"Nih."
Arnold menoleh, tampak amplop berwarna emas itu disodorkan Sisca yang baru saja pulang dari coffe shop mereka. Undangan? Siapa yang menikah?
"Undangan siapa?" ia meraih benda itu, alisnya berkerut, sementara Sisca duduk di sisinya di meja makan, meraih cangkir berisi kopi milik Arnold dan menyesapnya.
"Ini kan ...." Arnold tertegun membaca nama yang tertulis di sampul undangan itu, jangan bilang kalau Rizal yang tertulis di sampul undangan itu adalah ....
"Tadi dia mampir ke cafe, nganterin itu dan minta supaya aku dateng ke acaranya." jelas Sisca sambil meletakkan cangkir yang isinya tinggal ampas kopi di dasar cangkir itu.
Arnold tersenyum, meletakkan undangan itu di meja dan menatap Sisca dengan seksama. Secepat itu sudah dapat mangsa lagi? Ah ... agaknya dokter hewan itu tidak bisa diremehkan begitu saja.
"Gadis mana yang hendak dia jadikan tumbal ini?" tanya Arnold dengan nada mengejek.
"Pilihan orang tuanya, udah nggak sa
"Pulang, Ar!"Arnold sontak memijit pelipisnya ketika ia mengangkat panggilan itu. Sudah dia duga! Pasti itu yang dikatakan sang papa.Scarletta sudah memberinya kabar bahwa dia dalam perjalanan pulang ke Indonesia hari ini. Dan sudah Arnold tebak, pasti papanya itu akan rewel meminta dia balik ke Jakarta."Aduh Pi, kerjaan lagi banyak banget nih. Ntar ah kalau dia sudah sampai Indo, baru Arnold balik." Arnold mencoba berkelit, malas sekali kalau harus balik sekarang."Dirly kan ada, kalau perlu nanti papi kirim orang buat gantiin kamu di sana, ribet amat sih jadi orang?"'Sial!'Arnold mengumpat dalam hati, agaknya dia lupa siapa lawan bicaranya ini. Dia adalah cikal-bakal perusahaan yang dia pegang sekarang ini bisa berdiri. Dan Arnold hendak membatah bos besar? Gila. bisa melesat parang ke lehernya."Oke-oke, Arnold balik." desis Arnold yang sudah tidak lagi bisa berkutik melawan sang big boss."Nah, gitu apa susahnya?"
Arnold baru saja keluar dari pintu utama bandara ketika ponselnya berdering, ponsel yang sudah sejak ia keluar pesawat dia hidupkan itu sontak berdering begitu nyaring, membuat Arnold lantas merogoh benda itu dari dalam sakunya.Tampak nama itu terpampang di layar membuat Arnold begitu bersemangat untuk segera mengangkat panggilan itu."Ya, gimana?" Arnold menepi, menjauhkan diri dari lalu-lalang beberapa orang yang berseliweran di sekitarnya, semoga ini kabar baik."Boom, Ar! Di sini sudah mulai panas, sudah masuk Indo?" jelas suara dari seberang yang mampu membuat wajah Arnold berbinar makin cerah."Serius lu?" tanya Arnold yang berharap ini bukan prank atau sejenisnya."Tunggu deh, ntar gue kirim tuh screenshoot, biar elu percaya."Tawa Arnold pecah, kemenangannya di depan mata!"Kirimin gue link-nya, gue butuh tuh." titah Arnold sambil celingak-celinguk mencari orang suruhan sang papa."Siap, Bos. Gue tutup deh, ntar kalau
"APA-APAAN INI?!"Arnold pura-pura mendengus, memijit pelipisnya perlahan. Dapat dia lihat wajah sang papa merah padam. Tentu papanya itu syok bukan? Dan agaknya rencana Arnold berjalan dengan lancar."Papi mau Arnold nikah sama perempuan model begitu, Pi?" tatar Arnold dengan mata memerah, tentu ini sebuah kamuflase, dia tidak ingin semua orang tahu bahwa sebenarnya dia lah dalang di balik berita viral yang beredar mengenai sosok itu.Gunawan tidak menjawab, ia mengeram dengan ponsel Arnold yang berada dalam genggamannya. Sedetik kemudian Arnold merasa ngeri jika ponsel itu hancur karena sang papa, tapi tidak masalah sih, dia masih bisa beli yang baru. Yang penting rencana perjodohannya batal dan dia bisa segera lanjut ke rencananya selanjutnya."Panggil mamimu, Ar!" titah Gunawan tegas.Arnold terkesiap, tanpa banyak berkata-kata lagi, ia segera bangkit dan melangkah keluar dari ruangan sang papa. Rasanya Arnold ingin melompat-lompat bahagia, han
Suara dentuman musik yang disk jockey mainkan begitu menggoda setiap insan yang berkerumun di sana untuk meliuk-liuk turun ke lantai dansa. Disk jockey perempuan dengan pakaian yang begitu minim itu adalah salah satu female disk jockey favorit, di mana setiap Stephee tampil, maka pub yang terletak di tengah pusat kota ini pasti akan selalu ramai sesak dengan pengunjung.Scarletta adalah salah satunya. Malam ini dia bersama teman satu gengnya sudah begitu panas meliuk-liuk di lantai dansa sambil tertawa-tawa lepas."Jadi setelah pulang nanti kamu bakal nikah?" Grace setengah berteriak, tentu tidak akan terdengar jika dia hanya berbisik di tempat seperti ini."Entah, kurasa akan tunangan lebih dulu." Scarletta tersenyum, menaikkan kedua alisnya sambil menatap Grace yang nampak begitu penasaran."Cocok dengan calon pilihan bokap?" kini Lisa yang berteriak, membuat atensi Scarletta berpindah pada gadis asal Singapura itu."Off c
Botol-botol minuman beralkohol itu tampak memenuhi meja. Entah berapa banyak cairan itu masuk ke masing-masing kepala, tidak ada yang bisa menghitungnya dengan tepat. Yang terlihat di sana hanyalah dua orang wanita dan tiga pria yang tampak memerah wajahnya efek alkohol.Jika tanpa pengaruh alkohol sekalipun Lisa sudah bergelayut begitu manja di bahu David, maka alkohol yang kini mengalir di syaraf tubuhnya membuat gadis itu lebih gila dan liar lagi.Bahkan dia tidak ragu mendapatkan bibirnya ke bibir David berkali-kali. Menyesap bibir laki-laki yang begitu dia puja setengah mati."Aku harap kamu masih menyisakan tenaga mu untuk pesta kita selanjutnya." bisik David begitu sensual tepat di telinga Lisa, mendaratkan kecupan dan gigitan kecil di telinga gadis itu yang sontak membuat tubuh Lisa meremang seketika.Lisa menatap laki-laki itu dengan tatapan berkabut, jarak mereka begitu dekat. Ia baru hendak bersuara ketika kini bibir Dav
PLAKKKTamparan keras itu mendarat tepat di pipi sebelah kiri Scarletta, wajahnya terasa sangat panas dan yang bisa dia lakukan sekarang hanyalah diam. Air matanya menitik, bukan karena panasnya tamparan itu, melainkan karena ketakutan yang membelenggu Scarletta dengan begitu kuat. Dan jangan lupa, ia sudah cukup trending di mana-mana!"Kau Papi kirim ke Amerika, sekolah di Universitas terbaik dunia dan begini kelakuan kamu? Benar-benar liar! Memalukan!"Scarletta bahkan tidak berani mengangkat tangannya hanya untuk menghapus bulir-bulir air mata di pipi. Ia tidak seberani yang selama ini terlihat di circle pergaulannya di sana. Tidak saat berhadapan dengan laki-laki cinta pertama dalam hidup Scarletta ini, terlebih di saat dia tengah begitu murka tepat seperti saat ini."Kau rusak boleh, nakal boleh, tapi kalau caramu seperti ini, sama saja kau kirim papi-mamimu ini ke Liang lahat! Bunuh saja orang tuamu ini daripada kau permalukan seperti it
Arnold merebahkan tubuhnya di ranjang besar itu, hatinya berbunga-bunga, lega luar biasa. Dia sengaja mematikan ponselnya, malas kalau Scarletta menghubungi dirinya untuk sekedar membuat pembelaan atas viralnya video mesum itu.Sebodoh amat, Arnold tidak peduli. Yang dia pedulikan hanya satu, rencana perjodohan itu BA-TAL!Arnold memeluk gulingnya, satu langkah lagi dan impiannya untuk menikahi Sisca ada di depan mata. Agaknya langkah ini akan semakin mudah mengingat ternyata Sisca begitu pandai berbisnis. Dan itu akan sedikit membantu Arnold dalam rencana lanjutan ini.Sementara Arnold tengah berbahagia ria, Scarletta yang sudah masuk ke dalam kamarnya itu sontak menangis meraung-raung. Dibantingnya dengan keras pintu kamar, lantas ia menjatuhkan dirinya di atas ranjang.Scarletta memukul-mukul kasurnya dengan gusar. Kesialan macam apa yang menderanya kali ini? Video menjijikkan itu harus beredar menggemparkan dunia. Kenapa dia bisa seg
Scarletta bahkan tidak berani mengangkat wajahnya, ia terus menundukkan wajah hingga kini ia sudah duduk di depan tiga orang tamu agung mereka. Siapa lagi kalau bukan trah Argadana?"Langsung ke intinya saja," suara serak itu milik Gunawan Argadana, Scarletta tahu betul itu. Ia makin gugup, jemarinya sibuk meremas ujung gaunnya."Saya dan keluarga sudah mendengar kabar itu, melihat postingan itu dan sangat disayangkan sekali Scarletta bisa berbuat sejauh itu." tampak Gunawan menghela nafas panjang, "Oleh karena itu, saya dan keluarga juga sudah memutuskan bahwa kami tidak bisa melanjutkan rencana perjodohan antara Arnold dan Scarletta."Sudah Scarletta duga! Ia sontak lemas. Tidak mungkin keluarga Arnold mau melanjutkan perjodohan mereka setelah kabar itu mengguncang dunia dengan begitu luar biasa. Pupus sudah harapan Scarletta menjadi nyonya besar keluarga Argadana karena sekarang semua harapan itu lenyap tidak bersisa.Scarletta mengangkat w
"Dahlah, fix namanya Albert!" Putus Arnold yang sontak membuat Linda mencak-mencak. "Eh ... Kenapa bisa jadi Albert? Jauh banget dari deretan nama yang kita bahas, Ar!" Protes Linda sambil membelalakkan mata. "Kan papanya Arnold, anaknya Albert. Dah gitu aja!" Gumam Arnold kekeuh lelah membahas nama untuk anaknya. Sejak tadi muter-muter malah jadi membahas silsilah keluarga kerjaan Inggris. Mana Arnold kenal sama mereka semua? Gunawan tersenyum, ia terlempar kembali pada masa sekarang. Ia hanya diam menyimak keributan yang sejak tadi terjadi. Sambil menikmati kenangan yang bisa dibilang sedikit kelam. Papanya setuju jika memang Linda adalah gadis yang Gunawan bidik hendak dinikahi. Tetapi keluarga Hartono bukan tipe orang yang suka jodoh menjodohkan. Dandi Hartono juga terkenal orang yang rendah hati. Apakah mereka akan setuju jika tiba-tiba Jamhari Argadana datang hendak meminta anak gadisnya untuk dijodohkan dengan Gunawan? Terlebih dengan kondisi Lin
"Bagusan juga William, Ar!" Linda tidak cocok dengan nama David yang hendak Arnold gunakan. Entah kenapa Linda lebih suka dengan William. Bayangan putera mahkota calon penerus kerajaan Inggris, Pangeran William Philip Artur Louis itu tergambar dalam ingatannya. Arnold sontak garuk-garuk kepala. Sisca belum kembali dari ruang pulih sadar, kini mereka berlima berkumpul di ruangan membahas nama yang akan diberikan kepada jagoan kecil penerus trah Argadana itu. Mereka begitu sibuk berdiskusi hingga tidak sadar satu dari mereka malah terlempar jauh dalam kenangan masa lalu. Gunawan terpekur di tempatnya duduk. Matanya menatap lelaki yang beberapa rambutnya sudah memutih itu. Lelaki yang dulu bahkan mungkin hingga sekarang masih ada di hati sang istri. Lelaki itu begitu baik. Gunawan akui itu. Burhan lelaki yang tangguh, gentle dan berhati besar yang pernah Gunawan temui. Dari sorot mata yang begitu teduh itu, Gunawan bisa lihat bahwa dia masuk dala
Gunawan dan Linda masih berharap-harap cemas di ruang tunggu yang ada di depan ruang operasi ketika dua orang itu melangkah mendekati mereka dengan begitu tergesa. Mereka kompak menoleh, besan mereka rupanya yang datang, membuat keduanya lantas tersenyum dan bangkit guna menyambut mereka. "Gimana Pak? Operasinya belum selesai?" Tanya Burhan seraya menjabat tangan Gunawan dan Linda bergantian. Wajah itu nampak begitu panik. "Belum, Pak. Mungkin sebentar lagi." Jawab Gunawan sambil mempersilahkan Burhan duduk. Burhan lantas duduk tepat di sisi Gunawan, sementara Retno duduk di sebelah Linda. Wajah mereka berempat begitu panik dan risau. Menantikan kabar mengenai bagaimana kelanjutan dari prosedur operasi yang harus Sisca jalani.Mereka berempat nampak saling berbincang dan berbagi kabar hingga suara derit pintu itu lantas membungkam mereka bersamaan. Pandangan mereka tertuju pada pintu. Nampak Arnold melangkah keluar dengan wajah memerah, diikuti
Ruangan itu begitu dingin, sangat dingin sekali dan jangan lupa bahwa Sisca tidak mengenakan pakaian apapun kecuali baju operasi berwarna biru yang melekat di tubuhnya saat ini. Rambutnya tertutup nurse cap, kateter sudah terpasang dan jangan lupa selang infus. Ia terbaring di ruang tunggu, menanti di dorong masuk dan kemudian semua tindakan itu akan dia jalani. Sedikit banyak Sisca sudah membaca perihal apa itu sectio caesarea. Dia sudah banyak mencari tahu di blog-blog konsultasi kesehatan dengan tenaga medis. Membaca prosedur hingga efek apa saja yang akan dia alami pasca operasi itu akan dilakukan. Ah! Tidak perlu mengingat-ingat apa-apa saja perihal sectio caesarea! Bukankah setelah ini Sisca akan mengalaminya secara langsung? Dia akan menjalani operasi guna membantunya melahirkan janin yang sudah dia kandung sembilan bulan lamanya. Sosok yang sudah begitu ingin Sisca temui dan bawa dalam gendongan. Pintu terbuka, membuat Sisca mendongak dan meliha
Burhan tengah mengajar ketika ponselnya berdering cukup nyaring. Ia menatap mahasiswanya satu persatu lalu melangkah menuju meja guna meraih benda itu. Matanya membelalak ketika Arnold yang ternyata meneleponnya sepagi ini. Pikiran Burhan sontak buyar, bayangan Sisca dengan perut membesarnya langsung otomatis tergambar dengan begitu jelas di dalam otak Burhan."Saya izin angkat telepon dulu, ya? Kalian bisa lanjut untuk baca materinya dulu.""Baik, Pak!" jawab mereka kompak.Burhan dengan tergesa melangkah keluar ruangan dan langsung menjawab panggilan itu dengan jantung yang berdegub dua kali lebih cepat."Ha--.""Pa ... maaf menganggu, Arnold cuma mau kasih kabar kalau Sisca sudah di rumah sakit. Udah bukaan tiga, Pa!"Jantung Burhan rasanya seperti hendak mau lepas. Jadi benar dugaannya? Bahwa Arnold menelepon hendak mengabarkan perihal kondisi Sisca dan calon cucunya?"Di-di rumah sakit mana, Ar?" wajah Burhan sontak
Malam ini entah mengapa rasanya Sisca begitu gerah. Sudah pukul satu pagi dan dia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Berkali-kali dia pindah posisi, tapi sama saja, tidak memberi efek apa-apa. AC yang menyala pun seolah tidak lagi terasa apa-apa. Sisca menyibak selimutnya, duduk sambil menatap sang suami yang tertidur begitu pulas. Senyum Sisca tersungging, jujur ia rindu bisa tidur senyaman itu. Ia rindu bisa tidur dalam dan dengan posisi apapun seperti saat belum hamil dulu. Sisca refleks mengelus perutnya yang sudah begitu besar. Sudah mendekati HPL, selain rasa tidak sabar, rasa cemas dan sedikit takut itu menghantui Sisca dengan begitu luar biasa. Apakah dia mampu nantinya? Mampu melahirkan anaknya dengan lancar dan mampu mengurusinya dengan baik?Tapi siapa yang bilang kalau Sisca akan mengurus mereka sendiri? Arnold bahkan sudah mempersiapkan dua baby sitter untuk anak mereka kelak.Sisca kembali tersenyum. Satu hal yang membuat dia benar-b
Sisca dan Arnold melangkah memasuki gedung rumah sakit. Hari ini jadwal Sisca periksa kandungan, dan khusus untuk mereka obsgyn rumah sakit swasta mahal di kota mereka sudah ready menanti tanpa harus repot-repot mengantri giliran."Selamat pagi Bapak-Ibu, mari sudah ditunggu dokter!"Bahkan mereka tidak perlu menjelaskan tujuan mereka dan bertanya apapun, para perawat dan petugas medis sudah kenal dan tahu betul tujuan Arnold dan Sisca kemari."Dokter Adjie nggak ada jadwal operasi, kan, Sus?" tanya Arnold mengikuti langkah perawat itu. Tangannya menggenggam tangan Sisca dan membantu Sisca agar tetap aman di sisinya."Siang nanti, Bapak. Beliau masih harus standby di poli sampai jam sebelas." jelas perawat itu sambil tersenyum.Arnold lantas mengangguk, yang penting tidak ada operasi gawat yang mendadak saja sampai Sisca dan calon anaknya selesai diperiksa. Mereka terus melangkah hingga kemudian sampai pada ruangan yang Arnold sudah hafal betul ruangan milik
"Sayang! Ayolah!" Sisca terus merengek dan bergelayut manja di bahu Arnold yang baru saja pulang kerja. Ada sesuatu yang begitu dia ingin sampai merengek-rengek macam anak kecil pada Arnold yang baru saja tiba di rumah."Astaga! Harus banget sekarang? Besok aja, ya?" Arnold mengendurkan dasinya, berusaha membujuk Sisca yang perutnya sudah lebih besar."Capek ya? Nanti aku pijitin deh." rayu Sisca sambil mengedipkan sebelah mata dengan manja.Arnold tersenyum, mengelus lembut pipi sang istri sambil menatap matanya dengan begitu serius."Bukan soal capek, Sayang. Masalahnya jam segini cari rujak buah di mana?" itu yang jadi masalah, bukan karena dia lelah sehabis kerja atau apa. Kalau pun lelah, demi Sisca dan calon anak mereka, apapun akan Arnold lakukan."Coba deh ke Hypermart, kali aja ada!" Sisca tidak menyerah, membuat Arnold lantas menghela napas panjang dan mengangguk pelan."Oke! Pergi sekarang kalau gitu!"
Sisca berdercak kagum melihat betapa indah rumah yang papi-mami mertua hadiahkan untuk mereka. Rumah dua lantai itu begitu mewah. Bangunan hampir mirip dengan bangunan rumah keluarga Argadana di Jakarta. Kental dengan arsitektur Eropa. Arnold tersenyum penuh arti, merangkul pundak sang istri yang begitu cantik dengan dress motif bunga berwarna cerah.Semenjak mereka menikah dan Sisca hamil, dia tidak diperbolehkan Arnold memakai celana jeans dan mengganti celana-celana itu dengan dress casual yang tidak hanya aman dan nyaman untuk ibu hamil macam Sisca, tetapi juga membuat penampilan Sisca jadi lebih manis dan cantik."Suka?" tanya Arnold yang tahu betul, istrinya nampak begitu terkejut dengan hadiah apa yang orang tuanya berikan ini."Banget!" jawab Sisca apa adanya. "Tapi ini serius nggak kebesaran?" Sisca menoleh, menatap ragu ke arah sang suami.Arnold sontak membelalakkan mata, tawanya pecah melihat betapa Sisca begitu polos dan masih sangat