Conan telah berangsur stabil, raut wajahnya tak sepucat tadi. Conan perlahan membuka matanya. Yang terlihat pertama kali adalah kepala Ibunya yang menunduk seraya memegang salah satu tangannya.
“Ibu,” suaranya terdengar begitu lemah. Clarisa yang mendengarnya segera mengangkat dagunya ke atas sehingga dia bisa melihat Conan yang sudah mengulas senyum untuknya.
“Sayang, bagaimana keadaanmu? Bagian mana yang sakit?” Clarisa bertanya dengan cemas.
“Aku tidak apa-apa Bu, maaf karena membuat semua orang khawatir.” Ia mengedarkan pandangannya. Semua orang tampak cemas dan berkumpul di sekitarnya.
“Christ, kemarilah.” Conan menyadari Adiknya yang sudah berlinang air mata. Ia tersenyum lembut padanya. Christian menghampiri Conan yang terbaring di sofa. Christian yang terisak membuat semua orang sedih.
“Maaf Christ, sudah membuatmu terkejut. Aku tidak akan meninggalkanmu begitu cepat.”
Tok tok terdengar suara pintu di ketuk. “Ayah, apa aku boleh masuk?” suara khas anak-anak itu terdengar dari balik pintu. “Masuklah.” Lukas mempersilakannya untuk masuk ke dalam. Sesaat kemudian Christian masuk. Ia melihat Lukas tengah bergelut dengan pekerjaannya. “Ayah,” suaranya kembali menggema di seisi ruangan. “Ada apa?” Lukas menghentikan aktivitasnya, lalu menatap ke arah Christian yang berjalan masuk. Christian berdiri di hadapan Lukas mereka hanya terpisah oleh meja yang menghalangi keduanya. “Ayah, bolehkah aku bersamamu?” Christian meminta waktu untuk berdua. Lukas menatapnya lekat. “Mendekatlah.” Lukas melebarkan kedua tangannya untuk menyambut kedatangan Putra keduanya. Christian dengan senang hati dia berhambur ke dalam pelukannya. “Tidak biasanya kau manja seperti ini?” Lukas mengusap lembut punggung kecilnya. “Aku? Hanya saja aku ingin lebih lama menghabiskan waktuku dengan Ayah. Karena sejak dulu
Dokter dan perawat keluar bergantian. Di luar pintu mereka sudah di tunggu oleh Nari, dan yang lainnya. “Dokter, bagaimana keadaannya?” Nari bertanya dengan keadaan tubuh yang gemetar. Suaranya tertahan menahan tangis. “Saat ini keadaannya sudah stabil kembali. Tuhan masih memberkati pasien. Tetapi kami tidak bisa menjaminnya. Semoga saja pasien dapat melewati masa kritisnya.” Selesai menjelaskan para Dokter dan perawat meninggalkan semua orang yang tertunduk lesu. Tubuh Nari mundur ke belakang, kedua kakinya seakan tidak bisa lagi menahan berat beban tubuhnya sendiri. Marvel dengan sigap menangkap tubuh Nari yang terhuyung. “Kau tidak apa-apa?” Marvel bertanya dengan cemas. Nari tak mampu berkata. Sorot matanya begitu kosong. Gerald dan Raymond juga tidak hanya khawatir dengan Yo Han. Nari juga tak luput dari perhatian mereka. Marvel membawa Nari untuk duduk di kursi tunggu, Gerald mendekati Nari. Ia setengah berlutut di
Di mansion terasa begitu ramai. Christian berlarian di antara anak tangga, sedangkan yang mengejarnya adalah Clarisa.“Christian, hati-hati Nak.” Lukas sedikit ngeri jika Putra keduanya terjatuh. Begitu pula dengan Clarisa dia berusaha mendapatkan Putranya.Lukas yang berada di lantai dua mengedarkan pandangannya. Tatapan matanya jatuh pada Conan yang tengah bersandar pada sofa. Pakaiannya sudah rapih dan siap untuk pergi. Athes telah menungguinya sedari tadi untuk membawanya ke rumah sakit menjalankan semua pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang perawatannya. Wajahnya begitu tenang dan damai, tak ada sedikit pun kegelisahan yang menghantuinya.Lukas berjalan dengan anggun saat menuruni anak tangga, dirinya begitu berkarisma dan berwibawa. Clarisa yang lelah mengejar Christian, menjatuhkan tubuhnya di atas sofa, wajahnya yang penuh keringat namun, tetap terlihat cantik itu memandang ke arah Putra sulungnya Conan yang sedang memejamk
Conan yang berjalan di belakang Lukas, menatapnya dari arah belakang. Ia memandangi sosok Ayah yang memberinya kehidupan. Conan berjalan dengan suasana hati yang sangat baik. Tiba-tiba Lukas berbalik. “Mengapa tidak berjalan di samping Ayah?” Lukas menatap anaknya dengan tatapan yang dalam. “Aku hanya ingin melihat Ayah dari belakang.” Sembari tersenyum Conan melangah ke samping Lukas. Ia menggenggam erat tangannya dan mengajaknya melanjutkan langkahnya. "Ayah siapa itu?" Conan bertanya dengan penasaran. “Siapa? Ah, itu adalah wanita yang sangat dicintai oleh paman Lukas.” Lukas bicara dengan seraya mengulas senyum di wajahnya. “Jika itu wanitanya, mengapa tidak berada di sisi paman Yo Han?” Conan menghentikan langkahnya. Lukas juga berhenti dia hanya tersenyum menanggapi pertanyaan yang dilayangkan oleh Putranya. Lukas dengan setengah berlutut Lukas bicara pada Conan. “Bukannya tidak ingin menemani, tetapi ada sesua
Di sudut jendela rumah sakit berdiri seorang wanita muda, tatapannya begitu kosong saat menatap rintik hujan yang turun membasahi bumi. Di kaca jendela ia menempelkan telapak tangannya di sana. Bayangan ini dan itu memenuhi kepalanya. Kenangan manis semakin tergambar jelas dalam ingatannya. Momen saat Yo Han pertama kali pura-pura berkencan dengannya itu adalah kenangan yang sangat indah baginya. Flashback “Apa kau sudah gila? Mengapa kau bilang jika kita pernah tidur bersama?” “Sudah Kukatakan bahwa kita ini berkencan. Bukannya tidur bersama!” Nari setengah berteriak di dalam bar tempat mereka minum. Nari meneguk kembali bir yang ada di tangannya, kemudian ia menggebrak meja lagi di hadapan Yo Han. “Ya! Apa kau sungguh mengatakan bahwa kita ini berkencan?” Nari menatap Yo Han dengan tajam. Sedangkan Yo Han hanya terdiam di tempatnya. “Siap! Karena di kalangan militer semuanya menganggap berkencan itu setara dengan tidur b
Nari menatap Yo Han dengan tatapan yang sangat dalam. Sorot matanya memancarkan kesedihan dan juga kesepian. Nari menggenggam erat tangan Yo Han mencoba untuk mengajaknya bicara. Nari setengah berbisik di sebelah telinga milik Yo Han. “Hai tampan, bagaimana kabarmu?” “Aku sangat kesepian tanpamu, tak bisakah kau bangun sebentar? Aku sangat merindukanmu!” namun, tak ada reaksi dari Yo Han. “Aku mohon bangunlah, jangan biarkan aku sendirian di dunia ini. Aku sangat membutuhkanmu, aku tidak ingin kau pergi meninggalkanku.” Nari mengecup punggung tangan Yo Han yang masih saja tidak sadarkan diri. Suara monitor gelembung oksigen, tetesan infus yang mengalir ke dalam tubuh Yo Han semakin memberi kesan yang mencekam. Deraian air mata terus memenuhi wajah pucat Nari. Matanya sembab karena terus menerus menangis tanpa henti. “Yo Han, jika kau meninggalkanku. Aku tidak akan pernah memaafkanmu. Sungguh!” “Hei! Apa kau masih ingat saa
Christian dan Diora bermain bersama, mereka juga menikmati hidangan yang di sajikan oleh pihak restoran di meja yang sama. Sementara para orang tua berada di meja yang terpisah. Christian begitu menikmati waktu bersama dengan Diora. Begitu pula dengan sebaliknya, Diora sangat bersemangat saat berbincang dengan Christian. Clarisa tidak menyangka bahwa Putranya dapat cepat akrab dengan Diora yang notabenenya baru saja bertemu. Tak terasa hari telah menjelang sore, Christian sebenarnya tidak ingin berpisah dengan Diora. Tetapi Neneknya menjamin jika nanti ia akan di pertemukan lagi dengan Diora di acara selanjutnya. “Christian, sampai jumpa!” Diora yang berada di dalam mobil melambai pada Christian yang masih menunggu supir untuk menjemput mereka. Christian hanya tersenyum hingga bayangan mobil yang di kendarai oleh Diora hilang berbaur dengan mobil yang memadati jalanan. Clarisa menyadari sikap Christian, dia tahu bahwa Putranya t
Di sebuah ladang ranjau yang telah diamankan. Yo Han terbangun langit telah berganti. Cahaya matahari di sore hari membuat Langit berwarna Merah. Seorang wanita tengah berdiri di antara cahaya yang menutupinya. Yo Han merasakan silau di kedua matanya, ia mencoba bangkit dari tidurnya. Yo Han duduk memandangi wanita yang tersenyum hangat sembari membawa setangkai bunga liar. “Lihatlah indah bukan?” Nari memperlihatkan bunga yang sedang dia genggam pada Yo Han. “Eng, ini sama indahnya denganmu!” Yo Han bangkit. Ia memeluk Nari dari belakang. Keduanya memandangi langit yang semakin Merah. Ia mencium pipinya sesekali. “Di mataku kaulah yang terindah. Aku bahkan tidak bisa berpaling darimu. Saat yang selalu di rindukan oleh keduanya adalah menghabiskan waktu bersama. Satu tangannya menyentuh lengan Yo Han. Sedang yang satunya lagi tetap memegang setangkai bunga liar. Nari tampak menikmati waktu saat melihat matahari terbenam. Perlahan cahaya i
Kabar kematian Conan sudah tersebar pada keluarga maupun para sahabat Lukas. Bahkan Yo Han yang menghilang sejak setahun lalu pun mendengar kabar tentang putra sulung Tuan muda Jiang yang meninggal. Yo Han begitu kaget saat mendapat pesan dari salah satu orangnya yang mengatakan bahwa Putra sulung Lukas meninggal. Yo Han segera naik jet pribadinya untuk sampai ke Jincheng, sedangkan yang lainnya sudah berdatangan ke rumah duka. Lukas terduduk lemah di depan Altar ia bagaikan mayat hidup Lukas kehilangan gairah hidupnya. “Bagaimana dengan Clarisa apa dia sudah tahu tentang kabar Conan?” Joana begitu khawatir tentang mental Clarisa. “Lukas belum memberi tahunya, lagi pula Clarisa masih tidak sadarkan diri setelah menjalani operasi.” Sahut Gerald. “Aku tidak tahu bagaimana perasaan Lukas saat ini yang jelas itu sangatlah menyakitkan.” Raymond menatap iba pada Lukas yang terus memberi hormat pada setiap pelayat. Gerald mengedarkan pandangannya ia
2 bulan penuh Conan berada di rumah sakit, Conan sendiri lebih tahu tentang kondisi tubuhnya ketimbang orang lain. Ia tetap berusaha seceria mungkin dan sesering mungkin ia tersenyum dan tertawa walau hanya gurauan yang garing. Ia terlihat lebih menikmati hidupnya. Conan di pulangkan karena ia ingin tinggal dan dirawat di rumah. Semua orang di mansion menyambutnya, kebahagian mulai menyelimuti keluarga Lukas karena Clarisa juga tengah mengandung anak ketiga Lukas. Orang-orang begitu bahagia begitu pula dengan Conan dan Christian yang akan menjadi calon kakak bagi adiknya saat lahir kelak. “Betapa beruntungnya dia saat lahir nanti sudah memiliki dua Kakak yang sangat tampan dan bisa diandalkan. Aku sangat iri padamu.” Ucap Joana saat berada di mansion. Clarisa hanya tersenyum tipis jika mengingat Conan yang mungkin tidak akan sempat melihat adik kecilnya lahir ke dunia. Lukas masih terus berusaha mencari-cari rumah sakit di luar negeri yang bisa menyembuhkan C
Di depan ruang IGD semua orang menunggu dengan cemas, saat dibawa ke rumah sakit Conan sudah kehilangan kesadarannya. Christian masih shock dengan apa yang menimpa Conan tubuhnya yang basah membuatnya menggigil. Karena terburu-buru mereka melupakan Athes dan juga Christian yang dalam keadaan basah kuyup. “Anakku, tidak apa-apa. Conan pasti baik-baik saja.” Clarisa mendekap Christian dengan rasa takut yang menyelimuti hatinya. “Sebaiknya kalian berdua berganti pakaian, Jay sudah membawakan pakaian ganti untuk kalian. Pergilah.” Athes dan Christian dibawa pergi oleh Jay sementara Lukas dan Clarisa amasih menunggu kabar tentang Conan. Kaca-kaca yang ada di mata Clarisa pecah begitu saja menyisakan luka bagi Lukas. “Apa ini akhirnya?” Clarisa bertanya dengan terbata-bata. “Berhenti bicara yang tidak-tidak. Kita belum tahu persis keadaannya. Jangan pesimis seperti itu pada hidup Putra kita.” Dokter yang bertugas di IGD datang menghampiri ke
Satu tahun setelah pernikahan Gerald dan Joana keduanya hidup bahagia bersama dengan malaikat kecilnya yang telah mengisi hari-hari keduanya. Suasana rumah Gerald begitu hangat kala suara tangis memenuhi seisi rumah. Walau Gerald sibuk dengan urausan pekerjaan ia tidak pernah mengabaikan putrinya yang belum genap setahun itu. Hari demi hari berlalu dengan begitu cepat tak terasa sudah satu tahun sejak Conan menjalani kemoterapinya. Bukannya semakin membaik kondisi Conan malah memburuk. Kanker yang awalnya stadium 2 kini telah menjadi stadium 3 semakin tipis harapan Conan untuk sembuh sepenuhnya. Clarisa sudah pasrah akan kondisi putra sulungnya setiap malam ketika tak ada seorang pun di kamar ia akan menangis hingga larut malam sampai Lukas pulang ke mansion. Christian yang selalu ceria kini berubah menjadi pendiam ia tak lagi banyak bicara, terkadang ia juga sering menangis di halaman belakang menangisi Conan yang tidak pernah sembuh. Setiap kali ia teringat bagaima
Gerald terdiam membeku ia bagaikan disambar petir di siang bolong saat mendengar pengakuan Joana gelas anggur yang ada di tangannya bahkan lepas dan terjatuh hingga pecahannya bertebaran dimana-mana. Gerald berdiri dari duduknya ia menatap Joana dengan penuh arti sedangkan Joana sendiri hanuya mampu menundukkan kepalanya ke bawah ia takut akan kenyataan jika Gerald tidak menerima kehadiran dah dagingnya sendiri.Hal yang selalu ditakutkan olehnya itu tidak pernah terjadi. Kaca-kaca di dalam mata Gerald telah menggenangi bola matanya yang coklat ia setengah berlutut sembari memegang tangan Joana.“Apa yang kau katakan itu benar adanya?”“Apa kau sedang mengandung anakku?”“Kau tidak bercanda bukan?” Gerald bertanya penuh pengharapan pada jawaban Joana.“Ya, aku mengandung Anakmu.” Ucapnya pelan.Ekspresi Gerald tidak terduga ia begitu bahagia kala mendengar kabar itu. Ia bahkan berjingkrak
Di pagi hari yang cerah Joana terbangun di dalam kamarnya, ia meraih bungkusan kecil dan membawanya masuk ke toilet dengan perasaan deg-degan Joana memberanikan dirinya untuk memeriksa dirinya sendiri. Joana membuka bungkusan test pack dengan tangan gemetar ia memasukannya dalam tempat yang sudah menampung urine nya sendiri. Belakangan ini Joana selalu merasa mual tiap pagi hari, ia juga tidak mendapatkan menstruasinya sudah dua bulan ini ia sedikit cemas. Joana memejamkan matanya ia sedikit takut dengan hasilnya, perlahan ia membuka matanya dan terlihat dengan jelas di alat tes kehamilan itu menunjukkan dua garis merah yang artinya dia positif hamil. Joana tentu saja bergembira akan hal itu namuan, sedetik kemudian ia kembali terdiam. Dirinya tidak tahu bagaimana reaksi Gerald setelah ia tahu bahwa dirinya telah mengandung darah dagingnya. “Bagaimana ini? Aku takut mengatakannya.” Joana berpikir cukup keras tentang apa yang harus ia katakan pada Gerald.
Selepas bersedih Lukas dan Clarisa turun secara bersamaan menuju meja makan karena sudah waktunya sarapan. Conan dan Christian sudah kembali dalam keadaan yang semula seakan tidak ada yang terjadi hanya mata sembab Christian yang tidak bisa berbohong. Dari arah lain Athes masuk menuju ruang tamu dengan membawa obat-obatan yang harus diminum oleh Conan ia meletakannya di meja ruang tamu tampak pemandangan yang sedikit menyakitkan bagi yang melihatnya. "Ayo, makanan sudah siap!" Lukas mengajak semua orang untuk menuju meja makan. Di sana telah banyak hidangan dari mulai makanan pembuka hingga makanan penutup ada di atas meja. Aroma masakan yang tercium semakin membuat orang menjadi lapar kala menghirupnya. Semua orang mulai berjalan menuju meja makan untuk menikmati hidangannya. “Makanlah yang banyak.” Lukas menaruh lauk pada mangkuk kedua putranya tanpa ada yang dibedakan. Christian tersenyum saat menerima lauk yang diberikan oleh ayahnya.
Hari telah berganti menjadi malam sepanjang perjalanan menuju mansion Conan hanya memejam kan matanya. Ia sudah terlalu lelah hari ini Lukas memandangnya dengan tatapan sendu. Sesampainya di mansion Clarisa telah menunggu kedatangan mereka berdua bersama Conan. Terlihat juga Athes ada di ruang tamu menemani Christian. “Apakah tidur?” Clarisa menghampiri Conan. Ia mengangkat sedikit kupluk yang menutupi wajahnya benar saja Conan sudah tertidur. “Ayah,” Christian berhambur memeluk pinggangnya. Lukas melihatnya dengan mengulas senyum hangat. “Bersabarlah, Ayah akan menidurkan Conan lebih dulu. Baru menemnimu sebentar.” Lukas mengusap puncak kepala Christian kemudian berlalu menuju lantai dua dimana kamar Conan berada. “Ibu,” Christian beralih memandang pada Clarisa yang berdiri. Clarisa segera menghampiri Christian ia berusaha menenangkannya. “Tidak apa-apa, Conan hanya kelelahan saja besok pagi ia akan bangun seperti biasanya.” Mendengar
Lukas berjalan dengan anggun menuju tempat Conan berada raut wajah yang tadinya tidak baik itu seketika berubah saat Conan mengulas senyum hangat padanya. Wajah pias itu masih kentara di antara senyum yang menghiasinya. Lukas semakin mendekati keberadaan Conan. Ia setengah berlutut di hadapan Conan. “Apakah sudah lebih baik?” “Eng,” Conan menganggukkan kepalanya pelan sebagai balasan dari pertanyaan Lukas. “Lalu apa kau masih ingin pergi memotong rambutmu?” Lukas kembali bertanya dengan suara yang sedikit bergetar. Senyum hangat itu kembali muncul di wajahnya tangan kecilnya menyentuh pipi Lukas terasa lembut dan begitu dingin saat disentuh olehnya, Lukas menatap matanya yang sendu. “Dingin sekali?” “Aku hanya sedikit kedinginan saja Ayah, tidak perlu dikhawatirkan!” Conan beranjak dari duduknya ia mencoba mencoba menarik tangan besar Lukas agar segera menuju tempat dimana ia akan memotong rambutnya. Lukas menguatkan hatinya lalu mengikuti kem