Oliv benar-benar trauma akan mafia, sangat trauma.“Ya Tuhan semoga jodohku bukan bagian dari seorang mafia atau anak buah mafia” gumannya sambil menatap ke atas seperti memohon sesuatu dengan Tuhan.“Semoga aku tak akan bertemu lagi dengan yang namanya mafia. Aku mohon padamu, Tuhan.”Dengan langkah panjang dan cepatnya, seorang pria sangat tergesa-gesa memasuki sebuah ruangan yang akan menjadi tujuannya saat ini. Sudah beberapa kali panggilan demi panggilan telah menyambar telinganya dengan tegas. Sangking banyak tugas yang meliliti otaknya, dengan terpaksa ia mengabaikan panggilan tegas itu. Pria itu menghirup nafasnya dalam-dalam saat tangannya sudah menyentuh handel pintu yang dingin itu. Kali ini ruangan yang ia masuki adalah ruang kerja ayahnya yang ada dimansion milik ayahnya ini. Jangan anggap sepeleh jika sang ayah sudah mengamuk. Ceklek Pria itu membuka pintunya dengan hati-hati, seakan takut jika sang pemilik ruangan ini tergganggu. “Kau terlambat 15 menit” ucap sang ayah saat pria itu sudah sepenuhnya memasukkan badannya kedalam ruangan itu. Pria itu menutup kembali pintunya. “Hanya lima belas menit? Itu tak terlalu lama” balas pria itu. Dirinya pun heran, entah kemana perginya rasa takut tadi. “Bukan soal lamanya, namun tentang kedisplinan dalam
Olivya POV Dapat kulihat dia sedang menggeram marah. Aku kaget saat ia mendorongku secara paksa masuk kedalam mobil sportnya ini, setelah itu dia menutup pintunya dengan sangat kencang. Dasar pria arogan, bagaimana kalo mobil bagusnya ini rusak? Emang seberapa kaya dia? Lihat tampangnya saja biasa saja.Tanpa aku sadari, aku menangis. Entah karena apa aku tiba-tiba menangis. Karena takut mungkin.“Heh kenapa kau menangis?” tanya pria arogan itu yang saat ini sudah disebelahku, lebih tepatnya dibagian pengemudi.“Tentu saja aku menangis, kau menculikku. Hiks...hiks..” ucapku dengan teriakkan.“Oh ayolah Vya—“ “Bagaimana kau tahu namaku heh? Pasti kau sudah merencanakannya sebelum menculikku.” Aku tahu dia menggeram marah, mungkin karena aku memotong ucapannya.“Dengar ini baik-baik Vya, Aku tidak menculikmu. Aku hanya mengamankanmu, okay?” balasnya.“Oh God, mengamankan ku dari apa? Apakah aku dalam bahaya?” “Ya, kau dalam bahaya”“Bahaya ten—““Kau ini cerewet sekali. Diam lah, dan
Olivya duduk diam diatas kasur sambil menonton acara tv. Siaran tv kali ini sangat membosankan bagi Olivya. “Acara tv-nya sangat membuatku bosan. Hm, aku jadi merindukan apartemenku.” Gumamnya dengan kesal.Matanya memincing saat mendengar suara gaduh didepan pintu. Suara itu seperti benda jatuh dan pada akhirnya pecah. Samar-samar Olivya mendengar suara bentakan diluar sana. Rasa penasaran terus mendorong Olivya untuk segera menguping dari balik pintu. Olivya melangkahkan kakinya dengan pelan mengarah pada pintu kamar. Telinganya ia tempelkan untuk memperjelas pendengarannya.“Dasar tidak berguna!! Sudah ku bayar mahal dirimu tapi apa yang aku dapat darimu, heh? Hanya omong kosong!!” Olivya mengernyit saat mendengar bentakan seseorang dengan sangat keras.“Seperti suara pria arogan,” gumam Olivya.“Maafkan aku tuan, mafia itu benar-benar susah sekali untuk dilacak. Gps tentangnya mati semua.” Suara seseorang dengan sangat pelan tapi tetap saja masih dapat didengar oleh Olivya.Disis
Aku merasakan ada seseorang yang memelukku dari belakang dengan sangat erat. Aku sedikit tersentak, saat tahu siapa yang sedang memelukku dari belakang, yaitu Mad. Aku tak berontak, entah mengapa. Aku merasa nyaman berada dipelukkannya. Sangat aneh memang, karena aku baru bertemu dengannya kemarin.Mad meletakkan dagunya pada ceruk leherku. “Vya,” panggilnya.“Hm?” balasku.Mad menyembunyikan wajahnya diceruk leherku dan aku merasakan pundak ku yang basah.Apakah ia menangis? “Mad? Kenapa?” tanyaku sambil mengusap rambutnya.“Biarkan seperti ini, Vya.” Gumannya dengan suara parau. Aku memilih diam dan berkutik dengan pikiranku.Tak lama kemudian, Mad mengangkat wajahnya dan memutar tubuhku hingga menatapnya. Benar dugaanku, pria ini habis menangis. Tapi mengapa? Matanya menyorot bahwa membuktikan kalau pria ini banyak sekali beban penderitaan dan kehancuran.“Ayo masuk, kau butuh istirahat.” Ucapnya masih dengan suara parau. Mad menarik tanganku dan aku menahan kakiku. Ia menoleh da
Olivya berdiri didekat jendela kamarnya. Kejadian kemarin sangat membuatnya trauma. Olivya melamun, perlahan air matanya turun melolos dipipinya. Terbayang bagaimana orang tuanya dibunuh dengan tragis.Saat itu, seharusnya aku tidak kabur. Sebaiknya aku mati bersama mereka batin Olivya."Shhh," ringis Oliv saat luka ditangannya terasa nyeri. Ia melihat perban ditangannya yang sedikit dilumuri darah. Luka sayatannya kembali mengeluarkan darah."Hidupku penuh dengan masalah." gumam Oliv. Pikirannya kembali pada kejadian kemarin.FlashbackSuara pukulan, tembakan, serta hantaman begitu kuat, masuk kedalam indera pendengaran Oliv.Didepan matanya, ia menyaksikan Mad sedang bertarung dengan banyak sekali orang-orang berbadan besar. Tubuh mungil Olivya bergetar hebat saat mendengar suara-suara tembakan serta jeritan yang berakhir kematian.Mad berhasil membawanya keluar dari kukungan wanita gila yang menyiksa Oliv. Tapi, sepertinya Tuhan masih ingin memberi cobaan. Saat sudah keluar dari ger
Mad duduk di bar mini yang tersedia di kamarnya. Mad sudah menghabiskan hampir tiga botol wine. Ia sangat khawatir dengan gadisnya. Dan rasa bersalah, terus menyelimutinya. Seandainya dia tak melakukan hal yang ingin mencium Olivya. Pasti tak ada rasa bersalah dalam dirinya. Baru kali ini, Mad dilanda rasa bersalah. Biasanya, apa yang ia lakukan hanya dianggap angin lalu.Mad mengambil rokok disebelahnya dan mulai menyalakan rokoknya. Menghisap rokok itu dan menghembuskan asap rokok dengan sangat santai. Menikmati setiap hembusan asap rokok.Deringan ponsel berbunyi. Mad mengambil ponselnya dan langsung mengangkatnya, tanpa melihat siapa si penelpon."Halo," ucap Mad sambil kembali menyesap rokoknya."Tuan, cepatlah kemari. Nona Olivya pingsan didalam kamar mandi. Wajahnya pucat dan suhu badannya naik.""Sial!!" rutuk Mad dan langsung mematikan rokoknya dan memasukkan ponselnya kedalam saku celana.Mad berjalan dengan sangat tergesa-gesa menuju kamar Olivya. Sesampainya didepan kamar g
Mad menduduki salah satu kursi yang ada di bar mini kamarnya. Mad membuka botol wine dengan sangat kasar. Amarah masih memuncak dikepalanya. Untung saja ia bisa menjaga kendali, jika tidak, ia akan bertindak lebih pada gadisnya."Kau milikku Olivya. Kau milikku." gumam Mad lalu menegak wine dari botolnya."Takkan kubiarkan siapapun merebut mu dariku." sambungnya.Mad merogo saku celananya untuk mengambil ponselnya.Ia menelpon seseorang."Gaston, Carikan aku jalang dari klub berkelas. Aku butuh pelampiasan." ucap Mad pada Gaston yang ditelponnya.Mad mematikan sambungannya, tanpa memberi balasan dari Gaston."Arrgghhh," gerang Mad dengan frustasi.Ting tongSuara bel kamar berbunyi."Masuk!" perintah Mad.CeklekGaston masuk dengan jalang disebelahnya."Permisi tuan, sesuai permintaan tuan. Saya bawakan jalang," ujar Gaston."Ish, berapa kali kubilang, aku bukan jalang. Kau membawa paksa aku." balas gadis yang berada disebelah Gaston."Diam lah," perintah Gaston.Mad memandangi gadis y
Olivya memutar bola matanya malas."Ya, aku bukan kekasihnya. Sekarang, ceritakan bagaimana kau bisa disuruh si pria arogan itu untuk menjadi temanku. Pasti dia memaksamu atau mengancam mu, right?"Verlyn mulai menceritakan kejadian yang ia alami mulai dari penculikan di kelab.Verlyn menyesap minuman alkoholnya. Ini adalah pertama kali dalam hidupnya mencoba minuman haram itu. Dan ini juga baru pertama kalinya ia menginjakkan ke tempat sesat ini.Dentuman musik serta lampu yang berkedip-kedip memang sangat memusingkan kepala. Namun, Verlyn saat ini butuh hiburan. Hari ini benar-benar kacau."Mau bermain denganku nona?" ucap seorang pria tua dengan kumis yang hampir memutih.Pria tua tersebut mencoba menyentuh kukuh mulus Verlyn, namun Verlyn langsung menepis tangan pria tua tersebut dengan kasar."Jangan macam-macam." desis Verlyn dengan tajam."Jangan terlalu takut gadis manis. Main sebentar yuk," ajaknya lagi."Jauhkan tanganmu. Aku tak sudi dengan bermain yang kau maksud." balas Ve
Setelah makan utama selesai, Olivya melarang mereka untuk beranjak dari tempat. Ia juga memerintahkan maid yang lain untuk membereskan semua sisa makan. Mereka berbincang-bincang di ruang makan sambil melemparkan candaan satu sama yang lain."Kate, dimana pacarmu?" tanya Olivya untuk menggoda anak itu."Hah? Aku tidak punya pacar, aunty. Apakah Allcy mengatakan kepada aunty kalau aku punya seorang pacar?" balas Kate."Tidak, Kate. Aku pikir kamu sudah punya pacar. Kamu cantik, masa iya tidak punya pacar.""Masa sih tan aku cantik?" tanya Kate untuk memastikan.Olivya mengangguk sambil tersenyum."HAHHHH, GUYS, AKU CANTIK MMPH–" Jenny menutup mulut sahabatnya ini saat berteriak cukup kencang, yang membuat seluruh orang kaget.Mereka semua tertawa saat melihat Kate yang berteriak karena baru saja dipuji cantik."Apa sih, Jen? Kamu ga suka kalau aku dipuji cantik? Kamu iri ya?" tanya Kate dengan nada mengejek yang dibuat-buat olehnya."Kak Kate engga cantik. Kalau cantik, berarti kak Kat
Tok tok tokSeseorang mengetuk pintu kamar Olivya. Olivya yang sedang menyisiri rambutnya didepan cermin meja rias pun segera bangkit dan membuka pintunya untuk mengetahui siapa yang telah mengetuk pintunya."Allcy, ada apa?" tanya Olivya. Allcy lah yang telah mengetuk pintu kamar Olivya."Mama, apakah ruang bioskop nya sudah bisa aku gunain?" tanya Allcy."Sudah, sayang. Tapi bentar, sekarang jam berapa?" tanya Olivya.Allcy menatap kearah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Pukul lima sore, Ma." jawab Allcy."Pukul tujuh harus sudah haru berada di ruang makan ya, bersama ketiga sahabat mu. Kita makan malam bersama."Allcy mengangguk saja dan berpamit untuk pergi. Olivya menutup kembali pintu kamarnya. Ia berjalan menuju sebuah lemari berukuran cukup besar. Ia membuka lemari itu dan mengambil sesuatu di dalamnya. Saat mendapatkan apa yang dia ambil, Olivya kembali menutup pintu lemari besar itu. Ia berjalan menuju meja baca sambil membawa sebuah kotak berukuran panja
Milan, Italy 03.00 PMHampir menjelang sore hari, jalanan kota Milan terus saja ramai kendaraan yang berlalu-lalang. Mulai dari mobil, pejalan kaki, truck besar, sepeda motor, serta kendaraan lainnya.Empat orang gadis cantik yang sedang berada dalam mobil, sedang menikmati hujan di sore hari. Mereka merasa segar, karena baru saja melalukan perawatan wajah dan tubuh. Ditambah udara sejuk di sore hari.Lampu hijau berubah menjadi merah. Kate yang saat ini menggantikan Jenny untuk menyetir mobil milik Jenny. Radio musik di putar dengan cukup kencang.Elizabeth terus menatap jalanan yang ramai. Baru kali ini ia pergi keluar bersama seorang sahabat dan melalukan aktifitas seperti orang normal. Mungkin bagi diri Elizabeth, ini tidak normal. Setiap hari hidupnya selalu diatur dua puluh empat jam.Hari ini ialah hari yang cukup membahagiakan bagi Elizabeth dan juga ketiga sahabatnya. Kesempatan bagi dirinya untuk membebaskan diri."Allcy, apakah kita mampir dulu ke supermarket?" tanya Kate s
Allcy baru saja usai menelpon Mama nya untuk meminta izin jika dia akan pulang lambat. Selain itu, ia juga meminta izin agar diperbolehkan sahabat-sahabatnya ini menginap dirumah. Allcy, Elizabeth, Kate dan Jenny berjalan masuk kedalam mobil milik Jenny. Jenny sengaja menyetir mobil sendiri tanpa menyuruh sopirnya.Elizabeth juga sudah menelpon sopirnya agar datang ke sekolah dengan membawa pakaian ganti Elizabeth untuk menginap dirumah Allcy. Elizabeth juga tak lupa memberikan tas sekolahnya kepada sopirnya dan ia membawa tas yang berisi pakaian ganti yang dibawakan oleh sopirnya.Allcy duduk didepan, disebelah kursi sopir. Sedangkan, Elizabeth dan Kate duduk dibelakang. Jenny memutar musik untuk menghilangkan kesunyian."El, kenapa kamu tidak beli saja pakaian baru di mall nanti? Biar sopirmu tidak perlu membawakan baju ganti mu." tanya Kate yang berada di samping Elizabeth.Elizabeth tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Tidak, Daddy tidak memberikan aku izin."Kate mengerutka
Elizabeth melangkah sepanjang koridor sekolah. Seperti biasanya, dia tetap menjadi sorotan mata seluruh siswa. Apa mungkin kulitnya yang terlalu putih?Elizabeth menundukkan pandangannya. Ia tak memiliki cukup keberanian untuk mengangkat kepalanya dan menatap balik semua siswa disini. Saat ini ia datang lebih awal dari ketiga sahabatnya.Brukkk"Aww!" ringis Elizabeth dengan pelan saat ada seseorang yang menabrak dirinya."Hei, jalan pake mata bisa nggak?" bentak seorang gadis yang bertabrakan dengan dirinya."M-maaf, sekali lagi aku minta maaf." gumam Elizabeth dengan pandangan yang senantiasa menunduk."Lain kali gunakan mata untuk jalan, jangan nunduk terus."Plakkk"Aww.."Elizabeth mengangkat pandangannya saat gadis di depannya ini meringis kesakitan. Dia melihat kota susu kosong yang di lemparkan seseorang kepada gadis didepannya ini."Bodoh! Jalan itu pakai kaki." ujar seorang gadis yang sudah berada di samping Elizabeth.Kate. Gadis itu yang melempar kota susu kosong kearah ga
Olivya sedih jika harus pulang sekarang. Baginya, waktu begitu sangat cepat berlalu. Jam sudah menunjukkan pukul enam sore. Adrian, Olivya dan Allcy hendak bersiap-siap untuk masuk kedalam mobil milik keluarga Midleton.Mad merengkuh pinggang Olivya dengan cukup erat. Rasanya, tidak ingin ia harus berpisah dengan istrinya itu."Daddy, kapan Daddy akan ikut bersama kami?" tanya Adrian.Mad berjongkok didepan Adrian untuk mensejajarkan tubuhnya dengan putranya."Saat di rasa sudah waktunya, Daddy akan sesegera mungkin untuk pulang." balas Mad."Tapi Daddy janji ya kalau sudah pulang ke mansion, tidak boleh lama lagi."Madrick mengangguk kepalanya. Ia mengecup puncak kepala Adrian dan setelah itu mengecup puncak kepala Allcy."Jaga Mommy ya. Adrian kan jagoan Daddy." pinta Mad pada putra kecilnya."Pasti Daddy."Mad mengantarkan Olivya, Allcy dan Adrian untuk masuk kedalam mobil. Keluarga kecil Midleton hanya melihat adegan itu dari ambang pintu castle.Mad terus memantau mobil yang di t
Olivya dan Mad saling berpelukan satu sama lain. Mereka saling mengeratkan pelukan dan seakan tak ingin melepaskan. Allcy yang melihat kejadian di depannya pun merintikkan mata tanda bahagia.Setelah penantian yang cukup lama akhirnya Mama dan Papanya bertemu. Tanti hentinya Allcy mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan karena telah pertemukan Olivia dengan Mad.Adrian yang berdiri tidak jauh dari kakaknya pun kebingungan melihat Mommy nya berpelukan dengan seorang pria yang belum dia ketahui.Apakah dia Daddy? batin Adrian.Mad melepaskan pelukannya ia menatap wajah Olivya dengan sesakma. bibir mendarat ke dahi Olivya tanda sebagai memberikan sebuah ciuman setelah sekian lama berpisah."Mad, akhirnya.." gumam Olivya.Mad menggangguk, ia begitu bahagia disaat melihat istri tercintanya ada di depan matanya."Mom?" panggil seorang anak laki-laki. Olivya menoleh kearah Adrian yang tadi memanggilnya.Mad pun melihat kearah Adrian. Pria itu berjalan kearah Adrian. Mad hendak memeluk Adrian, n
KringggggSuara bel sekolah berbunyi untuk memberitahu kepada seluruh siswa, bahwa pelajaran jam pertama akan dimulai.Allcy, Kate, Elizabeth dan Jenny berjalan bersama sepanjang koridor sekolah untuk menuju kelas mereka. Tak sedikit pasang mata yang menatap kearah mereka."Tidak biasanya kita di lihatin seperti ini." bisik Kate pada Jenny."Semenjak kita berteman dengan Elizabeth, banyak yang memperhatikan kita." balas Jenny."Eumm, apakah aku melakukan kesalahan karena berteman dengan kalian?" tanya Elizabeth."Tidak!! Kenapa kamu berpikiran seperti itu?" seru Kate.Mereka pun melanjutkan langkahnya tanpa mempedulikan tatapan dari seluruh siswa.Setelah sampai di kelas, Allcy meletakkan tas nya dengan malas. Entah mengapa ia tak begitu semangat untuk hari ini."Allcy kenapa?" tanya Elizabeth pada Kate.Kate pun mengalihkan pandangan nya kearah Allcy. "Itu sudah hal yang biasa terjadi pada Allcy. Hampir tiap pagi, ia tak begitu semangat."Elizabeth berjalan menuju meja Allcy."Allcy,
Olivya berjalan mendekati Adrian. Ia menarik putranya kedalam rangkulan nya. Dipeluknya Adrian dengan sangat erat, dan membiarkan putra sulungnya ini menangis."Adrian sayang, Adrian nggak boleh ngomong gitu ya. Daddy disana juga merindukan Adrian." ucap Olivya dengan nada pelan."Mommy bohong kan? Daddy engga sayang Adrian lagi Mom.""No, baby. No. Daddy sangat sayang padamu." Olivya melepaskan pelukannya. Ia menghapus air mata putranya sambil tersenyum.Olivya mengajak putranya untuk duduk di sofa panjang yang terdapat di ruang kerja Mad."Adrian mau tau sesuatu ga?" tanya Olivya."Apa Mom?"Olivya tersenyum hangat. "Dulu, saat Adrian masih berada di perut Mommy, Daddy terus saja mencium perut Mommy. Daddy terus saja mengajak Adrian bicara. Dan Ian tau ga? saat Ian lahir, Daddy adalah orang pertama kali yang Ian liat saat membuka mata. Mommy tau, Ian engga akan ingat hal itu, tetapi Ian harus percaya kalo Daddy sangat menyanyangi Ian melebihi apapun." cerita Olivya pada putranya."L