Gadis dengan rambut cokelat tanah itu tengah berbaring sambil menikmati pijatan dari terapis spa yang khusus ia panggil ke rumah demi menyempurnakan penampilannya yang hendak dipertemukan dengan putra sulung klan Argadana itu.
Ya ... kepulangannya ke Indonesia kali ini sedikit spesial karena ia dijadwalkan hendak bertemu dengan sesosok pria yang tidak lain dan tidak bukan adalah calon suaminya di masa depan. Scarletta sama sekali tidak menolak perjodohan ini karena disamping Sosok Arnold Argadana itu laksana Dewa Hermes, yang pesonannya sudah terkenal luar biasa, ketampanan sosok itu sudah tersiar sampai mana-mana, jangan lupakan bahwa dia adalah anak sulung dan perwaris dari Argadana Group.
Ia tengah menikmati pijatan-pijatan itu ketika kemudian pintu kamarnya terbuka, nampak Maia, sang mama masuk ke dalam kamar dan melangkah mendekati sang puteri yang tengah menikmati pijatan terapis.
“Ta, nanti malam siap?” tanya Maia sambil mengelus punggun
Sepeninggal Dirly, Sisca tertegun di sofa yang ada di ruangan sang big boss. Ia memikirkan obrolan yang tadi terjadi antara dia dan sepupu dari Arnold itu. Apakah kemudian memutuskan Rizal dan jujur perihal perasaan yang dia punya untuk Arnold adalah hal yang tepat dan baik?Namun jika mengingat bahwa apa yang dikatakan Dirly perihal ia yang begitu kejam menjadikan Rizal hanya sebagai tameng dan alasan untuk menolak dan membohongi perasaan yang ia punya untuk Arnold, rasanya benar bahwa Sisca harus melakukan hal itu.Tapi apakah Sisca sanggup?Ahh ... sungguh semua ini begitu rumit. Sisca melirik jam dinding, sudah pukul empat, satu jam lagi ia harus sudah pulang. Sudah waktunya pulang, bukan? Dan karena bos soplak itu sedang keluar kota, jadi Sisca bisa langsung tidur setelah ini, tanpa pusing harus mengurusi segala macam keperluan orang itu di rumah.Ia hendak bangkit ketika ponselnya berdering, ah ... panjang umur sekali sih anak ini? Baru saja dibahas
Arnold kini sudah berada di dalam sebuah kamar hotel bintang lima itu, tubuhnya sudah polos tanpa busana, tengah bergumul sambil menautkan bibir dengan sosok itu. Kulit mereka saling bersentuhan, bergesekan dan menyatu, menghidupkan gelayar aneh dalam diri Arnold.Dia memang menolak menikah dengan wanita ini, namun jika sekedar menikmati tubuh wanita ini, tidak ada salahnya, bukan?Mereka terus beradu, saling menautkan bibir dan mejelajahi inci tiap inci tubuh mulus nan harum di bawah kungkungan tubuhnya itu. Sungguh menggiurkan memang, hanya saja, Arnold tidak mencintai wanita dalam dekapannya ini. Ia hanya mencintai Sisca, bukan siapapun.“Please, let start now, Babe!”Sumpah! Suara Scarletta benar-benar sexy! Arnold pastikan bahwa di Amerika sana dia sudah terbiasa mengumbar tubuh dengan teman-teman kuliahnya. Namun Arnold tidak peduli, bukankah dia juga sama? Dia juga sama sudah banyak mencicipi wanita dalam sepanjang hidupnya. Jadi apa sa
“Main lu hebat,” puji Scarletta sambil mengeringkan rambutnya, tidak sia-sia dia memanggil terapis sampai ke rumah, Arnold langsung mengajaknya main ternyata, dan tubuhnya ternyata tidak memalukan malam ini.“Biasa saja,” Arnold kembali memakai baju-bajunya, kemudian duduk di tepi ranjang yang nampak begitu berantakan efek pergumulan mereka itu.Scarletta dengan manja bergelayut di leher Arnold, menciumi pipi Arnold dengan begitu genit. Arnold hanya terdiam dan tersenyum simpul, tangannya terulur mengelus kepala Scarletta yang nampak begitu menikmati apa yang sudah mereka lakukan tadi.“Pulang sekarang? Gue masih harus handle beberapa pekerjaan,” Arnold sudah dapat apa yang dia mau, tentu lah dia lebih memilih segera menyingkir dari sisi gadis ini daripada terus menerus bersamanya.“Handle pekerjaan atau handle cewek lain?” tanya Scarletta sarkas.Arnold hanya tertawa keras-keras, ia kembali mengelus
"Sis ...."Sisca menoleh, ia tidak jadi melepaskan seat belt-nya, menoleh dan menatap Rizal dengan seksama."Ya?""Kabari aku ya, kapan aku bisa ketemu papa."Sisca tertegun, ia tersenyum begitu manis dan mengangguk pelan, ia hendak melepas seat belt-nya ketika Rizal mendekatkan wajahnya, membuat Sisca terkejut dan tercengang di tempatnya duduk."Boleh cium lagi?"Sisca tersenyum, ia tidak mengangguk, tidak menjawab, malah maju dan meraih bibir Rizal lebih dulu, satu tangannya diletakkan di bahu Rizal, satu lagi di belakang kepalanya, menekan kepala Rizal agar ia makin mudah memagut bibir itu dengan begitu lembut.Cukup lama bibir mereka berpagut, hingga kemudian Sisca melepaskan pagutan bibir mereka. Dielusnya bibir memerah Rizal dengan jemarinya, menatap mata itu dalam-dalam.Wajah mereka belum menjauh, ujung hidung mereka masih bersentuhan, Rizal hendak kembali meraih bibir Sisca ketika kemudian ponsel Sisca berdering.
Dirly hendak masuk ke dalam kantor ketika melihat mobil putih itu berhenti dan Sisca turun dari mobil itu. Ia menatap dengan seksama siapa yang mengantarkan Sisca ke kantor pagi ini, apakah itu pacar Sisca? Si dokter hewan itu?Sisca tampak melambai dengan wajah berbinar, menantikan mobil itu melaju pergi dari depan kantor mereka. Setelah mobil itu pergi dan menghilangkan, Sisca baru berbalik dan melangkah ke kantor."Eh pagi, Ly!" Sapa Sisca dengan senyum merekah."Pagi, cerah amat sih wajah lu? Dianter pacar ya?" Dirly mendadak kepo, bukankah kemarin dia bilang kalau nggak cinta sama pacarnya itu?"Iya lah, mumpung pak Bos belum balik!" Sisca tekekeh, melangkah menuju lift untuk naik ke ruangan Arnold."Sis!"Dirly mengejar langkah Sisca, ikut masuk ke dalam lift yang sudah terbuka itu, nampak Sisca mengerutkan keningnya, menatap Dirly dengan seksama."Kenapa?""Katanya lu nggak cinta? Kenapa malah sekarang macam anak SMA kas
Arnold terus memacu tubuh yang berada di bawah kungkungannya itu. Sebodoh amat dia nggak cinta, dia sudah mengeluarkan puluhan juta untuk gadis itu hari ini, jadi apa yang bisa Arnold ambil dan nikmati tidak akan pernah dia sia-siakan. Scarletta melengguh panjang, membuat Arnold makin membara. Bagaimana rasanya jika Sisca yang berada di bawah kungkungan tubuhnya? Bagaimana jika sekarang yang tengah memejamkan mata sambil mendesah penuh nikmat itu adalah Sisca? Kenapa hasrat Arnold pada sosok itu makin menggebu-gebu? Tidak mau hilang barang sedikitpun meskipun Arnold sudah meneguk nikmat dari wanita-wanita lain yang sama menggodanya. Kenapa Sisca begitu lain? Arnold makin tidak terkendali memacu tubuh itu, membuat Scarletta melonjak-lonjak tidak karuan didera nikmat yang luar biasa sangat Arnold suguhkan sore itu. Dia memang laki-laki lokal, tapi jangan lupa, bertahun-tahun hidup di London, Arnold belajar banyak tentang teknik menguasai wanita di bawah tubuhhn
"Gue besok balik," guman Arnold sambil mengancingkan kemejanya, nampak Scarletta yang tengah mengeringkan rambut dengan handuk itu terkejut."Cepet amat? Kata bokap lu, lu udah bikin jadwal libur seminggu mumpung gue balik?"Arnold mendengus, bagaimana mau seminggu kalau dua hari saja dia sudah menghabiskan tabungan yang sudah susah-susah Arnold kumpulkan? Tahu sendiri, kan, papanya itu memangkas uang bulanannya sampai hampir enam puluh persen?"Ada urusan penting, gue harus balik. Lagipula elu memang nggak pengen kongkow, jalan sama geng lu semasa sekolah dulu?"Tampak Scarletta kembali berpikir, membuat Arnold menatapnya dengan sedikit cemas, semoga rayuannya berhasil, intinya Arnold ingin melarikan diri secepatnya dari sini."Bener juga sih, dari balik kemarin gue belum meetup sama mereka."PlongRasanya Arnold lega luar biasa, senyum itu mengembang di wajahnya. Ia melangkah mendekati Scarletta yang duduk di tepi ranjang, mengecup
Dirly mengerjapkan matanya, ia bangkit dengan kesal menuju pintu depan ketika mendengar bel itu dipencet tanpa berhenti, siapa sih?Dengan kesal ia membuka pintu apartemennya, belum sempat ia melihat wajah yang menggedor pintunya, sosok itu sudah menerjang masuk ke dalam apartemennya."Nah gue udah sampai, jadi ceritakan!"Dirly menguap sambil mengusap wajahnya, ternyata Dajjal satu ini yang datang."Lu pagi bener sampai sini? Naik apa?" Tanya Dirly kemudian melangkah duduk di sofa."Bawel lu, cepetan cerita!"Dirly melotot, menatap sepupunya itu dengan kesal. Jadi pagi-pagi ganggu dia tidur cuma penasaran sama cerita soal Sisca? Benar-benar edan laki-laki satu ini!"Astaga!" Dirly sontak lemas, ia kembali mengusap-usap wajahnya dengan kasar, kemudian mengangkat wajahnya, menatap Arnold dengan seksama."Menurut pengakuan dia, dia terpaksa terima cinta dokter itu cuma biar elu nggak berharap lagi sama dia."Arnold melotot
"Dahlah, fix namanya Albert!" Putus Arnold yang sontak membuat Linda mencak-mencak. "Eh ... Kenapa bisa jadi Albert? Jauh banget dari deretan nama yang kita bahas, Ar!" Protes Linda sambil membelalakkan mata. "Kan papanya Arnold, anaknya Albert. Dah gitu aja!" Gumam Arnold kekeuh lelah membahas nama untuk anaknya. Sejak tadi muter-muter malah jadi membahas silsilah keluarga kerjaan Inggris. Mana Arnold kenal sama mereka semua? Gunawan tersenyum, ia terlempar kembali pada masa sekarang. Ia hanya diam menyimak keributan yang sejak tadi terjadi. Sambil menikmati kenangan yang bisa dibilang sedikit kelam. Papanya setuju jika memang Linda adalah gadis yang Gunawan bidik hendak dinikahi. Tetapi keluarga Hartono bukan tipe orang yang suka jodoh menjodohkan. Dandi Hartono juga terkenal orang yang rendah hati. Apakah mereka akan setuju jika tiba-tiba Jamhari Argadana datang hendak meminta anak gadisnya untuk dijodohkan dengan Gunawan? Terlebih dengan kondisi Lin
"Bagusan juga William, Ar!" Linda tidak cocok dengan nama David yang hendak Arnold gunakan. Entah kenapa Linda lebih suka dengan William. Bayangan putera mahkota calon penerus kerajaan Inggris, Pangeran William Philip Artur Louis itu tergambar dalam ingatannya. Arnold sontak garuk-garuk kepala. Sisca belum kembali dari ruang pulih sadar, kini mereka berlima berkumpul di ruangan membahas nama yang akan diberikan kepada jagoan kecil penerus trah Argadana itu. Mereka begitu sibuk berdiskusi hingga tidak sadar satu dari mereka malah terlempar jauh dalam kenangan masa lalu. Gunawan terpekur di tempatnya duduk. Matanya menatap lelaki yang beberapa rambutnya sudah memutih itu. Lelaki yang dulu bahkan mungkin hingga sekarang masih ada di hati sang istri. Lelaki itu begitu baik. Gunawan akui itu. Burhan lelaki yang tangguh, gentle dan berhati besar yang pernah Gunawan temui. Dari sorot mata yang begitu teduh itu, Gunawan bisa lihat bahwa dia masuk dala
Gunawan dan Linda masih berharap-harap cemas di ruang tunggu yang ada di depan ruang operasi ketika dua orang itu melangkah mendekati mereka dengan begitu tergesa. Mereka kompak menoleh, besan mereka rupanya yang datang, membuat keduanya lantas tersenyum dan bangkit guna menyambut mereka. "Gimana Pak? Operasinya belum selesai?" Tanya Burhan seraya menjabat tangan Gunawan dan Linda bergantian. Wajah itu nampak begitu panik. "Belum, Pak. Mungkin sebentar lagi." Jawab Gunawan sambil mempersilahkan Burhan duduk. Burhan lantas duduk tepat di sisi Gunawan, sementara Retno duduk di sebelah Linda. Wajah mereka berempat begitu panik dan risau. Menantikan kabar mengenai bagaimana kelanjutan dari prosedur operasi yang harus Sisca jalani.Mereka berempat nampak saling berbincang dan berbagi kabar hingga suara derit pintu itu lantas membungkam mereka bersamaan. Pandangan mereka tertuju pada pintu. Nampak Arnold melangkah keluar dengan wajah memerah, diikuti
Ruangan itu begitu dingin, sangat dingin sekali dan jangan lupa bahwa Sisca tidak mengenakan pakaian apapun kecuali baju operasi berwarna biru yang melekat di tubuhnya saat ini. Rambutnya tertutup nurse cap, kateter sudah terpasang dan jangan lupa selang infus. Ia terbaring di ruang tunggu, menanti di dorong masuk dan kemudian semua tindakan itu akan dia jalani. Sedikit banyak Sisca sudah membaca perihal apa itu sectio caesarea. Dia sudah banyak mencari tahu di blog-blog konsultasi kesehatan dengan tenaga medis. Membaca prosedur hingga efek apa saja yang akan dia alami pasca operasi itu akan dilakukan. Ah! Tidak perlu mengingat-ingat apa-apa saja perihal sectio caesarea! Bukankah setelah ini Sisca akan mengalaminya secara langsung? Dia akan menjalani operasi guna membantunya melahirkan janin yang sudah dia kandung sembilan bulan lamanya. Sosok yang sudah begitu ingin Sisca temui dan bawa dalam gendongan. Pintu terbuka, membuat Sisca mendongak dan meliha
Burhan tengah mengajar ketika ponselnya berdering cukup nyaring. Ia menatap mahasiswanya satu persatu lalu melangkah menuju meja guna meraih benda itu. Matanya membelalak ketika Arnold yang ternyata meneleponnya sepagi ini. Pikiran Burhan sontak buyar, bayangan Sisca dengan perut membesarnya langsung otomatis tergambar dengan begitu jelas di dalam otak Burhan."Saya izin angkat telepon dulu, ya? Kalian bisa lanjut untuk baca materinya dulu.""Baik, Pak!" jawab mereka kompak.Burhan dengan tergesa melangkah keluar ruangan dan langsung menjawab panggilan itu dengan jantung yang berdegub dua kali lebih cepat."Ha--.""Pa ... maaf menganggu, Arnold cuma mau kasih kabar kalau Sisca sudah di rumah sakit. Udah bukaan tiga, Pa!"Jantung Burhan rasanya seperti hendak mau lepas. Jadi benar dugaannya? Bahwa Arnold menelepon hendak mengabarkan perihal kondisi Sisca dan calon cucunya?"Di-di rumah sakit mana, Ar?" wajah Burhan sontak
Malam ini entah mengapa rasanya Sisca begitu gerah. Sudah pukul satu pagi dan dia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Berkali-kali dia pindah posisi, tapi sama saja, tidak memberi efek apa-apa. AC yang menyala pun seolah tidak lagi terasa apa-apa. Sisca menyibak selimutnya, duduk sambil menatap sang suami yang tertidur begitu pulas. Senyum Sisca tersungging, jujur ia rindu bisa tidur senyaman itu. Ia rindu bisa tidur dalam dan dengan posisi apapun seperti saat belum hamil dulu. Sisca refleks mengelus perutnya yang sudah begitu besar. Sudah mendekati HPL, selain rasa tidak sabar, rasa cemas dan sedikit takut itu menghantui Sisca dengan begitu luar biasa. Apakah dia mampu nantinya? Mampu melahirkan anaknya dengan lancar dan mampu mengurusinya dengan baik?Tapi siapa yang bilang kalau Sisca akan mengurus mereka sendiri? Arnold bahkan sudah mempersiapkan dua baby sitter untuk anak mereka kelak.Sisca kembali tersenyum. Satu hal yang membuat dia benar-b
Sisca dan Arnold melangkah memasuki gedung rumah sakit. Hari ini jadwal Sisca periksa kandungan, dan khusus untuk mereka obsgyn rumah sakit swasta mahal di kota mereka sudah ready menanti tanpa harus repot-repot mengantri giliran."Selamat pagi Bapak-Ibu, mari sudah ditunggu dokter!"Bahkan mereka tidak perlu menjelaskan tujuan mereka dan bertanya apapun, para perawat dan petugas medis sudah kenal dan tahu betul tujuan Arnold dan Sisca kemari."Dokter Adjie nggak ada jadwal operasi, kan, Sus?" tanya Arnold mengikuti langkah perawat itu. Tangannya menggenggam tangan Sisca dan membantu Sisca agar tetap aman di sisinya."Siang nanti, Bapak. Beliau masih harus standby di poli sampai jam sebelas." jelas perawat itu sambil tersenyum.Arnold lantas mengangguk, yang penting tidak ada operasi gawat yang mendadak saja sampai Sisca dan calon anaknya selesai diperiksa. Mereka terus melangkah hingga kemudian sampai pada ruangan yang Arnold sudah hafal betul ruangan milik
"Sayang! Ayolah!" Sisca terus merengek dan bergelayut manja di bahu Arnold yang baru saja pulang kerja. Ada sesuatu yang begitu dia ingin sampai merengek-rengek macam anak kecil pada Arnold yang baru saja tiba di rumah."Astaga! Harus banget sekarang? Besok aja, ya?" Arnold mengendurkan dasinya, berusaha membujuk Sisca yang perutnya sudah lebih besar."Capek ya? Nanti aku pijitin deh." rayu Sisca sambil mengedipkan sebelah mata dengan manja.Arnold tersenyum, mengelus lembut pipi sang istri sambil menatap matanya dengan begitu serius."Bukan soal capek, Sayang. Masalahnya jam segini cari rujak buah di mana?" itu yang jadi masalah, bukan karena dia lelah sehabis kerja atau apa. Kalau pun lelah, demi Sisca dan calon anak mereka, apapun akan Arnold lakukan."Coba deh ke Hypermart, kali aja ada!" Sisca tidak menyerah, membuat Arnold lantas menghela napas panjang dan mengangguk pelan."Oke! Pergi sekarang kalau gitu!"
Sisca berdercak kagum melihat betapa indah rumah yang papi-mami mertua hadiahkan untuk mereka. Rumah dua lantai itu begitu mewah. Bangunan hampir mirip dengan bangunan rumah keluarga Argadana di Jakarta. Kental dengan arsitektur Eropa. Arnold tersenyum penuh arti, merangkul pundak sang istri yang begitu cantik dengan dress motif bunga berwarna cerah.Semenjak mereka menikah dan Sisca hamil, dia tidak diperbolehkan Arnold memakai celana jeans dan mengganti celana-celana itu dengan dress casual yang tidak hanya aman dan nyaman untuk ibu hamil macam Sisca, tetapi juga membuat penampilan Sisca jadi lebih manis dan cantik."Suka?" tanya Arnold yang tahu betul, istrinya nampak begitu terkejut dengan hadiah apa yang orang tuanya berikan ini."Banget!" jawab Sisca apa adanya. "Tapi ini serius nggak kebesaran?" Sisca menoleh, menatap ragu ke arah sang suami.Arnold sontak membelalakkan mata, tawanya pecah melihat betapa Sisca begitu polos dan masih sangat