Arnold mengerjapkan matanya, gila! Kepalanya terasa begitu berat. Ia mencoba membuka matanya dan melihat sosok itu tengah tertidur pulas di sofa, tunggu ini kan bukan kamarnya, jadi ini kamar siapa?
Arnold menoleh ke sekeliling, ah ... dari koper dan barang-barang yang dia lihat, ini kamar hotel Sisca! Arnold kembali menoleh menatap sosok itu yang tengah duduk dan tertidur di sofa itu. Darah Arnold berdesir seketika, melihat Sisca hanya hanya pakai kaos oblong dan celana pendek yang mengekspos semua pahanya itu.
Ia memijit pelipisnya dengan gemas, kenapa sih ia selalu ada dalam posisi menyebalkan seperti ini? Kenapa Sisca begitu menggoda luar biasa? Kenapa dia begitu sulit untuk Arnold taklukkan. Arnold menghela nafas panjang, ia bangkit dan melangkah mendekati Sisca yang tampak begitu pulas tertidur di sofa.
Bangun kah nanti Sisca jika Arnold menyentuhnya? Namun sungguh pandangan itu benar-benar mengusik pikiran Arnold. Dengan sisa kesadarannya, Arnold membawa
Sisca menatap bayangan dirinya di cermin, bagaimana ia bersikap setelah ini? Apakah tetap biasa-biasa saja atau harus jaga jarak? Lebih baik pura-pura tidak tahu bukan?Mana dia tahu kalau Arnold jatuh hati padanya? Padahal selama ini sikap Sisca begitu menyebalkan bukan? Lantas apa yang membuat sosok Arnold Argadana itu lantas jatuh cinta kepadanya?"Tok ... Tok ... Tok ...."Pintu kamar Sisca di gedor dengan begitu heboh, siapa lagi yang melakukannya kalau bukan bos rese itu?"Tok ... Tok ... Tok ...."Nggak sabaran banget sih? Sisca jadi naik pitam, ia bergegas membuka pintu kamar hotelnya, sosok itu sudah berdiri dengan jas rapi di depan pintu kamarnya."Jam berapa ini? Lu dandan lama banget sih, Sis? Mau kondangan?" gerutu sosok itu kembali pada mode menyebalkan."Sabar kenapa sih? Meeting masih tiga puluh menit lagi!" Salak Sisca galak. Dasar lak
Sisca celingak-celinguk mencari keberadaan bosnya itu, di loby depan tidak ada. Tadi dia pergi mengantarkan koleganya keluar dari ruangan meeting bukan? Harusnya kan dia berada di sekitar sini, tapi kenapa orang itu tidak nampak batang hidungnya? Kemana perginya?Sisca mengedarkan pandangannya ke sekeliling, nihil! Tidak ada sosok Arnold Argadana di sana. Sisca menghela nafas panjang, ia bergegas membalikkan badannya dan melangkah menuju lift, paling dia sudah balik ke kamar kan? Jadi kenapa Sisca harus panik mencarinya? Toh dia sudah besar bukan? Nggak mungkin kan sosok itu kemudian hilang atau diculik?Eh ... kalau diculik sih kemungkinan besar bisa terjadi, kan bapak dia konglomerat. Jadi diculik terus minta tebusan berapa milyar gitu, bisa saja kan? Sisca menahan senyum, ia bergegas masuk ke lift guna kembali ke kamarnya.Mendadak ia teringat apa yang tadi Rizal katakan kepadanya. Dia mau ngomong apa sih sebenarnya? Kenapa rasanya Sisca jadi tidak sabar hend
Arnold hendak menyumpalkan headset ketika Sisca mencolek-colek lengannya. Ia menoleh dan mendapati Sisca tersenyum lebar sambil mengangkat kedua alisnya."Apaan sih?" tanya Arnold tidak mengerti."Bos, tukeran kursi mau? Pengen yang dekat jendela," renggek Sisca sambil menaikkan kedua alisnya sambil memasang puppy eyes yang sontak langsung membuat Arnold luluh seketika.Arnold menghela nafas panjang, ia bergegas bangkit lalu memberikan kursinya untuk Sisca. Senyum Sisca merekah sempurna, laki-laki satu itu memang walaupun soplak tapi tidak tegaan."Makasih bos, love banget deh!" guman Sisca yang sontak langsung melihat ke jendela, pesawat belum take off, masih terparkir dengan begitu rapi di bandara."Elah, pret!" Arnold mencibir, ia menyumpalkan headset ke telinganya sambil bersandar di kursi pesawat.Love banget katanya, orang dia sukanya sama dokter hewan itu kan? Pakai acara bilang love segala. Dasar tukang ghosting! Arnold memejamkan ma
Sisca bersorak ketika benar di teras rumahnya sosok itu sudah duduk menanti dirinya. Ia segera melepas seat belt-nya dan melangkah turun. Arnold hanya mendengus kesal melihat betapa antusiasnya Sisca dengan kehadiran sosok itu. Ia buru-buru memarkirkan mobilnya dan ikut melangkah turun guna melihat sosok dokter hewan yang digilai Sisca itu."Hai, lama ya? Sebentar aku ambil koper dulu!" Sisca bergegas membuka pintu belakang, meraih kopernya dan berbisik pada Arnold yang berdiri di dekatnya."Gue izin bentar malam ini, jangan khawatir besok langsung kerja kayak biasanya, oke?" tanpa menunggu jawaban dari Arnold, Sisca langsung menarik kopernya menuju rumah.Cukup lumayan sih penampilan laki-laki itu. Kulitnya bersih, tubuhnya proposional, cukup ganteng untuk ukuran dokter hewan. Pantas saja Sisca sampai tergila-gila! Tapi kalau dibandingkan dengan Arnold, ia tidak kalah ganteng kok. Dan jangan lupa, dia punya banyak uang! Itu bukan nilai plus Arnold yang belum tentu
Sisca terkesiap ketika ia dan Rizal sudah duduk di meja sebuah restoran kenamaan itu. Suasananya begitu apik dan romantis membuat Sisca sampai speechless, tidak bisa berkata-kata lagi. Makan malam di restoran dengan suasana seperti ini? Ah ... Macam pasangan sedang kencan saja!"Silahkan, Nona! Mau pesan apa?" Rizal tersenyum begitu manis sambil menyodorkan buku menu, membuat Sisca terpukau begitu luar biasa. Waktu mengubah Rizal menjadi seorang laki-laki dewasa yang begitu romantis dan luar biasa memukau."Terima kasih," guman Sisca lirih sambil menerima buku menu itu. Sungguh manis sekali Rizal sekarang.Sisca sudah begitu serius dengan buku menu di tangannya, matanya meneliti satu demi satu daftar makanan yang ada di sana, dan pilihannya jatuh pada pasta bolognese dan honey lime soda's. Ia sangat suka makan pasta, dan ia rasa pilihannya tidak salah bukan?"Pasta bolognese sama honey lime soda's ya, Mbak," ujar Sisca pada sang waiters lalu menyerahkan b
Arnold belum memejamkan matanya ketika mobil itu kembali muncul dan berhenti di depan rumah Sisca, ia berdiri di depan jendela kamarnya, mengintip dari balik tirai dan melihat Sisca berserta dokter hewan itu turun dari mobil. Mereka tampak berbincang sejenak, tawa mereka pecah, apa yang mereka bicarakan?"Sialan! Aku bahkan tidak tahu apa yang mereka bicarakan!" gerutu Arnold kesal, ia benar-benar ingin tahu apa yang mereka bicarakan, apa yang membuat tawa mereka pecah begitu meriah.Arnold masih berdiri di balik tirai, tampak tangan dokter hewan itu terulur, mengelus lembut kepala Sisca. Hati Arnold sontak terbakar, ia tidak suka melihat pemandangan itu, sangat tidak suka! Namun dia bisa apa?Arnold mengeram, ia benar-benar cemburu! Arnold terus mengawasi dua sejoli itu, hingga laki-laki yang ia dengar-dengar bernama Rizal itu melangkah dan kembali masuk ke dalam mobilnya. Mobil itu pun bergegas pergi membuat hati Arnold lega luar biasa.Dia sudah pulang, da
Sisca mengerutkan keningnya ketika mendapati mobil Arnold sudah tidak ada di garasi. Dan rumah itu ... Kok sudah sepi? Kemana bosnya itu? Sisca bergegas merogoh kunci dan membuka pintu rumah sang bos. Benar saja, tidak ada orang! Lantas kemana bosnya itu?Sisca merogoh ponselnya, menekan nomor Arnold guna mengetahui dimana posisi laki-laki itu. Terhubung, tidak ada jawaban! Sisca mengerutkan keningnya, apa jangan-jangan karena ....Ah tidak! Sisca berusaha kembali mengubungi nomor itu, namun sekali lagi tidak ada jawaban. Sisca menghela nafas panjang, satu orang yang terbesit dalam pikirannya untuk dihubungi adalah Jelita! Semoga saja sosok itu sudah berada di kantor sekarang."Hallo, gimana Mbak?" sapa Jelita ramah."Pak bos apa sudah di kantor, Mbak?" tanya Sisca sedikit khawatir."Sudah Mbak, entah tumben pagi bener dia datang, langsung ngamuk-ngamuk nggak jelas."Sisca tertegun, Arnold mengamuk? Astaga! Sedalam itu kah perasaan laki-laki itu t
Sisca menghela nafas panjang, ia sudah sampai kembali ke rumah seperti apa yang diperintahkan Arnold kepadanya. Ah ... sosok itu benar-benar marah rupanya. Namun mau bagaimana lagi, Sisca tidak bisa bersama dengannya dengan status itu bukan? Rasanya pasangan yang tepat untuknya adalah Rizal, itu sudah pasti. Dengan lunglai Sisca masuk ke dalam rumah Arnold, hendak membuatkan sosok itu sarapan dan kembali ke kantor sebelum sosok itu makin murka. Sisca sudah berada di dapur ketika iPhone miliknya berdering, dirogohnya ponsel itu dari tas dan menemukan nama Arnold sudah terpampang di layar. “Apa lagi ini?” Sisca mendesis pelan, lalu mengangkat panggilan itu, “Hallo ini baru sampai rumah, Bos.” “Langsung balik ke sini, gue tunggu, oke?” Sisca sontak meloto, dia baru saja sampai dan Arnold sudah memintanya kembali ke sana? Dia kira Sisca bisa sulap apa? Jadi Cuma bilang simsalabim makanan itu sudah otomatis tersedia? Edan betul orang satu itu! “Bos
"Dahlah, fix namanya Albert!" Putus Arnold yang sontak membuat Linda mencak-mencak. "Eh ... Kenapa bisa jadi Albert? Jauh banget dari deretan nama yang kita bahas, Ar!" Protes Linda sambil membelalakkan mata. "Kan papanya Arnold, anaknya Albert. Dah gitu aja!" Gumam Arnold kekeuh lelah membahas nama untuk anaknya. Sejak tadi muter-muter malah jadi membahas silsilah keluarga kerjaan Inggris. Mana Arnold kenal sama mereka semua? Gunawan tersenyum, ia terlempar kembali pada masa sekarang. Ia hanya diam menyimak keributan yang sejak tadi terjadi. Sambil menikmati kenangan yang bisa dibilang sedikit kelam. Papanya setuju jika memang Linda adalah gadis yang Gunawan bidik hendak dinikahi. Tetapi keluarga Hartono bukan tipe orang yang suka jodoh menjodohkan. Dandi Hartono juga terkenal orang yang rendah hati. Apakah mereka akan setuju jika tiba-tiba Jamhari Argadana datang hendak meminta anak gadisnya untuk dijodohkan dengan Gunawan? Terlebih dengan kondisi Lin
"Bagusan juga William, Ar!" Linda tidak cocok dengan nama David yang hendak Arnold gunakan. Entah kenapa Linda lebih suka dengan William. Bayangan putera mahkota calon penerus kerajaan Inggris, Pangeran William Philip Artur Louis itu tergambar dalam ingatannya. Arnold sontak garuk-garuk kepala. Sisca belum kembali dari ruang pulih sadar, kini mereka berlima berkumpul di ruangan membahas nama yang akan diberikan kepada jagoan kecil penerus trah Argadana itu. Mereka begitu sibuk berdiskusi hingga tidak sadar satu dari mereka malah terlempar jauh dalam kenangan masa lalu. Gunawan terpekur di tempatnya duduk. Matanya menatap lelaki yang beberapa rambutnya sudah memutih itu. Lelaki yang dulu bahkan mungkin hingga sekarang masih ada di hati sang istri. Lelaki itu begitu baik. Gunawan akui itu. Burhan lelaki yang tangguh, gentle dan berhati besar yang pernah Gunawan temui. Dari sorot mata yang begitu teduh itu, Gunawan bisa lihat bahwa dia masuk dala
Gunawan dan Linda masih berharap-harap cemas di ruang tunggu yang ada di depan ruang operasi ketika dua orang itu melangkah mendekati mereka dengan begitu tergesa. Mereka kompak menoleh, besan mereka rupanya yang datang, membuat keduanya lantas tersenyum dan bangkit guna menyambut mereka. "Gimana Pak? Operasinya belum selesai?" Tanya Burhan seraya menjabat tangan Gunawan dan Linda bergantian. Wajah itu nampak begitu panik. "Belum, Pak. Mungkin sebentar lagi." Jawab Gunawan sambil mempersilahkan Burhan duduk. Burhan lantas duduk tepat di sisi Gunawan, sementara Retno duduk di sebelah Linda. Wajah mereka berempat begitu panik dan risau. Menantikan kabar mengenai bagaimana kelanjutan dari prosedur operasi yang harus Sisca jalani.Mereka berempat nampak saling berbincang dan berbagi kabar hingga suara derit pintu itu lantas membungkam mereka bersamaan. Pandangan mereka tertuju pada pintu. Nampak Arnold melangkah keluar dengan wajah memerah, diikuti
Ruangan itu begitu dingin, sangat dingin sekali dan jangan lupa bahwa Sisca tidak mengenakan pakaian apapun kecuali baju operasi berwarna biru yang melekat di tubuhnya saat ini. Rambutnya tertutup nurse cap, kateter sudah terpasang dan jangan lupa selang infus. Ia terbaring di ruang tunggu, menanti di dorong masuk dan kemudian semua tindakan itu akan dia jalani. Sedikit banyak Sisca sudah membaca perihal apa itu sectio caesarea. Dia sudah banyak mencari tahu di blog-blog konsultasi kesehatan dengan tenaga medis. Membaca prosedur hingga efek apa saja yang akan dia alami pasca operasi itu akan dilakukan. Ah! Tidak perlu mengingat-ingat apa-apa saja perihal sectio caesarea! Bukankah setelah ini Sisca akan mengalaminya secara langsung? Dia akan menjalani operasi guna membantunya melahirkan janin yang sudah dia kandung sembilan bulan lamanya. Sosok yang sudah begitu ingin Sisca temui dan bawa dalam gendongan. Pintu terbuka, membuat Sisca mendongak dan meliha
Burhan tengah mengajar ketika ponselnya berdering cukup nyaring. Ia menatap mahasiswanya satu persatu lalu melangkah menuju meja guna meraih benda itu. Matanya membelalak ketika Arnold yang ternyata meneleponnya sepagi ini. Pikiran Burhan sontak buyar, bayangan Sisca dengan perut membesarnya langsung otomatis tergambar dengan begitu jelas di dalam otak Burhan."Saya izin angkat telepon dulu, ya? Kalian bisa lanjut untuk baca materinya dulu.""Baik, Pak!" jawab mereka kompak.Burhan dengan tergesa melangkah keluar ruangan dan langsung menjawab panggilan itu dengan jantung yang berdegub dua kali lebih cepat."Ha--.""Pa ... maaf menganggu, Arnold cuma mau kasih kabar kalau Sisca sudah di rumah sakit. Udah bukaan tiga, Pa!"Jantung Burhan rasanya seperti hendak mau lepas. Jadi benar dugaannya? Bahwa Arnold menelepon hendak mengabarkan perihal kondisi Sisca dan calon cucunya?"Di-di rumah sakit mana, Ar?" wajah Burhan sontak
Malam ini entah mengapa rasanya Sisca begitu gerah. Sudah pukul satu pagi dan dia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Berkali-kali dia pindah posisi, tapi sama saja, tidak memberi efek apa-apa. AC yang menyala pun seolah tidak lagi terasa apa-apa. Sisca menyibak selimutnya, duduk sambil menatap sang suami yang tertidur begitu pulas. Senyum Sisca tersungging, jujur ia rindu bisa tidur senyaman itu. Ia rindu bisa tidur dalam dan dengan posisi apapun seperti saat belum hamil dulu. Sisca refleks mengelus perutnya yang sudah begitu besar. Sudah mendekati HPL, selain rasa tidak sabar, rasa cemas dan sedikit takut itu menghantui Sisca dengan begitu luar biasa. Apakah dia mampu nantinya? Mampu melahirkan anaknya dengan lancar dan mampu mengurusinya dengan baik?Tapi siapa yang bilang kalau Sisca akan mengurus mereka sendiri? Arnold bahkan sudah mempersiapkan dua baby sitter untuk anak mereka kelak.Sisca kembali tersenyum. Satu hal yang membuat dia benar-b
Sisca dan Arnold melangkah memasuki gedung rumah sakit. Hari ini jadwal Sisca periksa kandungan, dan khusus untuk mereka obsgyn rumah sakit swasta mahal di kota mereka sudah ready menanti tanpa harus repot-repot mengantri giliran."Selamat pagi Bapak-Ibu, mari sudah ditunggu dokter!"Bahkan mereka tidak perlu menjelaskan tujuan mereka dan bertanya apapun, para perawat dan petugas medis sudah kenal dan tahu betul tujuan Arnold dan Sisca kemari."Dokter Adjie nggak ada jadwal operasi, kan, Sus?" tanya Arnold mengikuti langkah perawat itu. Tangannya menggenggam tangan Sisca dan membantu Sisca agar tetap aman di sisinya."Siang nanti, Bapak. Beliau masih harus standby di poli sampai jam sebelas." jelas perawat itu sambil tersenyum.Arnold lantas mengangguk, yang penting tidak ada operasi gawat yang mendadak saja sampai Sisca dan calon anaknya selesai diperiksa. Mereka terus melangkah hingga kemudian sampai pada ruangan yang Arnold sudah hafal betul ruangan milik
"Sayang! Ayolah!" Sisca terus merengek dan bergelayut manja di bahu Arnold yang baru saja pulang kerja. Ada sesuatu yang begitu dia ingin sampai merengek-rengek macam anak kecil pada Arnold yang baru saja tiba di rumah."Astaga! Harus banget sekarang? Besok aja, ya?" Arnold mengendurkan dasinya, berusaha membujuk Sisca yang perutnya sudah lebih besar."Capek ya? Nanti aku pijitin deh." rayu Sisca sambil mengedipkan sebelah mata dengan manja.Arnold tersenyum, mengelus lembut pipi sang istri sambil menatap matanya dengan begitu serius."Bukan soal capek, Sayang. Masalahnya jam segini cari rujak buah di mana?" itu yang jadi masalah, bukan karena dia lelah sehabis kerja atau apa. Kalau pun lelah, demi Sisca dan calon anak mereka, apapun akan Arnold lakukan."Coba deh ke Hypermart, kali aja ada!" Sisca tidak menyerah, membuat Arnold lantas menghela napas panjang dan mengangguk pelan."Oke! Pergi sekarang kalau gitu!"
Sisca berdercak kagum melihat betapa indah rumah yang papi-mami mertua hadiahkan untuk mereka. Rumah dua lantai itu begitu mewah. Bangunan hampir mirip dengan bangunan rumah keluarga Argadana di Jakarta. Kental dengan arsitektur Eropa. Arnold tersenyum penuh arti, merangkul pundak sang istri yang begitu cantik dengan dress motif bunga berwarna cerah.Semenjak mereka menikah dan Sisca hamil, dia tidak diperbolehkan Arnold memakai celana jeans dan mengganti celana-celana itu dengan dress casual yang tidak hanya aman dan nyaman untuk ibu hamil macam Sisca, tetapi juga membuat penampilan Sisca jadi lebih manis dan cantik."Suka?" tanya Arnold yang tahu betul, istrinya nampak begitu terkejut dengan hadiah apa yang orang tuanya berikan ini."Banget!" jawab Sisca apa adanya. "Tapi ini serius nggak kebesaran?" Sisca menoleh, menatap ragu ke arah sang suami.Arnold sontak membelalakkan mata, tawanya pecah melihat betapa Sisca begitu polos dan masih sangat