“Sis, calonmu sekeren ini dan selama ini kamu diam-diam saja?” Rini setengah berbisik, namun Arnold bisa mendengar suara calon ibu mertuanya itu, membuat senyumnya makin lebar dan kepalanya membesar.
“Ah ... mama! Biasa aja kali!” Sisca mencebik, sudah dia tebak bahwa semua anggota keluarganya pasti akan heboh seperti ini.
“Biasa gimana?” Rini membelalakkan matanya, “Lihat wujudnya! Kayak artis Korea, Sis!”
Sisca memutar bola matanya dengan gemas, menoleh dan menatap sang mama dengan tatapan gemas.
“Please deh, Ma ... jangan kenceng-kenceng ngomongnya.” Sisca melirik sekilas Arnold yang tengah mengobrol dengan sang papa itu. “Dia bisa ke-PD-an nanti.”
Rini tersenyum simpul, “Emang faktanya kan begitu, Sis. Jadi kapan kalian nikah?”
Sisca melonggo. Salah satu alasan yang membuatnya malas pulang ke rumah adalah mendapat pertanyaan itu. Kapan nikah? Astaga, sean
"Bagi ajian jaran goyang atau semar mesem mu dong, Sis."Sisca sontak melotot tajam dengan mulut setengah terbuka, nampak Gladys, sepupunya itu tersenyum dengan mata membuat ke arahnya. Ajian jaran goyang? Semar mesem? Apa-apaan?"Gemblung, ajian apaan?" Sisca setengah berteriak, matanya melotot gemas ke arah Gladys yang masih cengar-cengir sambil memainkan ujung kebaya ungu yang corak dan warnanya seragam dengan yang Sisca kenakan."Ajian biar bisa gaet oppa-oppa Korea kayak pacar Mbak Sisca itu."Sisca sontak lemas, sejelek itukah dirinya sampai Gladys mengira dia menggaet Arnold dengan ajian perdukunan. Tidak tahu saja Gladys bahwa Arnold mengejar dirinya sampai rela melakukan segala cara. Dibilang pakai ajian jarang goyang? Jarang goyang mbahmu!"Edan aja! Nggak pakai gituan aja dia setengah gila, gimana kalau aku pakai gituan?" Sisca mencebik, ia hendak pergi ketika Gladys mencekal tangannya."Mbak! Jangan pergi
Mereka sudah sampai di komplek perumahan mereka, rasanya sangat lelah sekali. Sisca bergegas melepaskan seat belt-nya, turun dari mobil dan melangkah dengan lunglai masuk ke dalam rumahnya."Eh ngapain?" Sisca mendorong jidat Arnold yang hendak masuk ke dalam rumah, ia lantas berkacak pinggang menatap tajam laki-laki itu.Arnold mendengus kesal, menatap Sisca dengan tatapan gemas."Mau masuk lah! Kenapa pakai tanya?""NGGAK!" Sisca sontak berdiri di depan pintu rumahnya. Kepalanya menggeleng cepat. "Balik ke rumahmu!""Nggak ada niatan pengen ngelonin aku?" Bisik Arnold lirih, alisnya naik turun, membuat Sisca sontak mencebik."Malam ini aku nggak mau berbagi kasur, jadi silahkan pulang dan selamat malam!"Klek!Sisca secepat kilat menutup dan mengunci pintu rumahnya, meninggalkan sosok yang masih melotot kesal di depan pintu. Arnold lantas menghela nafas panjang, mengacak rambutnya dengan gemas da
“Serius gue lega banget liat elu jam segini udah di kantor.”Dirly mengejar langkah Arnold menuju lift, tampak sangat terlihat wajah laki-laki itu begitu cerah. Ia mengekor di belakang Arnold, masuk ke dalam lift guna menuju lantai dimana ruangan pribadi Arnold berada.“Gue ngeri digorok bokap, makanya selepas elu telpon kemaren gue langsung cabut pulang.” Jawab Arnold sambil tersenyum masam membayangkan betapa murka sang papa kalau meeting penting pagi ini berantakan hanya karena dia terlambat datang.“Nah gitu dong, kenapa elu nggak ngabarin sih? Gue noh sampai nggak bisa tidur.” Gerutu Dirly sambil memanyunkan bibirnya.“Elah, apa pentingnya sih ngabarin elu? Yang penting, kan, gue udah di sini nih.” Arnold menipuk punggung sepupunya, tepat di saat yang sama pintu lift terbuka, membuat dua orang itu kompak melangkah keluar.“Gimana keluarga besar calon bini?” tanya Dirly yang begitu pen
“Jadi tawaran tadi lu tolak, Ko? Gila yang bener?” Dirly memburu langkah Arnold, tawaran kerja sama dengan keuntungan yang lumayan besar itu ditolak oleh sepupunya ini? Yang benar saja!“Lu tuh ya!” Arnold memukul gulungan kertas ke punggung Dirly, “Kita emang bisnis itu cari untung, Cuma ya jangan terus Cuma untung doang yang dilihat, resikonya juga perlu elu pikirin, Ly!”Kening Dirly berkerut, membuat Arnold mendengus kesal.“Nih baca dan resapi. Kalau sekali baca elu belum paham juga, ulangi sampai bener-bener paham. Dan lu bakalan ngerti apa maksud gue, kenapa gue tolak rencana kerja sama mereka.” Arnold menyodorkan iPad-nya, mendorong pintu ruangan kerja miliknya dan tertegun melihat sosok itu di sana.“Loh, Sis? Kamu kok di sini?” Arnold makin terkejut ketika mendapati wajah itu tampak begitu payah dengan mata sembab. Apa yang dokter hewan itu sudah lakukan? Arnold tidak akan pernah tingga
“Nah itu dia, temui saja dulu.”Arnold memarkirkan mobilnya di depan rumah, tampak mobil merah itu berhenti di depan rumah Sisca, dengan laki-lak itu duduk di depan teras rumah Sisca. Sisca sontak menghela nafas panjang, melirik Arnold sekilas. Arnold hanya tersenyum dan mengangguk. Membuat Sisca lantas mendengus dan melangkah turun.Ia sendiri langsung bergegas turun, masuk ke dalam rumah dan menghindari mereka berdua. Tidak perlu melakukan banyak hal, mereka akan bubar sendiri kok. Benar-benar Arnold begitu beruntung dengan fakta mengejutkan itu.Sisca melangkah menuju rumahnya, Rizal sontak berdiri, dengan mata memerah ia langsung menghampiri Sisca, hendak meraih tangan itu, namun Sisca dengan tegas menampik tangan itu.“Aku bisa jelaskan semuanya, Sayang.” Desisnya lirih.“Masuklah dulu, kita bicara di dalam, Zal.” Sisca tersenyum getir, merogoh kunci pintu dan membuka pintu rumahnya.Ia dengar helaan
Tidak ada lagi percakapan yang terjadi di antara keduanya. Bibir itu bertaut dengan begitu mesra dan sedikit liar. Baju-baju itu berserakan di lantai, menandakan bahwa dua anak manusia berbeda jenis kelamin itu sudah begitu terbakar sampai tidak menghiraukan kemana perginya pakaian mereka.Arnold melepaskan pagutan bibirnya, menatap dalam manik yang pasrah di bawah kuncian tubuhnya. Wajah cantik itu sudah memerah, dengan mata sayu yang bersorot begitu menggairahkan.“Tunggu aku ya?” bisik Arnold lirih.“Untuk?” tampak kening itu berkerut, membuat Arnold lantas mendaratkan kecupan di kening itu.“Datang ke papa dan melamarmu.”Senyum Sisca merekah, “Hanya sendiri? Atau bersama keluargamu?”“Sendiri ataupun bersama mereka, aku hanya akan memastikan bahwa hanya kamu yang akan aku nikahi. Itu lebih penting dari pertanyaanmu tadi, Sayang.”Sisca hendak kembali bersuara, namun Arno
Arnold tengah menyusun draft laporan khusus yang selalu papanya minta ketika panggilan itu masuk ke dalam ponselnya. Sebuah nomor asing masuk, dan Arnold tahu betul siapa yang meneleponnya itu. Ia mengabaikan sejenak pekerjaan yang ada di depan matanya, meraih ponsel itu dan mengangkat panggilan dari seseorang yang sudah lama ia nantikan kabarnya.Bukan!Bukan Scarletta yang dia maksud, melainkan sosok lain yang berada di satu wilayah dengan wanita yang hendak dijodohkan dengan dirinya.“Halo, gimana? Ready semua, kan?” tanya Arnold langsung ke tujuan.“Siap, lu jangan khawatir. Hari ini juga gue bakalan eksekusi sesuai rencana kita dulu.”Senyum Arnold merekah sempurna, sudah saatnya! Dan dia sudah tidak sabar lagi menantikan semuanya berjalan sesuai dengan apa yang dia harapkan.“Inget, main yang rapi. Gue nggak mau ambil resiko, Sam!” Arnold menyandarkan tubuhnya di kursi, ia tampak sudahsangat tidak sa
“KAU GILA!”Sisca sontak berteriak, membuat Arnold refleks membungkam mulut Sisca sebelum beberapa pegawai dan pelanggan coffe shop itu beralih memperhatikan mereka berdua.“Jangan teriak-teriak dong, ah!” Arnold sontak melepaskan bekapan tangannya, Sisca menatap nanar lelaki itu, tampak sangat terlihat wajahnya begitu syok.“Apa maksud semua itu, Ar?” suara Sisca sama sekali tidak bisa kalem, ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang barusan dia lihat itu.Arnold menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku. Melambaikan tangan ke arah waitres dan menantikan sosok itu mendekati meja mereka.“Tolong satu hot arabica sama choco croissant satu.”“Baik, ditunggu sebentar Bapak.” Gadis itu lantas menoleh ke arah Sisca, “Ibu mau pesan apa?”Sisca memijit pelipisnya perlahan, ia menghela nafas panjang, kemudian menjawab pertanyaan itu dengan singkat, “Baileys iced
"Dahlah, fix namanya Albert!" Putus Arnold yang sontak membuat Linda mencak-mencak. "Eh ... Kenapa bisa jadi Albert? Jauh banget dari deretan nama yang kita bahas, Ar!" Protes Linda sambil membelalakkan mata. "Kan papanya Arnold, anaknya Albert. Dah gitu aja!" Gumam Arnold kekeuh lelah membahas nama untuk anaknya. Sejak tadi muter-muter malah jadi membahas silsilah keluarga kerjaan Inggris. Mana Arnold kenal sama mereka semua? Gunawan tersenyum, ia terlempar kembali pada masa sekarang. Ia hanya diam menyimak keributan yang sejak tadi terjadi. Sambil menikmati kenangan yang bisa dibilang sedikit kelam. Papanya setuju jika memang Linda adalah gadis yang Gunawan bidik hendak dinikahi. Tetapi keluarga Hartono bukan tipe orang yang suka jodoh menjodohkan. Dandi Hartono juga terkenal orang yang rendah hati. Apakah mereka akan setuju jika tiba-tiba Jamhari Argadana datang hendak meminta anak gadisnya untuk dijodohkan dengan Gunawan? Terlebih dengan kondisi Lin
"Bagusan juga William, Ar!" Linda tidak cocok dengan nama David yang hendak Arnold gunakan. Entah kenapa Linda lebih suka dengan William. Bayangan putera mahkota calon penerus kerajaan Inggris, Pangeran William Philip Artur Louis itu tergambar dalam ingatannya. Arnold sontak garuk-garuk kepala. Sisca belum kembali dari ruang pulih sadar, kini mereka berlima berkumpul di ruangan membahas nama yang akan diberikan kepada jagoan kecil penerus trah Argadana itu. Mereka begitu sibuk berdiskusi hingga tidak sadar satu dari mereka malah terlempar jauh dalam kenangan masa lalu. Gunawan terpekur di tempatnya duduk. Matanya menatap lelaki yang beberapa rambutnya sudah memutih itu. Lelaki yang dulu bahkan mungkin hingga sekarang masih ada di hati sang istri. Lelaki itu begitu baik. Gunawan akui itu. Burhan lelaki yang tangguh, gentle dan berhati besar yang pernah Gunawan temui. Dari sorot mata yang begitu teduh itu, Gunawan bisa lihat bahwa dia masuk dala
Gunawan dan Linda masih berharap-harap cemas di ruang tunggu yang ada di depan ruang operasi ketika dua orang itu melangkah mendekati mereka dengan begitu tergesa. Mereka kompak menoleh, besan mereka rupanya yang datang, membuat keduanya lantas tersenyum dan bangkit guna menyambut mereka. "Gimana Pak? Operasinya belum selesai?" Tanya Burhan seraya menjabat tangan Gunawan dan Linda bergantian. Wajah itu nampak begitu panik. "Belum, Pak. Mungkin sebentar lagi." Jawab Gunawan sambil mempersilahkan Burhan duduk. Burhan lantas duduk tepat di sisi Gunawan, sementara Retno duduk di sebelah Linda. Wajah mereka berempat begitu panik dan risau. Menantikan kabar mengenai bagaimana kelanjutan dari prosedur operasi yang harus Sisca jalani.Mereka berempat nampak saling berbincang dan berbagi kabar hingga suara derit pintu itu lantas membungkam mereka bersamaan. Pandangan mereka tertuju pada pintu. Nampak Arnold melangkah keluar dengan wajah memerah, diikuti
Ruangan itu begitu dingin, sangat dingin sekali dan jangan lupa bahwa Sisca tidak mengenakan pakaian apapun kecuali baju operasi berwarna biru yang melekat di tubuhnya saat ini. Rambutnya tertutup nurse cap, kateter sudah terpasang dan jangan lupa selang infus. Ia terbaring di ruang tunggu, menanti di dorong masuk dan kemudian semua tindakan itu akan dia jalani. Sedikit banyak Sisca sudah membaca perihal apa itu sectio caesarea. Dia sudah banyak mencari tahu di blog-blog konsultasi kesehatan dengan tenaga medis. Membaca prosedur hingga efek apa saja yang akan dia alami pasca operasi itu akan dilakukan. Ah! Tidak perlu mengingat-ingat apa-apa saja perihal sectio caesarea! Bukankah setelah ini Sisca akan mengalaminya secara langsung? Dia akan menjalani operasi guna membantunya melahirkan janin yang sudah dia kandung sembilan bulan lamanya. Sosok yang sudah begitu ingin Sisca temui dan bawa dalam gendongan. Pintu terbuka, membuat Sisca mendongak dan meliha
Burhan tengah mengajar ketika ponselnya berdering cukup nyaring. Ia menatap mahasiswanya satu persatu lalu melangkah menuju meja guna meraih benda itu. Matanya membelalak ketika Arnold yang ternyata meneleponnya sepagi ini. Pikiran Burhan sontak buyar, bayangan Sisca dengan perut membesarnya langsung otomatis tergambar dengan begitu jelas di dalam otak Burhan."Saya izin angkat telepon dulu, ya? Kalian bisa lanjut untuk baca materinya dulu.""Baik, Pak!" jawab mereka kompak.Burhan dengan tergesa melangkah keluar ruangan dan langsung menjawab panggilan itu dengan jantung yang berdegub dua kali lebih cepat."Ha--.""Pa ... maaf menganggu, Arnold cuma mau kasih kabar kalau Sisca sudah di rumah sakit. Udah bukaan tiga, Pa!"Jantung Burhan rasanya seperti hendak mau lepas. Jadi benar dugaannya? Bahwa Arnold menelepon hendak mengabarkan perihal kondisi Sisca dan calon cucunya?"Di-di rumah sakit mana, Ar?" wajah Burhan sontak
Malam ini entah mengapa rasanya Sisca begitu gerah. Sudah pukul satu pagi dan dia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Berkali-kali dia pindah posisi, tapi sama saja, tidak memberi efek apa-apa. AC yang menyala pun seolah tidak lagi terasa apa-apa. Sisca menyibak selimutnya, duduk sambil menatap sang suami yang tertidur begitu pulas. Senyum Sisca tersungging, jujur ia rindu bisa tidur senyaman itu. Ia rindu bisa tidur dalam dan dengan posisi apapun seperti saat belum hamil dulu. Sisca refleks mengelus perutnya yang sudah begitu besar. Sudah mendekati HPL, selain rasa tidak sabar, rasa cemas dan sedikit takut itu menghantui Sisca dengan begitu luar biasa. Apakah dia mampu nantinya? Mampu melahirkan anaknya dengan lancar dan mampu mengurusinya dengan baik?Tapi siapa yang bilang kalau Sisca akan mengurus mereka sendiri? Arnold bahkan sudah mempersiapkan dua baby sitter untuk anak mereka kelak.Sisca kembali tersenyum. Satu hal yang membuat dia benar-b
Sisca dan Arnold melangkah memasuki gedung rumah sakit. Hari ini jadwal Sisca periksa kandungan, dan khusus untuk mereka obsgyn rumah sakit swasta mahal di kota mereka sudah ready menanti tanpa harus repot-repot mengantri giliran."Selamat pagi Bapak-Ibu, mari sudah ditunggu dokter!"Bahkan mereka tidak perlu menjelaskan tujuan mereka dan bertanya apapun, para perawat dan petugas medis sudah kenal dan tahu betul tujuan Arnold dan Sisca kemari."Dokter Adjie nggak ada jadwal operasi, kan, Sus?" tanya Arnold mengikuti langkah perawat itu. Tangannya menggenggam tangan Sisca dan membantu Sisca agar tetap aman di sisinya."Siang nanti, Bapak. Beliau masih harus standby di poli sampai jam sebelas." jelas perawat itu sambil tersenyum.Arnold lantas mengangguk, yang penting tidak ada operasi gawat yang mendadak saja sampai Sisca dan calon anaknya selesai diperiksa. Mereka terus melangkah hingga kemudian sampai pada ruangan yang Arnold sudah hafal betul ruangan milik
"Sayang! Ayolah!" Sisca terus merengek dan bergelayut manja di bahu Arnold yang baru saja pulang kerja. Ada sesuatu yang begitu dia ingin sampai merengek-rengek macam anak kecil pada Arnold yang baru saja tiba di rumah."Astaga! Harus banget sekarang? Besok aja, ya?" Arnold mengendurkan dasinya, berusaha membujuk Sisca yang perutnya sudah lebih besar."Capek ya? Nanti aku pijitin deh." rayu Sisca sambil mengedipkan sebelah mata dengan manja.Arnold tersenyum, mengelus lembut pipi sang istri sambil menatap matanya dengan begitu serius."Bukan soal capek, Sayang. Masalahnya jam segini cari rujak buah di mana?" itu yang jadi masalah, bukan karena dia lelah sehabis kerja atau apa. Kalau pun lelah, demi Sisca dan calon anak mereka, apapun akan Arnold lakukan."Coba deh ke Hypermart, kali aja ada!" Sisca tidak menyerah, membuat Arnold lantas menghela napas panjang dan mengangguk pelan."Oke! Pergi sekarang kalau gitu!"
Sisca berdercak kagum melihat betapa indah rumah yang papi-mami mertua hadiahkan untuk mereka. Rumah dua lantai itu begitu mewah. Bangunan hampir mirip dengan bangunan rumah keluarga Argadana di Jakarta. Kental dengan arsitektur Eropa. Arnold tersenyum penuh arti, merangkul pundak sang istri yang begitu cantik dengan dress motif bunga berwarna cerah.Semenjak mereka menikah dan Sisca hamil, dia tidak diperbolehkan Arnold memakai celana jeans dan mengganti celana-celana itu dengan dress casual yang tidak hanya aman dan nyaman untuk ibu hamil macam Sisca, tetapi juga membuat penampilan Sisca jadi lebih manis dan cantik."Suka?" tanya Arnold yang tahu betul, istrinya nampak begitu terkejut dengan hadiah apa yang orang tuanya berikan ini."Banget!" jawab Sisca apa adanya. "Tapi ini serius nggak kebesaran?" Sisca menoleh, menatap ragu ke arah sang suami.Arnold sontak membelalakkan mata, tawanya pecah melihat betapa Sisca begitu polos dan masih sangat