“Gue bener-bener nggak habis pikir, serius!”
Dirly mengejar langkah Arnold, tampak wajah itu begitu cerah dan Dirly tahu betul apa yang membuat sepupunya itu begitu sumringah pagi ini.
“Apaan lagi sih? Udah sono kerja!”
Dirly menghela nafas panjang, ia ikut melangkah masuk ke dalam ruangan kerja Arnold dan duduk di kursi yang ada di depan meja itu.
“Lu ada rencana apa? Kasihan Sisca, Ko, kalau ujungnya cuma elu buat mainan.”
Perasaan bersalah Dirly masih begitu kuat mencengkeram hatinya. Bayangan wajah pucat dan tubuh tidak berdaya itu benar-benar mengusiknya dengan luar biasa. Membuat Dirly tidak bisa tidur semalaman karena merasa berdosa dan bersalah sudah buka suara pada Arnold mengenai apa yang sudah terjadi.
“Please, kali in gue nggak main-main, Ly,” Arnold menatap Dirly dengan seksama, “Elu kenal gue udah berapa lama sih? Masa elu nggak bisa bedain mana gue cuma bercanda, mana gue serius sih?”
Dirly menghela nafa
“Aku izin balik ke Jakarta, boleh?”Arnold menatap wajah yang kini mendongak menatapnya itu, senyumnya melengkung indah, ia mengangguk pelan tanda tidak keberatan dengan permohonan yang tadi Arnold ucapkan.“Iya, tentu boleh, sejak kapan aku berhak melarangmu pulang ke Jakarta?” tampak wajah yang masih sedikit memucat itu tersenyum, membuat Arnold kembali dilanda perasaan takut.Takut jika Sisca tahu alasan yang membuat ia harus ke Jakarta lantas kemudian merajuk dan marah kepadanya. Tapi daripada Sisca tahu dari orang lain, lebih baik dia sendiri kan yang menjelaskan semua itu?“Serius? Kalau kepulangan ku nanti untuk mengantarkan dia pulang, tetap kamu izinkan?” tanya Arnold lagi mencoba berterus terang, dia tidak ingin menyembunyikan apapun dari Sisca, entah dari mana prinsip itu ia dapatkan.Sisca tertegun, tanpa perlu meminta penjelasan, Sisca tahu betul siapa ‘dia’ yang Arnold maksud, tentu tuna
“Lu bakal balik ke Jakarta?” Dirly melotot, sebenarnya apa sih rencana sepupunya itu.Arnold menghela nafas panjang, menatap Dirly yang tampak tidak berkedip menatap matanya itu.“Ya, besok balik. Begitu dia take off, gue balik Solo.”Dirly mengangguk, rumit juga sebenarnya kehidupan sepupunya itu. Dirly kira hidup Arnold akan selamanya happy dan isinya hanya foya-foya terus, nyatanya ada juga momen di mana Arnold kemudian harus jatuh terpuruk seperti ini.“Sisca tahu?” tentu itu yang Dirly tanyakan, bagaimana pun dia sudah jadi bagian dari hidup Arnold sekarang.Nampak Arnold menghela nafas panjang, memijit pelipisnya perlahan, sebuah tanda yang Dirly tangkap sebagai wujud keputusasaan. Jadi apakah Arnold berbohong pada Sisca soal rencana kepulangan dirinya ke Jakarta?“Dia tahu, kayaknya dia marah atau entah apalah. Gue tangkap reaksinya langsung berubah.”Dirly mengusap wajahnya denga
“Kamu kenapa, Sayang?” kembali Arnold bertanya, matanya menatap lurus ke dalam mata Sisca yang berurai air itu, kenapa rasanya begitu sakit melihat Sisca menangis seperti ini?Sisca menggeleng, menepis tangan Arnold dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Ditutupnya pintu kamar mandi itu rapat-rapat. Sisca kembali menumpahkan air matanya. Kenapa sih harus serumit ini? Kenapa ia harus menambah masalah dalam hidupnya?‘Gimana ngomongnya? Aku harus ngomong apa? Ayolah Sis, mikir!’ Seharusnya dulu dia berpikir dua kali ketika Rizal menyatakan cinta kepadanya, bukan malah memanfaatkan laki-laki itu hanya demi kepentingannya semata. Sekarang Sisca jadi begitu merasa bersalah dan berdosa pada sosok itu.Apa yang harus Sisca katakan kepadanya?Haruskah Sisca mengatakan bahwa selama ini Sisca sebenarnya sama sekali tidak mencintai Rizal? Bahwa dia menerima Rizal hanya agar Arnold menjaga jarak darinya? Sebuah hal yang sebenarnya sia-sia S
Sisca tengah memasak ketika tiba-tiba tangan kekar itu memeluk erat dirinya, ia tersenyum rasanya ia ingin mengetok kepala laki-laki itu dengan spatula yang ada di tangannya. Terkadang ia begitu kesal dan benci pada sosok ini, namun ia tidak bisa memungkiri bahwa dia begitu mencintainya. Sebuah hal bodoh jika dipikir-pikir.Bagaimana tidak? Sisca menukar Rizal yang sudah jelas terlihat di depan mata bahwa dia adalah laki-laki baik yang memenuhi kriteria calon suami idaman, dan jangan lupakan satu hal, Rizal tidak mesum dan penjelajah selangkangan macam Arnold ini.Tapi kenapa Sisca malah jatuh hati begitu dalam pada sosok Arnold? Ini sungguh gila!“Masak apa?” tannya sosok itu sambil menyandarkan kepalanya di bahu Sisca, sebuah tindakan yang makin membuat gerak Sisca makin terbatas.“Bisa pergi nggak? Mau aku pukul nih? Berat tahu!” protes Sisca yang sudah siap mengayunkan spatula di tanggannya itu.Arnold sontak berkelit, i
“Ngapain?” salak Sisca galak ketika Arnold menjatuhkan diri ke atas ranjang dan berusaha memeluk Sisca.Arnold sontak berdercak kesal, ditatapnya Sisca dengan mata membulat, “Sayang! Please deh diingat dulu tadi aku bilang apa?”Alis Sisca berkerut, memang tadi dia bilang bilang apa? Mereka bicara banyak hal tadi, masa iya Sisca harus mengingat semuanya sih? Gila aja! Sisca mencoba mengingat, dan matanya sontak terbelalak ketika ingat bahwa Arnold tadi sempat bilang bahwa dia ingin tidur di sini.“Nggak! Balik sana ke kamarmu!” usir Sisca seraya bangkit dan duduk di atas ranjangnya.“Astaga, Sis! Belum jadi isteri aja, aku sudah kamu usir kayak begini?” Arnold nampak lemas, baru ini ada orang yang berani kurang aja sama dia selain Dirly dan adik perempuannya. Tapi mau bagaimana lagi, Arnold sudah terlanjur sayang.Sisca menggeleng tegas, “Belum resmi, kan? Jadi boleh ngusir. Dah lah sana balik!
"Gue kira lu nggak bakal dateng." tampak bibir yang sudah di salut lipcream warna merah menyala itu manyun, namun hanya sebentar karena sedetik kemudian senyum itu merekah sempurna melihat Arnold yang muncul menemui dirinya."Gue udah janji kemarin, pasti datang lah." ujar Arnold sambil memasang senyum di wajahnya. Sedetik kemudian dia baru sadar bahwa dia adalah laki-laki paling brengsek.Bisa-bisanya dia tersenyum begitu manis, membumbung kan tinggi hati gadis di hadapannya dengan kehadiran dan kata-kata manis yang meluncur dari mulutnya barusan. Padahal, rencana busuk apa yang hendak Arnold jalankan guna menyingkirkan sosok ini dari hidupnya? Sungguh sebuah rencana yang keji dan tidak manusiawi.Tapi mau bagaimana lagi? Hanya ini yang bisa dia lakukan karena Scarletta tampak sangat antusias dengan perjodohan yang orang tua mereka rencanakan, tidak seperti Arnold yang diam-diam menolak keras semua rencana gila ini."Aduh-duh, mak
"Sudah punya pacar, kan?"Kembali pertanyaan itu tertuju pada Sisca, membuat Sisca tersentak dan nyengir lebar. Pacar yang mana yang hendak dia bawa besok? Itu yang sekarang membuat Sisca pening kepala."Ng ... su-sudah, Pa." Jawab Sisca akhirnya."Orang mana? Besok ajak ke Semarang, papa mau kenalan." Perintah suara itu tegas. "Jaga diri baik-baik, Sis. Nggak boleh macem-macem sebelum nikah loh, ya?"Skakmat!Sisca menepuk jidatnya, bagaimana kalau papanya ini tahu Sisca sudah beberapa kali tidur dengan Arnold? Laki-laki yang sebenarnya bukan kekasih Sisca, laki-laki yang sudah memiliki calon isteri. Ah ... Bisa serangan jantung papanya nanti."Iya, Pa. Sisca ngerti kok. Semua sehat, kan, Pa?" Tanya Sisca berusaha mengalihkan pembicaraan."Sehat semua, kamu baik-baik saja, kan?"Sisca hanya mendehem pelan, selanjutnya ia diam menyimak semua kabar yang papanya sampaikan melalui sambungan telepon. Sebuah cerita dan obrolan yang
“Jelek amat sih? Aku tidur sini lagi ya?”Sisca sontak melotot, menggebuk lengan Arnold dan mendorongnya agak jauh dari sisinya. Bibir Sisca mengerucut, apaan sih laki-laki ini? Baru jadi selingkuhan saja sok overprotective! Eh apa tadi Sisca bilang? Selingkuhan? Astaga, kembali rasa bersalah Sisca pada Rizal menyeruak.Ya ... sebuah kondisi yang menyebalkan kalau dipikir-pikir.Bagaimana tidak? Terkadang Sisca bisa merasa bersalah, menyesal setengah mati atas apa yang sudah dia lakukan pada Rizal, tapi di sisi lain, ketika buaya di depannya ini sudah melancarkan semua trik-trik berbahayanya, Sisca bisa dengan begitu mudah luluh dan tertekuk lutut. Kurang ajar bukan?“Eh apaan sih? Sukanya gitu ya, main tangan!” protes Arnold sambil mengusap lengannya.“Biarin, sana balik sana!” usir Sisca lantas bangkit dan hendak masuk ke dalam kamarnya.Tangan Arnold mencekal tangan Sisca pergi, menarik sosok itu hingga
"Dahlah, fix namanya Albert!" Putus Arnold yang sontak membuat Linda mencak-mencak. "Eh ... Kenapa bisa jadi Albert? Jauh banget dari deretan nama yang kita bahas, Ar!" Protes Linda sambil membelalakkan mata. "Kan papanya Arnold, anaknya Albert. Dah gitu aja!" Gumam Arnold kekeuh lelah membahas nama untuk anaknya. Sejak tadi muter-muter malah jadi membahas silsilah keluarga kerjaan Inggris. Mana Arnold kenal sama mereka semua? Gunawan tersenyum, ia terlempar kembali pada masa sekarang. Ia hanya diam menyimak keributan yang sejak tadi terjadi. Sambil menikmati kenangan yang bisa dibilang sedikit kelam. Papanya setuju jika memang Linda adalah gadis yang Gunawan bidik hendak dinikahi. Tetapi keluarga Hartono bukan tipe orang yang suka jodoh menjodohkan. Dandi Hartono juga terkenal orang yang rendah hati. Apakah mereka akan setuju jika tiba-tiba Jamhari Argadana datang hendak meminta anak gadisnya untuk dijodohkan dengan Gunawan? Terlebih dengan kondisi Lin
"Bagusan juga William, Ar!" Linda tidak cocok dengan nama David yang hendak Arnold gunakan. Entah kenapa Linda lebih suka dengan William. Bayangan putera mahkota calon penerus kerajaan Inggris, Pangeran William Philip Artur Louis itu tergambar dalam ingatannya. Arnold sontak garuk-garuk kepala. Sisca belum kembali dari ruang pulih sadar, kini mereka berlima berkumpul di ruangan membahas nama yang akan diberikan kepada jagoan kecil penerus trah Argadana itu. Mereka begitu sibuk berdiskusi hingga tidak sadar satu dari mereka malah terlempar jauh dalam kenangan masa lalu. Gunawan terpekur di tempatnya duduk. Matanya menatap lelaki yang beberapa rambutnya sudah memutih itu. Lelaki yang dulu bahkan mungkin hingga sekarang masih ada di hati sang istri. Lelaki itu begitu baik. Gunawan akui itu. Burhan lelaki yang tangguh, gentle dan berhati besar yang pernah Gunawan temui. Dari sorot mata yang begitu teduh itu, Gunawan bisa lihat bahwa dia masuk dala
Gunawan dan Linda masih berharap-harap cemas di ruang tunggu yang ada di depan ruang operasi ketika dua orang itu melangkah mendekati mereka dengan begitu tergesa. Mereka kompak menoleh, besan mereka rupanya yang datang, membuat keduanya lantas tersenyum dan bangkit guna menyambut mereka. "Gimana Pak? Operasinya belum selesai?" Tanya Burhan seraya menjabat tangan Gunawan dan Linda bergantian. Wajah itu nampak begitu panik. "Belum, Pak. Mungkin sebentar lagi." Jawab Gunawan sambil mempersilahkan Burhan duduk. Burhan lantas duduk tepat di sisi Gunawan, sementara Retno duduk di sebelah Linda. Wajah mereka berempat begitu panik dan risau. Menantikan kabar mengenai bagaimana kelanjutan dari prosedur operasi yang harus Sisca jalani.Mereka berempat nampak saling berbincang dan berbagi kabar hingga suara derit pintu itu lantas membungkam mereka bersamaan. Pandangan mereka tertuju pada pintu. Nampak Arnold melangkah keluar dengan wajah memerah, diikuti
Ruangan itu begitu dingin, sangat dingin sekali dan jangan lupa bahwa Sisca tidak mengenakan pakaian apapun kecuali baju operasi berwarna biru yang melekat di tubuhnya saat ini. Rambutnya tertutup nurse cap, kateter sudah terpasang dan jangan lupa selang infus. Ia terbaring di ruang tunggu, menanti di dorong masuk dan kemudian semua tindakan itu akan dia jalani. Sedikit banyak Sisca sudah membaca perihal apa itu sectio caesarea. Dia sudah banyak mencari tahu di blog-blog konsultasi kesehatan dengan tenaga medis. Membaca prosedur hingga efek apa saja yang akan dia alami pasca operasi itu akan dilakukan. Ah! Tidak perlu mengingat-ingat apa-apa saja perihal sectio caesarea! Bukankah setelah ini Sisca akan mengalaminya secara langsung? Dia akan menjalani operasi guna membantunya melahirkan janin yang sudah dia kandung sembilan bulan lamanya. Sosok yang sudah begitu ingin Sisca temui dan bawa dalam gendongan. Pintu terbuka, membuat Sisca mendongak dan meliha
Burhan tengah mengajar ketika ponselnya berdering cukup nyaring. Ia menatap mahasiswanya satu persatu lalu melangkah menuju meja guna meraih benda itu. Matanya membelalak ketika Arnold yang ternyata meneleponnya sepagi ini. Pikiran Burhan sontak buyar, bayangan Sisca dengan perut membesarnya langsung otomatis tergambar dengan begitu jelas di dalam otak Burhan."Saya izin angkat telepon dulu, ya? Kalian bisa lanjut untuk baca materinya dulu.""Baik, Pak!" jawab mereka kompak.Burhan dengan tergesa melangkah keluar ruangan dan langsung menjawab panggilan itu dengan jantung yang berdegub dua kali lebih cepat."Ha--.""Pa ... maaf menganggu, Arnold cuma mau kasih kabar kalau Sisca sudah di rumah sakit. Udah bukaan tiga, Pa!"Jantung Burhan rasanya seperti hendak mau lepas. Jadi benar dugaannya? Bahwa Arnold menelepon hendak mengabarkan perihal kondisi Sisca dan calon cucunya?"Di-di rumah sakit mana, Ar?" wajah Burhan sontak
Malam ini entah mengapa rasanya Sisca begitu gerah. Sudah pukul satu pagi dan dia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Berkali-kali dia pindah posisi, tapi sama saja, tidak memberi efek apa-apa. AC yang menyala pun seolah tidak lagi terasa apa-apa. Sisca menyibak selimutnya, duduk sambil menatap sang suami yang tertidur begitu pulas. Senyum Sisca tersungging, jujur ia rindu bisa tidur senyaman itu. Ia rindu bisa tidur dalam dan dengan posisi apapun seperti saat belum hamil dulu. Sisca refleks mengelus perutnya yang sudah begitu besar. Sudah mendekati HPL, selain rasa tidak sabar, rasa cemas dan sedikit takut itu menghantui Sisca dengan begitu luar biasa. Apakah dia mampu nantinya? Mampu melahirkan anaknya dengan lancar dan mampu mengurusinya dengan baik?Tapi siapa yang bilang kalau Sisca akan mengurus mereka sendiri? Arnold bahkan sudah mempersiapkan dua baby sitter untuk anak mereka kelak.Sisca kembali tersenyum. Satu hal yang membuat dia benar-b
Sisca dan Arnold melangkah memasuki gedung rumah sakit. Hari ini jadwal Sisca periksa kandungan, dan khusus untuk mereka obsgyn rumah sakit swasta mahal di kota mereka sudah ready menanti tanpa harus repot-repot mengantri giliran."Selamat pagi Bapak-Ibu, mari sudah ditunggu dokter!"Bahkan mereka tidak perlu menjelaskan tujuan mereka dan bertanya apapun, para perawat dan petugas medis sudah kenal dan tahu betul tujuan Arnold dan Sisca kemari."Dokter Adjie nggak ada jadwal operasi, kan, Sus?" tanya Arnold mengikuti langkah perawat itu. Tangannya menggenggam tangan Sisca dan membantu Sisca agar tetap aman di sisinya."Siang nanti, Bapak. Beliau masih harus standby di poli sampai jam sebelas." jelas perawat itu sambil tersenyum.Arnold lantas mengangguk, yang penting tidak ada operasi gawat yang mendadak saja sampai Sisca dan calon anaknya selesai diperiksa. Mereka terus melangkah hingga kemudian sampai pada ruangan yang Arnold sudah hafal betul ruangan milik
"Sayang! Ayolah!" Sisca terus merengek dan bergelayut manja di bahu Arnold yang baru saja pulang kerja. Ada sesuatu yang begitu dia ingin sampai merengek-rengek macam anak kecil pada Arnold yang baru saja tiba di rumah."Astaga! Harus banget sekarang? Besok aja, ya?" Arnold mengendurkan dasinya, berusaha membujuk Sisca yang perutnya sudah lebih besar."Capek ya? Nanti aku pijitin deh." rayu Sisca sambil mengedipkan sebelah mata dengan manja.Arnold tersenyum, mengelus lembut pipi sang istri sambil menatap matanya dengan begitu serius."Bukan soal capek, Sayang. Masalahnya jam segini cari rujak buah di mana?" itu yang jadi masalah, bukan karena dia lelah sehabis kerja atau apa. Kalau pun lelah, demi Sisca dan calon anak mereka, apapun akan Arnold lakukan."Coba deh ke Hypermart, kali aja ada!" Sisca tidak menyerah, membuat Arnold lantas menghela napas panjang dan mengangguk pelan."Oke! Pergi sekarang kalau gitu!"
Sisca berdercak kagum melihat betapa indah rumah yang papi-mami mertua hadiahkan untuk mereka. Rumah dua lantai itu begitu mewah. Bangunan hampir mirip dengan bangunan rumah keluarga Argadana di Jakarta. Kental dengan arsitektur Eropa. Arnold tersenyum penuh arti, merangkul pundak sang istri yang begitu cantik dengan dress motif bunga berwarna cerah.Semenjak mereka menikah dan Sisca hamil, dia tidak diperbolehkan Arnold memakai celana jeans dan mengganti celana-celana itu dengan dress casual yang tidak hanya aman dan nyaman untuk ibu hamil macam Sisca, tetapi juga membuat penampilan Sisca jadi lebih manis dan cantik."Suka?" tanya Arnold yang tahu betul, istrinya nampak begitu terkejut dengan hadiah apa yang orang tuanya berikan ini."Banget!" jawab Sisca apa adanya. "Tapi ini serius nggak kebesaran?" Sisca menoleh, menatap ragu ke arah sang suami.Arnold sontak membelalakkan mata, tawanya pecah melihat betapa Sisca begitu polos dan masih sangat